Halooo! Cerita ini saya persembahkan untuk karakter favorit saya di Naruto, Hinata Hyuuga, yang berulang tahun hari ini~ sekaligus juga untuk event pertama GaaHina FC, GHARALS (Gaara Hinata Adolescence Romance in A Love Song). yeyey!

Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishomoto, judul cerita ini berdasarkan lagu punya Maroon 5 dengan judul yang sama :)

Warning : 1st POV!

Enjoyyy~


Chapter 1

What Lies Behind Her Timid Appearance...

Entah apa yang sudah merasukiku sampai aku mau mengikuti si gadis berambut pink ke ruangan yang dipenuhi bau antiseptik ini.

Guci sudah kulepas dan kuletakkan di samping meja periksa. Sementara aku, duduk di meja periksa yang dingin itu. Aku tak ingat kapan terakhir kali aku masuk ruang periksa rumah sakit. Malah sepanjang ingatanku, aku sama sekali tak pernah masuk ruang periksa. Ikut inspeksi kesehatan rutin untuk shinobi saja gak pernah.

Berkat shukaku dengan perlindungan pasirnya yang dua puluh empat jam sehari, sepanjang hidupku aku hanya pernah dua kali pergi ke rumah sakit. Dua-duanya dengan luka berat. Yang pertama saat aku terluka melawan Naruto. Dan yang kedua setelah aku melawan Seimei. Tapi saat ini... Gara-gara sesuatu yang sepele aku harus kembali kesini lagi.

Dahiku sedikit mengernyit saat gadis di hadapanku ini terus-terusan mengoceh tentang pekerjaannya di tempat itu. Aku ingin sekali memberitahunya bahwa aku sama sekali tak tertarik mendengar berapa banyak shinobi yang ia rawat setiap hari, ataupun berapa banyak operasi penting yang ia lakukan tiap harinya. Aku sama sekali tak peduli.

Tapi demi kesopanan dan juga posisiku sebagai seorang Kazekage, serta mengingat betapa pentingnya arti gadis ini bagi sahabatku, Naruto, aku menahan diri agar tidak mengeluarkan komentar-komentar pedas.

Sekarang... bisakah seseorang mengingatkanku lagi mengapa aku berada disini?

"Wah, kelihatannya kami kehabisan kapas disini." Ia berkacak pinggang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Apa saja sih yang dilakukan orang-orang dari bagian perlengkapan? Kenapa mereka bisa membiarkan ruangan ini kehabisan kapas?" omelnya.

Aku hanya menatapnya pasif tanpa berkomentar sedikitpun. Bagaimana aku bisa tahu? Ini saja pertama kalinya aku berada disini.

"Tunggu sebentar disini ya, Gaara. Aku akan ke ruangan penyimpanan untuk mengambil kapas." Gadis berambut pink itu menunjukkan senyuman semanis gula sebelum keluar dari ruangan tersebut.

Aku menghela napas, dan memejamkan mata. Bau antiseptik yang menyengat membuat kepalaku sakit. Tidak hanya baunya, aku bahkan tak menyukai ruangan tersebut. Ruangan itu putih. Dindingnya putih, perabotannya putih, meja tempatku duduk putih, dan keramik lantainya pun putih. Warna putih terlalu cemerlang, membuat mataku sakit. Aku lebih memilih warna cokelat pasir, atau... warna merah.

Mengapa gadis itu harus meninggalkanku di ruangan ini?

Aku bahkan tak tahu semua ini salah siapa. Aku berniat membeli bunga sebagai oleh-oleh untuk sang Hokage. Naruto bersama temannya si rambut pink menemaniku. Saat di toko bunga Yamanaka, gadis itu menawarkanku untuk memilih bunganya langsung dari greenhouse-nya. Namun, saat sedang memilih bunga, Naruto yang tak bisa diam mencoba-coba pestisida yang Yamanaka gunakan untuk membunuh hama. Si gadis pink memarahinya dan memberikan pukulan yang telak di punggungnya. Akibat pukulan tersebut, Naruto yang masih memegang kaleng pestisida tanpa sengaja melepaskan kaleng tersebut. Kaleng itu pun terlempar ke udara dan tutupnya terbuka. Isi kaleng itu pun serta merta tumpah melumuri wajahku yang berada di tempat yang salah pada waktu yang salah.

