Pretty Rhythm (c) Mari Asabuki

One Sided Love Story (Jun/Mion Version) (c) Akiyama Taiga

Warning(s): Twoshot, Dear My Future's Arc, Jun/Mion.

.

.

.


Tiga tahun berlalu, setelah kompetisi akhir yang dimenangkan oleh Aira dan menjadikannya sebagai Ratu Prisma. Kebahagian sederhana Rizumu yang kembali. Atau kebahagian tambahan karena dia menikah dengan Hibiki, salah satu anggota Callings. Serena dan Kanon yang sekarang satu agensi produksi dengan MARs.

Tiga tahun berlalu, nama Pretty Top semakin tersohor. Tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Khususnya Korea Selatan. Ada dua grup muda yang bergabung, Prizzmy dan Puretty. Dan jangan lupakan dengan desainer baru, Yunsu. Singkatnya saingan baru Sho.

Tiga tahun berlalu, perasaanku belum berubah. Malah dari hari ke hari semakin bersemi saja rasanya. Seakan tak ada musim lain selain musim semi, dimana keindahan sakura tetap terlihat.

Jadwal MARs tidak sepadat sekarang, jadi kami memiliki banyak sekali waktu senggang. Namun biarpun itu dikatakan senggang, kami jarang bertemu. Ya, Rizumu yang kini telah berkeluarga dengan Hibiki. Atau Aira yang sekarang sibuk dengan toko kuenya. Atau sibuk karena Yunsu terus mengekorinya.

Terkadang, aku merindukan masa-masa kejayaan kami. Dan lika-liku perjalanannya.

Omong-omong berbicara dengan perjalanan, aku jadi teringat seseorang. Dia adalah pria yang suka sekali berprosa, kata-katanya terlalu banyak dengan kiasan. Penuh seni, menurutku.

Pria itu bernama Jun Takigawa, adik dari Kyoko Asechi-direktur kami. Sstt, ini rahasia. Aku tahu itu juga karena tak sengaja. Saat Jun kelepasan menyebut direktur dengan sebutan Kakak. Namun aku hanya diam, sambil membenarkan fakta itu dalam hati.

Dia dewasa, dan juga sebagai sosok pelindung. Dia tak senggan mengeluarkan perkataan dengan intonasi tinggi hanya karena ia ingin orang itu maju. Jun, dia tahu segalanya. Tahu seluk-beluk kepribadianku lebih dari Wataru. Dan jangan lupakan, ia sangat puitis.

Bersama dengannya, aku dapat menjadi diriku sendiri. Tanpa harus menjaga image seorang Mion yang sempurna.

"Waah! Mr. As! Kyaaa~"

Jun kembali tebar pesona, jubahnya ia sampingkan. Dengan mengenakan topeng, ia mengeluarkan sebuah kartu. Seperti peramal saja.

Mia Ageha masih histeris. Ia sangat mengidolakan sosok Mr. As itu. Andai saja Mia tahu, aku tak tahu bagaimana akhirnya.

"Semoga dewi peseluncur menyertai disetiap langkah kalian di dunia pertunjukkan prisma! Hoho."

Jun berlagak seperti Romeo kesiangan sekarang. Dengan asap buatan, ia pergi dengan kabur lewat dinding yang dapat dilalui. Seperti jalan pintas.

Sebagian orang pasti menganggapnya aneh, tapi tidak dengan keunikannya yang kutahu.

"Tapi kau tetap saja keren, Jun." aku bergumam.

"Kerja yang bagus Prizzmy, Puretty. Kalian tahu, keuntungan penjualan tiket hari ini ludes! Hahaha~" Kyoko tak kalah histeris, saat melihat pundi-pundi yen terus bertambah di layar komputernya. "Aku ingin kalian istirahat dengan cukup, agar kalian bisa menghasilkan uang yang banyak!"

"Seperti itulah, Direktur." celutuk Mia. "Liburan~ jangan lupakan liburan untuk kami semua~"

"Haha, tenang saja~ kalian semua akan berlibur di resor ski di Seoul nanti! Aku janji!"

"AKHIRNYAAA~" Prizzmy dan Puretty berteriak, mereka saling berpelukan. "Janji tetaplah janji, buktikan! Huaa~" sahut So Min terharu.

