Disclaimer: Hetalia - Axis Powers © Hidekaz Himaruya. Tidak ada keuntungan material apapun yang didapat dari pembuatan fanfiksi ini.
Warning: AU.
Summary: Black Dove: pencuri lukisan museum-museum di Berlin, dan Roderich bertugas menyelidikinya.
Black Dove oleh revabhipraya
untuk Cinerraria dalam rangka syukuran 300 fanfiksi
―i: yang dicuri
.
.
.
Roderich Edelstein berjalan memasuki lift dengan langkah cepat setengah berlari. Dibalasnya sekilas sapaan para pekerja gedung yang ia lewati tadi. Dia sudah terlambat.
Oh, tidak. Dia sudah sangat terlambat.
Sesampainya di lift yang, untungnya, kosong, Roderich segera menekan tombol bertuliskan angka 5 yang di sampingnya tertulis "Divisi Kejahatan Pencurian Tingkat Pertama". Pintu lift menutup dengan segera, membiarkan Roderich sendirian di dalamnya dengan rambut acak-acakan dan jaket yang asal disampirkan di bahu. Pria itu menyentuh sisi kirinya. Untunglah tas selempangnya tidak lupa ia bawa.
Pintu lift membuka saat benda kotak mirip penjara itu sudah tiba di lantai tujuan Roderich. Pria itu kembali berlari, kali ini menuju ruang rapat yang menjadi tempat keberadaan seharusnya ia saat itu. Sapaan Ludwig yang tengah menyeduh kopi diabaikannya, bahkan tawa Gilbert pun tidak diindahkannya. Roderich terus berlari hingga ia tiba di depan pintu ruangan tujuannya. Pria itu membuka pintu keras-keras sambil berseru, "Maaf!"
Tidak ada jawaban dari dalamnya. Roderich melongo sambil memperhatikan benar-benar kondisi ruangan tersebut.
Kosong, tidak ada siapa-siapa di dalamnya.
Barulah tawa Gilbert yang tadi tidak ia acuhkan menjadi jelas setelah ia melihat kekosongan ruangan itu.
.
"Gilbert mengambil jam tanganmu kemarin dan membuatnya menjadi satu jam lebih cepat," jelas Ludwig sambil membuatkan kopi untuk Roderich. Pria yang dibuatkan kopi hanya diam dengan wajah kesal. "Dia tahu kau tidak punya jam lain selain jam tangan dan jam ponsel di apartemenmu."
"Dan dia tahu aku tidak akan sempat melirik ponsel kalau tahu sudah terlambat setelah melihat jam tangan," tambah Roderich diiringi decakan pelan. Diliriknya pelaku "kejahatan" jam tangan pagi itu yang kebetulan tengah duduk di hadapannya. "Terima kasih banyak."
"Oi, jangan membicarakanku seolah aku tidak ada di sini," timpal Gilbert sembari berusaha menahan tawa. "Lagi pula, kau juga bodoh, Kacamata! Kami sudah berkali-kali bilang padamu untuk membeli jam dinding, tapi kau tidak kunjung melakukannya."
"Malas," sahut Roderich sembari menerima segelas kopi yang dibuatkan Ludwig. Disesapnya seteguk kopi hitam itu sebelum kembali merespons Gilbert. "Toh, aku lebih sering bermalam di sini ketimbang di apartemen."
"Aku sependapat," sahut Ludwig sambil ikut duduk melingkar meja bundar di dapur divisi kejahatan tingkat dua. Ditempatinya kursi di antara Roderich dan Gilbert. "Karena itulah aku tidak pindah dari rumah orang tuaku."
Gilbert terkekeh. "Bukan karena kau takut tinggal sendiri, Pirang?"
"Diam kau."
Pagi itu, sesuatu yang membuat Roderich buru-buru bak pengemudi ingin ke toilet adalah rapat mingguan divisi kejahatan pencurian tingkat pertama. Roderich, Ludwig, dan Gilbert sudah bekerja bersama di dalam divisi tersebut selama dua tahun terakhir sebagai detektif polisi. Setiap ada kasus, merekalah yang akan menyelidiki di tempat kejadian. Roderich ahli menganalisis, Ludwig ahli mengingat, dan Gilbert ahli mencari petunjuk. Ketiganya merupakan pentolan divisi dengan catatan kegagalan kasus nyaris nol persen.
"Bagaimana persiapan presentasimu untuk rapat hari ini, Kacamata?" tanya Gilbert pada Roderich sambil menyandarkan badannya.
