LUHAN DAN HUJAN

(Story Remake "VERNA dan HUJAN" by Shanty Agatha)

HUN-HAN

Genderswicth

Happy Reading :) :)


"Aku bingung harus bagaimana dengan Tiffany" Kris menekuk lututnya dan memeluknya. Disebelahnya, Luhan yang sedang mengetik baris demi baris kalimat dikomputernya mengernyit.

"Kenapa bingung? bukannya selama ini kalian baik-baik saja?".

"Yah, kita baik-baik saja. Terlalu baik-baik malahan, segalanya terasa terlalu sempurna hingga aku merasa aneh".

Luhan mengangkat kacamatanya dan menaikkannnya di kepala, lalu menatap Kris lekat-lekat.

"Yah… dasar aneh…. Dikasih nggak sempurna manyun, giliran dikasih sempurna mengeluh juga" mata Luhan menatap Kris lekat-lekat " Denger ya Kris, Tiffany itu gadis baik, pasangan yang sempurna buat kamu, kalian memang diciptakan buat bersama" dengan santai Luhan memutar kursinya dan menatap layar monitor, berkonsentrasi sebentar, mencari baris-baris yang ditinggalkannya, lalu mulai asyik mengetik lagi.

"Kamu ngetik apaan sih? asyik banget dari tadi sampai aku dicuekin",

"Aku ngetik tentang hujan"

Kris mengernyit

"Hujan? itu tulisan terbaru kamu? memang apa yang bisa ditulis tentang hujan?"

"Banyak" Luhan mulai berkonsentrasi menulis dan tidak memperhatikan perkataan sahabatnya.

"Luhan! Aku jauh-jauh kesini bukan cuma buat dicuekin sama kamu "

Luhan menarik napas, seolah harus menahan kesabaran menghadapi Kris, lalu meninggalkan tulisannya lagi , memutar kursinya lagi dan menatap Kris dalam-dalam.

"Aku tahu kamu kesini buat curhat, tentang Tiffany. Aku sudah kasih solusi, tapi kamu masih saja bingung, nggak salah kan kalau aku balik nulis lagi, lebih asyik tau' !"

"Kamu belum kasih solusi" Kris memberengut.

Luhan mengangkat bahunya "Aku nasehatin kamu buat bersyukur dan menjalani apa adanya, kamu harusnya sadar betapa beruntungnya kamu "

Kris mulai terkekeh "Dibanding kamu ya?" gumamnya geli

"Kurang ajar ! " Luhan pura-pura marah dan melemparkan boneka kodok di meja samping komputernya ke arah Kris yang langsung menangkisnya sambil tertawa.

"Hey, jangan salahin aku dong ! Lagian kenapa sih kamu sibuk banget sama tulisan-tulisan kamu ini, sekali waktu cari kekasih lagi bukannya makin tenggelam dalam dunia khayalan".

"Aku udah pernah coba cari kekasih sekali, dan hasilnya menyakitkan. Aku nggak mau lagi"

Suasana penuh canda itu langsung berubah hening. Kris terdiam ragu.

"Kamu, masih ingat sama Sehun ?"

"Jangan sebut nama dia lagi didepanku"

"Tapi kamu nggak boleh terus-terusan melarikan diri dan menjauh dari cinta cuma gara-gara Sehun" Kris terus mengejar, dia nggak rela kalau topik sensitif ini dialihkan seperti biasa. Luhan selalu menghindari pembicaraan tentang Sehun, tapi Kris mulai cemas karena Luhan seperti kehilangan semangat lagi buat menemukan cinta.

"Kamu cuma ada diposisi yang salah dengan orang yang salah waktu itu Lu, jangan menghakimi dirimu sendiri",

Luhan menggelengkan kepalanya, wajahnya tampak sedih.

"Nggak, aku yang salah, aku yang jahat "

"Lu ! itu semua bukan Cuma kesalahanmu, Sehun juga ikut andil, jangan mencoba menanggungnya sendirian".

"Tapi waktu itu aku seharusnya berhenti selagi bisa berhenti, tapi aku terlalu egois, aku terlalu cinta sama Sehun sampai nggak peduli sama hal lain"

"Sehun juga begitu kan ? itu kesalahan kalian berdua, seharusnya kalian berdua yang menanggungnya, tapi kenapa kamu sekarang terpuruk disini sedangkan Sehun bahagia sama tunangannya"

Sudut-sudut mata Luhan dipenuhi air mata.

