BLARRRRRR

Malam itu angin berhembus kencang, deru riuh saat membentur tembok kastil nan kokoh menantang langit. Langit begitu gelap, seakan para dewi malam tengah berhibernasi meninggalkan malam yang gelap tanpa ada setitik cahayapun yang menghiasinya. Rintik hujan seakan tak lagi ramah membelai bumi. Kini ia memberontak, menghujam bumi bak ribuan jarum yang berkilat tajam. Dan indahnya alunan petir yang terus menyongsong dari kejauhan menambah ramainya malam sepi yang tak kunjung berganti pagi.

Disebuah bangunan tua yang telah terabaikan, bahkan dari mata manusia, Elegan, itulah yang akan terpikirkan disamping gothic saat melihat kedalamnya. Sebuah peti batu tergolek di tengah ruangan, begitu mencolok karena benda itulah satu-satunya yang terlihat terawat di samping benda lain disekitarnya.
Hitam, seluruhnya hitam dan dihiasi ornamen minimalis berwarna merah darah.

Klek.

Benda itu perlahan bergetar. Jemari lentik menyusup keluar perlahan dari celah yang terbuka.

"Ara? Ikiteru ka?" Suara melengking tiba-tiba menyebar memenuhi ruangan besar itu. Surai berwarna emas seakan menampilkan pesona baru saat kemilaunya hilang terletan kegelapan. Langit membelit mata itu dengan warna yang berkilau. Dan bibir yang terus menyulingkan senyum lebar seakan takkan luntur sampai kapanpun.
Sosoknya yang indah yang bahkan sang jelaga pun tak mampu menutupi kemilau yang dibawanya.

"Ah, apa yang kau inginkan? Aku akan menyiapkannya segera" Sahut sosok itu lagi, tak mengiraukan kilatan tajam yang memicing kearahnya. Merah bagai darah, tatapan yang dingin, dalam dan tak berujung.

"Nn?... Ma, haraheta ka na, Uchiha-kun?"


Rune #01: NIGHT


Langkah kaki perlahan ku ayunkan menapaki trotoar jalan yang sepi. Angin berhembus lembut membelai kulitku yang sedikit basah oleh keringat. Rasanya begitu nyaman, seakan semua itu mutlak milikku. Namun, suasana nyaman hari itu adalah awal dari segalanya. Permulaan dimana sesuatu yang akan menderaku lebih kuat dari badai apapun yang pernah terjadi di dunia.

Semua berawal saat akhirnya aku mengerti betapa gelap dan dinginnya hitam itu serta betapa menawan dan gentle-nya pula.

Ia berdiri di sana, dalam bayang pohon yang menaunginya dari temaram cahaya. Sosoknya yang diselimuti jelaga seakan menjelaskan bahwa ia enggan berhubungan dengan dunia. Ia menatapku tajam, matanya semerah darah, begitu kontras dengan hitam yang dipakainya, bahkan dari jauh pun dapat kulihat dengan jelas warna mawar merah yang sedang mekar itu. Ia tak bergeming, meski mata kami telah saling menatap, beradu pandang.

Cukup lama kami saling memeta bayang masing-masing, hingga kelopak matanya bergeming dan ia berbalik pergi dari naungan pohon itu bersama angin yang menuntunnya entah kemana. Sebelum ia benar-benar menghilang, ia menatapku lagi, hanya sekilas...

"Ara? Hitam? Warna matanya hitam?" Hanya pernyataan tak sampai yang keluar dari mulutku saat itu.

Hari ini cukup ramai pengunjung. Aku menelaah ke pelosok tempatku berkerja ini. Sebuah minimarket 24 jam yang tak begitu besar, namun tempatnya yang strategis membuat tempat ini tak sepi pengunjung barang hanya seorang yang datang. Sudah 2 tahun lamanya aku bekerja sampingan di sini. Tak ada yang banyak berubah, ah memang upah yang ku terima berubah.

Ku lemparkan pandangan ke arah pintu kaca yang membatasiku dengan dunia di luar sana. Langit kemerahan, dan sang mentari sudah hilang meninggalkan singgahsananya. Masih bersisa setengah jam hingga shiftku berakhir. Menghela nafas parau aku membenarkan letak topi hitam yang kukenakan.
"Malam ini masak ramen instan,"

"Nngh~ akhirnya selesai, ah so aku belum menyampaikan pesan dari Kakashi-sensei ke Iruka-sensei. Ma, ii kara, yang penting aku harus segera pulang, hnn—?"

Aku melithatnya lagi. Pemuda yang berpakaian serba hitam, ah tidak kali ini biru dongker menghiasi penampilannya pula. Ia di seberang sana, berjalan lurus namun menyembunyikan wajahnya di balik poni panjangnya yang terbelah. Dia... semakin mendekat. Dan entah mengapa kakiku tak mau beranjak dari tempat ku berdiri.

Seakan terhipnotis, arah pandangku mengikuti geraknya. Aku tak menghiraukan ia yang semakin mendekat di seberang sana.. aku hanya dapat mematung tegap berdiri di tempatku semula. Dan akhirnya ia telah sebaris denganku di seberang sana. Ia berhenti. Menoleh kearahku...

Aku tersadar saat sebuah mobil melintas. Seakan aku telah mendapat kembali seluruh kesadaranku seluruhnya. Namun yang membuatku senam jantung di tempat adalah... ia benar-benar menatapku. Tatapan intens lurus kearahku.

Aku yang tak tau harus berbuat apa, hanya tergagap dan bergeming, mengalihkan pandanganku darinya.

