From Dark to Light
Disclaimer: Naruto hanya milik Masashi Kishimoto. Saya hanya meminjam karakternya saja
Warning: gaje, abal2, type, bad language, judul tidak sesuai dgn ceritanya, OOC, pokoknya banyak kekurangannyalah.
Main Character: Yodo, Shinki, Araya
Rate: M
Happy Reading:)
Aku menatap layar smartphone-ku dengan tatapan malas. Aku langsung melemparkan smartphone milikku ke tembok hingga hancur dan tak bisa diperbaiki lagi. Kuteguk birku lalu kuhisap rokokku.
"Sayang, maafkan mama ya. Hari ini mama tidak bisa pulang ke Jepang karena ada urusan mendadak dengan klien mama."
Tiap minggu ibuku selalu mengirimkanku sms dengan kalimat seperti itu yang membuatku muak dan telah membenci ibuku. Sudah tiga tahun ibuku tidak pulang ke Jepang dengan alasan yang klasik. Tapi ibuku selalu mengirimkanku seperti itu. Aku curiga, apa jangan-jangan ibuku memiliki suami dan anak di sana sehingga dia menelantarkanku? Kuharap itu tidak akan terjadi meskipun firasatku mengatakan itu benar.
Meskipun ibuku tidak pulang selama tiga tahun, tapi ibuku selalu mengirimkanku uang tiap minggunya dengan nominal lebih dari 100.000 yen. Uang yang sangat banyak, bukan? Tapi aku tidak ingin uang! Aku hanya ingin ibuku pulang dan menyayangiku seperti dulu. Kubuat apa uangnya? Sudah pasti uangnya untuk biaya hidupku, beli bir dan rokok, dan bersenang-senang dengan temanku. Entah di klub malam, mal, pantai, ataupun tempat hiburan lainnya.
Aku menatap tumpukan kaleng bir dan rokok di atas mejaku. Sudah tiga bulan ini barang-barang itu menemani hari-hariku yang begitu kelam ini. Kau tahu? Sejak aku lahir hingga lulus SMA, aku bukanlah gadis yang seperti sekarang ini. Dulu aku adalah gadis manis yang sangat polos dan selalu taat kepada kedua orang tuaku. Kedua orang tuaku bercerai ketika aku kelas tiga SMP sehingga aku tinggal bersama ibuku di Tokyo. Sementara ayahku telah tinggal di Osaka bersama keluarga barunya.
Semenjak mereka bercerai, ibuku lebih sering di New York untuk mengurus bisnisnya disana yang membuat dia sama sekali tidak pulang sampai sekarang. Aku mulai menjadi anak yang nakal ketika memasuki kuliah di semester dua. Atau lebih tepatnya bertemu dengan pemuda bertopeng dan berambut coklat yang dikuncir kuda yang saat ini menjadi sahabat terbaikku, Araya. Dia satu universitas denganku meskipun kami berbeda jurusan. Dia berada di jurusan teknik arsitektur sementara aku di jurusan bisnis manajemen. Sampai sekarang aku tidak pernah melihat wajah aslinya karena dia tidak mau menunjukkannya kepadaku. Meskipun begitu, aku tidak masalah dia selalu memakai topeng. Asalkan aku nyaman dengannya.
Araya bernasib sama denganku. Sama-sama ditelantarkan oleh orang tua kami. Bedanya dia mulai nakal dan mengenal hal-hal yang berbau dunia gemerlap ketika dia berusia 15 tahun. Dia sama sekali tidak memperkenalkan dunianya kepadaku. Justru aku malah tertarik dengan dunianya sehingga aku seperti sekarang ini. Tapi dia tidak melarangku untuk mengikuti jejaknya. Benar-benar sahabat yang pengertian.
Tiba-tiba, aku mendengar ada seseorang yang mengetuk pintu kamarku. Aku menghelakan nafasku karena kesal kesenanganku diganggu oleh pembantuku yang selama ini menemaniku. Namanya Uzumaki Hinata. Biasanya aku memanggilnya dengan sebutan Hinata-san. Dia adalah wanita yang sangat baik dan lembut. Dia selalu perhatian denganku. Bahkan jauh lebih perhatian dibandingkan ibu kandungku sendiri. Aku sangat nyaman sekali berada di dekatnya meskipun aku selalu memarahinya.
"Masuk," teriakku kesal.
Aku mengerutkan dahiku karena yang membukakan pintunya adalah seorang gadis cantik dan manis berambut indigo panjang yang bergelombang. Dia juga memiliki tanda dua kumis di kedua pipinya. Wajah gadis itu tampak mirip dengan dengan suaminya Hinata-san. Apakah dia adalah anaknya?