"Dia nggak bahagia, Kris" Dengan sedih Luhan mengusap air matanya yang mulai mengalir turun "Kalau dia bahagia, aku mungkin akan bisa dengan mudah melupakannya, tapi dia nggak bahagia Kris. Aku nggak sengaja ketemu dia seminggu lalu, dia nangis Kris"

"Tapi itu pilihan yang Kris ambil, dia harus bertanggung jawab atas pilihannya" Kris masih bersikeras. Dia nggak rela air mata Luhan, air mata sahabatnya yang sangat berharga ini selalu dicurahkan untuk sosok seperti Sehun.

"Aku yang salah, aku yang menempatkan Sehun pada posisi yang sulit. Seharusnya aku nggak pernah muncul, seharusnya aku nggak pernah ada dalam hidup Sehun"

"Luhan, kamu itu berharga. kamu harus terima kalau kisah mu sama Sehun itu cuma masa lalu. Kamu nggak bisa tetap diem disini terus sementara dunia terus berputar. Kamu harus lanjutin hidupmu, aku percaya di depan sana ada seseorang yang bisa kamu temuin, seseorang yang lebih baik dari Sehun".

Luhan tersenyum sedih mendengar nasehat Kris.

"Terima kasih ya Kris, kamu memang selalu bisa bikin aku kuat"

Dulu aku selalu suka kalau hujan turun. Aku suka menyentuh aliran air yang dihempaskan dari atas itu dengan tanganku . Aku suka masuk ke tengah derasnya hujan, membiarkan dirikue basah kuyub dari ujung kaki sampai ujung kepala. Aku cinta hujan, entah kenapa hujan selalu bisa bikin aku bahagia.

Luhan merenung, jari-jarinya berhenti di atas keyboard, lalu menghela napas, dan mengetik lagi.

Banyak kejadian menyenangkan yang aku alami disaat hujan. Tentu saja banyak juga kejadian menyebalkan karena hujan, but it doesn't matter, aku terlalu bahagia saat hujan turun hingga aku bahkan nggak sadar kalau kejadian itu masuk kategori menyebalkan. Tapi sekarang, entah kenapa setiap melihat hujan, aku jadi ingin menangis.

Luhan berhenti mengetik ketika mendengar gemuruh guntur dikejauhan, dia meninggalkan komputernya, berdiri dan melangkah ke jendela. Langit sudah mulai hitam pekat dan rintik hujan sudah mulai turun, makin lama makin deras, makin keras hingga pemandangan didepannya hanyalah garis-garis putih yang menghujam horisontal ke tanah.

Bahagiakah ia ?

Luhan mendesah, berusaha mencari bahagia yang selalu bisa dia temukan ketika melihat hujan, tetapi bahagianya tidak ada.

Kesedihan yang dalam menghujam hatinya, ketika dia memutuskan pergi dari Sehun, ketika itulah seluruh kebahagiaannya terbawa pergi.

Luhan teringat saat-saat bahagianya bersama Sehun yang selalu terjadi disaat hujan, betapa bahagiannya mereka saat itu. Mencoba menipu diri bahwa kebahagiaan ini akan berlangsung selamanya.

.

.

.

Flashback

"Aku kan sudah bilang mending bawa mobil saja kalau mendung begini, sekarang coba lihat nih hasil ide mu" Sehun sedikit berteriak, mengalahkan derasnya hujan yang menghujam mereka,

Sementara Luhan yang berada diboncengan motor tertawa terbahak-bahak bahagia.

"Memang ini maksud ide ku tadi, aku nunggu kita kehujanan !" dengan manja dia memeluk punggung Sehun. "Lagipula kamu kan laki-laki kuat, masak sama air saja kalah?"

Sehun ikut tertawa lalu tangan kirinya lepas dari pegangan motor dan menggenggam tangan Luhan yang memeluk pinggangnya.

"Dasar aneh !" serunya masih dalam tawa "Aku nggak tahu kenapa mau saja menuruti permintaan mu, hujan-hujanan seperti ini sementara ada jas hujan di bagasi motor"

"Karena kamu cinta sama aku?" Luhan berbisik, pelan ditengah derasnya suara hujan, tapi Sehun mendengarnya, dan tersenyum lembut.

"Karena aku cinta banget sama kamu, Lu".

Dalam senyum ditengah derasnya hujan, Luhan semakin erat memeluk punggung Sehun.

Mereka sampai di rumah hampir satu jam kemudian, dalam kondisi basah kuyub dan mengigil kedinginan.

Ketika Sehun memarkir motor Luhan didepan rumah, sosok perempuan mungil itu menghambur dari dalam rumah sambil membawa handuk.

"Ya ampun, dasar kalian berdua ini ! Sehun juga gitu, kenapa kamu mau saja mengikuti kemauan Luhan pergi pakai motornya". Irene menyerahkan satu handuk kepada Luhan, lalu menggunakan handuk yang satunya untuk mengusap rambut Sehun, dia sedikit berjinjit dan sehun sedikit menunduk.

