Wolf Moon
Genre: Fantasy, Romance
Pair: Kurosaki Ichigo and Kuchiki Rukia
Disclaimer: Tite Kubo
Desa Karakura adalah desa yang terpencil dan dibatasi oleh hutan rimba. Musim panas selama 9 bulan dan sisanya musim dingin. Mayoritas mata pencaharian penduduk di sini adalah berburu dan/atau menambang. Hasilnya terkadang mereka jual ke pasar, jika barang tambang, mereka akan menjualnya kepada tukang pandai besi. Atau orang-orang biasa menyebutnya blacksmith.
Tetapi ada pengganggu yang membuat desa ini tidak menjadi desa yang diminati banyak orang. Di tempat lain mungkin mereka punya ular, tikus, dan hama yang lain. Namun, desa ini memiliki makhluk mitos yang benar-benar ada. Makhluk ini dikenal dengan sebutan werewolf atau manusia separuh serigala.
Keberadaan mereka jarang dilihat orang, namun segelintir dari penduduk pernah bertemu dengan makhluk itu—secara teknis, mata pencaharian mereka bergantung pada hutan. Penduduk desa berencana untuk memusnahkan monster ini, karena mereka membuat penduduk risih dan takut.
Namun hasilnya nihil.
Kepala desa membuat peraturan bagi siapa saja yang ingin pergi ke hutan, mereka tidak boleh melewati batas yang sudah ditentukan karena hutan yang paling dalam dan lebat adalah habitat mereka. Apalagi werewolf mempunyai penciuman yang tajam, dan mereka karnovira.
"Wow," desah Rukia terkagum-kagum. "Apakah mereka berbahaya?"
Anak perempuan yang berusia 6 tahun itu menatap ibunya penuh harap setelah waktu bercerita selesai. Rambut hitam legamnya tergerai hingga ke pundak, mata violetnya yang bening begitu bulat seperti bentuk wajahnya. Ibunya memberikan senyum miris.
"Tentu saja, Anakku. Mereka serigala, dan serigala tidak bersahabat dengan manusia," ujarnya dengan kelembutan seorang ibu.
"Tapi, kalau aku memelihara satu di antara mereka yang masih kecil, aku akan melatihnya untuk bersahabat dengan manusia," sergah Rukia tidak mau kalah. Dia begitu tertarik dengan hewan peliharaan, tetapi dia belum tahu seperti apa wujud asli monster itu jika melihat manusia.
"Tidak boleh," Hisana—ibunya—menggelengkan kepala dengan mantap. "Mereka hewan liar, dilahirkan dan dibesarkan di hutan, kau tidak boleh memeliharanya karena orangtua mereka pasti marah." Hisana membuat kesimpulan kecil agar Rukia mudah memahaminya. "Aku pun seperti itu kalau kau diambil oleh orang lain," imbuhnya sambil mencubit hidung mungil Rukia.
Sementara gadis itu mengendus, Hisana mengambil keranjang yang disulam dari bambu lalu menatap putrinya yang tengah berdiri mematung di hadapannya. "Nah, aku harus pergi ke hutan. Kau diam di sini dan jangan—"
"Ibu, aku ingin ikut," sela Rukia dengan wajah cemberut. Pipinya yang berwarna merah jambu itu menggembung. "Aku terlalu bosan untuk menghabiskan satu hari berada di dalam rumah."
"Kau bisa bermain di gudang bersama ayah," saran Hisana tampak ragu.
"Aku tidak mau mengganggu ayah yang bekerja."
Setelah mempertimbangkan lebih jauh, akhirnya Hisana menyerah dan mengajak Rukia. Mereka berjalan menuju gudang tempat Byakuya membuka toko pandai besinya. Gudang itu sudah lama tak terpakai, jadi sang ayah menyulapnya menjadi tempat usaha miliknya sendiri.
"Ayah, selamat pagi!" seru Rukia, merentangkan kedua lengannya untuk memeluk Byakuya yang bajunya sudah hitam dan kotor.
"Semangat sekali," tukas Byakuya sambil setengah tertawa. Biasanya Rukia akan mengucapkan salam pagi dengan wajah kusut—jelas sekali kalau dia baru bangun. Tapi sekarang dengan wajah cerah dan bukan baju piyama. "Kau sudah mau pergi, Hisana?" Dia menatap istrinya, lalu Rukia.
