Tantangan terbesar bagi cinta adalah waktu, dan musuh terbesarnya bukanlah pengkhianatan, tetapi kejenuhan.

.

.

Setiap pasangan yang sudah berumah tangga pasti punya mimpi untuk memiliki rumah. Begitupun dengan Mei, bahkan sebelum ia meresmikan hubungannya dengan Hiashi di Italia beberapa tahun silam. Namun rumah idamannya bukanlah sekadar bangunan yang menjadi naungan. Lebih dari itu, rumah adalah tempat di mana ia tidak pernah merasa asing, tak pernah membuat dirinya merasa sendiri, pun tempat di mana ia bisa pulang dan melepas segala kepenatan.

Rumah idaman yang dibangun bersama atas dasar cinta dan tetes keringat, yang baginya indah di luarnya serta memberikan kebahagiaan bagi penghuninya. Terlebih setelah diisi tangisan bayi laki-laki yang diadopsi olehnya dan Hiashi, Hyuuga Naruto, yang kini sudah berusia tiga tahunan.

Yang tak kalah penting, ia menyisakan petak khusus di halaman rumahnya dengan menambahkan kolam ikan koi yang dipercantik bunga lotus. Koi bisa berarti cinta, sementara lotus adalah perlambang kemurnian serta kesetiaan terhadap pasangan, harapan agar memperoleh banyak keturunan, agar pasangan seiya-sekata, juga bersama dalam suka dan duka.

Tak banyak asa yang Mei gantungkan dalam jalinan cinta terlarangnya dengan Hiashi. Ia tak bermuluk-muluk, tanpa restu keluarga Hyuuga, ia hanya mampu berharap agar dapat terus hidup bersama Hiashi—juga sang buah hati.

Namun semua berubah semenjak kesibukan begitu menyita waktu Hiashi. Semurka apapun keluarga Hyuuga, mereka tetap membutuhkan Hiashi sang ahli waris tunggal. Mencoret nama Hiashi dari silsilah keluarga Hyuuga—setelah pembangkangannya dengan menikahi Mei—kini bagaikan gertakan sambal belaka. Nyatanya Hiashi tetap diharuskan untuk mengambil alih kepemimpinan Hyuuga Property yang mana beberapa mall besar merupakan anak usahanya.

Mei tahu awalnya Hiashi menolak dan bersikeras untuk terus menjalani hidup tenteram bersamanya, meski materi tak berlimpah ruah, namun ia pun tak begitu paham mengapa akhirnya tawaran itu diterima.

Terkadang ia berpikir bahwa keluarga Hyuuga hanya bermaksud meminjamkan Hiashi sesaat kepadanya, dan ketika semua kembali diambil darinya, ia dipaksa untuk menerimanya.

Entahlah, ia hanya merasa semua tak lagi sama, termasuk Hiashi.

Pasangan hidupnya itu lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah, bahkan luar negeri. Ia bisa membayangkan bagaimana kesepiannya ia jika tak ada Naruto.

Longing for lost love….

Layaknya bahasa bunga lotus yang tak banyak diketahui, ia kembali mendambakan pertemuan berkualitas, begitu merindukan obrolan menjelang tidur—pillow talk—salah satu momen yang sanggup membuat matanya berkaca-kaca hanya dengan mengingatnya. Momen yang selalu menjadi dambaannya, yang dulu bisa terjadi hampir setiap malam, di saat ia bisa menceritakan apapun yang dialaminya dalam sehari penuh kepada Hiashi, tentang rencana rumah tangganya dalam sekian tahun ke depan, maupun berbagi cerita tanpa makna, atau bahkan tidak lebih dari sekadar berpelukan hingga pagi. Dan sekarang yang tersisa hanya sesaknya.

Jangankan bertemu, memberi kabar pun Hiashi seperti enggan. Tak akan ada telepon ataupun pesan bila bukan dirinya yang memulai.

Rumah yang tak terlalu luas pun bisa terasa begitu besar dan dingin jika tanpa Hiashi di sisinya, membuatnya memilih tinggal di apartemen pribadinya bila lagi-lagi ia ditinggal dalam waktu yang cukup lama. Pun ia tak bisa bekerja di luar rumah sejak Naruto hadir di tengah keluarga kecilnya, lantaran ia tak rela memercayakan anak semata wayangnya dengan Hiashi kepada baby sitter, membuatnya semakin merasa sepi karena terbatasnya interaksi dengan dunia luar.