Luhan menatap adik kembarnya yang tak henti-hentinya mengomeli mereka, tetapi tetap dengan senyum dibibirnya, senyum perempuan yang sedang jatuh cinta.

Dengan lembut Luhan berganti-ganti menatap Sehun dan Irene. Sungguh pasangan serasi. Sehun yang tinggi dan tampan, dengan Irene yang feminim dan luar biasa cantik.

Luar biasa cantik? Luhan mengernyit, kalau Irene luar biasa cantik, seharusnya dia juga dong, kan mereka saudara kembar? Tanpa sadar Luhan tertawa sendirian. Tentu saja, mereka memang kembar. Tapi entah kenapa aura "Luar biasa cantik" itu tidak pernah muncul dalam diri Luhan. Wajah mereka sama, tapi mereka berdua bertolak belakang satu sama lain baik dalam sikap maupun penampilan.

"Luhan, jangan berdiri saja disitu, ayo masuk, ganti baju dulu, aku buatkan kopi untuk kalian berdua".

Tergeragap dari lamunan, Luhan melangkah mengikuti Sehun dan Irene masuk ke dalam rumah.

Beberapa saat kemudian ketika sudah ganti pakaian kering, Luhan menuju ke ruang keluarga, Sehun sudah ada disana menonton TV sedang Irene tak terlihat keberadaannya.

Berdiri dipinggir karpet menatap Sehun, Luhan terbahak sedangkan Sehun merengut.

"Diem kamu" gumam Sehun sambil melempar bantal ke arah Luhan, tapi seringai geli juga tampak diwajahnya.

Luhan menutup mulutnya agar tidak tertawa.

"Kamu, pake baju ayah ya ?" tawa masih terdengar dalam suara Luhan, matanya menelusuri Sehun yang memakai training hitam dan kaos putih milik ayahnya yang agak kebesaran.

"Salah siapa coba ?" Sehun merengut "Aku nggak bakal sangka kalau di jebak penyihir kecil buat mengantarnya pakai motor, padahal aku bawa mobil. Lalu diterjunkan ke tengah hujan deras dan parahnya nggak boleh pakai jas hujan, padahal jas hujannya ada di bagasi" Sehun melambaikan tangan mengajak Luhan duduk disebelahnya, "Aku nggak bawa baju ganti"

Luhan terkekeh, lalu duduk sebelah Sehun di sofa. Matanya menatap sekeliling "Irene dimana?"

"Bikin kopi, sebentar lagi juga datang"

Dan benar, Irene datang beberapa saat kemudian membawa nampan berisi kopi, Sehun langsung berdiri dan meraih nampan itu dari tangan Irene.

"Kan berat, harusnya kamu panggil aku dari dapur, biar aku yang bawa"

Irene hanya tersenyum lembut menatap Sehun.

Setelah meletakkan kopi dimeja, Sehun duduk lagi disofa agak jauh dari Luhan dengan Irene bergelung dalam pelukannya, mereka diam menonton TV sedangkan hujan masih turun dengan derasnya di luar.

Luhan menatap tangan Sehun yang merengkuh pundak Irene lalu mengalihkan pandangannya, dingin, Luhan memeluk dirinya sendiri, lalu matanya mengarah pada hujan deras yang tampak dari jendela,

Apa sebenarnya mau mu Luhan? Hati nuraninya menderanya, Tega-teganya kamu berselingkuh sama pacar adik kembarmu sendiri. Kalau sekarang kamu harus menanggung kepedihan melihat kemesraan mereka, itu hukuman buatmu.

"Luhan " suara Irene menggugah Luhan dari lamunannya, dia tergeragap dan menatap ke arah pasangan itu. Sehuntampak cemas menatapnya dari atas kepala Irene.

"Kok kamu melamun? ayoo diminum dulu kopinya" Irene melepaskan diri dari pelukan Sehun dan mengambil secangkir kopi dimeja, menyerahkannya kepada Sehun yang langsung menerimanya tanpa bertanya.

Dengan patuh, Luhan mengambil kopi dan meminumnya, mengernyit sedikit karena rasanya begitu manis.

"Tadi ayah menanyakanmu, Sehun" Irene memulai percakapan, menyandarkan lagi kepalanya dilengan Sehun.

"Hmm... Kenapa?" Sehun masih berkonsentrasi menyesap kopinya.

"Tentang rencana pertunangan itu, aku udah bilang ke ayah kalo kita berencana bertunangan segera setelah aku wisuda, tapi tadi ayah bilang, kenapa tidak sekarang saja toh kita sudah pacaran lama dan keluarga sudah kenal dekat"

Luhan dan Sehun tersedak kopi bersamaan. Irene langsung tertawa geli melihatnya.