"Sudah rampung," jawab Roderich singkat. Mendengar panggilan Gilbert, tangan Roderich secara otomatis memperbaiki letak kacamatanya. "Tapi akan jadi hancur berantakan kalau kau benar-benar membuatku terlambat datang hari ini."
Gilbert mengangkat kedua tangannya. "Harusnya kau berterima kasih kepadaku karena sudah membuatmu tidak terlambat, oi."
"Kau membuatku panik, dasar gila."
Gilbert mengernyitkan dahi. "Aku? Gila?"
"Sudahlah," lerai Ludwig yang sedang ingin menikmati suasana pagi kantor yang damai. "Coba ceritakan sedikit soal buronan yang akan kaupresentasikan nanti, Rod. Toh, pada akhirnya kita juga yang akan mengerjakan kasusnya."
"Kali ini aku sependapat dengan Si Pirang," sahut Gilbert sambil menegakkan badannya kembali. Ludwig meliriknya kesal, tetapi tidak diacuhkan oleh pria bersurai perak yang satu itu.
Roderich berdeham. "Target kita kali ini pencuri dengan nama julukan Black Dove. Jenis kelamin, umur, dan informasi pribadi lainnya masih belum diketahui. Dia mencuri benda-benda berharga tinggi di beberapa museum di Berlin. Modus operandinya selalu sama: TKP yang kelewat bersih dan cap hitam bergambar burung di tempat benda seni yang dicuri seharusnya berada. Nama Black Dove dibuat berdasarkan cap itu."
"Sejak kapan?" tanya Ludwig dengan wajah serius.
"Pencurian pertama terjadi sekitar delapan atau sembilan bulan yang lalu," jawab Roderich. "Selama ini, kasus-kasusnya ditangani oleh polisi daerah. Namun, karena Black Dove ini sama sekali tidak bisa mereka lacak, mereka menyerahkan kasusnya kepada kepolisian pusat."
"Kurasa aku pernah dengar soal kasus ini," timpal Gilbert dengan dahi dikernyitkan. "Pencurian terakhirnya itu di Museum Neues, bukan?"
"Ya," angguk Roderich. "Museum yang sudah jadi korban sebelum Neues ada lima. Käthe Kollwitz, Berggruen, Bode, Brucke, dan Pergmon."
"Seni," gumam Ludwig. "Dia mencuri lukisan?"
"Berdasarkan laporan, iya."
"Berarti target Black Dove berikutnya kemungkinan besar jelas ya, museum seni." Ludwig menyimpulkan. "Kapan pencurian terakhir itu dilakukan?"
"Dua minggu lalu," jawab Gilbert.
"Dan biasanya waktu antar pencurian itu berjarak sekitar empat sampai enam minggu," tambah Roderich.
Ludwig mengangguk. "Berarti kita punya waktu dua minggu untuk menangkap, atau minimal, mengetahui museum yang menjadi target berikutnya."
Roderich mengangguk mantap.
.
Rapat hari itu berjalan dengan lancar, sama nasibnya dengan presentasi Roderich mengenai Black Dove. Dan, seperti dugaan ketiga pemuda itu di awal, mereka bertigalah yang diberikan mandat untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan Roderich sebagai penanggung jawab utama.
"Berarti besok kita akan pergi ke Käthe Kollwitz?" tanya Gilbert sambil merangkul Roderich yang sedang berjalan ke ruangannya dengan setumpuk kertas dipegang kedua tangan. "Dan Berggruen?"
"Ya," jawab Roderich. "Kita berkumpul di kantor pukul 9 untuk pengarahan singkat, lalu berangkat pukul setengah 10 paling cepat."
"Tidak akan pengarahan malam ini saja?" tanya Ludwig yang tahu-tahu muncul di sisi Roderich sambil menatap ke luar jendela. "Toh, langit belum gelap."
"Aku ingin, tapi tidak bisa," sahut Roderich sambil membuka pintu ruang kerjanya. Rangkulan tangan Gilbert otomatis dilepaskan oleh si pelaku. "Aku sudah janji dengan Elizabeta untuk―"
"Aah, rupanya kau mau kencan," kekeh Gilbert sekaligus memotong ucapan Roderich. Disikutnya Ludwig yang kini berdiri di sampingnya. "Mana mungkin kami meminta kencanmu dibatalkan untuk pengarahan. Ya 'kan, Pirang?"
Ludwig tersenyum maklum. "Selamat bersenang-senang, kalau begitu."
"Terima kasih," sahut Roderich sambil membalikkan badan. "Anu, berhubung aku tidak akan sempat pulang dulu, apa pakaianku saat ini kelihatan baik-baik saja?"
