Tapi waktu tidak akan tiba-tiba berhenti atau pun berbalik.

—Kehidupanmu juga.

.

.

.

.

.

Clockwise

Chapter 1

.

AU

storyby Eida-chan

disclaimer NarutobyMasashiKishimoto

.

.

H.

.

Aku menatap lurus ke depan, ke arah langit-langit kamar yang seharusnya berwarna putih. Seharusnya— karena kini gorden kamarku tertutup erat dan lampu kamarku memang sengaja tidak kunyalakan. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari sedikit tepi gorden dan ventilasi kamar.

Tempat ini... Kurang gelap.

Aku menarik selimutku, mencoba menutup wajahku dari pemandangan kamarku. Sialnya selimutku yang berwarna lavender itu masih dapat ditembus cahaya. Tiba-tiba aku ingat perkataan adikku yang ingin kamarnya dicat hitam. Dulu aku merasa itu konyol, sekarang aku paham perasaannya.

Mendadak aku merasakan sedikit rindu pada adikku yang berambut gelap itu. Apa kabarnya sekarang? Apakah dia tersenyum? Apakah dia sudah bahagia? Atau dia masih gila?

Aku tak tahu. Aku tak tahu jawabannya. Karena bagaimana pun dia tak akan pernah menjawab. Tidak akan.

Aku mencoba untuk kembali terlelap, entah untuk kesekian kalinya malam ini. Seharusnya aku sudah bangun dari tadi, tapi yang kulakukan hanyalah menunda alarm tiap sepuluh menit sekali berkali-kali hingga aku tak tahu lagi sudah untuk keberapa kalinya.

Tiba-tiba terdengar suaa deringan yang sangat ribut. Tanganku dengan segera mencoba menyambar barang yang mengatakan padaku "Hei, ayo bangun!" dan membuatku frustasi— Aku tidak langsung menemukannya dan aku benci suaranya— lupakan fakta bahwa aku yang menyetelnya pertama kali.

Berisik. Berisik. Berisik.

Mataku mulai terasa panas. Bibirku bergetar. Tanganku masih meraih-raih mencari benda tersebut.

Hentikan. Hentikan. Hentikan.

Aku akhirnya berhasil meraihnya. Aku melihat jam yang tertera pada layar. Aku tersenyum kecut.

Tangisku meledak.

.

.

.

S.

.

Aku menatap jarum jam yang serasi dengan bola mata onyxku di atas meja dan menghela nafas. Kuputuskan untuk menutup buku yang tengah kubaca dan mematikan lampu belajar.

Kemudian aku melempar badanku ke kasur, sambil lagi-lagi menghela nafas. Aku sempat menyadari jendela yang belum kututup, tapi kuabaikan.

Aku mencoba menutup mataku.

Hingga beberapa menit— atau berapa puluh menit— kemudian aku kembali membuka mata. Aku bangkit dari kasur dan menutup jendela dan gorden, lalu kembali berbaring. Cahaya pudar bulan bersinar dari sela gorden.

Aku kembali menutup mata, berharap agar aku segera pulas. Tapi, sial, seperti biasa aku tidak kunjung terlelap.

Aku berdecih. Kalo begini terus lama-lama kantung mataku bisa sama pandanya dengan salah satu anak kelas sebelah.

Aku mencoba untuk lebih rileks, tetap dengan mata tertutup.

Berisik. Berisik. Berisik.

Aku bisa mendengar kebisingan memenuhi kepalaku, menghantui, mengganggu, mengkacaukan, mengusuti, mengocok-ngocok seluruh isinya, seolah akan meledak. Tapi sebenarnya tidak ada suara sama sekali di luar sana.

Hentikan. Hentikan. Hentikan.

Kepalaku yang berisik. Dari dalam kepalaku. Sebut itu aneh tapi itu kenyataannya. Dan aku membencinya.

Aku membenci kenyataan.

Sesederhana itu.

.

.

.

To be continued.

Thanks for reading!