Untungnya hanya kulit wajahku yang terkena cairan beracun tersebut. Kalau sampai mataku buta karena terkena cairan itu, aku tak bisa menjamin apa yang terjadi di greenhouse si Yamanaka. Ah bukan, aku bahkan tak bisa menjamin apa yang terjadi pada Konoha. Meskipun setahun sudah berlalu sejak shukaku dikeluarkan dari tubuhku, namun sampai saat ini aku masih belajar mengendalikan amarahku. Aku sadar bahwa selama ini sumber kemarahanku berasal dari diriku sendiri. Kehadiran shukaku disana hanya seperti katalis supaya amarahku dapat tersalurkan dengan cara merusak sesuatu di sekitarku. Hidup bersama dua orang kakak seperti Temari dan Kankurou merupakan latihan kesabaran yang bagus. Namun belum cukup bagus untuk membuatku tetap sabar bila mataku buta karena hal konyol seperti pestisida.

Seperti yang kuduga, Naruto, Yamanaka, dan Haruno langsung panik melihat wajahku. Aku tak tahu wajahku berbentuk seperti apa sekarang. Tapi menilai dari ekspresi horor di wajah ketiga orang itu, pasti wajahku terlihat sangat mengerikan. Aku tak ingin mengakuinya, tapi sebenarnya kulitku yang terkena cairan tersebut terasa lumayan perih. Namun tidak seperih itu sampai aku harus jatuh lalu mengerang sambil berguling-guling di lantai. Tidak, gak mungkin aku melakukannya.

Di antara ketiga orang tersebut, Haruno-lah yang pertama kali sadar dari kepanikannya dan langsung menarikku ke arah rumah sakit pusat Konohagakure. Aku setengah menduga ia akan membawaku ke Hokage. Maksudku, yang terluka disini 'kan seorang Kazekage, pemimpin dari desa lain, aku punya hak untuk mendapat perawatan dari ahli medis nomor satu di desa itu yang kebetulan Hokage mereka, ya 'kan?

Tapi tidak. Si Haruno malah membawaku ke ruang periksa lalu secara independen merawatku. Dimana Hokage? Dimana Naruto? Dan yang paling penting... DIMANA AJUDANKU?

Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Ini adalah salah satu cara yang diajarkan Temari. Bila aku mulai merasakan amarahku mengembang, aku harus menarik napas dalam-dalam dan memfokuskannya pada dadaku. Dan sejauh ini hal itu terbukti ampuh.

Temari, kakak sekaligus ajudanku yang bertugas mengawalku bila aku sedang berkunjung ke luar desa, sejak kami menginjak gerbang Konoha keberadaannya tak diketahui. Tebakan terbaikku adalah ia ngapel ke tempat si ahli bayangan, si Nara-siapa-itu, aku lupa namanya. Dan sekali Temari sudah menghabiskan waktu dengan orang itu, ia bahkan tak peduli lagi dengan keadaan adiknya, yang kebetulan juga atasannya.

Dasar perempuan.

Sekarang... mana si Haruno?

Aku melihat sekilas jam dinding si seberang ruangan. Sudah sepuluh menit perempuan itu meninggalkanku. Dan dia bahkan belum memulai pengobatan apa-apa. Bukannya seharusnya ia mengobatiku dulu baru mencari kapasnya? Ataukah tanpa kapas pengobatan tak bisa dilakukan? Yang benar saja! Dan Naruto selalu membanggakan bahwa dia ahli medis profesional? Hah!

Atau... Mungkinkah dia ngeri melihat wajahku?