"Kalian ini yaa... Bisa-bisanya kompak gitu, hati-hati dong!"

Luhan mencoba tersenyum dan langsung memalingkan muka, berpura-pura menatap TV, sedangkan Sehun meletakkan kopinya sambil menatap agak resah ke Irene.

"Yah... Kita tunggu hasil pembicaan sama ayahmu ya" gumam Sehun ahkirnya.

Irene tertawa "Ya, Aku udah nggak sabar ingin tunangan sama kamu Sehun, aku sudah nggak sabar ingin pakai cincin dari kamu".

Perkataaan yang menusuk hati Luhan dan membuat hati Sehun terasa sakit. Ironisnya Irene sama sekali tidak menyadarinya.

.

"Kita harus mengahkiri ini semua" Luhan memutuskan, waktu itu rumah sepi. Kedua orang tuanya masih di kantor dan Irene masih ada tugas kuliah sampai malam.

Sehun berdiri didepannya, tampak letih masih mengenakan pakaian kerjanya.

"Itu masalahnya, aku nggak bisa Lu. Aku cintanya sama kamu, bukan Irene".

"Tapi kamu sudah jadi kekasih Irene, kamu sudah cinta sama dia terlebih dahulu, Sehun. Aku cuma pengganggu yang datang terakhir, menurutku kalau kita berdua tidak bertemu, kamu sekarang pasti masih mencintai Irene. Dan aku sayang Irene, Sehun. Dia saudara kembarku, kalau dia sakit aku juga sakit, aku nggak bisa melanjutkan kesalahan ini" Luhan membalikkan tubuh membelakangi Sehun dan menatap ke jendela.

Sehun mengacak rambutnya, frustasi.

"Setiap hari dalam hidupku, aku selalu menyalahkan waktu, Kenapa? Kenapa waktu terlambat mempertemukan kita? Kenapa aku nggak ketemu kamu lebih cepat, sebelum aku jadi milik siapa-siapa? Sebelum aku jadi milik Irene?".

Luhan memejamkan matanya.

"Itu takdir, Sehun. Mungkin aku memang jodohmu. Aku juga salah, waktu itu ketika aku merasakan perasaan yang berbeda sama kamu, harusnya aku tahan kuat-kuat perasaan itu. Kamu milik orang, milik adik kembar aku. Tapi aku cuma manusia biasa, aku nggak kuat nahan perasaan ini, aku...kamu satu-satunya yang bikin aku merasa nyaman".

"Luhan" Sehun berbisik lembut, berdiri mendekat dibelakang Luhan dan merengkuh pundaknya dari belakang. Sama-sama menatap hujan yang turun deras dibalik jendela.

"Aku akan cari jalan supaya pertunangan itu ditunda"

"Buat apa?" Luhan merasakan air mata di sudut matanya, "Lagian kita akan jalan ditempat lagi. Aku nggak mau sembunyi-sembunyi dibelakang Irene lagi, perasaan bersalah ini semakin memuncak seiring dengan berjalannya waktu, aku nggak kuat lagi, Sehun".

"Aku akan bilang semuanya sama Irene" gumam Sehun kemudian. Mantap.

"Jangan !" Luhan menjerit penuh air mata, membalikkan tubuhnya menatap Sehun. "Kamu sudah gila? Irene akan sangat sakit, aku nggak mau dia sakit ! Aku nggak mau dia sedih!".

"Tapi sekarang kamu yang sakit, Luhan! Kamu yang sedih! Aku nggak tahan melihatnya" Sehun meraih dagu Luhan mendongakkan wajahnya "Aku cinta sama kamu, Lu! Cuma kamu yang aku cintai".

Luhan tersenyum sedih.

"Aku tetap pada keputusanku, kita harus ahkiri semua ini".

"Luhan" Sehun mengerang penuh rasa tersiksa.

Luhan langsung memeluk Sehun erat-erat. "Peluk aku, Sehun, aku ingin merasakan pelukanmu buat terahkir kalinya. Merasakan kehangatanmu yang selalu bikin aku nyaman, setelah itu aku akan melangkah menjauh, dan aku tidak akan bisa peluk kamu lagi, tapi aku pasti kuat. Mengetahui kamu hidup dan menjalani hidup dengan bahagia, aku pasti kuat".

"Luhan" Sehun merengkuh Luhan kedalam pelukannya, merengkuhnya kuat-kuat "Aku mencintaimu, Lu".

"Astaga"

Kengerian mewarnai suara Irene, ucapan itu begitu berbisik, tetapi seketika itu juga pelukan Sehun dan Luhan terlepas. Mereka serentak menjauh dan menatap ke arah sumber suara dengan tatapan bersalah.