"Selamat malam, Yodo-sama," ucap gadis itu dengan senyum mengembang di wajahnya. Dia tampak tak nyaman dengan bau alkohol di kamarku ini.
"Kamu siapa?" tanyaku.
"Nama saya Himawari. Mulai dari sekarang saya akan menjadi pembantu anda," jawab Himawari masih mempertahankan senyumannya.
"Kamu pasti putrinya Hinata-san ya?" tanyaku.
"Iya," jawab Himawari.
"Kamu tidak sekolah?" tanyaku.
"Sekolah."
"Kelas berapa?"
"Kelas dua SMA."
"Baiklah," ucapku lalu aku mengusap wajahku. "Ada apa kau kemari?" tanyaku ketus.
"Sudah saatnya anda makan malam. Ibu saya sudah menyiapkan makanan untuk anda," jawab Himawari.
Aku memutar bola mataku karena kesal melihat gadis itu masih mempertahankan senyumannya. Aku tak habis pikir mengapa dia begitu menikmati kehidupannya. Padahal kedua orang tuanya kurang mampu. Ayahnya bekerja sebagai buruh pabrik sementara ibunya bekerja sebagai pembantu. Ditambah lagi dia membantu ibunya disaat dia masih berstatus sebagai pelajar SMA
"Iya. Aku akan turun. Pergilah dari sini," jawabku ketus.
"Baik," ucap Himawari lalu keluar dari ruangan ini dan menutup pintu kamarku.
Aku beranjak dari ranjangku. Tiba-tiba, smartphone-ku yang satunya berbunyi tanda ada telepon. Aku mengambil smartphone-ku dan menatap layarnya yang bertuliskan Araya. Aku segera mengangkat teleponnya lalu berkata, "Moshi-moshi."
"Yodo-chan, apakah hari ini kau sibuk?" tanya Araya.
"Tidak. Apakah ada konser?" jawabku lalu aku bertanya.
"Tidak sih. Tapi aku ingin mengajakmu ke klub malam. Aku sangat bosan sekali di kos-kosan," jawab Araya.
"Hmm baiklah. Aku akan kesana. Tunggu aku ya," aku langsung memutuskan kontakku dengannya.
Aku langsung mengganti pakaianku lalu memakai make-up yang sedikit tebal. Setelah itu, aku mengambil tasku lalu berlari keluar dari kamarku.
"Yodo-sama, anda mau kemana?" tanya Hinata-san.
"Bukan urusanmu," jawabku ketus sembari berlari.
"Tapi...anda belum makan," kata Hinata-san.
"Aku akan makan diluar. Kalian makan saja makanan itu," jawabku lalu membukakan pintunya.
Author's POV
Hinata mengelus dadanya karena melihat anak majikannya yang semakin lama menjadi gadis nakal yang suka keluar malam. Wanita ini memaklumi kalau Yodo menjadi anak seperti itu karena majikannya tidak kunjung pulang selama tiga tahun. Tapi Hinata sangat tidak suka sekali melihat kelakuan Yodo seperti itu. Ingin rasanya ia menyadarkan Yodo menjadi anak yang baik seperti dulu. Tapi ia takut Yodo marah dengannya lalu memecatnya. Hinata berusaha untuk tidak dipecat dari pekerjaannya ini demi biaya sekolah anaknya karena hanya mengandalkan gaji suaminya saja tidak cukup.
"Kaa-chan, apakah Yodo-sama memang seperti itu?" tanya Himawari.
"Tidak. Dulu dia adalah anak yang baik dan tidak suka melakukan hal yang buruk seperti sekarang ini," jawab Hinata.
"Kalau boleh tahu, sejak kapan Yodo-sama bisa menjadi gadis nakal seperti itu?" tanya Himawari.
"Sejak tiga bulan yang lalu atau lebih tepatnya memasuki kuliah semester dua," jawab Hinata.
"Berarti dia seumuran dong sama nii-chan?" tanya Himawari.
"Iya. Satu universitas lagi. Tapi mereka beda fakultas dan jurusan. Nii-chan di jurusan komunikasi sementara Yodo-sama di bisnis manajemen," jawab Hinata. Himawari menganggukan kepalanya tanda mengerti.
"Ayo sekarang kita makan," perintah Hinata lalu duduk di kursi dengan diikuti oleh putrinya.
"Baik, kaa-chan," ucap Himawari lalu memulai mengambil nasi.