Nah, itu pertanyaan yang bagus. Sejak tadi aku sudah penasaran bagaimana wajahku sebenarnya. Dalam perjalanan kemari beberapa orang juga terkesiap melihat wajahku. Aku tak tahu apakah mereka terkesiap kaget ataukah terkesiap ngeri.

Aku berdiri dan berjalan menuju cermin di atas sebuah wastafel. Aku melihat ke dalamnya, dan seseorang berambut merah melihat kembali ke arahku. Hanya saja... orang tersebut tak terlihat seperti aku. Kulit wajah orang itu terkelupas dan mengeluarkan cairan putih. Beberapa bahkan ada yang mengeluarkan cairan kuning.

Tak heran orang-orang kaget melihatnya.

Mana si Haruno?

Aku menyilangkan kedua lengan.

Apa-apaan ini? Apa satu-satunya perawat di rumah sakit ini hanya si Haruno? Aku mengernyit. Seorang Kazekage tak boleh menggantungkan dirinya pada seorang perempuan yang keberadaannya bahkan tak jelas dimana. Aku harus melakukan sesuatu. Apalagi luka ini mulai terasa gatal. Aku ingin-ingin-INGIN sekali menggaruknya. Tapi aku teringat dulu Temari pernah berkata sesuatu tentang jangan pernah sekalipun menggaruk kulit yang gatal karena alasan apapun. Begitu kutanya mengapa, ia bilang akan menimbulkan bekas jelek di kulit.

Hmmm... Aku memikirkannya sekali lagi. Lalu mengapa kalau ada bekas jelek di kulitku? Memang siapa yang mau liat?

Baiklah, baiklah, mungkin banyak yang mau melihat wajahku. Temari, Kankurou, Matsuri, Naruto, Dewan, Kage-Kage dari desa lain, orang-orang Sunagakure, banyak sekali. Tapi bukankah orang-orang itu tak melihatku karena wajahku? Mereka melihat posisiku sebagai Kazekage, 'kan? Jadi, tidak masalah bila wajahku jelek, bukan?

Maka tanpa basa-basi aku pun langsung menggaruk luka di wajahku. Oh, rasanya sangat melegakan. Aku menggaruknya sekali, dua kali, tiga kali. Rasanya bikin kecanduan!

Setelah garukan kelima, aku sadar, bukannya membuat lukanya makin membaik, aku membuatnya makin parah. Perihnya makin tak terhankan. Aku melihat di cermin dan melihat kulit pada pipi sebelah kananku sudah terkelupas semua. Meninggalkan cairan berwarna kuning yang bercampur dengan merahnya darah.

Aku harus keluar dari ruangan ini sebelum aku tergoda untuk menggaruk seluruh wajahku.

Maka tanpa mengindahkan pesan Haruno (lagipula siapa gadis itu? Aku Kazekage! Aku bisa melakukan apapun yang kumau), aku pun melangkah keluar dari ruang periksa itu. Guci kutinggalkan di dalam ruang periksa. Toh, tak akan ada yang mau mencurinya. Lagipula setelah mendapatkan seorang perawat aku akan kembali lagi.

Koridornya sangat sepi, tak ada orang sama sekali. Aku melihat ke kanan dan kiri. Semuanya terlihat sama saja. Arah mana yang harus kuambil?

Pikiranku terputus ketika aku mendengar bunyi seperti bunyi besi yang jatuh ke lantai dari arah kiri. Aku pun tak bingung lagi harus mengambil arah mana. Ada bunyi, pasti ada orang. Aku mendekati sumber suara tersebut, setiap langkah yang kuambil membuatku dapat mendengar sesuatu.

Sesuatu yang terdengar seperti seorang gadis yang sedang berbicara, atau... ngedumel pada dirinya sendiri?

Lebih banyak barang dipindahkan, beberapa jatuh ke lantai dengan bunyi plop lembut, sementara yang lain jatuh berkelontangan di lantai. Aku berdiri menempel pada dinding di sebelah kanan pintu yang terbuka.

Tak diragukan lagi suara-suara tersebut berasal dari pintu yang terbuka itu.