Namun ia masih bisa menyegarkan pikiran dengan berjalan santai bersama Naruto di sekitar huniannya, seperti sore ini. Ia dengar ada kafe outdoor yang baru buka dan masih dalam masa promosi. Naruto suka makanan manis, tak ada salahnya ia memanjakan putra tersayangnya itu.

"Kaachan—Nalu mau muffin, donat, blonis, es klim kacang melah, telus…."

Mei tersenyum gemas menanggapi bocah dalam gendongannya yang mengabsen daftar keinginannya sembari menggerakkan jemarinya bak menghitung, dan seolah mampu menghabiskan semuanya. Ia pun tak kuasa menahan dirinya untuk mendaratkan banyak kecupan di wajah menggemaskan putranya itu, terlebih kedua pipi gembil yang selalu membuatnya ingin menghadiahi cubitan sayang, tak peduli kini ia sedang menyusuri trotoar yang lumayan ramai karena termasuk jam pulang kantor.

"Hm? Terus?"

"Apa lagi, ya? Hm—aa~ Nalu juga mau pelmen tama cokelat!" Naruto berseru penuh semangat. Tentu saja ia tak akan menyia-nyiakan ketika sang ibu memberikan kelonggaran sehari ini dengan memperbolehkannya mengonsumsi makanan manis apapun yang ia mau.

"Boleh—"

BRAK!

Di tengah kesenangan itu, Mei terhenti begitu mendengar bunyi benda jatuh tak jauh di depannya. Orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya hanya melihat sekilas asal keributan, kemudian tetap melanjutkan langkah lebarnya. Mei tak bisa untuk tak acuh, apalagi ia sedang tak terburu-buru, sehingga ia berjongkok di dekat sang pria untuk membantu merapikan segerombol bunga segar yang tercecer di depan toko itu, sebelum terinjak oleh para pengguna jalan.

"Sudah sekian kali ku bilang kan Niisan, lebih baik pakai troli saja."

Sejenak suara bernada tinggi itu menarik perhatian Mei. Lantas pemuda tegap sang pemilik suara itu pun turut membantu sehingga mereka menyelesaikannya dengan lebih cepat.

"Kau selalu saja meremehkanku, Kizashi, seolah-olah aku sudah benar-benar tak mampu menggunakan tanganku."

"Bukan begitu maksudku, Niisan—jangan mulai lagi."

Mei menahan napas tanpa sadar begitu wajah sang pria terlihat lebih jelas setelah mereka menegakkan tubuh masing-masing. Mata tegas itu, dan bibir tipis itu—sontak mengingatkannya pada satu orang; Hyuuga Hiashi.

Bila Hiashi yang berdiri di posisinya kali ini, barangkali akan merasa seperti tengah bercermin. Bedanya hanya hidung yang sedikit lebih mancung dari Hiashi, juga tatapan rambutnya yang lebih gondrong. Ia yakin tak mungkin Hiashi yang ada di hadapannya, karena yang ia tahu partner hidupnya itu masih ada di Jerman saat ini.

"Touchaaan~!"

Seruan Naruto membuat Mei semakin yakin bahwa tak ada kesalahan pada indra penglihatannya. Sebelumnya ia mengira bahwa ia mulai berhalusinasi akibat rasa rindunya yang menumpuk.

"A-ah—maaf telah mengganggu perjalanan Anda, dan terima kasih sudah membantu kami," ucap sang pria sembari membungkuk sopan, setelah si pemuda berambut merah jambu kembali masuk.

Sementara Mei masih terpaku tanpa mampu berucap. Ia bahkan tanpa sadar memeluk Naruto terlalu erat, sedangkan putranya itu mulai merentangkan kedua lengannya ke arah sang pria yang ia kira adalah ayahnya.

"Omong-omong, kami baru di sini. Jika Anda berkenan, kapan-kapan mampirlah ke toko bunga kami." Sang pria menggerakkan lengan kanannya dengan ramah ke arah tokonya yang berkaca lebar dengan papan nama bertuliskan 'Haruno' itu. Di lain sisi ia tampak bingung lantaran batita yang baru ditemuinya terlihat berusaha menggapainya.