Irene berdiri disana dengan wajah pucat pasi dan bibir gemetar menahan tangis.

"Aku sudah curiga" suara Irene sesak oleh tangis yang dalam "Aku sudah curiga ada wanita lain dalam hati Sehun. Sikapnya berubah nggak seperti dulu, aku merasa kalau hatinya makin jauh" Irene menatap Sehun yang menunduk dengan rasa bersalah, air mata mengalir deras dipipinya, lalu dia menoleh ke arah Luhan yang sama pucat dengannya, "Tapi aku tak menyangka, sama sekali tidak pernah menyangka kalau wanita lain itu adalah kamu ! Kakak kembar ku sendiri !" kemarahan nampak mewarnai suara Irene yang bergetar "Kamu jahat Luhan ! Kalian semua jahaattt !".

Seketika itu juga Irene membalikkan tubuhnya dan menghambur ke luar, Sehun langsung melompat mengejarnya dan menembus hujan yang deras. Luhan sempat terpaku sejenak, masih terkejut dengan perkataan Irene tadi, tetapi dia segera menyusul.

Suara rem yang menggesek aspal dengan keras membuat hatinya nyeri, dengan bergegas dia melangkah ke jalan, ke arah suara itu.

Luhan langsung berlari dan berlutut sambil menangis, disana Irene terbaring pingsan dengan kepala terluka dan berdarah karena tertabrak oleh mobil, Sehun berlutut disebelahnya. Hujan deras mengguyur mereka.

Setelah itu perjalanan ke rumah sakit terasa bagai neraka bagi mereka, Sehun tetap memeluknya. Memberinya kekuatan selama Irene ditangani di UGD, orang tua mereka menyusul kemudian.

Dan selama proses menunggu yang begitu menekan itu, Luhan terus menerus berbisik ke dalam hatinya, "aku jahat, aku jahat, aku benar-benar jahat".

Tak lama kemudian Irene tersadar, dan Sehun serta Luhan berdiri disana. Siap menghadapi penghakiman. Tapi Irene malah tersenyum begitu manis.

"Sehun? Luhan? kenapa kalian berdiri disitu?" tanyanya lembut sambil mengulurkan tangannya pada Sehun yang langsung duduk ditepi ranjang rumah sakit, menggenggamnya.

"Aku... Aku nggak ingat kenapa aku kecelakaan, konyol sekali ya" Irene tertawa sambil mengusap perban dikepalanya.

"Mungkin aku melamun diperjalanan pulang kampus? Aku ingat hujan turun deras sekali, tapi setelah itu kabur". Irene mengalihkan kepalanya kepada Sehun yang menggenggam tangannya lalu tersenyum penuh cinta, "Tapi aku seneng begitu membuka mata bisa lihat kamu disini Sehun, aku senang sekali" Irene meremas tangan Sehun lembut.

Sehun tertunduk, mencoba tersenyum tapi terasa kaku.

"Aku juga senang" jawabnya termenung. Lalu melepaskan genggamannya dari Irene dan bangkit. "Aku mau kasih tahu ayah dan ibu terlebih dahulu, kalau kamu sudah sadar" dengan langkah cepat Sehun keluar ruangan perawatan itu.

Luhan berdiri disana. Irene lupa bagaimana dia bisa kecelakaan? Dokter tadi mengatakan bahwa benturan keras dikepala Irene bisa menyebabkan adik kembarnya itu kehilangan beberapa ingatannya. Jadi Irene tidak ingat apa yang dilihatnya sebelum kecelakaan itu? Luhan menarik napas lega, hampir menangis, dia lalu duduk disebelah ranjang, meraih tangan Irene.

Tetapi Irene melepaskannya dengan kasar.

Wajah Luhan langsung pucat pasi menatap Irene yang tanpa ekspresi.

"Jangan kira aku sebodoh itu, amnesia huh ?" Irene mencibir "Aku cuma pura-pura didepan Sehun, tapi didepanmu..." Irene menoleh dan tatapan kebencian yang dilemparkannya itu membuat Luhan semakin pucat "Kamu memang saudara paling jahat di dunia, bermain-main dibelakang ku, kamu kejam sekali Luhan!".

"Maafkan aku" Luhan menunduk, butiran bening mengalir di sudut matanya.

"Nggak, aku nggak akan memaafkanmu!" seru Irene setengah berteriak "Aku mau kamu menyingkir dari hidup ku dan Sehun, aku mau kamu pergi dari kehidupan ku ! Aku nggak mau melihatmu lagi kecuali terpaksa !".