Yodo's POV
Dentuman keras dari alunan musik yang diolah oleh disc jockey ini membuat para pengunjung di klub malam ini berjoget ria sembari melompat-lompat. Aku berusaha menembus lautan manusia yang sedang berjoget ria ini untuk mencari sahabatku. Aku menoleh kesana kemari dengan raut wajah yang kesal karena aku sama sekali tidak menemukan Araya. Padahal ingin cepat-cepat berjoget ria dengannya sembari meminum alkohol supaya kesedihanku karena ibuku yang tak kunjung pulang cepat hilang.
"Lama sekali kau," aku menoleh ke belakang lalu sedikit terkejut karena melihat Araya berada di belakangku.
"Kemana saja kau ini?" tanyaku cemberut.
"Jangan cemberut dong" Araya langsung mencubit bibirku yang sedang cemberut.
"Ittai! Sakit tahu!" ucapku dengan mata yang melotot.
"Maaf hehehe," ucap Araya dengan menggaruk kepalanya. "Ayo kota kesana," Araya langsung menggandeng tanganke menuju ke sofa. Setelah itu, kami langsung duduk di sofa lalu kami bersulang dan meminum alkohol.
"Ayo joget bareng," ajakku dengan wajah sumringah.
"Enggak ah aku lagi malas," kata Araya.
"Ah kamu ini ga asyik," aku langsung mendorong kepalanya dan juga memukul lengannya.
"Kenapa kamu ga joget sendiri saja? Siapa tahu kamu dapat teman baru," kata Araya.
"Ya tidak enaklah joget sama orang lain," kataku lalu menoleh ke kanan.
Tanpa sengaja, aku melihat sepasang kekasih yang sedang berciuman sembari si wanita itu meraba alat kelamin kekasihnya. Sementara si pria itu meraba punggung wanitanya. Ciuman dari pria itu pun turun ke leher wanitanya dan meraba dada wanitanya hingga aku mendengar suara desahan dari wanita itu.
"Sayang, yuk kita ke hotel," ajak pria berambut oranye itu. Wanita berambut ungu pendek itu hanya tersenyum saja. Setelah itu, mereka bedua langsung menuju ke hotel dan pastinya untuk melakukan hubungan seks.
Aku langsung meremas lengan Araya karena terangsang dengan adegan bercinta yang mereka lakukan. Bagaimanakah rasanya berhubungan seks? Aku ingin sekali melakukan itu. Siapa tahu berhubungan seks mampu menghilangkan kesedihanku dalam waktu sekejap. Jujur saja, meminum alkohol dan merokok saja tidaklah cukup.
"Hmm Araya-kun," panggilku.
"Hn."
"Apakah kau pernah berhubungan seks?" tanyaku hingga Araya menyemburkan minumannya.
"Jangan bilang kalau kamu ingin menjadi PSK?" aku langsung tertawa ngakak. Aku beranjak dari sofa lalu menggandeng tangan Araya keluar dari tempat ini. Kami terus berjalan sampai berada di taman. Setelah itu, kami duduk di kursi panjang.
"Kenapa kau membawaku kesini?" tanya Araya.
"Biar enak saja ngobrolnya. Kalau disana kamu tidak bakalan mengerti," jawabku.
"Oh ya kamu belum menjawab pertanyaanku," kata Araya yang membuatku kembali tertawa.
"Mana mungkin orang sepertiku menjadi seorang PSK. Aku masih punya harga diri tahu meskipun jiwaku ini sudah mati," kataku lalu menundukkan kepalaku.
"Maksudmu...kau ingin membayar orang gitu?" tanya Araya.
"Iya. Aku ingin mencari pria yang tampan, masih muda minimal seumurankulah, bertubuh tinggi, berotot, dan pastinya tidak berpenyakit kelamin dan masih perjaka," kataku yang membuat Araya melongo.
"Ya ampun permintaanmu itu terlalu sempurna. Asal kau tahu saja pemuda perjaka di negara ini sangatlah langka," kata Araya.
"Ya sudah pokoknya pria yang ingin kusetubuhi haruslah sesuai dengan kriteriaku meskipun sudah tidak perjaka," kataku dengan menyilangkan kedua lenganku.
"Okelah terserah kamu asalkan kamu cari sendiri pria yang kamu inginkan itu," kata Araya.
"Kok aku sih?" tanyaku kesal.
"Masa' aku?" tanya Araya.