"Untuk kencan?" tanya Gilbert yang disambut anggukan pelan Roderich. Pria berambut perak itu memperhatikan gaya berpakaian Roderich dari kepala sampai kaki. Rambut, oke. Kacamata, oke. Kemeja, okelah. Dasi, sedikit berantakan. Jas, oke. Celana, oke. Sepatu, mengkilap. "Sedikit saran, rapikan saja dasimu dan jangan lupa melepas kancing jas saat duduk."
Mata Roderich melebar sedikit. "Harus?"
Giliran Gilbert yang matanya melebar. "Kau serius bertanya seperti itu?"
"Aku tahu sopannya memang seperti itu, tapi masa di hadapan perempuan saat kencan pun―"
"Justru itu adalah saat yang paling penting!" potong Gilbert kesal. "Hah, kenapa pula aku berusaha mengajarkanmu."
"Lakukan yang baik sajalah, Rod," timpal Ludwig sambil mengangguk pelan. "Aku yakin Elizabeta akan senang dengan sikap baik seorang pria, khususnya kau."
Roderich memiringkan bibirnya sedikit. "Baiklah, akan kulakukan."
"Kau dan Elizabeta sudah berkencan sekitar dua bulan, ya?" tanya Ludwig yang dijawab dengan anggukan Roderich. "Tidak ada niat untuk menyeriuskan hubungan, begitu?"
Roderich mengangkat alis. "Menikah, maksudmu?"
"Jangan, Kacamata!" seru Gilbert sambil mencengkeram bahu Roderich keras-keras. Yang jadi korban meringis pelan. "Pernikahan itu ... wah, pokoknya jangan! Kau akan terkekang selamanya, tahu? Kau tidak bisa bebas bepergian, terutama ke bar. Kau juga tidak―"
"Kau ini bicara seolah yang paling tahu saja," desis Ludwig pelan. "Padahal jomlo juga."
"Kau juga sama saja."
"Diam kau."
"Aku belum memikirkan soal pernikahan," ujar Roderich, bermaksud menyudahi debat tidak penting kedua rekannya. "Bahkan aku belum ada niat untuk menaikkan jenjang status hubungan kami."
"Sebaiknya kau cepat-cepat," saran Ludwig, "sebelum dia memutuskan untuk mengakhirinya lebih dulu."
"Jangan dengarkan perkataan Si Pirang," sela Gilbert. "Hubungan yang mengasyikkan itu ya hubungan sepertimu dengan si Elitatata saat ini."
"Elizabeta," koreksi Roderich. "Terima kasih sarannya, kalian berdua. Akan kupertimbangkan baik-baik."
.
Setelah berkendara sekitar lima belas menit, Roderich akhirnya tiba di Skykitchen, sebuah restoran di Berlin yang menyajikan beragam menu dari seluruh dunia. Sebagai tambahan, restoran yang terletak di lantai atas sebuah hotel itu menyajikan pemandangan langit yang indah menjelang matahari terbenam. Itu sebabnya Roderich memilih restoran itu sebagai tempat kencannya bersama Elizabeta.
Tepat pada saat Roderich tiba di pintu restoran, Elizabeta mengiriminya pesan yang mengatakan bahwa dia sudah duduk di meja yang dipesan Roderich. Mata Roderich mengedari ruangan. Ditemukannya Elizabeta tengah duduk di kursi di samping jendela, membelakanginya. Roderich tersenyum kecil. Pria itu tidak akan membalas pesan tadi, sengaja ingin mengejutkan sang wanita. Perlahan, Roderich berjalan menghampiri Elizabeta. Ia sembunyikan setangkai mawar putih yang ia bawa di belakang punggung.
"Hai," sapa Roderich dari belakang Elizabeta sambil menyodorkan mawar putih ke depan wajah sang wanita. "Sudah lama menunggu?"
Elizabeta tergelak merespons kejutan Roderich. Diambilnya mawar itu sebelum menoleh dan membalas, "Dari mana kau belajar memberikan kejutan seperti itu?"
"Entahlah," respons Roderich sebelum mengecup pipi kanan Elizabeta. Pria itu lalu melangkah ke kursi di seberang Elizabeta dan duduk di sana. Ia lepas kancing jasnya satu demi satu sambil melanjutkan, "Tiba-tiba saja terpikir untuk melakukannya."
Anggukan pelan jadi respons Elizabeta. "Dari kantor?"
"Ya," jawab Roderich. "Tadi ada rapat soal kasus baru. Pembahasannya panjang, jadi rapatnya lebih lama daripada biasanya."
"Ah, pantas saja." Elizabeta manggut-manggut. "Aku juga baru pulang kerja."