Suara feminin gadis itu terdengar terengah-engah dan bergumam pada dirinya sendiri, aku pun tak bisa menahan lagi keingintahuanku dan mengintip ke dalam.

Ruangan itu sepertinya ruang penyimpanan untuk perlengkapan rumah sakit. Seorang gadis berambut gelap panjang berdiri dengan punggungnya menghadap ke pintu, ia sedang merapikan barang-barang di dalam rak sambil membuang beberapa benda yang tak lagi dibutuhkan ke dalam sebuah baskom di dekat kakinya. Gerakannya kasar dan menghentak-hentak. Ia terlihat marah.

Aku merapatkan tubuhku kembali pada dinding saat gadis itu memutar badannya.

Apa yang sedang kulakukan? Mengapa aku bersembunyi seperti ini?

"Sakura, sakura, sakura... Grrr!" Gadis itu kembali ngedumel sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. "Kenapa sih dia selalu ngebos begitu?"

Aku menyeringai mendengar omelannya tentang Haruno. Cewek ini lumayan lucu.

"Hei, ada yang bisa kubantu?" Suaranya tiba-tiba terdengar manis dibuat-dibuat, sedetik kupikir seseorang menemukanku, tapi begitu sadar itu suara yang dibuat si cewek lucu, aku menghembuskan napas lega. "Aku Sakura. Aku jelek dan jidatku lebar. Tapi semua orang menyukaiku!" kata si gadis penuh sarkasme.

Aku sebenarnya biasa mencuri dengar dari orang-orang, tapi cewek ini jauh lebih menghibur untuk di dengar daripada Temari yang mengomeli Kankurou.

"Ya, aku adalah Sang Sakura Haruno yang sangat jago dalam ninjutsu medis." Gadis itu menekankan suaranya pada kata 'sang', "tapi yang orang lain tak tahu aku payah dalam banyak hal! Aku ga bisa bertarung, aku ga bisa melindungi siapapun." Suaranya perlahan-lahan kembali normal.

"Ihhh, dia bahkan hampir gak pernah pergi misi. Tidak! Daripada ngirim Sakura, mereka malah mengirimku. Mereka mengirimku buat mengerjakan pekerjaan kotor mereka." Kalimat terakhir gadis itu menambah keingintahuanku. Ia melanjutkan lagi.

"Oh jangan! Tangan Sakura ga boleh ternodai darah, ayo kita kirim Hinata aja. Ya ayo kita kirim si cewek pemalu yang selalu diremehkan orang-orang untuk ngerjain misi sisaan." Ia membanting sebuah lemari. "Dan di rumah sakit, suruh aja Hinata ngambil ini itu untuk keperluan Sakura. Hinata ambil kapas! Ambil antiseptik! Kenapa kapas di ruang periksa bisa habis sih?"

Membayangkan tangannya dipenuhi darah, aku merasa harus bicara dengan gadis ini sekarang. Maka aku pun masuk ke ruangan tersebut, namun si gadis yang punggungnya membelakangiku masih tetap berbicara dengan dirinya sendiri.

"Mana kutahu! Badanku cuman satu, tanganku cuman dua! Aku gak bisa memastikan semua alat di ruang periksa lengkap!" Ia menjatuhkan benda terakhir ke dalam baskom sebelum berbalik.

Mata kami bertemu.

Aku menyeringai melihat ekspresinya.

Sudah lama aku tak melihat ekspresi itu.

Begitu tak membelakangiku lagi, aku bisa melihat wajahnya. Matanya berwarna pucat, sepucat kulitnya. Dan mata tersebut sedang terbelalak lebar sekarang. Sebelah tangannya sedang memegang setumpukan kapas, sementara tangan yang lain menutupi mulutnya yang terkesiap lebar.

"K-K-Kamu..." Suaranya bergetar, dan aku bisa mengatakan ia pasti takut setengah mati melihatku, apalagi dengan wajah rusak begini. Aku setengah kecewa karena gadis itu tak lagi terdengar marah. Dia berbicara dengan gagap. Suaranya pun terdengar sangat lembut. Menakjubkan bagaimana seseorang bisa berubah begitu signifikan hanya dalam waktu beberapa menit.