"Ya iyalah. Asal kau tahu saja teman satu jurusanku itu semua prianya tidak ada yang sesuai dengan kriteriaku. Barangkali di jurusanmu ada," kataku.
"Baiklah," ucap Araya dengan nada malas.
"Arrggh terima kasih, Araya-kun," aku memeluk tubuhnya dengan erat. "Tapi kalau aku ajak kamu berhubungan seks, apakah kamu mau?" tanyaku dengan nada sensual.
"Ti-tidak! A-aku belum siap kehilangan keperjakaanku," kata Araya. Aku merasakan tubuhnya bergetar.
"Ya ampun walaupun kau ini nakal ternyata kau ini masih ada sucinya ya?" aku langsung melepaskan pelukanku.
"Walaupun aku ini nakal, tapi aku sangat tidak nyaman sekali tidak perjaka. Apalagi memakai narkoba," kata Araya.
"Apaan sih kamu?!" aku menjitak kepalanya yang membuat ia meringis kesakitan. Setelah itu aku langsung berlari supaya supaya tidak diserang olehnya.
"Hei mau kemana kau?!" kurasakan hentakan kaki Araya yang tampak berlari yang membuatku semakin memperkencang lariku.
Tanpa sadar, aku bertabrakan dengan seorang pemuda bertubuh tinggi tegap yang membuatku tersungkur. Aku langsung meringis kesakitan sembari mengelus pantatku.
"Apakah kau baik-baik saja?" pemuda berambut pirang pendek yang tampak seperti pisang itu mengulurkan tangannya kepadaku.
Aku menatap wajahnya dengan seksama. Wajahnya, tanda kumis dua di kedua pipinya, matanya yang bermanik biru safir, terlihat mirip dengan Himawari yang merupakan anak dari pembantuku. Dia tampak seumuran denganku. Apakah dia adalah saudaranya Himawari? Aku langsung meraih tangannya dan dia membantuku berdiri.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya pemuda itu.
"Apakah kau adalah putranya Hinata-san?" tanyaku secara spontan.
"Bagaimana kau tahu? Apakah kau adalah majikannya ibuku?" tanyanya.
"Iya," jawabku ketus. "Untung saja kamu adalah anaknya pembantuku. Coba kalau bukan, sudah kuhajar kamu. Oh ya terima kasih bantuannya," aku langsung berjalan begitu saja dengan menyenggol bahunya.
Aku menoleh ke belakang. Dia tampak tidak suka denganku. Itu terbukti ketika dia tampak menatapku dengan tatapan sinis lalu berjalan dengan angkuhnya. Dasar anak pembantu yang tidak tahu diri!
"Kau ingin berhubungan seks dengannya?" tiba-tiba Araya sudah berada di sampingku.
"Dia anak pembantuku. Aku sangat tidak tega sekali dengan Hinata-san. Meskipun aku bersikap ketus kepadanya, tetapi aku sangat berterima kasih kepadanya karena telah menjagaku selama ini layaknya ibu kandungku," jawabku.
"Ternyata kau ini lembut juga ya," kata Araya.
"Ah enggak tuh. Biasa saja," kataku dengan gaya angkuh.
Author's POV
Araya melangkahkan kakinya sedikit gontai memasuki kawasan kos-kosannya yang berinterior tradisional Jepang yang sangat kental. Pemuda bertopeng ini berusaha tidak menginjakkan rumput di halaman kos-kosannya. Apabila menginjaknya, sudah pasti ia akan terkena 'semprot' oleh ibu kosnya. Tidak hanya itu saja, harga sewanya pun juga ikut dinaikkan.
"Kau pasti dugem lagi," Araya menoleh kepada pemuda berambut coklat kehitaman pendek yang tak lain adalah teman sekamarnya.
"Kenapa kau belum tidur?" tanya Araya.
"Aku habis kerja," jawab pemuda bermanik hijau ini lalu memasuki kamarnya dengan diikuti oleh Araya.
"Kerja jadi apa?" tanya Araya lalu membaringkan tubuhnya di atas futon.
"Jadi sopir truk pengangkut besi. Gajinya lumayan loh buat biaya kuliah," jawab pemuda ini lalu mengganti pakaiannya -yang semula mengenakan hem lengan pendek berwarna coklat dan memakai celana panjang berwarna hitam- menjadi kaos oblong berwarna hitam polos serta memakai celana pendek selutut berwarna hijau tua.
"Kau ini selalu saja menyusahkan diri sendiri, Shinki," ucap Araya lalu melepaskan topengnya.
