My girl, and ghost beside her
Chap 1
Story (Shampo-san)
Naruto (Masashi Kisimoto)
Standart warning :
Penulis tidak meraup keuntungan apapun dari fanfic ini. Isi cerita berdasar imajinasi penulis. Kevalidan informasi yang disajikan bukan 100%. Fanfiksi ini sebatas hiburan. Kesalahan kepenulisan berubah TYPO(S) dan EBI yang belum benar bukan sengaja.
Happy read
..
...
Skizofrenia ialah gangguan mental di mana penderitanya mengalami halusinasi, delusi, pikiran kacau, dan perubahan perilaku yang membuat si pengidap sulit membedakan antara kenyataan dengan pikiran sendiri.
Sebenarnya belum diketahui secara pasti apa penyebab skizofrenia. Kondisi ini diduga terbentuk oleh kombinasi faktor psikologis, fisik, genetik, dan lingkungan yang kurang stabil.
Seminggu ini Toneri dapati Hinata kerap meracau dan terlihat sering berbicara seorang diri. Mengalami penurunan cukup signifikan dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, pun datar secara emosi. Hal tersebut tentu membuat calon pengantin laki-laki itu khawatir terhadap psikis bakal mempelai wanitanya. Semenjak perempuan itu ditemukan di sebuah pulau tak berpenghuni selang tiga hari selepas speed boatnya terbalik, pemilik sepasang iris amethyst tersebut jauh berbeda. Dia acap berbicara asal, mengatakan, 'Laki-laki berambut pirang itu terus mengikuti ku.'
Siapa yang tak buncah bila begini? Hati mana mampu tahan, kala kejiwaan wanitanya melulu dipertanyakan?
"Bagaimana dok?"
"Tidak apa-apa. Cukup diminum obatnya seperti biasa, dan terapi secara teratur."
Sang dokter menyerahkan resep untuk ditebusnya di apotek. Terdiri dari tiga kaplet antipsikotik yang berguna memengaruhi zat neurotransmiter dalam otak, sehingga menurunkan agitasi serta rasa cemas yang berperan mencegah halusinasi, delusi, pun menjaga kemampuan berpikir dan mengingat.
.
"Makan dulu, baru di minum obatnya."
Hinata sebatas memandang kosong nampan berisikan sup tofu, dua kepal onigiri, sepotong tuna panggang, serta segelas air putih yang Toneri letakkan pada pangkuannya.
Sepasang manik lavender pucat tersebut menyorot jauh dari cerah. Ia menunduk, netranya sayu terkesan mengantuk. Padahal biasa Hinata bakal langsung terlonjak ketika melihat makanan favoritnya.
Toneri menepuk-nepuk puncak kepala Hinata. Gadis itu serupa bocah kecil teramat butuh atensi. Bagaimana pun, mau seperti apapun, Hinata tetap sosok tunggal ia cintai.
Toneri lantas menyibak helai indigo panjang teruai menutupi wajah cantik itu ke belakang telinga.
"Aku tidak bohong,"
Toneri mengambil napas panjang, 'Mulai lagi.'
"Aku tidak berbohong, Tone-kun. Kau percaya kan?" ujung bawah jas Toneri tertarik. Ada semacam getir tiba-tiba bersandar di bibirnya, kala ia mencoba tersenyum pada Hinata."Dia di sana. Dia menatap kita dan tersenyum. Kau lihat seragam Kriegsmarine yang dia pakai, stelan maroon plus topi perwira itu jelas menunjukkan dia tentara Jerman." Tunjuk Hinata ke sebuah sofa di dekat jendela, sedang Toneri tak melihat siapapun di sana.
Hinata buru-buru memindahkan nampannya ke meja. Seolah takut, ia menarik selimut, menyembunyikan dirinya.
"Hina--?"
Jika sudah begini, obatlah jalan tercepat sebagai penenang.
...
Purnama sembunyi di antara deret kapas kelabu. Bergerak menggiring sekat penutup pendar-pendar kecil, setitik, dua titik cahaya benderang dari sini.
Angin bertiup lama, lebih kencang, pun menjadi-jadi. Gorden penutup jendela berona emas itu mengayun-ayun selaras kuat embusannya.
Hinata meringkuk, mendekap lutut di atas pembaringan putih. Selimut menangkup punggung nyaris menutupi fisik kurusnya hingga kepala.
