Love Me ch.1
Category : EXO, Fanfiction, Semi-Yaoi, Continues
Cast : EXO, others
Disclaimer : God, Agency, Themselves, Author
Warn : Yaoi (Boys Love), Violence, Death-chara
000
Kriing—
Jam makan siang. Para siswa melesak keluar kelas, nampak persis hewan ternak yang dibawa berkunjung ke padang rumput kaki gunung.
"Bahasa Perancis selalu menyulut api ke kepalaku!" Itu Chen (Kim Jongdae adalah nama lahirnya) yang menjerit nyaring dengan suara turun-naik tak keruan.
"Nah, kau juga merasa kalau kepalamu akan meledak?" Ini Luhan, tengah menertawai ekspresi Chen.
"Aku beberapa kali mengulang bacaan. Itu memalukan." Kali ini Yixing. Panggil ia Lay. Disebelah bahunya ada Do Kyungsoo yang pendiam. Lalu, satu orang lagi.
"Ini lucu, aku bahkan belum lancar bahasa Korea," Zitao. Atau Taozi. Yang manapun sama saja. Anak paling tinggi diantara keempat lainnya.
Luhan. Chen. Lay. Kyungsoo. Tao. Lima sekawan yang biasa-biasa saja. Saling mengenal sejak empat tahun silam setelah dipertemukan dalam asrama putera milik S. M. International School, Seoul, Korea Selatan. Selain Chen dan Kyungsoo, tiga orang sisanya adalah berkebangsaan Cina. Dan selain Tao, tak ada lagi yang kesulitan merapal bahasa Korea—tempat sekolahnya berdiri.
Diantara kelimanya, Luhan-lah yang berusia paling tua. Anak itu biasa cerewet pada keempat adik-adiknya soal pola makan, pelajaran, sampai bau badan sekalipun. Tidak ada Si Anak Mas dalam kamusnya. Chen, Lay, Kyungsoo dan Tao selalu mendapat perlakuan istimewa yang sama. Bahkan Luhan rela dihukum membersihkan gedung olahraga karena membela Chen yang berkelahi dan mengacau di kantin (walau setelah itu kawanannya datang juga untuk membantu). Menurut Lay, "Dia perhatian seperti seorang noona, tapi dia memiliki sifat penuh tanggung jawab layaknya para hyung." Sekarang jelas alasan mengapa empat bocah disana melekat erat pada seorang Xi Luhan.
…
"Beberapa minggu lagi kita sudah memasuki tahun ajaran baru,"
"Menengah atas." Lay menangguk mantap seiring interupsinya pada kalimat Tao. Tao hanya tertawa sedikit untuk kembali melanjutkan apa yang ada didalam kepalanya. "Hyungdeul pasti tahu, saat itu kita akan menjumpai banyak wajah baru. Teman baru, suasana baru," Katanya dengan wajah segan-segan. Mata hitam dengan kerlingan macam kelereng itu tergulir bertatapan dengan marmer kuning kelabu yang mengilap. Lalu lingkar yang mengerling itu menampakan binar lain, serupa kilatan kecil, samar-samar.
"Oh, oh, ada apa, Tao-ah?" Lay beringsut kehadapan Tao dan memegang wajah kekanakan itu dengan kalut. "Apa yang membuatmu sedih?"
"Kita berlima. Apa kita berlima akan tetap seperti ini? Kita tidak akan saling melupakan 'kan? Aku mau punya banyak teman, tapi aku tidak mau kehilangan kalian." Tao mulai sesenggukan.
"Si serakah kecil ini," Kyungsoo menyahut. Tidak, celetukan atau gurauannya tidak akan melukai hati siapapun diantara mereka, karena begitulah tabiat Kyungsoo yang dikenal teman-temannya dengan amat baik dan penuh rasa maklum: berlidah tajam. "Kita bukan hanya teman sekelas, ingat itu. Bahkan pintu kamar kita berhadapan."
"Itu bisa menjamin?" Tao kembali mengeluh dengan wajah yang kekanakan.
"Aku tidak akan lupa pada kewajibanku yang harus mengingatkan kalian untuk menyikat gigi sebelum tidur." Luhan merangkul leher Tao dan mendekapnya erat hingga rahang bocah termuda itu bisa menyentuh pertemuan alis hyungnya. Chen mengacak-acak rambut Tao gemas. "Tidak ada hal yang perlu kau cemaskan, Panda-ku," Cengirnya lebar. Itu adalah deretan geligi yang selalu bisa mengembalikan semangat Tao ketika mood-nya sedang turun drastis seperti ini.