"Aku bukanlah orang kaya sepertimu. Jujur saja, aku sangat iri sekali denganmu. Tapi sayang, kau malah menghamburkan uangmu dengan cara seperti itu," pemuda yang bernama Shinki ini langsung merebahkan tubuhnya di atas futonnya.
"Shinki."
"Hn?"
"Bagaimana kabar ayah angkatmu? Kau sempat bercerita kalau ayah angkatmu itu terdapat lubang di jantungnya sejak masih kecil," tanya Araya tanpa menatap Shinki.
"Puji Tuhan. Kondisinya semakin membaik," jawab Shinki tersenyum tipis.
"Syukurlah," ucap Araya tersenyum lalu menatap Shinki. "Jika kau butuh uang, janganlah sungkan untuk minta kepadaku," kata Araya.
"Aku tidak akan minta kepadamu. Aku masih mampu untuk mencari uang. Tenang saja. Omong-omong terima kasih atas tawarannya," ucap Shinki menatap Araya. Pemuda itu hanya menganggukan kepalanya saja.
Yodo's POV
Hari ini aku bolos mengikuti kuliah. Tetapi aku tetap datang ke kampus -atau lebih tepatnya ke kampus Araya- untuk mencari 'mangsaku'. Aku bersiul dengan suara yang pelan karena di kampus ini ternyata banyak cowok tampan yang sesuai dengan tipeku. Mereka begitu menggiurkan. Dan pasti mereka mampu membuatku tak bisa melupakan surga kenikmatan itu kelak. Aku sampai bingung memilih salah satu diantara mereka untuk memuaskan nafsu birahiku.
Agar aku bisa menemukan cowok yang pas untukku, aku memberanikan diri untuk mengelilingi kampus ini. Untuk saat ini, aku tidak ingin bertemu dengan Araya agar rencanaku berjalan dengan lancar. Walaupun Araya banyak membantuku, tapi terkadang dia juga sering menggangguku disaat aku sedang menggoda para cowok ganteng.
"Kau pasti sedang mencari Araya?" aku langsung tersentak ketika cowok bermanik hijau itu berada di depanku.
Aku langsung memasang wajah angkuhku lalu bertanya, "Emang apa urusannya denganmu? Dan bagaimana kamu tahu kalau aku ini temannya Araya-kun?"
"Aku sering melihatmu bersama dengan Araya. Ditambah lagi dia adalah teman satu kosku. Jadi wajar 'kan aku bertanya seperti itu? Lagipula kau bukanlah mahasiswi fakultas ini," aku mendesis kesal karena cowok itu terlalu menyebalkan buatku meskipun dia itu salah satu dari tipeku.
"Oke oke sudah cukup ngomongnya. Sekarang menyingkirlah dari hadapanku. Untuk saat ini aku tidak ingin bertemu dengan Araya-kun," cowok berambut coklat kehitaman pendek itu langsung menyingkir dari hadapanku. Setelah itu, aku kembali melangkahkan kakiku tanpa memperhatikan cowok aneh itu.
"Kenapa kau tidak ingin bertemu denganku? Bukanlah kau yang menyuruhku untuk mencarikan pemuas nafsumu?" aku langsung tersentak karena mendengar bisikan Araya yang tept di telingaku.
"Araya-kun, kau ini selalu saja bikin kaget," kataku lalu memukul lengannya.
"Kau tahu, aku sudah memiliki mangsa untukmu," kata Araya hingga aku membelalakkan mataku.
"Benarkah? Bagaimana orangnya? Apakah dia sesuai dengan tipeku?" tanyaku sumringah.
"Itu orangnya," aku langsung terkejut setelah Araya menunjuk kepada cowok menyebalkan yang sempat berbicara denganku.
"Namanya Shinki. Dia berasal dari keluarga yang pas-pasan. Ayah angkatnya sedang sakit parah. Mau tak mau dia harus bekerja sambilan untuk biaya pengobatan ayah angkatnya. Dia sesuai dengan kriteriamu," jelas Araya.
"Hmm tawaran yang menarik. Tapi maaf, aku sama sekali tidak tertarik dengannya. Dia itu cowok yang menyebalkan," kataku.
"Tapi sebenarnya dia adalah anak yang baik. Kumohon, terimalah dia. Aku sangat tidak tega sekali melihat dia hidup susah. Dia selalu menolak bantuanku," kata Araya memohon kepadaku.
"Hn dasar cowok miskin yang belagu," kataku. "Baiklah. Tapi kamu sudah menawarkannya kepadanya?"