Aku pernah bertemu gadis ini. Dia sepupu Neji Hyuuga yang dulu hampir mati saat ujian chuunin. Tampaknya waktu telah memanjangkan rambutnya. Namun wajahnya tetap sama seperti yang kuingat.

"Apa yang terjadi dengan wajahmu?" Kepanikannya yang tiba-tiba membuatku bingung. Aku tak tahu apakah itu hanyalah akting yang dibuat-buat karena ia tahu aku Kazekage, atau memang murni. Aku tak tahu. Tapi setelah bertanya seperti itu ia langsung menjatuhkan kapasnya di meja dan bergegas menghampiriku.

Wajahnya sangat dekat dengan wajahku saat ia menginspeksi lukaku. "Ya Tuhan ini parah sekali." Ia bergumam pada dirinya sendiri. "Ini kamu garuk?" Ia menyentuh luka bekas garukanku dengan sentuhan ringan.

Aku hanya mengangkat bahuku, tak menjawab.

"Kita harus segera mengobatinya." Ia setengah berlari menuju sebuah lemari di pojok ruangan. "Rivanol, rivanol, rivanol... ah ini dia." Ia mengeluarkan sebuah botol besar berwarna putih. "Klindamycin...Klindamycin... umm... nah, ini dia!" Kali ini yang ia keluarkan adalah sebuah kotak berwarna cokelat seukuran genggaman tangannya.

Ia kembali lagi padaku, kemudian bertanya, "Apa lukamu sudah dibersihkan?"

Aku menggeleng.

Ia menggigit bibirnya yang berwarna merah dan kembali lagi ke lemari yang tadi dan mengeluarkan sebuah botol bening. Setelah itu ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan tersebut. Matanya berhenti pada sebuah kursi usang yang ditumpuki banyak kardus. Ia menarikku ke arah kursi tersebut. Setelah menyingkirkan semua kardusnya ke lantai ia memberi isyarat supaya aku duduk.

"S-Sebenarnya..." Ia kemudian menuangkan isi botol bening ke dalam sebuah mangkok besi yang mengkilap, lalu mengambil sebuah pinset dan kapas sebelum berlutut di hadapanku. "A-Aku... mmm... lupakan saja." Aku mengernyit. Aku tak suka bila seseorang tak menyelesaikan kata-katanya.

Dengan menggunakan pinset, ia mencelupkan kapas ke dalam cairan misterius dalam mangkok. "I-Ini mungkin agak sakit, t-tapi tahan ya?" Ia tersenyum lembut, kemudian menempelkan kapas itu ke wajahku.

Aku menahan napas. Rasanya seperti ditusuk seribu jarum. Aku mencengkeram lengannya. Ia terkesiap, tapi tetap tak berhenti.

"Sssh, sssh, sabar... Ini tak akan lama..." Wajahnya sangat dekat dengan wajahku saat ia meniupi luka-lukanya. Napasnya berbau seperti vanilla. Mengingatkanku pada permen yang kadang-kadang Temari suka bawakan untukku.

Ia terus membersihkan lukaku meskipun tanganku mencengkeram pergelangan tangannya. Begitu selesai, ia terus meniupi lukaku. Setelah perihnya tak begitu terasa lagi, saat itulah aku sadar aku masih mencengkeram lengannya. Aku pun buru-buru melepaskannya. Dan sedikit merasa bersalah saat melihat bekas biru di pergelangan tangannya yang putih. Hanya sedikit.

"Boleh aku tahu apa yang menyebabkan luka nanah ini?"

Dan untuk pertama kalinya, aku pun berbicara. "Pestisida."

Ia menaikkan kedua alisnya. "Pasti cukup keras hingga membuat luka yang parah begini." Ia mengamati lukaku lagi. "Supaya nanahnya hilang, kita kompres dengan rivanol, ok?"