Pernyataan Irene itu menghancurkan hatinya, membuat Luhan luluh lantak dan dia melakukan semua yang diinginkan Irene.

Beberapa hari setelah kecelakaan itu, Luhan mengajukan pindah dari kampusnya. Ia mengambil kampus yang sedikit jauh diluar kota, kemudian dia mengemasi barang- barangnya, melawan keberatan orang tuanya, melawan protes Sehun, yang tetap mengira bahwa Irene kehilangan ingatannya dan tidak mengetahui perselingkuhan mereka. Luhan lalu pindah ke apartemen dekat kampus barunya.

Luhan benar-benar menjauh dari kehidupan Irene dan Sehun.

Flashback end

.

.

.

Sekarang Luhan masih menatap jendela kamarnya, kearah hujan yang turun semakin deras. Luhan mendesah lagi, percakapannya dengan Kris tadi telah menggugah ingatan yang dia tenggelamkan dalam-dalam, kenangan kejadian satu tahun yang lalu.

Dengan gontai dia melangkah membuat kopi, lalu duduk lagi didepan komputer, menyesap kopinya sebentar dan membaca ulang tulisannya tentang hujan. Setelah itu dia mengklik tombol turn off dan menyandarkan tubuhnya di kursi, lalu memejamkan mata.

Luhan setengah tertidur ketika handphonenya berkedip-kedip, dengan malas diambilnya smartphone itu

.

1 message received,

"Diluar hujan, jangan melamun yang tidak-tidak".

Luhan tersenyum, pesan dari Kris.

"Kamu tuh yang hobby ngelamun jorok kalau hujan-hujan".

Smartphonenya berkedip lagi.

"Eeehh sembarangan, siapa bilang aku bahas ngelamun jorok. aku kan bilangnya 'ngelamun yang tidak-tidak".

Masih tersenyum Luhan meletakkan smartphone itu. Kris mencemaskannya, dan hati Luhan tersentuh. Mereka belum lama berkenalan tapi terasa seperti sudah mengenal lama. Salah seorang teman Luhan dari kampus lama mengenalkannya kepada Kris pada saat dia mencari apartemen baru didekat kampus barunya. Saat itu dengan senang hati Kris membantunya, dan mereka jadi bersahabat.

Luhan merasa nyaman bersama Kris, dia bisa menceritakan apa saja tanpa merasa takut dihakimi. Kris selalu mau mendengarkan ceritanya, dan memberikan solusi yang sangat membantu. Kris tidak pernah menghakimi Luhan pada saat ia ahkirnya bercerita tentang kisah perselingkuhannya dengan kekasih adik kembarnya sendiri. Kris selalu bilang "Kamu cuma ada di waktu yang salah, tempat yang salah, dan meletakkan perasaanmu kepada orang yang salah Luhan"

Dan terus terang, dihati Luhan mulai tumbuh kasih sayang yang mendalam untuk Kris. Tapi Luhan menahannya sekuat tenaga. Kris sudah punya Tiffany, kekasihnya sejak satu tahun ini. Luhan tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, menjadi pengganggu dalam hubungan dua orang yang saling mencintai.

Smartphonenya berkedip lagi.

"Kok diam? Sudah tidur? Coba lihat hujan diluar sana dan coba buat tersenyum lagi waktu lihat hujan. Hujan itu menyenangkan lho ! Sepenat apapun aku, kalau lihat hujan pasti bahagia"

Luhan tersenyum, mau tak mau hatinya bergetar menerima perhatian Kris.

"Aku sudah lihat kok. Aku senyum, bukan karena hujan tapi karena baca pesan mu. Lagipula kamu kan orang yang mudah bahagia dimana-mana, nggak usah alasan deh".

Beberapa menit kemudian Kris membalas.

"Hah! Dasar, pandai mengalihkan pembicaraan. Seharian ini aku kepikiran kamu terus. Jangan sedih deh, besok aku ajak kamu hujan-hujan seharian mau?".

"Janji?".

"Janji".

Dengan pedih Luhan meletakkan smartphonenya dan melangkah keatas ranjangnya, meringkuk diatas tempat tidur, merenung.

Kris hanya memperhatikannya karena mereka bersahabat. Tidak lebih. Dia tidak boleh berpikiran lebih. Dia tidak boleh, dia tidak boleh.

Pemikiran itu membawanya hanyut ke alam mimpi.

.

.

.

Luhan merengut pada Kris yang duduk disebelahnya, lelaki itu memakan ramen didepannya dengan lahap, tidak peduli dengan tatapan marah Luhan.

"Aah, sama juga bohong kalau seperti ini !" seru Luhan ahkirnya.

Kris tergelak "Jangan menyalahkanku dong! Bukan mau ku langit cerah gini. Kita tunggu dan berdoa saja kalau begitu, semoga hujan".