"Kalian berjanji?"
Dan ketika Tao mulai merekahkan senyum andalannya yang lugu dan manis, keempat teman kesayangan ikut tersenyum, dengan Kyungsoo yang mengacungkan ibu jari untuk mengiringi ucapan Luhan setelahnya. Katanya, "Kita tetap seperti ini sampai kapanpun."
000
Krak, krak, krak—
Seorang anak laki-laki memutar pedal sepeda tua yang selama bertahun-tahun sudah bersarang dalam gudang; gudang yang tak kalah tua dengan si sepeda. Gelap, lembab, bau. Sesekali ada satu-dua ekor curut melintas atau terdiam sekedar menjenguk entah apa tanpa menyadari kehadiran manusia disana. Namun hewan pengerat yang hidup berkelompok itu segera menghambur jika pedal kembali diputar.
Lapar. Tapi bau tak sedap yang menyengat didalam gudang itu membuat rasa laparnya perlahan menguap lenyap dibawa semilir angin.
Kau tidak memerlukan teman, kau hanya perlu menghilang dan mati secepat mungkin!
BRAKK
Sepeda itu jatuh kearah yang berlawanan dari tempatnya biasa tersandar nyaman, diiringi jeritan serak dari pelaku kekacauan disana. Jerit-jerit itu tercipta entah karena remasan kuat pada rambutnya atau karena suara yang terngiang gila-gilaan dalam benaknya—anak kecil yang penuh tekanan. Bibir kecil kemerahan yang semestinya ia gunakan baik-baik untuk mengumandangkan pelajaran dihadapan kelas, malah menjadi 'produsen' dari deretan kata-kata kotor yang bahkan belum layak 'dikonsumsi' oleh bocah seusianya. Ia terpekik sejadi-jadinya, sesanggup kerongkongan ringkihnya mampu menahan perih dari getaran-getaran yang dipaksakan keluar dengan lantang. Tidak akan ada yang mendengar. Bahkan jika ia sekarat sekalipun, takkan ada yang perduli.
"Hei,"
Matanya melotot ketika sebuah teguran sampai ke telinga merahnya yang menggigil. Bukan suara yang memenuhi kepalanya (bukan juga suara yang mirip-mirip), tapi lebih kecil dan lebih akrab. Oh, ya, tentu saja karena sosok yang baru saja menerobos masuk gudang itu adalah anak seusianya.
"Kau punya markas rahasia yang keren!"
Lalu pelaku tumbangnya sepeda tua ini hanya diam dengan mata sengit. Entah, tamu tak diundang yang tiba-tiba merangsek itu memang terlihat sesemangat seruannya, tapi apa yang membuat Tuan Gudang ini amat bergidik?
000
Malam ini dingin (meski seharusnya tidak sedingin ini karena sebentar lagi sudah menyambut musim semi), manjadi alasan kuat bagi Lay untuk berbagi pelukan dengan Tao. Tao adalah teman sekamarnya, bersama Kyungsoo. Sedangkan Luhan dan Chen ada dikamar seberang bersama satu orang siswa kelas dua.
"Dua puluh hari lagi, jadi siswa SMA." Kata Lay, mengusap-usap punggung Tao dan terpejam karena suhu hangat meremang dari telapak tangannya, menjalar hingga ke seluruh tubuh. Kaki-kaki mereka yang bagai ranting pohon magnolia saling mengapit dibalik gulungan selimut. Sementara Lay masih mencari posisi nyamannya, Tao sudah lebih dulu jatuh lelap. Lengannya melingkari rusuk Lay bagai sulur tanaman sihir.
Kyungsoo mengangguk, membuat kacamatanya merosot licin keujung hidung. "Aku memahami perasaan Tao." Katanya.
"Yah," Lay menjenguk wajah kekanakan yang tergolek menimpa lengannya. Anak itu memang dianugerahi daya pikat kuat, dan itu diakui oleh Kyungsoo dan Luhan. "Sebenarnya, persahabatan bukan berarti kita tidak boleh berteman dengan yang lain. Persahabatan adalah masalah setia dan jujur. Apa yang kau cemaskan, yang Tao cemaskan, memang tidak salah."