Roderich terperangah. Baru disadarinya wanita di hadapannya itu bukan sedang mengenakan gaun, melainkan blazer. "Oh?"
Elizabeta mengangkat kedua bahunya. "Ada kasus baru juga, jadi tadi para pengacara saling merebutkan kasus itu. Untungnya, aku yang menang."
Roderich tergelak pelan. "Syukurlah."
Dua bulan berkencan tentunya membuat Elizabeta dan Roderich setidaknya sudah sama-sama tahu biodata umum masing-masing. Elizabeta tahu Roderich berprofesi sebagai polisi kejahatan pencurian, sedangkan Roderich tahu Elizabeta adalah seorang pengacara di kantor pengacara swasta yang tidak begitu terkenal. Keduanya sudah biasa membicarakan pekerjaan saat kencan karena lucunya, mereka bekerja di bidang yang sama: hukum.
Mereka bertemu di kantor persidangan sekitar tiga bulan yang lalu. Saat itu, Roderich hendak menjemput tersangka dari lantai bawah, sedangkan Elizabeta hendak pulang setelah mengikuti sebuah persidangan. Keduanya naik lift yang sama, dan tiba-tiba mati listrik. Lima belas menit keduanya habiskan untuk mengobrol mengenai bobroknya sistem ini dan itu di negara mereka sampai generator listrik dinyalakan. Keduanya sempat bertukar nomor telepon karena merasa cocok satu sama lain, lalu sebulan setelahnya barulah Roderich punya keberanian untuk mengajak Elizabeta kencan.
"Kasus apa yang sekarang kaukerjakan, Roddy?" tanya Elizabeta sambil menopang dagunya dengan kedua tangan.
"Pencurian benda seni," jawab Roderich cepat. "Kau sudah pesan makanan, belum?"
Elizabeta menggeleng. "Aku menunggumu."
"Kalau begitu, sebaiknya kita pesan makanan dulu."
Roderich memanggil pelayan yang lewat lalu menyebutkan beberapa menu yang dia mau, bergantian dengan Elizabeta. Pelayan itu mengulang pesanan mereka, lalu pergi setelah keduanya mengiakan. Elizabeta kembali kepada bahasan awal, "Pencurian benda seni tadi kaubilang?"
"Ya," angguk Roderich. "Pencuri ini mencuri beberapa benda berharga milik museum-museum seni di Berlin. Beritanya ada di koran kok, meski tidak lengkap."
Cerita mengenai Black Dove kemudian mengalir begitu saja dari mulut Roderich. Tentu saja, pria itu tidak membeberkan semua informasi. Hanya informasi yang didapatnya di koran yang ia ceritakan. Sepanjang cerita, Elizabeta tampak antusias dengan penuturan Roderich. Wanita itu terus memberikan respons yang memicu Roderich untuk terus bercerita.
"Besok aku dan rekanku akan memulai penyelidikan." Roderich memasang serbet di lehernya. "Kau masih ingat Ludwig dan Gilbert?"
"Ah, dua temanmu yang sering kauceritakan itu." Elizabeta mengangguk. "Kau mengerjakan kasus bersama mereka lagi?"
"Tidak bisa kupikirkan tim yang lebih baik."
Elizabeta mengulas senyum. "Aku jadi ingin bertemu mereka."
"Mungkin kapan-kapan akan kupertemukan," angguk Roderich. "Oh, makanannya sudah datang."
Roderich dan Elizabeta menghentikan obrolan mereka untuk sejenak. Masing-masing menikmati pesanannya sendiri sambil sesekali menawarkan beberapa suap yang dirasa enak. Setelah makanan pesanan mereka habis, giliran Roderich yang menjadi penanya.
"Kasus apa yang kaudapat tadi?"
"Kasus? Kasus ap―oh!" Elizabeta terkekeh malu. "Kasus perceraian, seperti biasa. Kadang aku heran dengan orang-orang yang bercerai. Kalau tidak yakin dapat bertahan, kenapa dari awal menikah, ya?"
Roderich menelan ludah. Sial, bahasan pernikahan ini malah muncul lagi di hadapannya. "Aku yakin mereka tidak ada niat untuk bercerai pada awalnya."
"Ya, karena orang-orang ini bersikap tidak realistis," decak Elizabeta. "Menikah karena cinta. Ha! Cinta luntur sedikit, pernikahan langsung bubar jalan."
"Jadi, kau tidak mau menikah?"
"Tidak selama aku belum dapat menemukan alasan untuk tetap mendampingi seseorang apa pun yang terjadi," jawab Elizabeta tegas. "Dan untuk saat ini, tidak."