Aku mengangguk. Pilihan apalagi yang kupunya? Tidak seperti Haruno, gadis di hadapanku ini menawarkan sebuah penyelesaian. Dan itulah yang kubutuhkan sekarang, penyelesaian.

Tapi... mengapa aku mempercayainya? Bagaimana kalau ia menipuku dan malah membuat lukaku makin parah?

Aku memandang tajam punggung gadis itu saat ia berbalik untuk menyiapkan rivanol yang akan dikompres ke wajahku. Tapi, dia 'kan kunoichi Konoha. Dia tak punya alasan apapun untuk menyakitiku. Kecuali dendam pribadi. Dan rasanya aku tak pernah berbuat macam-macam pada Klan Hyuuga yang bisa membuat mereka membenciku.

"Ng... Ngomong-ngomong... K-Kenapa kau bisa ada disini? M-Maksudku... m-memangnya tak ada perawat jaga di depan?"

"Ada. Tapi dia meninggalkanku karena di ruang periksa tak ada kapas."

Gerakan gadis itu terhenti. Ia perlahan-lahan berbalik menghadapku. "S-S-Sakura-san?"

Aku mengangguk perlahan, menikmati momen saat ekspresi gadis itu perlahan-lahan berubah menjadi syok. "K-K-Kamu pasiennya S-S-Sakura-san?"

Aku mengangguk lagi, tak menjawab.

"K-K-Kalau begitu k-kamu harus kembali ke ruang periksa! S-Sakura-san mungkin menunggumu." Ia membereskan peralatannya dengan gerakan gugup.

Aku berdiri menghampirinya, tanganku menahan lengannya, dan ia menoleh ke arahku. "Obati aku." Aku lebih memilih diobati gadis ini. Dia tidak berbicara hal-hal yang tak penting. Tak seperti Sakura.

Wajahnya memerah. Ia mengangguk, lalu menunduk. Aku pun melepas tangannya dan ia mulai menyiapkan rivanol itu lagi.

Ruangan itu sunyi saat ia mengompres wajahku. Mataku mengawasi wajahnya, dan aku tahu ia tahu aku mengawasinya. "Kenapa kau membenci Sakura?" tanyaku tiba-tiba memecahkan keheningan tersebut.

Dia terlihat seperti tersedak oleh udara yang dihirupnya. "A-A-A-Apa?" Warna merah di wajahnya semakin terang.

"Kau mendengarku."

"A-Aku tak membenci Sakura." Ia berbohong. Aku bisa mengatakannya. Matanya melihat ke sebelah kanan. Itu tanda-tanda orang berbohong.

"Ya, kau membencinya. Aku mendengar ocehanmu."

Ia terkesiap. "K-Kamu... m-mencuri dengar?" tanyanya tak percaya.

"Pintunya terbuka lebar. Dan aku butuh bantuan."

Ia menunduk malu. "I-Itu bukan urusanmu..." Ia menambahkan tekanan pada kompresannya, membuatku menggertakkan gigi. Ia pun mengalihkan pembicaraan. "Lagipula... K-Kenapa kamu bisa terkena pestisida... eh? M-Maaf... siapa namamu?"

Kali ini aku yang terkejut. Bukan terkejut yang dibuat-buat. Aku terkejut dengan tulus. Jadi dari tadi gadis ini tak mengenaliku? Tapi aku mengenalnya! Masa dia tak mengenaliku?

"Umm... kamu ga mau kasih tau namamu? Hmm... tidak apa-apa. Lagipula nama bukanlah sesuatu yang penting." Ia tersenyum, lalu memandang ke atas. "Seseorang dengan nama yang jelek bisa saja memiliki kepribadian paling menakjubkan di dunia, sementara orang dengan nama bagus... seperti nama bunga... mungkin saja kepribadiannya tak secantik namanya."

Dia pasti mengimplikasikan Sakura.

"Kau benar, Hinata." Aku menyeringai saat melihat wajahnya memerah. Gampang sekali membuat gadis ini memerah. "Apa arti Hinata?"