"Hizashi Nii, aku butuh bantuanmu!"

Bersamaan seruan dari dalam itu, Mei memacu langkahnya tanpa kata, disertai gumaman berulang yang ia rapalkan bagaikan mantra, "Tidak mungkin—bagaimana bisa—bahkan namanya—"

Tubuhnya pun gemetar pelan karena terlalu terkejut dan bingung dengan apa yang baru dialaminya. Bahkan ia seperti tak peduli akan Naruto yang mulai rewel dalam gendongannya, yang berusaha untuk kembali ke tempat semula. Ia tahu putranya itu juga sangat merindukan sang ayah, namun ia yakin bahwa pria tadi bukan Hiashi. Untuk memastikan semuanya, ia meraih ponselnya dan langsung menghubungi nomor Hiashi tanpa mengindahkan rengekan Naruto.

"Hiashi—"

Begitu telepon tersambung, Mei tak sabar untuk mendengar suara Hiashi, dan memastikan bahwa pasangannya itu memang masih berada di luar Jepang, terutama Tokyo. Namun tenggorokannya tercekat karena suara dari seberang beradu dengan deru napas tak beraturan dan desah lirih yang bersahutan.

"Di sini masih tengah malam, Mei—hhh—kau tidak melihat jam? Atau kau akan berasalan lupa—"

"A-ah—ne … maaf—"

Sambungan diputus sepihak oleh Hiashi. Kata-kata yang ingin diucapkan Mei seketika tertelan kembali. Perasaannya bercampur aduk, batinnya serasa diremas, dan benaknya nyaris kosong. Ia seolah terlupa akan sosok serupa Hiashi yang sebelumnya menimbulkan banyak pertanyaan, begitupun dengan rencananya untuk memanjakan Naruto, karena langkah gontainya membawanya kembali menuju apartemennya. Tatapan matanya kosong, membuat putranya ketakutan dan hanya mampu menangis dalam diam. Ia seperti hilang akal dan terlupa akan apapun di sekitarnya, selain berbagai asumsi yang berakar pada Hiashi.

.

.

.

Pagi yang cerah, namun tidak bagi Mei yang bangun dengan lingkar hitam di sekitar matanya. Sejatinya ia tak bisa tidur semalaman, hingga ia terlelap menjelang pagi lantaran tubuhnya terlalu letih. Ia mendapati Naruto yang masih pulas memeluk dirinya dengan begitu posesif, tak ubahnya seperti sang ayah, dulu.

Teringat akan Hiashi, saat itu pula lukanya kembali menganga. Ia ingin terus berpikiran positif dan berprasangka baik terhadap Hiashi, namun sisi hatinya yang lain telah mendakwa bahwa ia telah diduakan, atau mungkin lebih—karena ia pun tak tahu bagaimana perilaku suaminya itu di luar sana. Meski begitu ia senantiasa berharap Hiashi tak akan pernah berpaling.

Ia sadar ia tak boleh berlarut-larut dalam pikiran kelamnya. Pun ia tak boleh membuat Naruto kembali takut akan sikapnya. Usai membersihkan diri, ia melakukan rutinitasnya seperti biasa; mengambil susu langganan yang masih hangat di depan apartemennya sebelum menyiapkan sarapan. Saat itulah untuk pertama kalinya ia mendapati sebuket lili lembah di depan pintunya.

Tak ada identitas pengirim, selain 'HH' yang tertulis pada secarik kertas.

.

.

Haruskah bertahan menaruh kasih layaknya lilin yang terus memberikan cahaya walau tahu akan terluka karenanya?

.

.

.


NARUTO milik Masashi Kishimoto, saya tidak mengambil keuntungan apapun dalam penulisan fanfiksi ini | AU | OoC? | fanfic tahun 2014 (milik sendiri) yang dirombak (publish langsung dari 1-10) | tidak bertema baik, segala keburukan bukan untuk ditiru | setelah Hiashi x Mei x Hizashi, sekarang kepincut + Miroku xoxo | generasi tua (?)