Helaan nafas Kyungsoo menerpa helaian lembar buku Bahasa Inggris yang sejak sore tadi menyita perhatiannya. Diantara yang lain, Kyungsoo memang satu-satunya yang sudi membuku buku pelajaran ditengah-tengah libura seperti ini. Lalu, Tao kecilnya menggeliat dengan erangan tertahan, yang kemudian membuat Lay segera menaikkan selimut sebatas bahunya demi menyamankan si panda; lingkar hitam mencolok yang benar-benar membuatnya persis seekor panda.
"Aku janji, aku takkan meninggalkan kalian."
"Kalimat itu lebih pantas diucapkan oleh Luhan-hyung." Sahut Kyungsoo yang kemudian direspon oleh sebongkah bantal melayang kearahnya.
000
"S. M. International School?"
"Yap." Seorang lelaki dengan kemeja burgundy menghampiri meja dengan membawa dua gelas kertas. Dia baru saja dari mesin penjual kopi di basement (sebenarnya ia hanya membeli dua gelas cokelat panas). "Sesuai namanya, disana ada banyak WNA. Kita mencari lokasi kemungkinan pelaku pindah sekolah tiga tahun lalu. Maka, kurekomendasikan sekolah ini."
"Seoul?"
Lelaki berkemeja tadi meletakan salah satu gelas, kemudian mengedarkan tatap serius. "Ya, Seoul. Kita tak bisa menunda lebih lama lagi, aku perlu tahu siapa pelakunya."
"Tapi, kita bukan detektif. Bahkan kita tak menyediakan bukti selain mata yang menyaksikan kejadian bertahun-tahun lalu itu. Ayolah, ini sudah lewat terlalu jauh untuk diungkit."
"Sehun-ah," Ia mengosongkan isi gelas yang kini dipenuhi oleh noda cokelat buram. Buram seperti kenangan masalalunya. Seperti album foto yang disimpan oleh nenekmu dan baru diketemukan ketika kau memiliki cucu. Hatinya mungkin sudah beku sejak waktu lalu, tapi tidak dengan ingatannya. "Aku harus menangkapnya, aku harus menyelamatkannya,"
Sehun menunduk pasrah. Orang yang satu itu memang terlalu lama terpenjara dalam kenangan. Seperti potret-potret yang dicetak dari master yang sama, namun dipajang pada hampir setiap sudut rumah; selalu nampak, selalu teringat. "Terserah kau saja, Jongin."
"Maaf," Jongin meremas gelasnya hingga tak lagi berwujud dan lebih layak disebut sampah. "Ini semua karena dia adalah temanku. Teman kecilku."
Teman kecilnya.
"Aku harus menolong Kyungsoo."
000
H-5 upacara penyambutan siswa baru.
Jgrek— "Lay-ah,"
Kepala Chen menyembul setelah pintu kamar nomor 420 milik tiga temannya terbuka dengan tanpa semangat. Lihat juga wajah itu, ini kunjungan tanpa senyum dinosaurus khas Kim Jongdae. Ada sesuatu yang tidak beres—sepertinya. Lay menyingkirkan tatapannya dari ponsel seukuran cermin bedak padat ibu-ibu yang gemar bersolek. Ia juga menangkap rasa gusar pada raut Chen. Jemari Lay berayun memanggil dan tubuhnya beringsut menyediakan tempat duduk. "Masuk dan bicaralah." Ucapnya kemudian.
"Kalian tidak bersama Luhan-hyung?" Astaga, ternyata itu penyebabnya, wajah gusarnya muncul karena rasa cemas yang bukan main. "Dia pergi sejak siang tadi." Tao dan Kyungsoo segera terhenti dari kesibukan mereka; dari katalog Coco Channel dan dari lantunan musik populer zaman sekarang. Sungguh, keluhan Chen terdengar menusuk indera pendengaran seisi kamar.
Kyungsoo menjenguk jam tangan. "Pukul berapa tepatnya?"
"Sebelas."
"Kau bercanda," Tao tertawa. Tawa yang dipaksakan, berusaha menganggap kalau Chen benar-benar sedang bercanda. "Sekarang jam sepuluh lewat, tidak mungkin Hannie-hyung pergi selama hampir dua belas jam."