"Eh... I-Itu artinya... 'tempat yang cerah'," jawabnya malu-malu. "T-Tapi sama sekali tak ada bagian dari diriku yang bisa dikatakan cerah." tambahnya pelan.

Lebih baik nama dengan arti bagus begitu. Daripada namaku... Gaara... artinya jelek.

Setelah beberapa lama, Hinata pun berhenti mengompres wajahku. Setelah ia mengangkat kain putih tersebut, wajahku terasa lebih lega dan dingin, dan yang paling penting tidak gatal lagi.

Hinata mengambil kotak yang tadi ia sebut klindamycin, membukanya, dan mengeluarkan sebuah gelas yang berisi semacam krim. "Ini adalah klindamycin. Selalu digunakan sebagai salep antibiotik untuk luka bernanah seperti lukamu." Ia menjelaskan.

Aku hanya mengangguk.

Gadis itu perlahan-lahan mengoleskan salep tersebut, pertama ke bagian pipi yang tadi kugaruk, lalu ia menahan rambutku ke atas saat mengolesi salepnya di dahiku.

"Warna rambutmu... unik sekali. D-Di Konoha j-jarang ada o-orang berambut merah. A-Aku sendiri hanya tau satu orang yang p-punya rambut warna merah," ceritanya sambil terus meratakan salep itu ke seluruh dahiku.

"Benarkah?"

"Ya. Dia d-dari luar Konoha. Ngomong-ngomong a-aku juga tak pernah melihatmu di sekitar sini. Kamu juga dari luar Konoha, ya?"

Aku hanya mengangguk. Aku memejamkan mata menikmati saat-saat tangan Hinata melumuri wajahku dengan salep yang menyejukkan itu. Tangannya sangat lembut. Sama sekali tak terasa seperti tangan seorang shinobi. Bahkan tangan Temari saja terasa kasar. Karena penasaran, aku kembali meraih pergelangan tangan gadis itu. Kali ini bukan untuk mencengkeramnya dengan kasar. Aku menelusuri kulit tangannya yang tak tertutup lengan jaket menggunakan jari telunjuk. Dan benar saja, kulitnya memang sangat halus. Seperti lilin.

Aku pun bertanya-tanya, apa yang ia lakukan hingga kulitnya bisa seperti itu? Bukankah tadi ia bilang ia selalu membiarkan tangannya dinodai darah?

Mendadak, tanpa peringatan, gerakan gadis itu tiba-tiba berhenti. Aku merengut sebelum membuka mata untuk melihat apa ada sesuatu yang salah. Ternyata si Hyuuga sedang mengernyit sambil mengamati daerah tempat tatoku berada.

"Apa ini... luka juga?"

"Bukan."

Ia kemudian meraba tatoku. Aku tak pernah membiarkan siapapun menyentuhnya sebelumnya, kecuali keluarga ataupun teman yang jumlahnya sangat sedikit di muka bumi ini. Tapi karena saat ini cewek ini sedang mengobatiku, aku memberinya hak istimewa.

Tiba-tiba ia terkesiap dan jatuh terduduk. Gelas klindamycin jatuh terguling di lantai. Matanya terbelalak ngeri menatapku. Sementara aku membalasnya dengan tatapan bingung. Ada apa lagi ini? Tak bisakah gadis itu menyelesaikan pekerjaannya tanpa berkelakuan dramatis seperti ini?

"K-Kamu... J-Jangan-jangan... k-kamu... Gaara?"

Aku menatapnya tanpa ekspresi apapun.

Oh, akhirnya dia tahu siapa aku.

Sebelum aku bisa mengatakan apapun untuk mengkonfirmasi dugaannya, sebuah suara melengking dari arah pintu mengagetkan kami. "HINATA! Mana kapas yang dari tadi kuminta? Tahukah kau berapa lama aku..." Kalimatnya terhenti saat pandangannya jatuh padaku. "GAARA! Ya Tuhan dari tadi aku mencari-carimu! Apa yang kau lakukan disini?" Ia masuk ke ruangan tersebut. Matanya berpindah-pindah antara aku dan Hinata.