Diam-diam, Roderich merasa lega. Perkataan Ludwig terbukti salah karena Elizabeta rupanya belum ada niat untuk menikah. Sayangnya, perkataan Gilbert justru terbukti benar karena wanita ini tampaknya tidak mengharapkan sesuatu yang serius.
"Oh." Elizabeta mendesah sembari memeriksa jam tangannya. "Maaf, Roddy, aku harus segera pergi."
"Aku akan mengantarkanmu," ucap Roderich sambil menarik jaketnya yang ia sampirkan di kursi.
"Apa? Roddy, tidak us―"
"Kita sudah dua bulan berkencan dan kau tidak pernah membiarkanku mengantarmu pulang," sela Roderich. "Setidaknya kali ini biarkan aku melakukan apa yang kumau."
Elizabeta tersenyum kecil sebelum merespons, "Baiklah, tapi ... tidak usah sampai rumah, ya?"
"Kenapa?"
"Aku perlu membeli beberapa makanan ringan di toko dekat rumah," jawab Elizabeta. "Antar aku sampai sana saja. Setelah itu, aku akan berjalan sendiri."
Roderich mengangkat alisnya. "Yakin?"
"Ya."
"Baiklah." Roderich menghampiri dan mengulurkan tangannya kepada Elizabeta. "Ayo."
Elizabeta membalas uluran tangan itu.
.
Keesokan paginya, Roderich telah tiba di kantornya. Kali ini, tidak ada insiden jam yang lebih cepat dan drama lari-lari khawatir kesiangan lagi. Kali lain Roderich akan lebih memperhatikan barang-barang yang Gilbert pinjam darinya.
Ludwig datang lima belas kemudian, disusul oleh Gilbert sepuluh menit setelahnya. Mereka melakukan pengarahan sejenak sebelum berangkat ke tempat tujuan mereka hari itu. Mereka menggunakan mobil Gilbert dan membiarkan si empunya yang menyetir. Tujuan pertama mereka hari itu: Museum Käthe Kollwitz.
"Lukisan yang dicurinya adalah No More War karya Käthe Kollwitz pada tahun 1922," ujar Ludwig dari bagian belakang mobil sambil membaca berkas kasus yang ia bawa. "TKP masih diamankan sampai saat laporan ini ditulis, tetapi polisi tetap tidak menemukan apa pun yang berarti di sana. Black Dove benar-benar bekerja dengan bersih."
"Aku yakin ada setitik petunjuk yang tertinggal di sana," gumam Roderich. "Tidak teliti selalu jadi kebiasaan polisi daerah yang tidak pernah berubah."
"Sependapat," tambah Gilbert tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. "Meski sudah berbulan-bulan yang lalu, jejak fisik itu pasti ada. Minimalnya rambut atau sidik jari."
Ludwig mengernyit. "Kalau dia pakai sarung tangan?"
"Minimal ada rambut," sahut Gilbert. "Atau bisa juga sedikit kulit yang tergores sesuatu. Kita bicara lukisan yang digantung di museum seni. Pasti cara menempelnya khusus jadi tidak bisa sembarangan dilepas."
Roderich menyandarkan badannya. "Kita lihat saja nanti."
Gilbert terus menyetir hingga mereka tiba di Museum Käthe Kollwitz. Diparkirkannya mobil di area parkir museum tersebut. Tidak sulit menemukan tempat untuk parkir sebab hari itu pengunjung museum tidak banyak―maklum, hari kerja. Ketiganya turun dari mobil dan masuk ke dalam museum. Mereka diizinkan masuk untuk menemui pengawas museum setelah menunjukkan lencana polisi mereka.
Pengawas yang bertugas hari itu lalu mengarahkan ketiga polisi tersebut ke tempat kejadian perkara, dinding lukisan No More War yang sudah dibubuhi cap Black Dove. Sejak kepolisian daerah menyerahkan kasus pencurian ini kepada kepolisian pusat, tempat ini sudah bebas dilalui pengunjung. Roderich tahu Gilbert akan kesulitan menemukan petunjuk berarti, tetapi tidak ada salahnya dicoba.
Setelah menjelaskan selama beberapa menit, pengawas yang bertugas itu menyatakan bahwa ada rekaman CCTV yang merekam pencurian itu secara lengkap. Ludwig segera mengajukan diri untuk menonton rekaman tersebut. Maka pergilah si pengawas bersama Ludwig ke ruang CCTV, meninggalkan Roderich dan Gilbert di depan dinding lukisan No More War.
"Orang dalam?" tanya Gilbert setelah yakin bahwa mereka hanya tinggal berdua di sekitar dinding tersebut.