"Ya," Hisana menjawab ragu. Dia tahu Byakuya pasti tidak akan suka dengan keputusan ini. "Rukia ingin ikut denganku ke hutan."
"Boleh, kan?" Rukia menyerbunya dengan satu pertanyaan yang penuh nada harap. Sayang sekali bagi anak bersemangat itu untuk menerima gelengan kepala dari ayahnya. Pundak Rukia lemas saat itu juga. "Oh, ayolah. Hari ini saja."
"Hutan bukan tempat untuk anak kecil, Rukia. Di sana berbahaya," tegas ayahnya, lalu dia kembali berfokus pada barang-barang perak di hadapannya. Sebelum dia sempat memukul sebatang besi itu dengan palu, Hisana menegurnya. "Dia berjanji untuk satu hari ini saja. Lagi pula, Rukia akan mengganggumu kalau kau tidak mengizinkannya, Byakuya."
Rukia terperangah, dengan cepat dia menatap ibunya. Hisana mengedipkan satu mata, pertanda ini termasuk rencananya agar Rukia bisa ikut. Dalam satu detik, gadis itu sudah mengerti, dan dia cepat-cepat mengubah sorot matanya menjadi serius.
Karena tidak ada yang berpihak padanya, Byakuya tidak mempunyai kata-kata lagi untuk melanggarnya. Jadi, dengan helaan napas yang berat, dia pun mengatakan, "Baiklah. Satu hari ini saja, oke? Hati-hati di sana, dan jangan terlalu jauh dari ibumu."
Senyum langsung mengembang di wajah gadis itu, membuatnya menjadi secerah bunga mawar yang mekar. "Terima kasih, Ayah. Kau yang terbaik!" serunya, memeluk ayahnya sekali lagi kemudian menggandeng tangan ibunya. Byakuya menggeleng-geleng kepalanya.
"Sampai nanti, Byakuya."
Pria itu mengangguk kemudian kembali memanaskan besinya sebelum dicelupkan ke air. Beberapa detik kemudian, dia mendengar putrinya berteriak dari jauh. "Oh, dan semoga berhasil dengan pekerjaannya!" sambil melambai heboh. Aura semangatnya begitu membara seperti bunga matahari.
Byakuya tersenyum simpul, melihat kedua orang yang dicintainya itu menghilang di balik kerumunan penduduk yang memulai aktivitas mereka masing-masing.
(*)(*)(*)
"Indah," hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut Rukia saat mengedarkan pandangan ke setiap pohon yang tampak seperti gedung pencakar langit. Semuanya hijau cemerlang, bahkan di mata Rukia langitnya tercemar oleh warna lemon yang sedikit kehijauan. Ini baru pertama kalinya Rukia pergi ke hutan, jadi wajar kalau dia terus mendongakkan kepala penuh rasa kagum seolah-olah sedang melihat aksi sirkus.
"Hati-hati, di sini banyak batu dan lubang. Lihat jalan di bawah jika kau tidak mau terantuk," kata Hisana, mengingatkan. Rukia mengangguk cepat dan mengencangkan genggamannya di tangan sang ibu.
"Bu, apa yang akan kita cari di sini?" tanya Rukia sambil menoleh ke belakang. Rupanya mereka sudah berjalan jauh dari desa. Cerita yang baru didongengkan Hisana tadi pagi merasuk ke pikiran Rukia kalau terlalu jauh dari desa berarti mereka berada di zona berbahaya. Anak itu menatap ibunya penuh tanda tanya.
Hisana memutar bola matanya, berpikir. "Aku mencari tumbuhan-tumbuhan herbal yang bisa kujual di pasar. Hutan ini memiliki sumber daya alam yang banyak."
"Di sini?" Rukia melepaskan tangan Hisana saat wanita itu membungkuk untuk memetik bunga manis berwarna putih. "Wow, cukup jauh."
"Jangan menyesal, kau yang memintanya." Sang ibu hanya tersenyum sebelum menyematkan bunga itu di telinga Rukia. "Nah," katanya dengan puas, "bunga itu cocok untukmu."