Aku yang mendengarnya hanya tersenyum sambil melipat tangan di dada. Duduk manis di sofa bersama MARs. Rizumu yang terus memakan cemilan, dan Aira yang tak henti-hentinya menyatakan kekagumannya pada penerus nasib Pretty Top dan dunia prisma ini.

"Direktur, tapi kau akan mengajak MARs juga, 'kan?"

Ah, itu Hye In. Suasana langsung senyap. Kyoko tampak berpikir, jari-jarinya ikut berhitung, mungkin saja ia tengah menguji otaknya dengan laba dan rugi yang didapat.

"Kurasa itu bisa. Baiklah, MARs silahkan nikmati liburan kalian di resor ski, Seoul. Eksklusif!"

Oke, ini akan jadi menyenangkan. Kurasa.

"Mion?"

Aku mendongak, mataku mengerjap. Rupanya itu Jun.

"Kau punya waktu?"

"Iya," aku sadar, disaat kami saling kontak lewat mata dan memutuskan untuk keluar dari ruangan. Banyak sekali mata yang membuntuti dari belakang, bisik-bisik tanpa alasan menyentil pendengaranku.

Aku terus mengikuti langkah kakinya, tanpa bersuara atau melakukan sesuatu. Kuinjak disetiap bayangannya yang berpijak, karena konon dikatakan jika kau menginjak bayangan seseorang, orang itu takkan pernah merasakan sepi. Dikarenakan dia akan selalu mengingatmu, dimanapun ia berada.

Keeratkan tudung jaket yang kini kukenakan. Kedua tangan berada di saku jaket yang sama. Mataku tetap terfokus pada orang yang sama.

"Wataru, dia mencarimu."

Tidak, tidak selamanya ketenangan sederhanaku dapat berjalan seperti yang kuinginkan. Mengapa Jun langsung membahas Wataru?

"Oh,"

"Hanya itu?"

"Lalu aku harus menjawab apa?" aku berhenti, cukup menyadarkan Jun jika aku tak berjalan di belakangnya lagi. "Bisa tidak, kau tak membahas Wataru."

Jun diam, dia tak mengerti. Hanya rasa canggung yang menyergap sekarang.

Lelaki memang tak peka, dan mengapa selalu saja wanita yang harus menunggu?

Aku benar-benar marah padanya. Tak habis pikir saja.

"Kalau hanya membahas Wataru, aku pergi."

Aku benaran pergi, sungguh melangkahkan kaki. Aku lari, seperti melebarkan sayap dan menembus angin. Kusembunyikan airmata dibaliknya. Aku tak ingin terlihat bodoh. Aku lelah, kutengok belakang, rupanya Jun tak ada disana.

Kita hidup di panggung sandiwara, tapi bukan untuk bersandiwara. Ini bukan roman picisan seperti yang kutonton di bioskop. Jadi, mungkin inilah akhirnya.


"Bagaimana menurutmu, Mion?" Reina menyodorkan catatan padaku, berupa coretan tentang step by step untuk koreografi baru mereka.

Hari ini dan untuk kedepannya, aku akan menjadi pembimbing Sprouts-grup trio acak pertama antara Reina, Jae Eun dan Ayami. Ini memang untuk sementara, meskipun sementara ini tidak mudah.

"Itu bagus!"

Aku berhasil menarik senyum mereka, hanya karena menyetujui gagasannya. Bahagia itu sederhana. Aku setuju dikarenakan agar mereka mampu memperkirakan yang terbaik dari pilihan-pilihan terbaik lainnya.

Aku memperhatikan disetiap keringat yang tercucur, membiaskan sesuatu yang bernama rasa lelah terbalut rasa bahagia. Tawa yang tersengal-sengal karena napas yang seakan sudah terbagi banyak hal dalam satu jam latihan.

Aku memutuskan untuk menyudahi pertemuan kami. Kulambaikan tangan dan mereka menunduk sebagai tanda hormat kepada senior. Meski aku tak mengganggap diriku sendiri seorang senior, sih.

Kutuju lift yang tak jauh dari ruang latihan Sprouts. Menekan tombol yang menunjukkan lantai dasar. Kaki kuhentak, tangan merapat, aku terburu-meski tak tahu apa yang harus kuburu. Rasanya ingin cepat-cepat menghirup udara segar di luar gedung.

"Mion?"

"...Jun," aku menunduk, seraya masuk ke dalam lift.

