Akashi Seijuuro, sang pemilik heterochrome itu, memang hanya duduk diam di sana. Tapi siapa sangka kediamannya mampu memporak-porandakan skenario yang berusaha Kuroko buat? Kenapa Akashi dengan mudahnya mematahkan hatinya? Menghancurkannya tanpa ampun dan menginjak-injak harapannya? [Akashi S., Kagami T., Kuroko T.] | AkaKuro, KagaKuro inside!

Ours

Akashi Yukina

Akashi S., Kuroko T., Kagami Taiga

The plot and the idea is originally mine, the characters is belong to Kuroko no Basuke by Tadatoshi Fujimaki-Sensei

Please follow the rules: After reading, leave comment please (Do not be Siders) | Do not copy-paste my story. Happy reading

YAOI, BL, GAJE, OOC, DONT LIKE DONT READ!

UAAAA~ Yuki baliiiikkkkk

Maaf ya, karena aku mulai nulis lagi setelah sebulan lebih break (selama itu kah?), ya jujur aja aku masih siapin projek novel, jadi ya sibuk. Apalagi ada UKK dan persiapan-persiapan lainnya /curhat lo/

Yuki balik sama castnya Tadatoshi Fujimaki-sensei yang kiyut-kiyut, ganteng-ganteng ^^ Entah kenapa feelku tentang mereka selalu ada. Dan pastinya, AkaKuro. Tapi aku di sini selingin si Kagami Taiga, supaya cerita cinta mereka itu mengesankan. Dan aku semakin terkesan ketika duo merah: Taiga sama Seijuuro jadi adik kakak. Wuaaah~ aku nistain si musuh bebuyutan ini /Yuki: Sei, akur sama Taiga, ya? | Sei: Siapa elo nyuruh-nyuruh gue? *gunting/

Anyway readers, thanks udah baca cecuapan author dimari. Mungkin Yuki mau bikin songfict, tapi enggak tahu masuk kategori songfict apa kaga, jadi aku tulis judulnya beda /kamu ngomong apa, nak?/

Happy Reading ^^~ dan salam gunting ^^~

.

.

.

OURS!

Hari ini adalah miliknya, setidaknya semua orang berpikir seperi itu.

Pada sebuah pernikahan janji mereka dikuatkan, dan jiwa mereka disatukan. Bukankah itu arti sebuah pernikahan? Tapi sepertinya tidak.

Dan, mungkin tidak akan pernah.

Karena ia tak pernah memiliki janji seperti itu.

Lagu Marry U berputar bersamaan dengan dibukanya pintu kayu berwarna cokelat–yang dipernis indah dengan rangkaian bunga. Menyerukan suara-suara emas, penuh ke seluruh sudut ruangan. Ruangan itu di cat warna putih, dihiasi dengan gorden menarik warna biru muda. Di sudut-sudut ruangan juga sudah dipenuhi dengan bunga-bunga berwarna lembut: soft pink, white, yellow, dan terkadang biru muda dan violet pudar.

Walaupun dimata pemuda itu tak ada menariknya sama sekali.

Hari ini adalah hari pernikahannya. Dia memasuki ruangan itu dengan Tuxedo yang berwarna putih, bertaburan permata dan manik-manik mutiara. Bergandengan dengan tangan seorang pria calon suaminya yang juga memakai tuxedo bermarna hitam dengan bunga mawar merah di dada kiri.

Setiap langkah menuju tempat itu, maka langkah itu sudah menjeratnya. Semakin mengurungnya pada kenyataan... yang justru menyakiti hatinya, memberatkan nafasnya, membunuh kebahagiaannya.

Dia tidak bisa melihat masa depan seperti yang ia mau. Ia tidak bisa membebaskan hatinya yang kini terpasung. Lagu marry u itu indah, ia selalu berpikir seperti itu. Tapi untuk hari ini saja, tiba-tiba ia sangat membencinya.

Pada pernikahan itu, pada hal yang seharusnya menjadi haknya.

Pemuda itu, Kuroko Tetsuya, menatap satu-persatu undangannya. Kedua calon mertuanya yang tersenyum lebar, kedua orang tuanya menatapnya penuh kebanggaan, teman-temannya, keluarga besarnya, dan orang-orang yang belum sempat di kenalnya. Matanya lalu beralih ke arah laki-laki berkulit porselen dan berambut merah scarlet, seseorang yang berdiri di tempat duduk terdepan dan sejak tadi tak melepaskan tatapan itu. Kedua tangannya bersikap di depan dada. Pandangan matanya tajam, dengan sebuah senyum paksaan. Gaya khas yang absolute, namun kali ini tampak berbeda. Setiap menatap kedua mata heterochrome yang juga menatap baby blue-nya, Kuroko merasakan sesuatu menggores dadanya.