Perempuan mungil itu melirik telinga kanannya, menyentuh kelopak bunga itu. Dia terkekeh. "Terima kasih, Bu."
Beberapa langkah kemudian, mereka sampai di padang yang lebih banyak ditumbuhi dedaunan daripada pohon besar yang tadi berdiri dengan kokoh. Mereka bersinar seperti kumpulan zamrud, baunya pun khas seperti rumput yang baru dipotong di pagi hari.
Hisana berlutut untuk memetik daun-daun itu dan memasukkannya ke dalam keranjang. "Jadi ini yang Ibu cari?"
"Mm-hmm." Dia mengangguk sambil menaikkan kedua alisnya. "Kau mau membantuku?"
Awalnya Rukia senang memetiki daun-daun ini, tapi lama kelamaan bosan mulai merayapinya. Anak itu heran kenapa ibunya mau melakukan pekerjaan seperti ini, dia sama sekali tidak betah.
Sambil menyeka keringatnya yang bercucuran karena panasnya matahari, Rukia berdiri dan meluruskan kedua kakinya. "Aku ingin pergi ke sana," tukasnya sambil menunjuk ke balik batang pohon yang besar.
Hisana berhenti melakukan aktivitasnya. Sebelum kata-kata cegahan itu keluar, Rukia menambahkan. "Tidak jauh."
"Baiklah," ibunya mendesah. "Tidak lebih dari lima belas menit."
"Dua puluh," timpal Rukia dengan wajah tidak bersalah. Berkat cengiran lebarnya, dia mampu mendapatkan apa yang diinginkannya. Dengan cepat dia berlari dari sana, roknya yang tipis dan berwarna karamel berdesir seiring dengan putaran gadis itu.
Wanita yang menyerupai Rukia itu tersenyum dan menggumam, "Sifatnya sama sekali seperti ayahnya."
Selagi bersenandung kecil, gadis itu bingung apa yang akan dia lakukan untuk menghabiskan waktu dua puluh menitnya sebelum kembali pada Hisana. Seandainya dia cukup dewasa, dan hutan ini bersih dari segala macam hewan liar, Rukia pasti akan berlari jauh-jauh tanpa perlu ada batasan. Beruntung baginya hari ini, ada kelinci salju yang tengah merumput di depan mata Rukia. Gadis itu terperangah dan mengendap-endap ke belakang batang pohon yang besar. Kelinci mempunyai kaki yang lincah dan telinga panjang untuk membantunya dalam melarikan diri. Maka dari itu Rukia berusaha sebaik mungkin untuk tidak menimbulkan suara apa pun.
Setelah semua cukup siap baginya, Rukia berjalan dengan was-was. Sayangnya dia tidak mengikuti saran Hisana dengan baik; ada akar pohon yang menyembul dari tanah yang membuat gadis itu terantuk saat ingin menangkap kelinci saljunya.
"Aduh," ringis Rukia saat tubuhnya terhempas ke tanah. Tubuh kelinci itu mengejang dan, dengan insting hewannya, dia berhasil melarikan diri dari sana. Gadis mungil itu hanya bisa meratapi nasibnya sambil mengembuskan napas dengan keras. Wajahnya muram saat itu juga. Rukia berdiri kemudian membersihkan tanah serta daun seukuran jarum yang menempel di punggung lengan serta roknya. Tampaknya tidak ada kelinci yang lain lagi, jadi dia pun memutuskan untuk pergi ke tempat yang lain.
Namun, sebelum Rukia sempat melakukannya, dia mendengar gemerisik aneh dari semak-semak yang gemuk di belakangnya. Jantungnya meledak saat itu juga, dan dia saling mendekap tangannya ke dada. Seandainya Rukia mendengar nasihat ibunya dengan baik, maka dia sekarang tidak perlu ketakutan sekaligus penasaran. Rukia sudah berada di ambang penyesalan saat kelinci salju itu menggantung keluar dengan kedua telinganya yang digenggam dari samping semak. Secara refleks gadis itu menjerit.