"Sendirian pula." Kyungsoo menimbal.
"Nah. Hannie-hyung sudah pasti tidak akan berlama-lama jika hanya sendirian."
"Tapi dia belum kembali!" Chen memekik tertahan. Ingin saja ia marah dan menunjuk-nunjuk wajah kawanannya yang menganggap kekhawatirannya hanya sebuah gurauan. Chen benar-benar tak bisa berhenti memikirkan Luhan-nya. Dan keadaan saat ini segera berubah hening.
Tao bergerak tak keruan seperti orang bingung, entah apa yang ia cari dengan kesedihan kaku terpatri diwajahnya. Tapi memang seperti itulah Huang Zitao yang panik, persis orang mabuk yang tak punya pegangan untuk sekedar menopang berat tubuhnya. Lay yakin sebentar lagi Tao akan beranjak menggapai jaket kulit hitam dibelakang pintu dan pergi memastikan ketakutannya. Benar saja, itulah yang Tao lakukan selanjutnya, sesuai perkiraan Lay. "Jangan ada yang beranjak dari sini."
"Aku akan mencarinya," Suara Tao bergetar. Oh, dia menahan tangis. Anak itu memang cengeng dan mudah menyerah pada ketakutannya. Apalagi, ini menyangkut seseorang yang ia sayangi.
"Zitao-ah, tetap disini."
Tao mengabaikan instruksi Lay dan memilih menggenggam tangan Chen didepannya. "Chen, ayo kita cari Hannie-hyung," Air mata sudah mengambang di kantung kehitaman dasar matanya yang kelam. Tapi Chen hanya mampu terpaku pada liputan seputar rasa bingung; antara Lay yang menghalau siapapun pergi atau Tao—didepan wajahnya—yang menangis bersikeras keluar mencari Luhan.
"Tao," Panggil Lay sekali lagi.
"Ayo Chen, ayo!" Tao mengguncang tangan Chen. "Ayo cari Hannie-hyung! Aku tidak mau terjadi hal buruk padanya, kalaupun ada yang tidak beres, aku mau membawanya pulang. Aku mau memeluknya agar ia tidak ketakutan," Dan ia benar-benar menangis seperti orang idiot.
"Kau masih akan melarangnya?" Chen melirik nanar pada Lay yang hanya bisa menghela nafas. Si Tao itu kalau sudah menangis bisa memengaruhi seluruh atmosfir dengan kesedihan tiada tara. Laki-laki dengan kemampuan merajuk—dibawah alam sadar—yang andal.
"Kalau kalian pergi, maka aku dan Kyungsoo akan dipenuhi kekhawatiran pada tiga orang. Kalian menyiksaku."
Kyungsoo mengaitkan telunjuknya pada kelingking Lay tergeletak diatas lutut. "Biarkan mereka pergi."
"Apa kau akan ikut mencari Luhan?" Lay menyapukan sebelah tangannya ke wajah yang jelas sekali nampak berat melepas adik-adik kesayangannya di malam hari seperti ini (dimana hyung tertua mereka pergi dan belum kembali). Dan Kyungsoo memberi sebuah gelengan kecil berulang, menatap Lay lamat-lamat. "Aku menjagamu disini" Katanya yakin.
…
Gelap. Sunyi. Yang sunyi hanya suasana malam yang tanpa ada seorang pun berkeliaran, tidak termasuk dengan suara-suara bising didalam gudang belakang Gedung Tiga asrama putera (total bangunan asrama berjumlah empat gedung). Bangunan itu penuh dengan erangan kacau dari seseorang; mengurung diri atau terkurung, siapa yang tahu.
"Bajingan. Bajingan."
Ia terduduk dengan kaki melipat setinggi dada, meringkuk dengan punggung beradu pada dinding kusam yang dingin. Telapak kakinya bergerak saling bergesekan seolah ada banyak debu hinggap disana, tangannya mengacak-acak apapun yang melekat pada tubuhnya. Ia merasa harus bergerak banyak, dalam kepalanya, yang ia tangkap dari kondisinya saat ini, ada banyak sekali kotoran yang bersarang hampir diseluruh celah tubuh ringkihnya dan ia harus merontokkan kotoran-kotoran itu. Ia merasa amat sangat kotor.