"Belum. Aku menunggu yang sangat tepat untuk menawarkan itu kepadanya," jawab Araya.
"Baiklah. Aku tunggu sampai dia mau," aku langsung tersenyum kepada Araya.
"Ya sudah kalau begitu aku kuliah dulu ya?" pamit Araya.
"Kita bolos saja yuk," ajakku.
"Hmm ayo. Lagipula aku lagi malas sama dosenku hari ini," kata Araya.
Aku langsung melingkarkan lenganku ke lengan Araya. Setelah itu, kami langsung berjalan meninggalkan area kampus ini.
"Araya, mau kemana kau?" aku dan Araya menoleh kepada si pemilik suara tersebut. Aku langsung memutar bola mataku karena aku bertemu dengan cowok menyebalkan itu lagi. Eh, atau lebih tepatnya alat pemuas nafsuku kelak.
"Shinki, tolong bilang kepada Yamato-sensei kalau hari ini aku sedang tidak enak badan," kata Araya.
"Kau sudah tiga kali mangkir di mata kuliahnya Yamato-sensei. Bukankah mangkir lebih tiga kali dianggap tidak lulus mengikuti mata kuliah?" Kata Shinki.
Araya mendengus kesal sembari mengusap topengnya. "Yodo-chan, maafkan aku. Aku tidak bisa tidak lulus mata kuliah Yamato-sensei. Beliau sangat pelit sekali memberikan nilai. Tapi aku janji setelah kuliah, aku akan mengajakmu nonton film," kata Araya kepadaku.
Dengan terpaksa aku menganggukan kepalaku. Aku langsung pergi tanpa berpamitan kepada keduanya. Tak peduli Araya terus memanggil namaku. Daripada aku kayak orang gila di jalanan lebih baik aku hadir kuliah saja deh walaupun aku harus telat dan absenku tidak diakui oleh dosenku.
Author's POV
"Kenapa sih kamu mau berteman dengan cewek seperti itu?" tanya Shinki hingga Araya menatapnya.
"Dia tempremental. Tapi sebenarnya dia adalah cewek yang baik dan lembut. Itulah sebabnya aku mau berteman dengannya," jelas Araya.
"Apakah dia mahasiswi universitas ini?" tanya Shinki.
"Iya. Dia satu angkatan dengan kita dan dia di jurusan bisnis manajemen," jawab Araya.
"Hmm dia pintar juga ya. Aku masuk jurusan itu saja tidak diterima," kata Shinki memuji temannya Araya. "Ayo kita masuk. Kita sudah mau telat nih," ajak Shinki lalu ia berjalan duluan dan diikuti oleh Araya.
"Shinki," panggil Araya.
"Hn?"
"Kau tampak bersedih. Apa yang terjadi denganmu?" tanya Araya.
Shinki terdiam sejenak lalu menghelakan nafasnya sebelum menjawab pertanyaan dari teman satu kamarnya ini.
"Tidak apa-apa," jawab Shinki.
"Walaupun kita sudah bersama sejak pertama kita kuliah, tapi aku sudah hafal kamu. Ayolah berceritalah kepadaku," desak Araya yang membuat Shinki mendengus kesal.
"Kau ini pemaksa banget ya?" Shinki langsung mempercepat jalannya yang menbuat Araya memberhentikan langkah kakinya dan melongo dibalik topengnya.
"Ada apa sih dengan semua temanku ini? Tadi Yodo-chan seperti itu. Sekarang Shinki. Hmm ternyata PMS itu sungguh menyeramkan," ucap Araya memegang pinggangnya.
Yodo's POV
Waktu kuliah telah selesai. Aku segera keluar dari kelas ini karena gerah dengan panasnya suasana kuliah meskipun ruangannya ber-AC. Ditambah lagi aku juga tidak betah berdekatan dengan teman-teman sekelasku yang rata-rata aneh dan sok kepintaran itu. Jujur saja, aku sangat menyesal sekali kuliah di jurusan ini. Aku tak habis pikir mengapa waktu itu aku menuruti keinginan ibuku. Seharusnya aku menolak permintaan ibuku yang selama ini tidak memperhatikanku. Mungkin karena dulunya aku polos sehingga aku menuruti keinginannya.