Detik kemudian, pemilik tangan tersebut menyusul keluar dengan alis yang menekuk, membuat Rukia semakin berjalan mundur sehingga punggungnya bertemu dengan batang pohon. Itu adalah seorang bocah laki-laki, tangannya yang kurus kerempeng menyodorkan hewan itu pada Rukia seolah-olah menangkap kelinci adalah pekerjaannya sehari-hari. "Maaf membuatmu terkejut," tukasnya ramah sambil mengedikkan bahu. Rukia masih belum sadar dari keterkejutannya. "Kelinci ini yang kau cari, kan?"
Rukia tercenung kemudian dia mengangguk pelan sebagai balasannya. Dia hanya terlalu terpesona dengan rambut milik bocah itu. Dia tampaknya sebaya dengan Rukia, lebih tinggi lima senti darinya. "Ada apa? Kau tidak mau?" tanyanya lagi sambil mengayunkan hewan berkaki empat itu kepadanya. Rukia sedikit berjengit, dengan perkiraan bocah itu akan melempar kelincinya.
Setelah Rukia dengan aman meraih hewan itu, dia memerhatikan manusia di hadapannya ini dengan terlalu serius. Tidak ada gerak-gerik sampai pada akhirnya anak itu menggosok buku jarinya di depan dada lalu menyodorkannya kepada Rukia tidak lupa dengan cengiran lebar. Gadis itu bungkam seolah-olah baru saja dihipnotis. "Karena kurasa ini sudah waktunya, jadi... Hai! Namaku Ichigo. Senang bertemu denganmu."
Ada sesuatu di dalam kata-katanya yang membuat Rukia terpana dan membalas dengan hangat genggaman tangan itu. Padahal Rukia bukanlah tipe orang yang suka berjabat tangan. "Namaku Rukia," balas gadis itu selembut kelopak bunga di telinganya. Dia tampak mencari-cari di wajah anak yang bernama Ichigo, tapi—lagi-lagi—tidak ada yang bisa ditemukannya. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Seolah-olah sudah lama tidak bertemu, Rukia duduk di samping Ichigo di atas batang pohon yang kokoh dan bertanya padanya. "Aku sedang jalan-jalan," sahut bocah oranye itu singkat sambil menatapnya. Rukia membentuk bibirnya menjadi huruf O.
"Sendirian?"
"Ya, eh, bukankah kau juga begitu?" Ichigo bertanya balik untuk memastikan.
Rukia menggeleng. "Ada ibuku juga di sana. Omong-omong," perkataan Rukia terhenti saat matanya melihat pantulan cahaya merah yang ganjil. Ada kalung yang rantainya terbuat dari emas, dipahat sedemikian rupa membentuk cincin-cincin yang saling bergandengan tangan, menggantung di leher Ichigo dan liontinnya batu rubi berbentuk persegi kecil. Saat itu juga, Rukia sudah melupakan kata-katanya yang terpotong. Dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat kepada Ichigo, tanpa menghiraukan kalau anak laki-laki itu terkejut, hanya untuk melihat kalung cantik itu dari dekat.
"Indah sekali," katanya dengan kagum. Rukia selalu tertarik dengan benda-benda yang berpendar saat diterpa matahari. Untuk sejenak, jantung Ichigo berpacu terlalu cepat dari biasanya. "Dari mana kau mendapatkan kalung ini?"
Sesudah anak itu mendapatkan akal sehatnya kembali, Ichigo menggenggam liontinnya sambil memberikan senyum baik-baik saja kepada Rukia. "Ibu memberikan kalung ini kepada ayah sebelum dia meninggal, lalu ayah menyerahkannya kepadaku. Dia bilang, supaya kami tetap merasa dekat satu sama lain."
Tampaknya itu pusaka keluarga karena Ichigo memasukkannya ke belakang kausnya. Seolah-olah Rukia tidak boleh melihat apalagi menyentuhnya. Tapi, mendengar bahwa ibunya sudah meninggal membuat gadis itu merundukkan wajahnya dan mundur kembali. "Oh, maaf." Rukia terlalu canggung untuk berkata-kata sehingga dia berakhir dengan mengusap-usap bulu halus kelinci itu di telapak tangannya. Ichigo pun tampaknya begitu. Tapi dia tidak punya apa-apa untuk menghilangkan kecanggungannya, jadi bocah itu berakhir dengan saling menautkan jari-jarinya.