Luhan meneguk minumannya dan menatap Kris.

"Aku sudah nggak mood, aku pulang saja".

"Eh..jangan lah, aku kan sudah janji mau bikin kamu nggak sedih. Pokoknya kita tunggu sampai hujan turun" Kris bersikeras.

Mau tak mau Luhan tertawa melihat kekeraskepalaan Kris.

"Kris" Luhan tersenyum lembut "Melihat niat baikmu saja sudah cukup buat menghilangkan kesedihanku, kamu nggak usah repot-repot lagi".

Kris tertawa senang "Bagus, kamu harus kembali jadi Luhan yang ceria"

Tiba-tiba smartphonenya berbunyi, Kris melihatnya dan dahinya berkerut "Ya, halo? Ada apa, Tiff? Aku lagi makan ramen. Jemput? Dimana?" sejenak Kris mendengarkan, lalu mengangguk "Ok, ntar telepon saja lagi, nado saranghae" Kris menutup telephonenya dan tersenyum pada Luhan.

"Tiffany minta dijemput di kampus"

"Pergi sekarang saja, Kris. Ntar terlambat lho".

Kris mengerutkan keningnya lagi "Tapi aku kan sudah janji mau nungguin hujan, mau mengajakmu hujan-hujanan"

Mendengar itu Luhan melirik ke langit yang cerah benderang dan tertawa.

"Kamu nunggu seharian juga kayaknya nggak akan hujan. Sudah, pergi sana ! Aku mau pulang, mau menyelesaikan tulisan yang kemarin".

Luhan meraih tasnya. Tapi Kris meraih bahunya. "Aku antar kamu pulang dulu, baru jemput Tiffany"

"Kamu ada-ada saja, kampus ke apartemen kan deket, malah lebih jauh kampus Tiffany. Kamu mestinya cepet-cepet berangkat biar Tiffany nggak nunggu terlalu lama, lagian aku lagi ingin jalan kaki, mau mampir ditoko buku sebentar" dengan senyum manisnya Luhan melepaskan tangan Kris dari pundaknya dan melangkah pergi.

"Luhan"

Panggilan Kris yang tiba-tiba serius itu membuat langkah Luhan terhenti. Dengan pelan Luhan menoleh dan mendapati Kris berdiri disana menatapnya dengan sedih.

"Apa, Kris ?".

Kris menghela nafas "Aku bukan Sehun. Dan Tiffany bukan adik kembarmu, seharusnya kamu nggak perlu setakut itu".

Kalimat Kris itu bagaikan menamparnya, membuat Luhan pucat pasi.

"Kamu nggak perlu menyalahkan diri sendiri kalau ternyata aku punya perasaan lebih sama kamu. Aku yang seenaknya sendiri merasakan perasaan itu tanpa seizin mu, kamu sama sekali nggak salah, Luhan".

Luhan memejamkan matanya pedih.

"Sama saja, Kris. Aku seolah-olah ditakdirkan buat jadi pengganggu dihubungan dua manusia yang semula baik-baik saja. Aku nggak mau lagi mencintai orang yang sudah dimiliki orang lain. Sudah cukup aku menderita".

"Aku...".

"Sudahlah, Kris. Jemput Tiffany. Dan jangan mengungkit-ungkit masalah ini lagi. Aku ingin kita tetap bersahabat. Kalau kamu bahas masalah ini lagi, aku nggak akan tahan dan mungkin akan memutuskan menjauh dari kehidupanmu".

Apapun yang akan diucapkan Kris tadi langsung ditelannya begitu mendengar ancaman Luhan, dia menarik napas panjang.

"Aku terima cuma dijadikan sahabat, asal aku tetep bisa hadir dalam hidupmu. Aku terima kamu mengabaikan perasaan ku. Aku terima kamu pura-pura nggak ada yang lebih dalam hubungan kita, padahal ada. Apapun itu aku terima, asal aku bisa tetap ada dalam hidupmu".

Luhan tersenyum sedih pada Kris, menganggukkan kepalanya, lalu melangkah pergi meninggalkan Kris.

.

.

.

Yah, hujan ini seperti mengejeknya. Luhan mengernyit menatap jendela kaca etalase toko buku yang dimasukinya dalam perjalanan pulang.

Begitu dia masuk ke toko buku ini, langit tiba-tiba menggelap dan hujan turun dengan derasnya. Luhan menatap aliran hujan yang begitu deras, lalu menundukkan kepalanya dan mendesah.

Yah, bahagiaku ternyata masih belum dapat kutemukan.

"Luhan?"

Suara yang sangat familiar itu membuat Luhan langsung menoleh, waspada. Dan benar, Sehun.