"Kemungkinan besar, iya," angguk Roderich. "Ada komplotan orang dalam, tetapi pelaku pencuriannya bukan."
"Akan kuperiksa dindingnya," ujar Gilbert sambil memasang sarung tangan dan mendekati dinding yang seharusnya diisi lukisan No More War itu perlahan.
"Ruangan gelap gulita karena lampu dimatikan total setiap malam, berarti pelaku menggunakan kacamata khusus." Roderich bergumam sendiri sembari memperhatikan gerak-gerik Gilbert. "Banyak lukisan berharga di sini, tetapi kenapa hanya satu yang dia ambil?"
"Wow, Rod," panggil Gilbert dengan seringai di wajah. Memanggil Roderich dengan "Rod" menandakan bahwa pria itu sedang serius. "Lihat apa yang kutemukan."
Roderich berjalan menghampiri Gilbert. Pria itu mengambil sesuatu dari paku khusus untuk memasang lukisan dengan pinset, lalu meletakkannya ke dalam plastik kecil yang memang pria itu selalu bawa di dalam kantungnya. Roderich menyipitkan mata, berusaha mengidentifikasi benda super kecil yang ada di dalam plastik dalam genggaman Gilbert. Tidak tahu benda apa itu, Roderich bertanya, "Apa itu?"
"Entahlah," sahut Gilbert tanpa beban. "Tebakanku, kulit si pelaku. Keyakinanku, di bawah nol koma lima."
"Yakin bukan perekat atau semacamnya?"
"Bukan," tegas Gilbert. "Tapi aku juga menemukan sehelai benang ... atau rambut, di antara itu."
"Oke," balas Roderich sambil menganggukkan kepalanya sekilas. "Mungkin nanti Basch bisa menemukan sesuatu dari sana."
"Mungkin." Gilbert terkekeh. "Siapa tadi? Ba...?"
Roderich tidak menjawab, hanya membalas dengan gelengan pelan tanda dia menolak menjawab.
"Hah, seperti biasa." Gilbert mengangkat kedua bahunya. "Kacamata, kurasa kita harus memeriksa Si Pirang. Lagi pula, sudah tidak ada yang bisa kita lihat-lihat di sini."
"Ya, ayo."
"Aku sudah di belakang kalian," bisik Ludwig yang tahu-tahu muncul di belakang Roderich, entah sejak kapan. "Aku sudah melihat-lihat rekaman CCTV-nya, aku juga sudah meminta salinan rekamannya. Aku ingin kalian melihatnya juga."
"Oke." Roderich mengangguk. "Kita akan melihatnya di markas setelah kita pergi ke―"
"Berggruen," sambung Ludwig. "Ya, itu juga maksudku."
"Kalau begitu, ayo berangkat!" seru Gilbert sambil menarik kunci mobilnya keluar dari saku celana.
.
"The Death of Joseph karya Giovanni Battista Pittoni," ujar Ludwig, lagi-lagi sambil membaca berkas terkait Black Dove. "Lukisan cat minyak. Kalau di situs jual-beli, harganya minimal tiga ratus dolar untuk ukuran 40 x 50 sentimeter. Tidak heran kalau dicuri, harganya sangat mahal."
"Itulah kenapa aku tidak suka koleksi lukisan," timpal Gilbert yang masih saja bisa banyak berbicara padahal sedang fokus menyetir mobil. "Mahal."
"Atau mungkin kau saja yang tidak punya uang."
"Bermimpi saja terus, Pirang."
"Ludwig, coba bacakan berkas tentang Museum Berggruen itu," sela Roderich sebelum kedua rekannya itu adu mulut lagi. "Sejarahnya, aristekturnya, atau apalah."
"Museum Berggruen berisi koleksi seni modern klasik di Berlin." Ludwig memulai penjelasannya. "Kolektornya bernama Heinz Berggruen yang kemudian diberikan kepada kota. Koleksinya sendiri beragam, mulai dari Picasso, Pittoni, GIacometti, Braque―"
Gilbert lagi-lagi menyela, "Kautahu kami tidak tahu dan tidak tertarik dengan nama-nama yang kausebut tadi kan, Pirang?"
Ludwig, bermaksud mencari pembelaan, menunjuk Roderich. "Roderich cukup tahu soal seni, tidak sepertimu."
"Aku ini penyuka musik, sayangnya," ralat Roderich cepat-cepat. "Dari nama tadi, aku hanya kenal Picasso."
"Yah, pokoknya," Ludwig berdeham pelan, bermaksud mengalihkan topik, "Berggruen juga menyimpan banyak koleksi seni bernilai tinggi. Kalau Black Dove ini memang mengincar uang, tidak heran Berggruen juga jadi salah satu targetnya."