Udara persahabatan menguap begitu saja di antara mereka, seolah-olah ditiup pergi oleh wajah murung dari Ichigo saat berkata bahwa ibunya sudah meninggal. Ya, ibunya meninggal saat melahirkan Ichigo ke dunia, sehingga bocah malang itu tidak pernah melihat bagaimana rupa ibu biologisnya. Hal terakhir yang diberikannya adalah kalung tersebut, yang sebenarnya tidak hanya memiliki satu kegunaan. "Setelah ini, apa yang ingin kau lakukan?"
Rukia melupakan perasaan bersalah itu di belakangnya, dan mencoba untuk menjawab pertanyaan Ichigo dengan hati seringan mungkin. "Entahlah, kurasa aku harus kembali kepada ibuku dan kemudian kami pulang. Tidak kurasa waktu terlalu cepat berjalan."
"Bukankah masih ada esok hari?"
Rukia menggeleng kecewa. "Aku sudah berjanji untuk pergi ke sini satu hari saja. Sebenarnya dari awal ayah tidak mengizinkanku masuk ke hutan karena ini tempat yang berbahaya—semua hewan buas hidup di sini."
"Nah, sayang sekali untuk membuktikan bahwa ayahmu salah. Tidak semua dari kami berbahaya."
Ichigo hampir membungkam mulutnya sendiri karena salah ucap. Tapi beruntung baginya karena Rukia terlalu kecewa untuk memahami kalimatnya yang ganjil. "Ya, aku rasa ayah hanya terlalu mengkhawatirkanku. Buktinya, aku menemukan kelinci manis ini," kata Rukia sambil tersenyum saat menimang kelinci itu. Matanya yang berwarna merah melihat ke segala arah. "Aku rasa aku harus segera pulang. Ibuku sudah menunggu."
Ichigo menolehkan kepalanya saat melihat Rukia beranjak berdiri, menatapnya dengan bingung. Dia benar. Waktu terlalu cepat berjalan dan barangkali Ichigo tidak akan pernah melihat Rukia lagi. Mereka berada di tempat yang berbeda. "Baiklah, sampai..." Mengatakan sampai nanti mungkin akan terdengar menjanjikan, jadi bocah itu berdeham sambil melanjutkan, "Sampai jumpa, Rukia."
Gadis berkelinci itu bahkan tidak malu-malu untuk memberikan senyumnya. "Bukankah kau seharusnya mengatakan itu setelah kita tiba di desa?"
Ichigo terhenyak, dan dia hanya menggaruk tanah dengan ujung sepatunya. "Rumahku berada di arah sana, jadi kita berlawanan," jelasnya, sebisa mungkin membuat wajah datar dan nada yang resmi.
"Baiklah." Rukia mengangguk. "Kau tidak mau diantar? Hutan di bagian sana lebih gelap dan menyeramkan."
Ichigo menggeleng sambil tersenyum mendengar kepolosan Rukia. "Tidak perlu. Aku baik-baik saja."
Sebelum berjalan menjauh, Rukia melambai singkat pada anak laki-laki yang mematung di tempatnya berdiri. Ichigo membalas dengan senyum kikuk, lalu dia teringat akan sesuatu. "Oh, dan, tolong jangan beritahu siapa-siapa kalau kau bertemu denganku."
Karena tampaknya Rukia sudah melewati batas waktu yang dijanjikan, dia tidak melontarkan pertanyaan apa pun melainkan berlari dari sana dan menghilang dari sudut pandang Ichigo.
Bocah bersurai oranye itu menghela napas. Membiarkan semilir angin berembus dengan nakal di sekitarnya. Setelah memastikan Rukia dan ibunya benar-benar pergi dari sini, dia pun berjalan pulang ke arah yang berlawanan.
To Be Continued
Halo semuanya! Mudah-mudahan gak ada yang keberatan ya saya publish fic baru lagi, huehehe. Di sini sama chapter 2 nanti masih ceritain mereka yang masih kecil, jadi bersabarlah untuk yg menunggu petualangan werewolf—dan jangan lupa IchiRuki-nya, huehehe XD
Ya, seperti biasa, kritik—mungkin alurnya kecepetan atau ada kalimat yg nggak efisien—dan Review-nya ditunggu!