Wajahnya membenam di balik dua siku yang saling sentuh satu sama lain. Ia tak habis pikir, mengapa Toneri notabene kekasihnya begitu sulit sekadar percaya?
Terang, Hinata keras membantah jika dituding gila, atau mengidap skizofrenia seperti yang sang calon suami sangkakan.
Dirinya masih 100% waras untuk membedakan fakta dengan fatamorgana. Delusi dan asli, atau beda angan dengan kenyataan.
Hinata sekalipun tak bohong: sosok bermata biru, berambut blonde, tinggi besar, memakai jaket perwira dengan insignia Kapitänleutnant di lengan tersebut memang benar adanya. Derap sepatu boot perak sosok itu ketika melangkah bahkan dapat ia dengar beberapa detik, sebelum akhirnya entitas tersebut muncul di hadapannya serupa sekarang.
Napas Hinata tersengal. Berjarak kurang dari dua puluh centi, sosok itu memandanginya intens.
"...ma-mau apa?"
Frasa terbata Hinata dibalas kikikan kecil.
Beringsut memundurkan diri, amethyst melepas jarak namun seketika dibalas satu tarikan dari pemuda di sisinya.
Aneh?
Mengapa sosok tersebut mampu menggenggam tangannya?
Hinata yang terkejut tanpa sadar menampik tangan kekar itu hingga selimut menutupi tubuhnya jatuh.
Hinata yang ketakutan berusaha mengambil kembali selimutnya. Apalah daya, gugup terlanjur lebih dulu menghampiri sampai-sampai selimut bergeming itu menjadi sulit ia gapai.
"Aku menakutimu?"
Kontan Hinata terperanjat,
"Ja-jangan takut dulu. Aku tak berniat buruk!"
Hinata berpaling-- netranya memejam, tubuhnya tampak sedikit gemetar.
"Kau benar-benar takut padaku?"
"...pe-pergi!"
"Eh?"
"...pe-pergiii!" Hinata menampik lagi tangan sosok tersebut kala hendak menyentuh bahunya. "...pergi! Menjauh dariku!"
"Tu-tunggu, aku tak berniat menakutimu. Aku juga tak ada niatan menyakitimu. Aku hanya senang, sekian lama menghuni pulau itu seorang diri, akhirnya ada yang bisa melihatku. Aku hanya ingin berteman. Itu saja."
"...berteman?"
Sosok tersebut mengangguk.
"Aku tak seburuk apa yang kau pikirkan," ujarnya mengulurkan tangan. "Namamu?"
Sial. Hal ini membuat Hinata terjebak dalam situasi dilematis. Ia ingin membalas jabat tangan lelaki itu, tetapi di lain pihak ia khawatir bila yang terjadi setelahnya adalah hal di luar dugaannya. Semisal, sosok tersebut bakal menelannya mungkin?
"Namamu?" tangan kekar itu masih terulur menunggu jawaban Hinata.
Hinata menelan ludah. Cukup ragu ia menjabat tangan tersebut, "...Hi-Hinata, Hyuuga Hinata."
"Nama yang cantik." Sang sosok kembali tersenyum. "Namaku Uzumaki Naruto." Ucapnya memperkenalkan diri.
Diam-diam--tanpa Hinata sadari--Toneri mengintip di balik pintu. Tangannya mengepal.
...
"Hahah... aku belum pernah ke sana. Apa negara itu lebih panas dari Jepang?" Seulas kurva teruntai di bibir, seiring kalimat itu keluar. "...be-benarkah?"
Perkembagan ini jelas tak luput dari mata jeli Toneri yang selalu mengawasinya. Kendati Hinata terkesan lebih rileks dari hari-hari sebelumnya, hal ini nyatanya membuat Toneri bertambah khawatir. Bagaimanapun, intensitas percakapan seorang diri yang dilakukan Hinata terpantau lebih sering. Bukan sebatas itu, sudah dua harian Hinata kerap tertawa sendirian.
"Hahaha... iya, iya. Itu, tentang itu."
Sekali lagi Toneri mengintip di balik pintu. Mengamati tanpa sang gadis sadari.
