Peringatan!Standar; Lama apdet; DLDR

.

Hinata tidak pernah menginginkan mati sedemikian hebat hingga saat ini. Sudah banyak peristiwa yang melalui hidupnya begitu keras dan kejam, ujian Chuunin, perang Shinobi keempat, pun misi-misi rank A-B-C-D yang pernah dijalaninya secara berkoloni maupun soliter. Seringkali dihadapkan pada kematian yang terasa begitu dekat, bahkan dari nadinya sendiri. Kematian musuh, teman-teman terdekatnya, Neji, sepupunya, atau bahkan kondisi dirinya sendiri yang seakan merangkak menuju kematian. Kehidupan shinobi memang menjemput kematian. Mereka berlari mendekatinya, kemudian berkelit, mengoper, menyerempet, dan semacamnya. Hanya takdirlah yang menentukan hasilnya.

Dia mungkin sedang sekarat sekarang. Bukan merangkak lagi namun, berlari. Meski secara nyata tubuhnya tanpa daya terbaring hampir menyatu dengan asalnya, tanah. Nafas yang hampir tak terdengar dengan jantung yang mulai malas berdetak menimbulkan uap-uap kecil tak kentara. Salju membekukannya. Kelopak matanya setengah terbuka terbayang kejadian-kejadian semu yang merupakan kilasan kehidupannya dulu, hingga semenit yang lalu. Seperti kaset kusut yang diputar ulang.

Ini sebuah kecelakaan. Anggap saja membiarkan luka tusukan benda tajam yang terlalu dalam yang tak dirawat dengan sempurna akan menimbulkan bahaya yang fatal, kematian. Dinginnya serpihan-serpihan salju yang luruh secara massal lalu membeku, melumpuhkan tubuh Hinata yang hanya mengenakan sepotong kaos dibalut jaket ungu, favoritnya, ditudungi oleh jubah tebal yang tak mampu melindunginya dari badai.

Mereka begitu lihai dalam teritorialnya yang berbalut kabut. Semuanya putih dan membutakan seperti halnya mata khusus yang dimilikinya, sepasang doujutsu byakugan. Hinata yang tak pernah berpikir aneh-aneh, kadang terlalu naif dan lamban sekalipun ia tetap berusaha meningkatkan tingkat kewaspadaannya pada misi solo ini, jatuh telak. Mereka tahu titik buta doujutsunya. Dan Hinata tak tahu apa-apa tentang mereka.

Yukigakure. Kakinya melangkah mantap ke desa penuh salju ini ketika Naruto, hokage terbaru Konohagakure, memintanya dengan halus kalau tidak bisa disebut memerintah untuk pergi menyampaikan gulungan, mungkin sebuah traktat. Antara desa-desa ninja dan non-ninja demi terwujudnya perdamaian. Dampak perang memang tidak hanya bagi pelakunya saja, desa ninja. Desa non-ninja pun terkena krisisnya, salah satunya, Yukigakure.

Seharusnya ini misi mudah bagi seorang kunoichi berpangkat jounin sepertinya. Seorang kunoichi yang melangkah tertatih bersimbah air mata dan darah demi menaikkan pangkatnya. Bermain tarik tambang dengan Izrail saat ayahnya melatihnya terlalu keras atau saat sepupunya, Neji, menblokir aliran cakra menuju jantungnya. Tapi pun hati yang tak kasat mata tetap tak dapat berubah hanya karena kerasnya perlakuan fisik.

Hinata masihlah seorang gadis. Seorang putri pewaris dari sebuah klan besar dan terhormat di desanya. "Meskipun perang berkali-kali pun Hinata tak akan mampu membunuh seorang musuh yang sedang sekarat tanpa alasan yang kuat." Kata Kurenai, sensei pendamping Hinata ketika genin. Hatinya begitu mudah tersentuh oleh kebaikan yang paling sederhana. Pipinya akan memerah dengan polosnya bila perasaannya tergelitik malu. Naif. Kata teman-temannya seangkatan. Bodoh, kata adik semata wayangnya ketika mengharapkan perasaan yang sudah tak mungkin terbalaskan.

Semua orang tahu, putri Hyuuga ini memendam perasaannya secara tersurat pada Naruto, putra sang Yondaime. Dan tetap bersikap baik meskipun akhirnya pilihan Naruto jatuh pada Sakura, gadis yang mekar seperti sakura di musim semi. Pipi tembamnya masih merekah merah ketika berhadapan dengan Naruto yang kini menjadi hokage. Mungkin ia sekarang menyesalinya. Saat kematian itu lebih dekat dari pada nadinya.

Banyak waktu yang ia habiskan dengan percaya dengan kepolosannya sehingga menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan. Ditambahlagi dengan kekeraskepalaannya dan usahanya yang tidak sepadan dengan kenyataan yang akhirnya hanya menghasilkan sedikit. Gagal, bila orang-orang klannya melihat dirinya.