"Dasar bajingan. Bajingan." Mulutnya terus melontarkan kata itu. Berulang-ulang, berulang-ulang, tanpa lelah. Lama-lama otaknya seakan meledakkan umpatan kasar itu keluar, membuatnya terpekik lantang. "Bajingan!"
Itu Luhan.
…
Langkah Chen dan Tao berhenti begitu mendengar pekikan ketika kaki mereka baru saja menapak keluar dari gedung asrama. Suara yang tidak asing, tapi entah hal apa yang membuat kinerja otak mereka menjadi selamban kukang paling malas. Masih diliputi rasa panik perihal hilangnya Luhan, ditambah suara jeritan tadi, membuat Tao mengeratkan genggaman tangannya pada jemari Chen. Sekelebat bayangan lewat didepan mereka. Bukan keastralan, itu jelas-jelas sosok orang yang melintas dengan cepat. Tapi faktor penerangan yang minim membuat wajahnya sulit diterka.
"Siapa itu Chen?"
Chen mendesis pada Tao. Pikirannya menduga-duga kalau bayangan tadi mungkin saja Luhan. Tapi, apa yang dilakukan Luhan diluar asrama pada pukul sebelas malam? Luhan bukan penakut, tapi Chen sangat mengenal kemalasan Luhan jika harus jalan-jalan seorang diri. Ditambah lagi, sampai selarut ini.
Menangkup genggaman Tao dengan belah tangannya yang lain, Chen memberi isyarat dengan kepala meneleng; ia ingin membuntuti bayangan tadi. Tao menatap tak percaya, ia butuh alasan kuat mengapa mereka harus melakukan hal yang—menurutnya—menakutkan itu. Tidak apa-apa, Chen hanya ingin memastikan kalau firasat buruknya keliru.
…
Buagh—
Wajah yang biasa memamerkan kelembutan itu terhempas kesamping, terhempas kuat hingga ia merasa mungkin tulang lehernya bisa patah. Pukulan yang ia terima terlalu bertenaga, melancarkan darahnya untuk membuncah keluar melalui hidung kecil yang melengkapi ketampanannya. Luhan sedang dipukuli oleh seseorang dengan tenaga yang gila-gilaan.
"Kau bilang aku bajingan? Aku?"
Luhan terengah, dadanya sesak setelah menerima dua tinjuan pada ulu hatinya. Bahkan ia mengutuk suaranya yang tertahan dikerongkongan, kenapa suaranya menghilang saat ia merasa perlu untuk membalas pertanyaan orang didepannya? Segala penjuru, setiap milimeter dari tubuh Luhan menuntut untuk bergerak dan memberi balasan dari tiap perlakuan yang ia terima, tapi rasa sakit dan lelah membuatnya hanya mampu mematung.
Laki-laki pelaku pemukulan Luhan ini adalah si bayangan yang dibuntuti oleh Chen dan Tao. Orang dengan perawakan agak gempal berisi, sesuai dengan kadar kekuatannya yang serupa petinju amatir.
"Hentikan," Hanya itu yang berhasil lolos dari bibir pucat Luhan. Kini ia kembali diperlakukan seperti beberapa jam lalu ketika sesuatu menahannya untuk kembali ke kamar: kekerasan fisik; kekerasan seksual. Ia dipaksa untuk melayani kebejatan laki-laki didepannya. Penyebab kenapa Luhan menghilang adalah hal ini, ia disekap di gudang dan disimpan untuk dijadikan mainan penuntas nafsu dari bajingan (sesuai dengan makian Luhan) berkekuatan super.
"Nikmatilah, bukankah kau juga gila karena asrama ini tidak menyediakan wanita murahan?"
Pertanyaan retoris. Menurut Luhan, itu adalah pertanyaan retoris karena siapapun tahu tekanan siswa yang menetap di asrama. Tapi itu bukan alasan untuk melakukan hal semacam ini. Sementara Luhan hanya mampu tegrolek dengan mulut yang disekap dan seseorang diatas tubuhnya nampak bisa mati kegirangan karena hasrat bergolak yang menjijikan, siapa yang mengawasi keadaan? Tentu saja ada. Ada orang yang menyaksikan kejadian itu dengan mata melotot dan leher tercekat.
"… Xi Luhan…"
—To be Continued—