"Black Dove meninggalkan tanda yang sama?" tanya Roderich sambil menoleh ke belakang. "Cap Black Dove dan tempat kejadian perkara yang bersih?"
"Ya," angguk Ludwig sambil melihat halaman lain pada berkas yang dipegangnya. "Seperti biasa, karena itulah kepolisian daerah menyerahkan kasus ini kepada kepolisian pusat."
"Ha! Seperti biasa," kekeh Gilbert sambil membelokkan setir. "Kalau salah satu di antara kita tidak ada yang dapat promosi sampai akhir tahun ini, itu namanya kepolisian sudah gila."
Untuk satu kali itu, Roderich dan Ludwig menyetujui perkataan Gilbert.
Ketiganya terus berkendara hingga mereka tiba di Museum Berggruen. Arsitektur gedungnya, masih sama, bergaya renaisans dan memang tidak berbeda jauh dengan gedung Museum Käthe Kollwitz. Gilbert memarkirkan mobilnya dekat dengan pintu masuk, lalu dia bersama Roderich dan Ludwig berjalan masuk ke dalam.
Berbeda dengan Käthe Kollwitz, Berggruen justru terlihat agak penuh hari itu. Itu wajar bagi Ludwig, mengingat bahwa Berggruen menyimpan karya Pablo Picasso yang lebih mendunia ketimbang pelukis lainnya di Käthe Kollwitz. Bukan bermaksud membandingkan, tentu saja.
Gilbert menunjukkan lencana polisinya kepada seorang petugas, lalu minta ditunjukkan lokasi lukisan The Death of Joseph. Petugas itu dengan sigap membimbing Roderich, Gilbert, dan Ludwig ke ruang pameran karya Giovanni Pittoni. Rupanya, daerah lukisan The Death of Joseph yang dibubuhi cap Black Dove diblokir oleh pihak museum dengan beberapa buah pembatas. Mungkin mereka sudah mengantisipasi kemungkinan hilangnya barang bukti jika mereka membiarkan para pengunjung mendekat.
"Seperti biasa, aku akan melihat rekaman CCTV," ujar Ludwig sebelum berbicara kepada petugas yang mengantar mereka itu. Petugas itu mengiakan, lalu Ludwig pergi bersamanya menuju ruang CCTV.
Roderich dan Gilbert berjalan melewati pembatas tersebut sembari melihat-lihat kondisi di sekitar mereka. Gilbert sigap menghampiri cap Black Dove yang dibubuhkan di dinding, sementara Roderich sibuk meninjau area sekitarnya.
"Kurasa modusnya sama," gumam pria berkacamata itu, "orang dalam tergabung dalam sebuah kelompok pencuri seni. Tapi, orang dalamnya ini tidak bisa kupastikan pegawai baru atau lama, sebab dia bisa saja keluar dari sini kapan pun."
"Coba bilang pada Ludwig soal itu," balas Gilbert tanpa menoleh. "Biar dia minta daftar pegawai museum ini, juga Käthe Kollwitz, selama beberapa bulan atau tahun terakhir kalau perlu."
"Sebenarnya itu sudah diurus oleh Basch," sahut Roderich sambil melirik pembatas di sampingnya. "Sudah semua museum yang jadi korban bahkan. Aku sudah memintanya sejak awal."
"Kalian sudah berdamai atau bagaimana, sih?" tanya Gilbert, tumben-tumbennya penasaran. "Dari tadi yang kausebut Basch terus, mau tidak mau kan aku penasaran juga."
"Ada yang kautemukan, tidak?" tanya Roderich. Pria itu berjalan menghampiri Gilbert tanpa bermaksud mengindahkan omongan sang lawan bicara sebelumnya.
"Selain cap horor ini? Kurasa tidak." Gilbert menarik sebuah benang tipis dari cap tersebut. "Kecuali kalau ini bisa dikatakan sebagai sesuatu."
Roderich memperbaiki letak kacamatanya. "Rambut atau benang seperti tadi lagi?"
"Asumsiku begitu, tapi yang ini warnanya putih," jawab Gilbert sambil memasukkan benang tersebut ke dalam plastik. "Rasanya aneh kalau pelaku pencuriannya lanjut usia, ya?"
"Berarti mungkin bukan rambut," angguk Roderich. Gilbert mengiakan. "Ada potongan kulit seperti tadi, tidak?"
"Kali ini kita tidak seberuntung tadi, sih."
"Mungkin lebih baik kita segera susul Ludwig dan kembali ke markas untuk menganalisis rekaman CCTV-nya."
