I Always Be With You
Disclaimer : of course Masashi Kishimoto.
Pair : SasuNaru
Rated : T
Genre : little bit romantic maybe?
Warning : AU. DON'T LIKE, DON'T READ! Shounen Ai, Yaoi, Typo, OOC, dll, dkk, dst.
Author Notes : Fic yang dipublish pertama~ Mumpung ada waktu luang, jadi saya memebuhi janji saya ke seseorang untuk mempublish fic. Saya akan ulang warning di atas ya, biar ga ada reader yang 'nyasar' : DON'T LIKE DON'T READ.
Enjoy It!
#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#
Entah untuk yang keberapa kalinya lelaki emo itu menghela nafas dalam waktu sepuluh menit terakhir. Ia memperhatikan pemuda pirang yang tengah berbaring menatap langit biru yang menaungi keduanya di atap sekolah. Ada yang aneh dengan sikap Dobenya beberapa hari terakhir. Memang sih, dia tetap Dobe seperti biasa, hanya saja.. Sasuke merasa ada yang janggal dengan sikap Naruto. Dia seperti.. menyembunyikan sesuatu.
"Apa ada yang salah denganku, Teme?" tanya Naruto membuyarkan pikiran si bungsu Uchiha.
"Hn"
"Hn-mu itu tidak menjawab pertanyaanku tahu!" sungutnya kesal dengan bibir yang maju dua senti.
"Ya, kau memang aneh"
"Apanya yang aneh? " tanya Naruto lagi, lengkap dengan alis yang ditautkan.
"Entahlah.."
Naruto bangun dan sedikit meregangkan tubuhnya.
"Ayo pergi dari sini, Teme. Sebentar lagi bel masuk berbunyi. Kau tahu kan, Asuma sensei selalu on-time masuk kelas?" ajaknya.
"Hn"
# # #
Dengan sedikit tergesa, pemuda pirang itu pergi meninggalkan rumahnya. Pergi, ya dia merasa harus segera pergi. Kemana? Kemanapun, asalkan tidak berada di rumah. Untuk saat ini, rumah bukanlah tempat yang tepat untuknya. Kakinya terus menapaki jalan sampai akhirnya dia menemukan tempat yang dia pikir cocok; taman.
Tapi ternyata taman juga tidak tepat dimatanya. Melihat anak-anak yang berlarian ditemani dengan kedua orang tua mereka hanya membuat dada sang Namikaze perih dan sesak. Ia pun memutuskan untuk kembali melangkah. Kemana? Ah, dia ingat satu tempat. Tempat yang dulu selalu dikunjunginya bersama kedua orang tuanya. Tempat dimana dia menyatakan perasaannya kepada Temenya. Tempat yang selalu bisa membuatnya nyaman.
.
Sudah hampir sepuluh kali Sasuke berputar mengelilingi kompleks ini. Jogging? Yang benar saja! Sejak kapan seorang Uchiha mau jogging di luar? Dia pasti lebih memilih untuk berlari diatas treadmill yang ada di tempat fitness pribadinya.
"Sial! Dobe, kau dimana sih!"geramnya kesal.
Sore tadi dia mendapat telpon dari Kushina, ibu Naruto. Wanita itu meminta tolong kepada Sasuke untuk ikut mencari putra semata wayangnya yang menghilang sejak pagi tadi.
'Pantas saja Naruto absen di kelas hari ini' Pikir Sasuke.
Dan, sampai malam ini dia belum juga menemukan Dobenya. Handphone Naruto juga tidak bisa dihubungi. Dia sudah mencari di sekeliling kompleks rumahnya, taman, restoran ramen, dan tempat-tempat lain yang biasanya menjadi tempat 'pelarian' Dobenya. Tapi hasilnya nihil. Tidak ada!
Ditengah keputus asaannya, handphone hitamnya berbunyi nyaring. Begitu melihat nama yang terpampang di layar, dia segera menekan tombol 'angkat'.
"Kau dimana, Dobe!" tanyanya kesal.