"Menyingkirlah dari sana" suara bas yang berdebam di gendang telingaku membuatku ternganga. Ia, pemuda serba gelap itu berdiri tepat dihadapanlku. Hanya sejengkal jarak yang tersisa di antara kami berdiri. Mata segelap malam itu memicing, menohokku. Gugup.

"Kau tuli kah?" suaa bass itu lagi.

"N-nandesuka?" gagapku masih belum menangkap apa yang ia maksudkan.

"Aku bilang, menyingkirlah,"

BLAAAAAAAAAAAAAAR

Bersama dengan itu sebuah ledakan cukup keras menghujam tempat dimana aku berdiri. Hal itu begitu cepat, aku tak bisa melakukan apapun selain menutup mata. Namun, yang kurasakan setelahnya bukanlah rasa sakit namun ringan. Seolah aku tengah dibawa terbang ke angkasa.

Ah, salah, aku memang dibawa terbang olehnya. Oleh lelaki segelap malam ini. Sepertinya tadi sedetik sebelum ledakan itu ia melompat. Tapi apakah ini normal? Ini... terlalu tinggi untuk sebuah lompatan.

"Ck, dia benar-benar merepotkan" umpat lelaki ini berbisik. Aku yang tak mengerti apa pun hanya membatu di tangannya.

Sedetik kemudian angin kencang menghujam tubuh kami. Tak pelak membuat kami terlempar jatuh ke tanah. Nyeri menghantam tubuhku rasanya sakit seperti terjatuh dari pohon, ah mungkin akan lebih sakit lagi jika pria ini tak memelukku.

"Mereka yang mengakhiri hidupnya sendiri dengan senang hati takkan diterima oleh-Nya bukan?" ah, akhirnya suara pria ini terdengan jernih di telingaku."

"Sebagai hukuman atas kelancangan yang dilakukan, jiwamu akan tinggal di dunia ini selamanya, menyaksikan jiwa-jiwa lain yang terrenggut di depan mata dan menjadi sang pencabut nyawa yang tak memiliki hati, bukan begitu Hyuuga-san?" ucapnya panjang.

Saat ku dongakkan kepalaku kearah sang rembulan, sebuah lembayung seseorang berdiri di sana, tidak dia melayang. Rambut hitam kecoklatan yang lembut tertiup angin, warna kulit yang pucat serta tatapan mata yang mengerling tajam dengan orb putih tanpa pupil. Malaikat... tapi, aku masih hidup 'kan?

"Aku memang telah mati sekali..." sahut sang 'Malaikat' datar. Entah mengapa, sepertinya keberadaanku di antara kedua orang ini salah besar. Aku seperti kutu yang terjebak di tengah adu ketajaman mata kedua pria misterius ini. Salah pria aneh ini, salah pria... urgh terserah

"Ah, kalau begitu kau pasti utusan gereja untuk menghabisiku, hm?"
"... well, sepertinya aku tak perlu memperkenalkan diri lagi"
"khu, kau tahu percuma mengejarku"
"tche aku—"

'... tu-tunggu dulu, apa yang sedang mereka bicarakan, aku tak mengerti sepenggal kalimatpun yang keluar dari mulut mereka. Sepertinya keberadaanku di sini benar-benar salah. Dan lagi, jam berapa ini? Oh... aku akan terlambat sekolah besok'

"—dan cepat lepaskan Jinchuriki itu sekarang" aku tersentak dari lamunan sesaatku, masih dalam posisi yang sama, tak berubah. Err huh?
Aku tertohok saat lengan kekar yang menggelungku membawa tubuhku makin dekat dengan pria serba hitam ini.

"sayang sekali, tapi aku takkan melepaskannya" berbulir-bulir keringat seakan jatuh dari kepalaku. Makin tak mengerti aku dibuatnya.

"Kau tahu, aku bahkan akan mengambilnya walaupun ia bukan seorang wadah"

Hembusan nafas hangat menerpa keningku, lembut. Entah mengapa nyaliku ciut dan tak berani menatap orang yang merangkulku ini. "Jinchuriki? Wadah?" bisikku lirih, penuh tanda tanya.

Ku membatu saat ku tegakkan leherku, langit siang bertemu langit malam. Jelaga itu seakan menelanjangiku. Ujung bibir tipisnya tersimpul, ia tersenyum dan itu membuatku hancur berkeping.

"Dan sepertinya abad ini Dewi Fortuna sedang berpihak padaku, hnn? Aku menemukan'nya' sekaligus mendapatkan wadah, khukhu" ujarnya lagi pada orang di seberang sana.

"Kau—" tak sempat pria berambut panjang itu membalasnya, penglihatanku di penuhi langit malam yang menenggelamkanku ke lubang tak berdasar. Butuh beberapa detik bagiku untuk menyadari apa yang terjadi.
Dan aku menyesal telah menyadari apa yang terjadi...

Chuuu

Di tengah keheningan malam, di saksikan oleh ribuan bintang, sang rembulan dan juga seorang pria berambut panjang, aku telah kehilangan ciuman pertamaku oleh seorang pria misterius yang tak kuketahui asal muasalnya dari mana.

Aku, Uzumaki Naruto, mulai saat itu, aku tersedot dalam pusaran terdahsyat dan tak dapat keluar dari labirin itu untuk selamanya.


A Naruto's FanFiction _ Noir of Blast: Prelude

Diclaimer : All Right Reserved
Genre : Mystery, Tragedy, Romance, Humor
Main Cast: Naruto U, Sasuke U
Warnings: AU, Vampfic, A lil bit GORE, Strange, ODD, typo(s) any etc...


Special Thanks to YOU 3

Direct by Lucky Aoyami