Meskipun ia selalu menyugesti positif terhadap dirinya tapi bila seluruh bumi menyatakan dengan gamblang ketidakberhargaan dirinya apa yang bisa dikata. Dia memang gadis lemah. Pelan-pelan tapi pasti topeng kekeraskepalaannya itu keropos dari dalam. Dan Hinata mulai mempertanyakan satu persatu. Tentang entitasnya dan juga mengugat perlakuan air susunya yang hampir selalu dibalas oleh air hambar atau bahkan air tuba.

Kenapa Kamisama tidak memberikan hati Naruto untukku setelah sekian lama yang aku lakukan untuknya?

Kenapa Kamisama tidak memberikan hati ayah untukku? Setelah aku berusaha keras untuk menjadi apa yang diinginkannya.

Kenapa Kamisama tidak memberikan hati orang-orang untukku? Aku sudah berbuat baik pada mereka.

Setitik keegoisan menodai hati Hinata membuatnya merasakan sakit yang teramat. Aneh bahwa ia masih bisa berpikir tentang hal-hal remeh seperti itu di penghujung hidupnya. Tak ada gunanya dan merugikan. Ia baru sadar ketika film kepahitan hidupnya telah habis diputarkan. Bahkan sampai akhir pun aku memikirkan hal kecil yang tidak perlu, batin Hinata sedih.

Ia menunggu dengan sabar akhirnya keputusan akhir hidupnya di tangan Kamisama yang lagi-lagi bermain-main dengan kematian. Biarlah, toh nyawa ini ciptaanNya. Sepercik darah segar yang mengenai pipinya mengejutkannya dengan rasa hangat. Tubuhnya sudah mati rasa, dingin sudah menusuk hingga ke organ dalamnya secara harfiah.

Yukigakure bukanlah desa yang aman secara keseluruhan. Tumpukan salju yang putih hanya kamuflase rupanya dibalik timbunan mayat-mayat dan lelehan darah yang membeku. Hinata seperti mendengar serenade orang-orang mati yang memilukan. Ada rasa penyesalan. Apa yang bisa diperbuatnya untuk membantu semua ini. Perang, perjanjian perdamaian, semua hanya permainan politik yang terus diulang-ulang sedang manusia hanya memikirkan dirinya sendiri seperti halnya jalan pikirannya barusan. Ia sungguh hina berpikir demikian.

Apakah ia salah satu pemicu perang kecil yang baru saja tercipta ini? Seperti bermimpi Hinata melihat dengan visi kabur, seorang perempuan berlari dengan wajah pias sambil menggendong seorang anak berusia dua tahun yang nampak terlelap begitu tenang. Langkah kakinya tersaruk-saruk dalam salju yang semakin menebal. Tanpa arah. Di belakangnya beberapa bayangan berbalapan dengan badai, mengejarnya. Tak ada rumah untuk berlindung di sini. Hanya seonggok tubuh Hinata yang mulai mendingin tertutupi oleh salju.

Rambutnya yang panjang serupa Hinata, bedanya ia berwarna hitam pekat. Wajahnya terlampau pucat entah karena takut atau kedinginan. Ia terantuk. Tubuhnya gemetaran, gendongannya terlepas. Setelah meraih anak kecil yang masih terlelap, sepertinya karena pengaruh obat penenang, perempuan itu menatap Hinata terkejut. Mengamati, matanya tertumbuk pada hitai ate Konohagakure yang terpasang pada leher Hinata. Seperti melihat sesuatu yang menyakitkan sekaligus melegakan, perempuan itu menangis. Perempuan itu menyentuh leher kiri Hinata lalu menekannya perlahan. Setelah beberapa saat ada deru napas kelegaan meskipun sekilas. Lalu dilepaskannya hitai ate Hinata setelah menyelipkan bocah duatahun itu di bawah ketiaknya.

"Shinobi Konoha, aku percaya kau masih hidup. Kumohon, jagalah anakku. Jangan sampai mereka mengambilnya ... mengambil matanya." Ucapnya berbisik penuh khidmat sambil memasangkan hitai ate Hinata ke lehernya.

Crash!

Tubuhnya ambruk tepat di atas tubuh Hinata. Rupanya bayangan itu lebih cepat daripada badai salju. Hinata tersenyum miring. Ia menyesal kini. Di dunia ideal yang digagasnya pun para shinobi aliansi, masih berlaku hukum rimba. Siapa yang kuat dialah yang menang. Bukan, bukan seperti itu yang diinginkannya. Lagi-lagi manusia hanya memuaskan dirinya dengan segala kekuatan yang dimilikinya.

Setitik cairan bening lolos dari ujung mata Hinata. Andai tak ada kehidupan shinobi. Mungkin tak 'kan ada perang dan penindasan dan penyalahgunaan kekuatan. Ia pun tak akan jadi seorang kunoichi.

—setidaknya tidak di kehidupan setelah ini. Begitu harap Hinata, di menit-menit terakhir sebelum Izrail, shinigami, mencumbu nyawanya.

Dini hari, 4 Maret 2015