Sehun yang dirindukannya berdiri di sana, tampak makin kurus dan letih daripada saat terahkir mereka bertemu secara tak sengaja beberapa waktu lalu.

"Sedang apa kamu disini, Sehun?" Luhan bertanya karena lokasi kampus barunya ini sangat jauh dari tempat tinggal Sehun. Sangat jauh dari tempat yang biasanya dikunjungi Sehun. Luhan sengaja melakukannya.

Sehun menatap Luhan dalam-dalam.

"Aku memang sengaja kesini, Luhan. Bukan, pertamanya aku nggak ada niat bertemu langsung sama kamu. Aku sering kemari, Luhan. Melihatmu dari kejauhan, memastikan kamu baik-baik saja. Tapi tadi aku lihat kamu masuk toko buku ini dan aku nggak bisa nahan diri".

Luhan bersedekap untuk melindungi dirinya dari perasaan yang bergejolak.

"Sebaiknya kamu pergi dari sini, kalau Irene sampe tau..."

"Irene tidak akan tahu" Sehun menatap Luhan lekat-lekat "Siapa laki-laki itu, Luhan. Aku selalu mengamati mu dari jauh, jadi aku tahu dia akrab sekali dengamu".

Wajah Luhan langsung pucat pasi. Dia tahu persis siapa yang dimaksudkan oleh Sehun. Kris.

"Itu bukan urusan mu" Luhan memalingkan muka, menghindari tatapan lekat Sehun.

Sehun mengacak rambutnya frustasi.

"Selama ini aku nggak pernah tahu, betapa menderitanya kamu waktu menjalani hubungan sama aku dulu.." Sehun meringis sedih. "Aku...Hatiku terasa dicabik-cabik ketika melihat kamu dekat sama lelaki itu. Aku tidak bisa membayangkan betapa sakitnya perasaanmu ketika dulu aku tanpa perasaan bermesraan dengan Irene didepanmu".

Luhan mengernyit ketika kenangan demi kenangan itu melintas di ingatannya.

"Tolong jangan bahas itu lagi, Sehun. Aku nggak mau tenggelam dalam masa lalu. Aku mau melangkah maju"

"Dengan laki-laki itu?" tanya Sehun getir.

Luhan menarik napas panjang.

"Nggak Sehun. Aku sama dia cuma sahabat. Dia yang membantuku bangkit dan semangat lagi. Dia sudah punya kekasih".

Sehun mendesah, tampak sedikit lega.

"Mungkin aku jahat dan egois karena merasa lega. Aku belum siap melihatmu dimiliki laki-laki lain" Sehun menatap Luhan sendu. "Perasaan ini masih ada, masih dalam. Setiap hari aku menatap Irene, berusaha mencintainya. Tapi aku selalu membayangkanmu. Aku selalu memprotes, kenapa harus Irene? Kenapa bukan kamu?".

"Sehun" Luhan mengerang. "Jangan...Aku mohon jangan teruskan lagi. Pulanglah, kembalilah pada Irene. Aku mohon !".

Luhan berlari, meninggalkan toko buku itu, tak dipedulikannya panggilan Sehun yang makin sayup-sayup di tengah derasnya hujan.

Luhan terus berlari dengan air mata berderai, membiarkan derasnya hujan menghantam tubuhnya, menyakitinya.

"Aku memang pantas disakiti" jerit Luhan dalam hati "Aku jahat, aku jahat, aku jahat..."

Dengan basah kuyup Luhan melangkah menuju apartemennya. Air mata masih mengalir deras dipipinya dan dia terkejut melihat Kris berdiri bersandar dipintu apartemennya.

"Curang, kamu hujan-hujan sendirian" Kris tersenyum.

"Kamu kenapa disini? Tiffany bagaimana?".

Kris mengangkat bahu.

"Batal, Tiffany ada acara mendadak dengan teman-teman kampusnya. Biasalah, shopping. Waktu aku lihat langit gelap dan hujan, aku langsung putar balik ketempat mu. Tapi kamu belum pulang, ponsel mu nggak aktif, jadi aku tunggu saja" senyum masih ada di bibir Kris. Tapi dia mengernyit ketika memperhatikan Luhan lebih dekat "Luhan... Kamu menangis? Kenapa?".

Luhan merasa pedih sekali. Entah karena pertemuannya dengan Sehun tadi, entah karena kebaikan hati Kris yang memikirkannya dikala hujan turun.

Tiba-tiba semuanya terasa kabur di matanya.

"Luhan ? Luhan ?!"

Luhan masih mendengar seruan cemas Kris sebelum semuanya berkunang-kunang dan dia kehilangan kesadarannya.