"Apa sih, 'Suke? Tiba-tiba marah begitu!"
"Kushina-san dan Minato-san kerepotan mencarimu tahu! Kau ada dimana sekarang?"
Klik. Tuuut, tuuut, tuuut..
Sasuke menggertakkan giginya kesal. Digenggamnya handphone tak berdosa itu keras-keras.
"Beraninya kau memutuskan telpon, Dobe~!" teriaknya frustasi.
.
'Apa-apaan sih si Teme itu! Menerima telpon dariku dengan nada mengintrogasi begitu. Huuh!'
Pemuda pirang itu kembali merebahkan diri diatas rerumputan yang lembut. Ini adalah tempatnya, benar-benar tempatnya. Hanya tempat ini yang bisa membuatnya mengesampingkan masalah rumit dibenaknya.
Tempat ini adalah tempat terakhir yang akan menjadi tujuan pencarian kedua orang tuanya. Kenapa demikian? Mereka tak mungkin percaya kalau taman botani milik keluarga Namikaze sering dijadikan tempat pewaris tunggal Namikaze 'menghilang' bukan? Toh sejauh ini kedua orang tuanya tak pernah mengetahui 'tempat persembunyiannya' ini.
"Naruto-sama, ini ramen pesanan Anda" ucap salah seorang pegawai sembari meletakkan nampan dihadapan tuan mudanya.
"Terimakasih!" ucap Naruto sembari mencoba duduk. "Itadakimassu~!" ucapnya gembira.
Dengan lahap dan semangat, Naruto mulai menyuapkan makanan favoritnya itu. Satu cup, dua cup, dia menguyahnya dengan agak –atau memang– semangat. Saat tangannya hendak meraih cup ketiga..
"Setelah kau habiskan ramenmu, kau harus ikut aku pulang"
Naruto menghentikan gerakannya. Hanya ada dua orang yang di hidupnya yang memiliki nada bicara datar dan dingin seperti ini. Tapi hanya ada satu orang yang berani memerintahnya dengan angkuh. Ya, Uchiha Sasuke.
"Aku tidak mau" balas Naruto, kemudian mengambil cup ramen ketiganya.
Uchiha bungsu itu menghela nafas dan duduk disamping si pemuda pirang. Mata onyxnya terus memperhatikan kelakuan Naruto yang asyik 'berduaan' dengan ramennya. Kalau saja ramen itu mahluk hidup, Uchiha satu ini pasti sudah menatap cemburu.
"Kenyaaang~" ucap Naruto sembari menepuk-nepuk perutnya yang kini berisi lima cup ramen instan.
"Sekarang ayo kita pulang, Dobe" ajak Sasuke sembari menatap mata lawan bicaranya.
"Aku tidak mau"
"Kau-harus-pulang-bersamaku-Dobe" Sasuke memberi penekanan berbeda di tiap kata.
"Aku- tidak-mau-Teme" balas Naruto berani.
"Kau sudah membolos hari ini. Tidak mengikuti kelas intensif, membuatku diserang para fansgirl sendirian, meninggalkan posisimu sebagai striker di pertandingan sepak bola, membuat orang tuamu panik, dan kau sukses membuatku khawatir! Apa itu semua belum cukup?" Ok, Sasuke tampaknya sudah kehilangan kesabaran sekarang.
"Aku tidak ingin bertengkar denganmu, Teme" balas Naruto. Ringan-singkat-padat-jelas.
"Dan aku juga tidak berniat bertengkar denganmu, Dobe"
"Kalau kau terus mengajakku pulang, itu sama saja kau mengajakku bertengkar, Teme!"
Sasuke diam. Mata biru itu memberitahukan sesuatu padanya. Ada yang berbeda dengan tatapan dari mata biru yang disukainya. Kenapa disana ada.. kesedihan? Naruto membuang pandangannya, sadar kalau matanya sudah membocorkan sesuatu pada mata onyx dihadapannya.
"Tatap aku, Naruto" ucap Sasuke, tapi hanya dibalas gelengan kepala tegas.