Aku tahu, Jun ingin mengajakku berbicara. Tapi aku terlanjur membungkam segalanya. Hingga tak ada celah yang dinamakan keterbukaan.

"Aku suka bagaimana kau mengajari Sprouts. Terlihat profesional."

"Terima kasih." cukup untuk menjelaskan, tak ada yang harus dibahas. Meski harus berbasa-basi.

"Jika kau bertanya mengenai kemarin, aku tak mengerti. Tepatnya, aku tak tahu harus berbuat apa. Kau pergi tanpa mendengarkan apapun yang kuucap."

Jun sempat mengatakan sesuatu?

"Maaf, tadi hm-ini agak memalukan, aku bertanya dengan ibuku. Dan beliau bilang, ini tanda-tanda."

"Tanda-tanda? Apa maksudmu?"

Jun tersenyum canggung, sambil meletakkan satu telunjuk di pipinya. Jika seperti ini, Jun seperti...

"Wataru?!"

Satu e-mail masuk, dari lelaki yang tergabung dalam grup Callings.

[Kau ada waktu, Mion?]

"Sepertinya akan ada yang kencan, nih." sentil Jun. "Aku mendoakan yang terbaik untuk kalian, ya."

Tak lama kemudian pintu lift terbuka, dan aku berpisah dengan Jun. Ia menghilang setelah melewati jalur kanan menuju gelanggang. Walaupun sebentar, aku merasa tenang, hanya karena mendengar suaranya lebih dekat. Dan melihat wajah itu agak lama.

[Iya, mau bertemu dimana?]

Tak lama pesan itu terkirim, Wataru menghubungiku melalui ponsel. Aku segera bergegas menuju tempat yang ia mau, tanpa harus berpikir. Yang kurasa ini bukanlah saatnya untuk berpikir secara serius juga, sih.


Dia menungguku di sebuah bangku taman yang menghadap ke arah danau. Pemandangan matahari tenggelam menjadi lukisan terindah di kanvas langit.

Wataru tersenyum lembut hingga matanya menyempit, tenang. Seperti riak air di danau ini. Aku mengikutinya, kami duduk agak jauh.

"Aku senang kau datang, Mion."

"Ada yang ingin kaubicarakan?"

"Kau tak pernah berubah, ya?" Wataru menunduk. "Mion, aku ingin kau menjadi pacarku."

"..apa?!"

Wataru terlihat tegang, bibirnya gemetar. Aku tahu itu tak mudah. Tapi entah mengapa, ada yang salah dengan ini. Aku tak merasakan sesuatu, semuanya terasa datar. Aku tak memiliki perasaan yang sama.

"Jadi bagaimana?"

"Jadi apanya?"

Wataru berdiri, tubuhnya menghadapku tapi tidak dengan pandangannya. Yang menukik rendah.

"Tolong pertimbangkan lagi, Mion."

Sosoknya perlahan menghilang, aku tak dapat berkutik. Aku meraba jantungku, tak ada sesuatu. Semuanya biasa, tak ada hal yang menganggu.

Aku tak punya perasaan itu.

Satu-satunya pria yang kucinta hanya satu, orang itu adalah Jun. Bukan dia, atau siapapun.

Egois. Mungkin itu adalah aku.


"Waah! Lihat itu!"

"Ini yang dinamakan liburan selebritis!"

"Paku-paku, rasanya begitu lembut!"

"Andaikan Itsuki disini."

Mia yang heboh sendiri. Chae Kyung yang selalu membubuhi akhir kata dengan selebritis adalah hal yang terdengar eksentrik. Atau Jae Eun yang sangat terlihat perbedaannya, ah, itu lebih baik. Atau Reina yang menyesal karena adiknya Aira tak ikut.

"Ini akan menyenangkan, yeay!"

"Ini seperti harus menjaga mereka, ya?"

"Benar, Karin."

Di sudut kanan dua bangku dari depan, terdapat Karin dan Shi Yoon. Mereka lebih tua dan dewasa, sehingga dapat mengayomi yang berada di bawah mereka. Seperti halnya Aira dan Rizumu yang juga mengandalkanku.

Kami tak seaktif mereka, yang selalu memiliki tenaga sejak keberangkatan dari terminal. Terlebih lagi Mia, gadis itu mengingatkanku pada Rizumu yang tak kenal menyerah. Kembali, tak sengaja, bernostalgia tentang MARs.