Bicara soal kegemaran, aku sangat suka sekali dengan musik. Sejak dulu aku ingin sekali kuliah di jurusan seni musik dan menjadi musisi terkenal. Tetapi ibuku sangat tidak suka sekali aku kuliah di jurusan itu dengan alasan tidak ada jaminan masa depannya. Kata ibuku, menjadi seorang musisi itu merupakan profesi yang tidak jelas arahnya. Kita akan mendapatkan uang banyak apabila menjadi musisi terkenal. Jika sudah tidak laku lagi, kita pasti akan kesusahan mencari uang banyak. Kalau dipikir-pikir sih, benar juga yang dikatakan oleh ibuku. Maka dari itu aku kuliah di jurusan pilihan ibuku supaya masa depanku terjamin. Lagipula menjadi musisi terkenal itu tidak harus dari jurusan musik 'kan?
Ketika aku keluar dari area kampusku, aku langsung membelalakkan mataku karena melihat kakaknya Himawari berada tepat di depanku. Aku langsung memasang wajah judes kepadanya.
"Ngapain kau kesini?" tanyaku ketus.
"Nama saya Uzumaki Boruto, anaknya pembantu anda. Saya disuruh oleh Konohamaru-san untuk menjemput anda. Hari ini dia pulang ke kampung halamannya karena ibunya sedang jatuh sakit," ucap Boruto.
Aku menghelakan nafasku karena kesal dengan Konohamaru-san. Seharusnya dia menghubungiku terlebih dahulu. Bukan memutuskan sendiri untuk menyuruh orang asing seperti Boruto untuk menjemputku.
"Naik mobil 'kan?" tanyaku.
"Hmm mohon maaf Yodo-sama. Mobil anda sedang diperbaiki di bengkel. Maka dari itu saya memakai sepeda untuk menjemput anda," jawab Boruto yang membuatku naik darah.
"Apa? Sepeda? Yang benar saja. Asal kau tahu saja ya seumur hidupku aku sangat anti sekali bersepeda. Aku tidak mau tahu pokoknya aku harus naik mobil!" bentakku.
Bukannya takut justru Boruto berkata seperti ini, "bersepeda itu menyehatkan dan menyenangkan lo. Anda pasti senang, Yodo-sama."
"Ih apa-apaan sih kamu ini? Pokoknya tidak mau ya tidak mau!" aku masih saja membentaknya.
"Ayo coba saja," aku menoleh si pemilik suara yang tak lain adalah Araya.
"Ngapain kamu kesini? Terus kamu ngapain naik sepeda? Oh ya di mana temanmu itu?" tanyaku kesal.
"Mobilku sedang mogok. Maka dari itu aku naik sepeda. Ternyata bersepeda itu menyenangkan lo. Shinki sedang berangkat kerja," kata Araya yang membuatku geram.
"Pergi sana!" bentakku kepadanya.
"Loh, aku 'kan mengajakmu ke bioskop," kata Araya.
"Aku lagi malas sama kamu!" Kataku ketus.
"Kok gitu sih?" tanya Araya.
Aku tak menggubris pertanyaannya. Lalu aku langsung berjalan meninggalkan Araya.
"Yodo-sama...tunggu," kudengar Boruto memanggilku hingga aku menoleh kepadanya lalu bertanya, "Di mana sepedamu?" tanyaku.
"Jadi...anda mau kugonceng?" aku menganggukan kepalaku.
"Itu," aku menatap sepeda berwarna biru yang tampak butut itu.
Dengan terpaksa aku menghampiri sepeda itu lalu duduk di kursi belakang. Sementara Boruto menduduki kursi depannya lalu mengayuh sepedanya sedikit kencang. Seketika, aku memejamkan mataku sembari menghirup udaranya dengan pelan karena hembusan anginnya telah menerpaku. kubuka kelopak mataku lagi lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. Ternyata menyenangkan juga ya bersepeda.
"Boruto, apakah bisa dikencangkan lagi?" tanyaku tersenyum.
"Apakah anda yakin?" tanya Boruto.
"Iya. Kelihatannya lebih menyenangkan kalau kau mengayuhkan sepedanya dengan kencang," jawabku.
"Baiklah," ucap Boruto lalu memperkencang kayuhannya.
"Woohoooooooo," seketika aku berteriak dengan kencang lalu aku tersenyum sedikit lebar.
Tanpa sengaja, aku melihat Shinki yang sedang menelepon seseorang dengan wajah khawatir. Aku menyuruh Boruto untuk berhenti lalu aku juga menyuruhnya menunggu di kafe. Sementara aku turun dari sepeda lalu berjalan ke sana untuk menguping pembicaraan Shinki. Aku memilih menguping di balik tembok bangunan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari cowok itu.
"Ji-san, alangkah lebih baiknya aku berhenti kuliah supaya tou-san cepat dioperasi dan sembuh," kata Shinki.