Lalu ia melihat salep di wajahku, dan ia terbelalak.

"Siapa yang melakukan ini padamu?"

Aku menganggukkan kepala ke arah Hinata. Sejak Haruno masuk, gadis itu terus mundur ke belakang, seakan-akan mencoba menjauhiku. Namun begitu pandangangan Haruno bertemu pandangannya, ia langsung cepat-cepat berdiri. "M-M-Maafkan aku, S-Sakura-san! M-Maafkan kelancangan saya, K-Kazekage-sama!" Ia membungkuk beberapa kali, lalu sebelum aku ataupun Haruno dapat menjawab ia langsung kabur keluar.

"Aku tak percaya ini..." Ia menggeleng-gelengkan kepala. "Maafkan aku, Gaara. Aku tak seharusnya meninggalkanmu tadi. Tapi saat aku meminta Hinata untuk mencarikan kapas, Nona Tsunade tiba-tiba memanggilku." Ia memungut gelas klindamycin yang tadi dijatuhkan Hinata. "Itu tadi Hinata Hyuuga. Dia disini untuk membantu-bantu bagian perlengkapan."

Aku menaikkan sebelah alis. "Maksudmu?"

"Dia bukan perawat."

Butuh beberapa detik bagiku untuk mencerna kalimat tersebut. Oke, lalu mengapa kalau si Hinata Hyuuga bukan perawat? Aku berpikir sebentar. Kalau dia bukan perawat, berarti dia tidak mengerti cara merawat orang. Dan kalau ia tak mengerti cara merawat orang... BAGAIMANA IA BISA TAHU CARA MERAWAT LUKAKU TADI?

"Kau yakin?" Aku berdiri dari kursi, kemudian mengambil gelas klindamycin dari tangan Haruno. "Karena lukaku terasa jauh lebih baik setelah diobatinya." Aku pun kembali mengoleskan salep tersebut ke wajahku. Haruno mencoba membantuku, tapi aku menepis tangannya. "Kalau dia tak disini tadi, aku mungkin sudah menggaruk lepas kulit wajahku."

"Klindamycin memang tindakan yang tepat. Tapi tanpa latihan yang benar, penggunaan obat-obat seperti ini bisa berbahaya!" Haruno mencoba membela dirinya.

Aku tak mendengarkannya. Setelah memastikan seluruh wajahku telah diolesi klindamycin, aku tak lagi punya keperluan di rumah sakit. Saatnya pergi memilih bunga lagi.

Saat aku berjalan keluar, Haruno mencegahku. "Perawatan lukamu juga harus diselingi dengan antibiotik oral! Kau harus minum..." Aku mengangkat sebelah tangan menghentikannya.

"Aku mengerti."

Dan aku pun berbalik keluar menuju ruang periksa tempat aku meninggalkan guciku tadi. Ya, aku mengerti apa yang Haruno katakan. Kalau tidak, aku hanya perlu bertanya pada si Hyuuga. Entah mengapa aku merasa lebih senang bila gadis lucu itu yang menjelaskannya padaku.


Yak, itu dia chapter pertama. Cerita ini akan terdiri dari empat bagian dan tiap chapter akan diupload enam hari sekali. Chapter terakhir akan diupload pas ultahnya Gaara :D

Lalu... aku ga gitu yakin kalo kena pestisida bisa bikin luka separah lukanya Gaara. hahaha. Gapapa lah yaa, namanya juga fiksi. Aku ga nerima komentar medis apapun yaa. mihihihi. Oh and also, nama-nama obat yang digunakan disini sepenuhnya rekayasa. Ga beneran. ok ok? :D

Kritik, saran, opini kalian sangat ditunggu loh!

Ikutin terus yaa cerita ini~

xoxo
shiorinsan


Merry christmas untuk yang merayakan,,, dan happy holiday! xoxo