"Kenapa kau diam saja, Mion?"

Aira menatapku, setelah lamanya kami tak membuka perbincangan. Rizumu tak ada disini, dia lebih memilih bersama Hibiki di bis lainnya yang sudah lebih dulu berada di depan. Gadis pecinta fashion itu tersenyum, aku tak mengerti maksudnya.

"Ada yang lucu? Kau aneh, Aira."

"Ada yang sedang kaupikirkan, Mion? Aku tahu."

"Tidak ada,"

"Aku mengenalmu sudah lama. Kita grup. Jadi, kau takkan bisa menyembunyikan kebohonganmu. Jujur saja."

"..kau takkan mengerti."

"Mion, aku temanmu. Percayalah."

Baiklah, sebenarnya aku terdesak. Jadi, kukatakan semua yang terjadi kemarin sore, bagaimana respon dan perasaanku yang sebenarnya. Aira hanya tercengang tak sanggup berkata.

It's complicated. Tapi ia hanya mengatakan bahwa...

"Temukan jawabannya di hatimu. Aku yakin, kau akan baik-baik saja."

Setelah Aira mengatakannya, tempat yang kami tuju sudah di depan mata. Para anggota baru itu langsung berhamburan keluar bis. Seperti tak sabar. Bagaimanapun juga, mereka tetaplah anak-anak yang baru saja mengalami pubertas.


"Dimana Wataru?"

"Aku tak melihatnya, Sho." jawab Hibiki yang juga ikut celingak-celinguk. "Kau melihatnya kah, sayang?"

"Tidak, lagipula aku tak memperhatikan dia dimanapun." Rizumu menghela napas, lalu meminum white coffee-nya.

"Ada yang aneh rupanya. Tapi aku merasakan shuffle heart-nya Wataru." Yong Hwa ikut dalam percakapan mereka. Dan tebakkan itu diyakini semuanya.

"Bisa jadi, tuh."

Aku beranjak, meninggalkan banyak sisa di piring makan malamku. Mereka bertanya, aku memilih untuk tak menanggapi. Aira mengunci mulutnya sesuai dengan perjanjian awal. Suara Rizumu menggelegar, ia sempat menghentikan langkahku. Namun, aku seperti menutup telinga, aku tak mempedulikan semuanya. Dan pergi, entah kemana, terserah kakiku saja.

Ini pasti kesalahanku.

Tapi, aku tak ingin membohongi dan menyakiti perasaan siapapun. Menjadi jujur itu terlalu sulit. Menjadi diam pun juga serba salah. Jadi aku memutuskan untuk mencari Wataru.

Perlahan namun jelas.

Aku mencarinya, hingga aku menemukan sosok out-going itu duduk berselonjor. Ia mengusap-usap telapak tangan yang ia dekatkan dengan api unggun. Tak banyak berbicara, aku duduk disamping Wataru. Menjelaskan semuanya apa adanya.

Aku tak ingin bersandiwara. Resiko akan datang, aku siap.

"Aku tidak bisa, maaf."

"Apakah ada seseorang di hatimu, Mion?"

Bibirnya tersenyum, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang membuatku tersayat dengan sendirinya.

"Kau ingin aku jujur?"

"Ya,"

"Setelah aku jujur, apa kau akan menerimanya?"

"Kau tahu, kejujuran itu madu meski saat terucap bisa sepahit empedu. Katakanlah, jika kau ingin semuanya cepat selesai."

"Berjanjilah satu hal denganku, Wataru. Kita akan tetap menjadi 'teman' yang saling mendukung." kataku tegas, menekankan kata teman agar semuanya dapat sejalan seperti awal. Aku tak ingin berakhir hanya karena aku tak memiliki perasaan apapun pada Wataru.

"Aku janji."

"Aku menyukai Jun. Aku menyukainya jauh sebelum kau dan Callings menjadi grup trio terkenal sebelum MARs terbentuk. Jadi-"

"-kalau begitu kejarlah dia, Mion."

Wataru memutus omonganku. Seperti tak ingin mendengarnya lebih lanjut. Ini menyakitkan untuknya, tapi.. Jika aku mengatakannya sekarang, maka akan memperumit masalah, 'kan?

Aku tak melawan, justru aku mengiyakan. Aku pergi dari sisi Wataru, membiarkannya sendirian dan meresapi ucapanku. Bukan karena aku tak memikirkan bagaimana perasaannya, justru jika aku berada disana, itu menambah rasa sakit.