Hinata terlihat merajut sebuah syal. Warna merah, jujur terlalu menyala bagi lelaki yang lebih suka corak lembut seperti dia. Seharusnya Hinata tahu ini. Memuakkan. Dia membuat syal untuk siapa? Dan lagi, apakah obat beserta segala terapi itu gagal? Sampai detik ini kedua hal tersebut tak menghasilkan apa-apa kecuali kejiwaan Hinata yang semakin buruk.
"...Hinata?"
Hinata sedikit terkejut kala menyadari kedatangan Toneri.
"To..Tone-kun?"
"Aku mengganggu? Kau sedang apa?" Ujarnya duduk di lengan sofa di sisi kanan Hinata. Sofa itu berada dalam ruang keluarga, berpunggungan langsung dengan balkon rumah.
"Etto..." Netra Hinata sekilas terlihat cemas. Kelerengnya bergulir melirik bagian kosong di sampingnya.
"Hinata? Kau dengar aku kan?"
Cukup gelisah gadis itu mengangguk,
"Kau sudah meminum obatmu?"
Lagi-lagi Hinata membalas dengan sebuah anggukan.
Toneri terdengar mengambil napas panjang, "Bersiap-siap lah. Kita akan pergi ke tempat dokter Yakushi."
Spontan Hinata tak pelak terkesiap, "Ke sana lagi?" penekanan dalam kalimatnya menunjukkan rasa ketidaksukaan dan kecewa.
"Um! Kita harus memeriksakan kondisi mu sekali lagi. Aku tidak mau di pesta pernikahan kita terganggu oleh halusinasimu dan kau dicap sebagai wanita yang aneh."
"To..Tone-kun? Jadi kau tetap mengira aku memiliki kelainan?!"
"Aku hanya ingin yang terbaik untukmu."
"Tapi bukankah kau berujar bakal percaya dengan segala yang kulihat? Aku tidak berbohong! Bahkan jika kau ingin tahu, sosok yang kuceritakan sekarang duduk di samping ku--"
"Berhenti bicara asal!" Toneri menarik pergelangan tangan Hinata, hingga rajutan setengah jadi itu jatuh ke lantai. "Sekarang kau sudah benar-benar menjadi gila!"
Pupil Hinata membola, "...a-apa?"
"Sadar, Hinata! Tidak ada siapapun di sini kecuali aku dan kau. Tidak ada ras Eropa yang selalu mengikutimu kemanapun seperti yang kau ceritakan!"
"Tone-kun, kau--" Hinata mengernyit--merasakan sakit pada pergelangan karena Toneri menariknya terlalu kencang.
"Aku benar-benar muak dengan apa yang kau katakan!"
"Tone--"
"Semua yang kau lihat itu delusi, Hinata! Hanya benturan pada kepalamu saat kecelakaan terlalu keras. Apapun kau lihat semua murni tidak nyata. Seharusnya ini tak menjadi perdebatan kita, dan kau seharusnya menuruti kataku seperti Hinata yang ku kenal dulu." Toneri menindih tubuh Hinata ke sofa.
"Le--pas!"
Kedua lengan Toneri terlalu kuat untuk Hinata lawan.
Hinata terpojok, dan Toneri mengungkungnya.
Entah apa terjadi pria berambut uban tersebut pelan dan perlahan membuka dress Hinata yang memiliki kancing di bagian depan.
"Tone--"
Ronta Hinata serasa tak terdengar dalam telinganya. Tangan itu terus bergerilya meloloskan kancing peach tersebut satu demi satu. Sampai sebuah buku tiba melayang, dan akhirnya tejun bebas--memukul bagian kepala belakangnya.
Buaagg...
"--A!"
Seketika Toneri menoleh.
Aneh, padahal idak ada siapapun di belakangnya. Jadi bagaimana bisa buku dari rak yang jaraknya ada satu meter lebih itu bisa terbang sampai kesini?
Toneri kembali memperhatikan buku tebal yang kini tergeletak di lantai itu.
Melihat kesiagaan sang calon suami berkurang, buru-buru Hinata mendorong tubuh tegab itu untuk meloloskan diri.
Hinata mendorongnya kuat, dan berlari ke kamarnya.
"...Hina--!"
Tubuh gadis tersebut terlebih dahulu lenyap di balik pintu.
"Aghrrr..." Toneri menjambak rambutnya. "SIAL!"
.
.
.
TBC
Akan terdiri dari dua/tiga chap.
Terimakasih sudah membaca :)
Salam,
Shampo~