Sakit...

Dadanya berdebar keras dan tangannya berkeringat dingin. Wajahnya tiba-tiba memucat. Nyalinya menciut. Ia mulai lupa sejak kapan ia menghilangkan kepercayaan dirinya. Semudah itu...

"Kagami-kun, apakah kau bersedia menjadi suami Kuroko-kun? Menemaninya dikala suka dan duka, menjadi pemimpin dalam rumah tangganya, dan akan setia padanya?" pendeta mulai mengangkat sumpah kepada sang calon suami. Menaikkan injil di atas kepala merah tua-nya.

Sambil menggenggam tangan Kuroko-kun, Kagami–calon suaminya tersenyum lembut. Sangat tampan. "Ya. Aku bersedia."

Pendeta itu melanjutkan. "Dan kau, Kuroko-kun, apakah kau bersedia menjadi istri(suami) Kagami-kun? Bersamanya dikala suka dan duka, berbakti padanya, dan memberikan seluruh cintamu padanya?"

Tangan Kuroko mulai gemetar, Kagami bisa merasakannya. Jangan merusak momen indah ini seperti apa yang kau lakukan karena kegugupanmu, pikir Kagami.

Dia tau, sejak tadi pemuda itu tak mampu menengadahkan wajahnya, menatap Kagami, menatap sang pendeta, maupun menatap siapapun yang ada di sana. Pandangannya justru tertuju pada sepatu pantofel yang khusus dipesan Kaa-san-nya untuk hari ini. Entah mengapa, menurutnya sepatu kulit berwarna cokelat itu lebih menarik perhatiannya sekarang. Walaupun lebih tepatnya, bukan hal itu yang terjadi. Ia hanya takut menerima tatapan-tatapan itu. Ia bahkan berjuang sendirian untuk menghilangkannya dari pikiran–dan mungkin di sudut-sudut hatinya. Ada yang salah dengan perasaannya.

Perasaannya yang...

...kalut.

Ini berbahaya sekali.

"Kuroko-kun...?" Pendeta itu menunggu jawabannya. Kagami mulai gelisah dan menggenggam tangan Kuroko-kun lebih erat. Berusaha memberikan kekuatan. "Kuroko-kun... Apakah kau-?"

Sebuah air mata berhasil lolos dari pertahanannya. Yeah, Kuroko ingin menyerah sekarang. "Maaf..." katanya lirih.

Kagami menatapnya. Menunggunya. Menggenggam tangan yang sejak tadi tidak berhenti berkeringat dingin dan bergetar. Ingin menyalurkan ketenangannya kepada Kuroko yang mulai bergerak gelisah.

"Maafkan aku..."

Sepasang baby-blue itu berlarian ke seluruh ruangan, menatap semua orang yang hadir di sana dengan cemas. Dan pertahanannya runtuh seketika, ketika dirinya menangkap manik heterochrome yang hanya tertuju padanya. Akashi Seijuuro, sang pemilik heterochrome itu, memang hanya duduk diam di sana. Tapi siapa sangka kediamannya mampu memporak-porandakan skenario yang berusaha Kuroko buat? Kenapa Akashi dengan mudahnya mematahkan hatinya? Menghancurkannya tanpa ampun dan menginjak-injak harapannya?

Kuroko melepaskan tangan Kagami lalu menatap pemuda dihadapannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Maafkan aku..." ujarnya. Kuroko beralih menatap sang pendeta yang terlihat bingung. "I can't."

Pemuda itu sempat menatap perubahan ekspresi Akashi yang juga terkejut karena pernyataannya. Yang nyatanya justru membuat perasaannya sedikit lega, entah untuk yang mana. Kuroko berlari keluar dari gereja. Tidak mempedulikan puluhan pasang mata yang menanyakan kepergiannya.

"I'm sorry... I can't."

.

.

.

TBC or END?

Nah lo, malah ngepost FF chaptered, padahal masih Ramadhan! Biarin aja, Yuki lagi kesel sama hasil UKK kemarin. Meskipun hasilnya baik, tapi beberapa hal membuat Yuki pengen protes. :D Maaf ya AkaKuro-nya dijadiin pelampiasan...

Last, review please? *puppy eyes*

-Yuki