Satu menit kemudian, Shinki berkata, "Tapi ji-san, aku tidak ingin melihat tou-san kesakitan seperti itu. Aku sama sekali tidak masalah untuk tidak kuliah. Lagipula aku sudah bekerja. Pekerjaannya enak lagi dan gajinya lumayan."
Dua menit kemudian, Shinki berkata, "Baiklah kalau begitu. Demi tou-san, aku akan tetap kuliah. Tapi aku janji, aku akan selalu mengirimkan uang untuk biaya pengobatan tou-san," Shinki langsung memutuskan kontaknya dengan si penelepon yang tak lain adalah pamannya. Setelah itu, ia langsung duduk dengan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Setelah itu, aku langsung menghampirinya lalu bertanya, "kalau boleh tahu, berapakah nominal yang kau butuhkan?"
Shinki langsung menoleh kepadaku dengan wajah terkejut. "Kamu nguping ya?"
"Iya," jawabku santai. "Omong-omong, aku bisa memberikanmu uang yang kamu inginkan," lanjutku lalu berjalan menghampirinya.
Shinki langsung beranjak dari tempat duduknya lalu bertanya, "be-benarkah?" aku menganggukan kepalaku.
"Baiklah," Shinki menghelakan nafasnya sebelum menjawab pertanyaanku. "4.000.000 yen."
"Itu mudah," kataku yang membuat Shinki membelalakkan matanya.
"Tapi ada syaratnya," sahutku ketus.
"Sudah kuduga," kata Shinki.
"Ternyata kau sadar juga dari awal," kataku lalu aku menyilangkan kedua lenganku. "Sebelum kuberitahu syaratnya, aku punya satu pertanyaan untukmu," lanjutku. Shinki hanya terdiam saja.
"Apakah kau punya penyakit kelamin?" tanyaku spontan yang membuat Shinki menunjukkan kemarahannya.
"Apa-apaan kau?!" bentaknya.
"Bilang saja iya atau tidak. Apa susahnya sih?" kataku sewot.
"Tunggu...jadi syaratnya...kau...menyuruhku untuk...berhubungan seks denganmu?" tanyanya yang membuatku tersenyum.
"Pintar juga kau," jawabku.
"Tidak! Aku tidak akan mau berhubungan seks denganmu hanya demi mendapatkan uang. Itu sungguh menjijikkan! Lebih baik aku bekerja 24 jam non stop daripada melakukan itu denganmu," Shinki langsung berjalan meninggalkanku.
"Oh jadi kamu lebih mementingkan harga dirimu daripada nyawa ayahmu?" tanyaku yang membuat Shinki memberhentikan langkah kakinya.
"Kau menyayangi ayahmu 'kan? Aku yakin kau pasti tidak ingin kehilangan orang yang sangat berarti bagimu," tanyaku.
Shinki menoleh kepadaku. Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya menghampiriku.
"Beri aku waktu," kata Shinki.
"Aku akan selalu menunggumu. Tapi perlu kau ingat. Waktu adalah uang. Kau harus memanfaatkan waktumu dengan baik agar kau tidak menyesal di kemudian hari," kataku sembari menasehatinya.
Shinki hanya menganggukan kepalanya. Setelah itu ia langsung pergi begitu saja. Sementara aku menuju ke kafe tempat Boruto menungguku. Tak disangka, ia menungguku di luar kafe. Aku langsung menghampirinya lalu bertanya, "kenapa kamu menungguku di luar kafe?"
"Kalau aku masuk, otomatis aku harus membeli salah satu menu disana. Sementara aku tidak memiliki uang," jawab Boruto yang membuatku menepuk jidatku sendiri.
"Kalau aku menyuruhmu menungguku di kafe, otomatis aku yang akan membayar pesananmu bodoh! Ayo kita masuk!" bentakku. Setelah itu, aku langsung menggandeng tangan Boruto memasuki kafe.
To be continue...
Akhirnya kesampean juga bikin fic rated M dgn tokoh utama tiga genin generasi baru Sunagakure. Entah mengapa aku sangat ngefans dengan mereka. Apalagi Shinki :*. Di Boruto the movie dia ganteng lo. Di manga-nya pun juga lumayan. Jika banyak yg suka dengan fic ini, aku akan melanjutkan fic ini. Jika tidak, hmmm entahlah hehehe. Jangan lupa direview :) Oh ya di narutopedia, hanya Shinki yang merupakan anak angkatnya Gaara. Jadi Yodo dan Araya hanya teman satu timnya.
