Dirgantara

Summary : Langit adalah pantulan kehidupan. Luasnya wujud kesabaran. Putih sebagai pesan bahwa kau tak pernah sendiri. Biru melambangkan keharmonisan antar warna yang saling bersanding. Hanya dengan kemurnian seseorang bisa menyentuh, menjadikannya rumah dan milik orang lain.

Rate : T

Chara : Natsu.D, Lucy.H

Genre : Hurt/comfort.

Discalaimer : Hiro Mashima.

Warning : Gaje, OOC, typo, feel kurang kerasa, plotless, dll.


Lucy Part :

Kisah Dirgantara

Semilir angin memainkan surai pirangnya. Berhampar rumput di mana tangkai dandelion tumbuh menjejaki setiap jengkal. Jernih sungai memantulkan lembut sinar mentari. Pohon apel bertengger kokoh di tanah lapang–warna merah mendominasi hijau yang melengkapi. Seseorang duduk menepi. Karamel manis memandang Maha Kuasa dengan senyum simpul, sembari memeluk lutut di tengah rindang sejuk.

"Anginnya sejuk. Langit juga cerah. Kau sedang bergembira pasti. Hey, ceritakan padaku apa yang terjadi di 'sana'?" Monolog sang blonde dihentikan. Ia membenamkan kepala pada perapatan lutut–masih tersenyum.

"Di sini aku sangat bosan. Setiap hari menghirup udara, kenangan tentang kita yang membuat sesak. Sebenarnya … kenapa kau pergi?" Lagi. Perkataan itu meluncur dengan bibir bergetar. Tak kuasa menahan air mata.


Kenapa kau pergi tanpa memberitahuku?

Kenapa setega itu, langit meninggalkan matahari yang senantiasa di sisinya?

Mungkin karena …

Tak selamanya langit bisa menaungi. Dia pun butuh tempat bernaung.

Atau …

Langit adalah kehidupan itu sendiri. Semua berpulang kepadanya termasuk dia.


Lima tahun lalu pertemuan itu diawali. Musim panas di mana matahari menduduki singgasana tertinggi–dialah benda langit paling berkuasa. Sosok wanita muda menduduki pinggir sungai. Memeluk kaku lutut yang bergetar hebat. Takut, gelisah, lelah, semua bercampur menjadi satu. Jangan tanya bagaimana rasa tersebut, pahit-asam tumpang tindih menyesakkan dada.

"Hiks … hiks … kenapa harus begini? Aku tidak akan pulang! Jangan harap kalian mencariku setelah bertengkar hebat. Setelah ayah melukai kami!" Tangisnya meraung pilu. Burung-burung terbang menjauh, seakan membiarkan ia menikmati kesendirian.

Siang bolong pukul satu tepat. Jika orang-orang berlibur maka beda dengannya. Kenyataan pahit harus dihadapi sepasang karamel–orangtua dia memutuskan cerai, berurai pertengkaran hebat di tengah keegoisan masing-masing. Sang ibu ingin mempertahankan rumah tangga mereka, sekaligus membawa buah hati yang dipaksa ikut oleh si ayah. Debat argumen terjadi melibatkan peraduan fisik. Rentetan peristiwa meluncur bak pistol memuntahkan peluru.

Memedihkan, terlalu cepat, menohok hati, kata-kata tak cukup menggambarkan sebuah penderitaan.

"Keluarga apanya … omong kosong!" Permukaan aspal dipukul keras. Rasa sakit tiada berarti kalau dibandingkan luka hati.

"Jawab aku … kenapa langit harus melakukannya? Menurunkan kutukan ini pada keluarga kami?" Setitik kristal membentuk anak sungai. Karamel sembab oleh air mata. Hati berdesir akibat rentetan pertanyaan.

Saat itu hanya hembusan angin yang menjawabnya. Langit tetap bergeming. Matahari kian ganas memancarkan panas. Pertanyaan sang empu bagai teka-teki semata. Tak seorang maupun kuasa alam hendak memberi balasan.

kecuali seseorang, sang langit yang Tuhan utus untuk menemani, menaunginya …

Kriing … kriing….

Bel berdering nyaring. Menginterupsi perhatiannya yang semula terpaku menatap hilir sungai. Sepeda merah butut berkilat ditempa cahaya. Sang pengendara turun menapak tanah. Mengambil posisi di samping wanita pirang.

"Yo! Sedang menikmati sepi?" Sejenak terabaikan. Atensinya dialihkan ke arah lain–asal tidak bertemu onyx yang tersenyum lewat tatapan.

"Apa pedulimu, orang asing?"

"Kasarnya, tapi tidak apa-apa! Aku tahu kamu punya masalah. Tak perlu bercerita. Semua terlihat jelas dari kesedihanmu." Sedikit kesal, ia melayangkan sirat membunuh yang menggantikan sendu.

"Masalahmu apa sampai mengangguku? Pergilah."