Jadi biarlah..

Seperti yang dikatakan Wataru, aku mencari Jun. Namun disaat aku ingin berbalik menuju pintu masuk, Jun berada disana. Aku berhenti tepat di depan Jun.

Diam tanpa kata, itu pilihan yang takkan pernah ada dalam kamusku. Tapi, kali ini, mulutnya serasa terkunci. Bahkan aku lupa bagaimana caranya gugup. Hanya terfokus.

"Kau.."

"Kau sudah tahu, 'kan? Kalau begitu-"

Kurasakan hawa hangat menyesap jauh ke sanubariku. Genggaman seorang pria yang memeluk, hingga aku tenggelam ke dasar dada bidangnya. Tak bisa kujelaskan bagaimana keadaanku. Kubiarkan semua berlalu begitu saja.

"Kenapa? Kau kaulakukan ini, Mion?"

Kenapa? Jangan tanya aku.

"Apa yang kaulihat dariku?"

Entahlah.

"Kau tahu, ini tak adil untuknya."

Aku memang egois, memilih untuk tak menerima pria yang mencintaiku, dan menciptakan jalan lain untukku sendiri.

"Mion, jawab aku."

Aku tak bisa. Kita terlalu dekat. Bahkan aku bisa mendengar detak jantungmu, bahwa ritme yang dihasilkannya pun sama. Sama denganku.

"Mion,"

"Ya?"

"Aku tak suka musim dingin." bisik Jun. "Tapi aku menyukai detik ini."

Tersenyum. Hanya satu senyum kecil. Dia menyudahi pelukkan sederhana ini. Jun mengeratkan genggaman tangannya ke tanganku. Dia tak tampak canggung. Tapi tetap saja, ini agak berbeda.

Aku berjalan dengannya dengan status ambigu. Aku ingin bertanya, tapi Jun selalu menangkap wajahku yang memerah. Aku tak suka, ini melunturkan image-ku.

Tapi Jun menerimanya, itulah mengapa aku selalu bangga menjadi diriku sendiri saat di depannya.

"Kalau itu pilihanmu, aku mau mencobanya."

"Maksudmu?"

"Menjadi pria yang layak untukmu. Seperti Hibiki untuk Rizumu."

"Jadi..."

Semua gelap.

Tidak, bukan gelap. Namun karena aku menutup mataku. Tiba-tiba Jun mengecup bibirku. Meski singkat, meski tak lama. Ini menandakan, bahwa penantianku tak sia-sia.

Cinta sepihak, cinta sendirian itu hanyalah mitos. Ingat, hanya dalam kamusku.


EPILOGUE

Jun Takigawa, menatap seeorang yang tanpa sengaja melewati dirinya yang tengah duduk di bench dekat taman pinggir sungai. Ia hanya tersenyum penuh arti melihat itu. Dan baru menyadari kalau aku sedang bertanya lewat mata yang bergerilya meminta jawaban.

Jun mengangkat bahu, "Bukan apa-apa. Jika Mia tahu rahasiaku sebagai Mr. As, dia tidak akan sampai menyukaiku."

"Itu 'kan hanya anggapanmu, Jun." dumelku. "Tapi jika itu menjadi kenyataan, bagaimana?"

Dengan gelagat yang tak tertebak, Jun menyandarkan kepalanya di pundakku. Menggelayuti tangan yang dibuat untuk melingkari pinggangku. "Ibuku pernah bilang yang mengenai tanda-tanda, tentang perasaan seorang gadis yang jatuh cinta dan Ibuku pernah bilang juga, jika seorang gadis mempunyai perasaan yang murni terhadapku. Aku tak boleh mengecewakannya."

"..Jun,"

"Mia hanya menyukaiku sebagai Mr. As bukan sebagai Jun Takigawa sepertimu, Mion."

Wajahku memanas, diam adalah pilihan terbaik saat ini. Disaat yang sama aku sadar, Jun membalas perasaanku. Yang pada awalnya hanya cinta sepihak.

Thanks, love you Jun.

.

.

.

THE END


thanks, for your attention all. Sampai jumpa di oneshot selanjutnya :) dengan Yunsu/Aira pair. Jika ada saran atau/dan kritik, silahkan sampaikan di kotak review, ya.