"Naruto" panggil Sasuke lagi.
Yang dipanggil malah makin membuang pandangannya, sampai jemari pucat itu menyentuh dagu milik sang Namikaze, membawa wajah manis itu untuk menghadap kepada sang Uchiha dan mempertemukan pandangan mata mereka.
Langit biru sang siang dan langit hitam sang malam.
"Katakan padaku, ada apa sebenarnya?" tanya Sasuke, kini dengan nada yang lebih lembut.
Naruto diam. Ia terus memperhatikan mata onyx dihadapannya. Mencoba menganalisis apa yang ada di pikiran pemilik mata itu.
"Orang tuaku.." ucap Naruto pelan. "..mereka akan bercerai" lanjutnya lebih pelan dan hampir tidak terdengar.
Setelah mengatakan alasannya menolak pulang, tangan tannya menepis jemari Sasuke. Naruto menatap lurus kedepan tanpa fokus, kosong.
"Tadi pagi mereka bertengkar lagi, dan kaasan meminta tousan untuk menceraikannya. Habis sudah sekarang.." desah Naruto. Dia terdiam sejenak sebelum melanjutkan perkataannnya.
"Kau tahu kan, Sasuke? Setelah perusahaan Namikaze berkembang, mereka mulai 'mengesampingkan' aku. Aku tidak marah, setidaknya aku tahu kalau aku tetap bisa bertemu dan berbincang dengan mereka, walaupun dengan frkuensi waktu yang lebih singkat daripada dulu. Tapi sekarang.. aku akan kehilangan salah satu dari mereka.. Aku.."
Setetes air mata yang meluncur di pipi Naruto memaksanya untuk berhenti bicara. Setelah sosok kedua orang tuanya yang mulai 'mengabur' dari kehidupannya, kini Namikaze muda itu harus menerima kenyataan bahwa kedua orang tuanya itu harus berpisah. Belum cukupkah kesepian yang selama ini menemaninya di rumah? Naruto bahkan sungkan untuk menyebut kediaman Namikaze yang megah itu sebagai 'rumah'.
"Sa- Suke?" panggil Naruto terkejut karena si Uchiha itu tiba-tiba meraih bahunya dan memeluknya.
"Kau masih punya aku, Dobe" bisik Sasuke di telinganya.
Naruto terdiam beberapa saat. Lalu tanpa diperintah, tangan tan itu melingkar di punggang Sasuke dan memelukknya erat. Kepalanya bersandar di bahu tegap Temenya. Setetes, dua tetes, air mata itu mulai berjatuhan dan membasahi pundak Sasuke.
"Aku tahu, aku tak akan bisa menggantikan posisi mereka. Tapi kau masih punya aku sebagai tempat untuk pulang. Kau punya aku, Naruto. Kau punya Uchiha Sasuke"
Kalau saja Naruto berhadapan dengan Sasuke saat ini, dia bisa melihat kalau wajah lawan bicaranya itu dihiasi semburat merah. Lagipula sejak kapan seorang Uchiha bisa berkata 'manis' seperti tadi?
Naruto menggangguk pelan. Ia lalu melepaskan diri dari pelukan Sasuke, menghapus air matanya, kemudian menatap orang tersayangnya.
"Terimakasih, Teme~" ucapnya diiringi senyum lebar.
"Hn" balas Sasuke sembari ikut tersenyum tipis. Lega rasanya melihat Naruto sudah bisa kembali tersenyum seperti itu.
Naruto menatap wajah Sasuke beberapa saat, kemudian mengangkat sebelah alisnya.
"Kau demam ya, Teme? Mukamu merah begitu" tunjuk Naruto kewajah Sasuke yang malah semakin memerah karena pertanyaan Naruto tadi.
# # #
Author Notes : ya ampunn~ Kenapa saya payah kalau di bagian ending sih? (T~T) Ide singkat yang ga sengaja melintas gara-gara pikiran saya yang sedang meracau kemana-mana, hehee..
Mohon kesediaannya untuk me-review~ ^^