"Sebenarnya tidak apa-apa jika menangis, merasa sedih atau kesal. Ungkapkan semua itu tanpa perlu ditutupi. Langit senantiasa mendengarmu." Kalimat spontan dengan onyx yang menatap teduh sapuan biru langit. Sang pendengar sedikit terhenyak.

"Da-darimana kamu tahu?" Membuang muka. Lawan bicaranya justru terkekeh pelan, tak terlintas marah atau jengkel pada tawa ikhlas itu.

"Karena langit berada di atasmu. Dia teman yang paling dekat dengan manusia. Setiap hari mendengar kita baik keluh kesah, percakapan antar teman, pernyataan cinta kepada pujaan hati. Semua diketahui olehnya."

"Langit juga tahu kamu menangis, terlukai, sedih, marah. Beceritalah, dia pasti membalasmu entah bagaimana bentuknya. Dan meskipun aku bukan tempatmu bernaung …"

"Kumohon berhentilah menangis."

Sapu tangan disodorkan. Jemarinya membuka lembut telapak yang terkepal rapat. Pemberian itu diterima walau terpaksa, namun menghangatkan berbaur rasa ikhlas. Senyum si salam melebar di pertengahan obrolan. Penuh keberanian ia menjulurkan tangan–ingin bersalaman.

"Perkenalkan, namaku Natsu Dragneel."


Tangan besarmu ibarat langit yang lapang.

Merangkul seluruh kesedihanku. Berbagi kebahagiaan dan kehangatan di waktu bersamaan.

Biru adalah senyumnya yang menenangkan. Putih awan melambangkan perasaan tulus untuk menemani. Burung-burung merupakan pengantar pujian. Akulah mentari, tempatnya bergantung dan poros kehidupan langit itu sendiri.

Semua terasa menyenangkan dalam pelukan sang langit. Matahari yang meredup kini mempunyai sinar abadinya.


Seminggu berlalu, Tuhan menakdirkan pertemuan mereka yang kedua. Seperti waktu itu, ia duduk di tepi sungai memerhatikan pantulan wajahnya–jauh lebih baik dibanding Senin kemarin. Sesekali tersenyum tanpa alasan jelas, memainkan tangkai dandelion yang benihnya terbang bebas. Sang angin mengantar kedatangan seseorang, kembali dia mengambil posisi di samping kiri. Menikmati sunyi melingkup mereka.

"Yo! Kita bertemu lagi rupanya. Kebetulan aku sering lewat ini."

"Benarkah? Kemarin-kemarin tidak?" Tertarik dalam percakapan. Pertanyaan yang melintas di benaknya keluar begitu saja.

"Kau menungguku ternyata. Baiklah, minggu ketiga kita bertemu terus, bagaimana?"

"A-ah, bukan itu maksudku. Aku tidak enak hati menganggu rutinitasmu. Lagi pula … niatku hanya berbagi sepenggal cerita, kok."

"Orangtuaku bercerai seminggu lalu. Supaya netral kuputuskan tidak ikut siapa pun. Ayah kecewa. Ibu mendukung keinginanku walau berat hati. Keluarga kami benar-benar hancur. Aku sangat menyedihkan telah melukai mereka."

"Kenapa menceritakannya padaku, bukan sahabatmu atau siapa pun?" Secara logika ini pertemuan kedua mereka. Sang blonde terkesan mempercayai orang asing terlalu cepat.

"Salahmu membuatku nyaman."

"Aku tidak mengerti, sih, maksudmu. Agak aneh juga mengatakan ini, tetapi kau boleh menganggapku langitmu." Karamelnya membulat sempurna. Giliran dia yang gagal paham oleh Natsu Dragneel.

"Menganggapmu, langitku? Kenapa?"

"Ketahuilah, langit tak perlu alasan untuk menaungi seseorang. Semua sama rata baginya, adil dan bersahabat. Maaf, hanya itu jawaban yang bisa kuberikan. Absurd, ya? Hahaha …"

"Candaanmu tidak lucu. Namun aku menerima sang langit. Jujur, diriku sudah kehilangan banyak hal. Semoga kau ikhlas membimbing eksistensi kosong ini." Pucuk yang layu itu bersandar pada bahu nan kokoh. Baginya merupakan ruang untuk bernapas sekaligus melepas beban.

"Sekali lagi kutekankan, langit tak perlu alasan untuk menaungi seseorang." Tangan besarnya mengelus sayang surai pirang. Membiarkan ia terbenam dalam dekapan sang langit.

"Lucy Heartfilia. Akulah orang yang berlindung di bawahmu sekarang."


Kau adalah langit teramat jernih.

Biru memang biru yang memantulkan laut kehidupan.

Langit memang langit yang berperasaan bebas, lembut, hangat dan tulus.

Pun bertanggung jawab.

Keharmonisan terpancar dari antara kita, semacam kontinum yang mustahil tercerai kecuali dikehendaki takdir.


Minggu ketiga, pertemuan mereka genap satu bulan. Natsu menepati janji yang diucapkannya. Setiap hari bertemu tanpa kenal hari, cuaca maupun waktu. Mengobrol apa pun itu selama menyenangkan, bisa mengusir bosan dari rutinitas, gundah atas tumpukan perasaan.

Siang itu berjalan normal. Langit berwarna biru cerah. Matahari belum lelah menyinari bumi. Angin sepoi-sepoi menghembuskan napas tenang, menggelitik kulit sepasang muda-mudi. Sunyi menyelimuti mereka lima menit lalu–sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Hey. Jika aku pergi meninggalkanmu bagaimana?" Kelembutan angin berubah ganas. Dedaunan menari liar di tengah udara. Sementara Lucy tersentak Natsu mengubah posisinya, menghadap sang wanita yang balik menatap.

Onyx bertemu karamel. Sendu bertemu kejut yang mengisi dua warna berbeda.

"Tentu, bukan masalah untukku." Padangannya melunak, ia tersenyum tipis.

"Kupikir kau akan marah dan membenciku," ucapnya menidurkan kepala santai. Lucy menggeleng cepat. Tiga minggu ini dia belajar sesuatu–sangat penting.

"Bagiku kau langit sejati, menaungi, mendengar keluh kesah, berbagi cerita, kenangan indah. Kau satu-satunya yang mau menampungku. Biru tercantik, terjernih. Putih terbersih, tertulus di dunia. Sore terindah, tertenang. Malam tergelap namun terang di tingkat dirgantara."

"Maka kau adalah matahariku, pusat kehidupan, poros keseimbangan, tanpamu … aku pasti runtuh, tidak bisa menjadi sang langit. Terima kasih banyak. Sebelum berpisah…." Benang merah dikeluarkan dari saku celana. Natsu mengingkatnya pada jari kelingking Lucy.

"Kalau kau menungguku pasanglah terus benang merah ini. Jika kau berhenti lepaskanlah, paham?"

"Baiklah. Bisa kau beritahu alasannya?"

"Suatu hari nanti, cepat atau lambat kamu pasti tahu. Percayalah."


Namun begitulah sifat langit, hadir dengan puluhan janji manis, kehangatan yang menyinari, rumah tempat berpulang, kelapangan dada menyambut segala penderitaan, keikhlasan memberi naungan, tetapi …

Langit selalu pergi tanpa permisi. Meninggalkan seluruh kata-katanya pada mereka yang dipercayai. Kenangan berupa biru cerah, putih awan, filosofi-filosofi mengenai keindahan hidup dan kuasa Tuhan.

Langit sekali pun membutuhkan sandaran. Biru mudanya terkadang rapuh. Putih sucinya kadang kala ternodai oleh abu-abu. Tak selalu tiang kokohnya mampu berdiri tegak. Tangan besarnya bisa saja lecet, kesulitan merangkul eksistensi yang berpuluh juta.

Karena itulah …


"Aku ada di sisimu, seperti matahari yang tanpa pamrih menemani langit birunya kemana pun ia pergi. Kau tak harus menghadapi semua itu sendirian, kekejaman takdir, ketidakadilan dunia. Meskipun hanya salah satu komponen, diriku rela menanggung bebanmu."

"Tapi langit tetaplah langit. Begitu lapang dada, tegar, kuat hati, dibanding denganmu … aku hanyalah matahari kecil yang tiada berdaya."


Namun ketahuilah …


"Langit dan matahari tidak akan pernah berpisah. Kau selalu berada di atas, menemani dan mendengarku. Begitu pun aku, selalu menyinari senyummu supaya berkilau."

WHUSHH!

Benang merah dilepaskan, Lucy beranjak membalikkan badan–pulang ke rumah.

"Kita bertemu setiap hari, walau berganti warna, benda langit, cuaca. Salah jika menyebutnya perpisahan. Salah jika kau mengikat benang merah di kelingkingku. Karena …"


Matahari dan langit selalu terikat oleh takdir.

Sampai kapan pun, kita terus bersama.


"Terima kasih telah menjadi langitku, atas tiga minggu yang kamu berikan. Maaf jika aku bukan matahari terbaik."


Memang engkaulah sang langit.


Tamat.

A/N : Seharusnya sih hubungan antar langit dan awan, tapi itu buat fandom langgananku baru-baru ini, jadi untuk NaLu (kebetulan juga dapet idenya) jadi matahari dan langit deh. Kenapa Natsu gak jadi matahari? Bingung jelasinnya, tapi ya … aku ingin Natsu di sini menjadi rumah untuk Lucy yang keluarganya hancur.

Dan cerita ini two shoot. Menceritakan dari sisi pandang Lucy dan Natsu jadi ya saling melengkapi! Untuk setiap pertemuan memang sengaja dibuat singkat. Di sini aku hanya menekankan "arti orang ini untuknya". Tapi nanti dijelasin kok Natsu itu kenapa2-nya. Tunggu aja ya, review please?