"Ide bagus, Kacamata."
.
Kembali ke kantor kepolisian pusat, kini Roderich dan Gilbert sedang sibuk menonton dua monitor komputer yang menayangkan dua rekaman CCTV berbeda. Yang satu menayangkan pencurian lukisan No More War di Museum Käthe Kollwitz, satunya lagi menayangkan pencurian lukisan The Death of Joseph di Museum Berggruen. Sudut kameranya tentu saja berbeda, tetapi ada satu yang membuat keduanya heran sejak tadi.
"Kau pasti sadar kalau gerak-gerik si Black Dove ini sama persis kan, Kacamata?" tanya Gilbert saat mereka sedang istirahat sejenak setelah belasan kali menonton rekaman yang sama.
"Ya." Roderich melepas kacamatanya lalu memijit pelan tulang hidungnya. "Bahkan caranya melepas lukisan juga sama. Jadi bisa kita asumsikan kalau orang ini bukan peniru."
Gilbert manggut-manggut. "Dan kalau melihat postur tubuhnya, kau juga pasti tahu."
"Perempuan," sahut Roderich. "Perempuan yang teliti dan rapi, tetapi sedikit ceroboh pada poin-poin tertentu."
"Seperti?"
"Meninggalkan rambut atau benang itu di tempat kejadian perkara." Jeda sejenak. "Atau bisa juga barang bukti yang dia tinggalkan itu jebakan. Berarti dia benar-benar teliti dan rapi."
"Oh, benar juga." Gilbert kembali menatap layar komputer. "Menurutmu dia bekerja sendiri atau bagian dari komplotan?"
"Yang jelas, dia bekerja dengan salah satu karyawan museum," ujar Roderich. "Apakah dia bekerja dengan komplotan atau tidak, itu masih belum bisa kujawab. Petunjuknya belum cukup."
"Basch sudah menyelesaikan analisisnya," ujar Ludwig yang tahu-tahu muncul di pintu ruangan Roderich tempat kedua rekannya menonton rekaman CCTV. Pria pirang itu meletakkan sebuah map ke atas meja.
"Dan?" tanya Gilbert sambil menatap Ludwig, menuntut jawaban. Map berisi laporan hasil analisis tadi telah diambil oleh Roderich lebih dulu.
"Itu bukan rambut," lanjut Ludwig. "Bukan benang juga. Itu―"
"Fiber," sahut Roderich yang telah selesai membaca cepat laporan hasil analisis itu. "Bahan rambut palsu."
"Oh, rambut palsu yang dibilang semi-asli itu?" tanya Gilbert.
Ludwig mengernyitkan dahi. "Kautahu dari mana kalau fiber itu rambut palsu semi-asli?"
"Aku kan dulu pemain drama sekolah."
"Sudah, sudah," sela Roderich diiringi dehaman pelan. "Dan potongan kulit itu benar-benar kulit, kulit manusia."
"Perempuan," timpal Ludwig. "Hanya informasi itu yang bisa didapatkan Basch dari kulit tadi."
"Berarti dugaan kita soal jenis kelamin Black Dove benar, Kacamata," ujar Gilbert sambil mengarahkan kepalanya ke monitor yang masih menayangkan rekaman CCTV dalam keadaan di-pause. "Perempuan."
"Itu kalau kulit yang kita temukan benar-benar kulitnya," sahut Roderich. "Kalau bukan, dugaan kita masih sebatas dugaan."
"Kenapa kalian bisa menduga kalau Black Dove itu perempuan?" tanya Ludwig yang tidak ikut menyimak rekaman CCTV karena harus mengantarkan barang bukti temuan ke laboratorium.
"Postur tubuhnya," jawab Gilbert sambil menunjuk siluet Black Dove di monitor. "Meski bisa saja laki-laki yang sangat kurus membuat dirinya seolah-olah kelihatan seperti perempuan."
"Entah kenapa aku tidak yakin kalau ini laki-laki," ungkap Roderich. "Sepertinya aku pernah melihat seorang perempuan dengan postur tubuh seperti ini, tapi aku tidak bisa ingat di mana."
"Tenang, kita masih punya waktu dua hari untuk mengunjungi museum lain," ujar Ludwig. "Kita akan kumpulkan video dan bukti lagi sebelum menemukan Black Dove ini."
Roderich mengangguk pelan. "Kuharap kita seberuntung itu."
.
Tiga hari sudah berlalu dan selama itu pula Roderich telah menginap di kantornya. Analisis rekaman CCTV Black Dove serta barang bukti yang mereka temukan di TKP benar-benar menguras tenaganya. Pulang ke apartemen pun rasanya dia tidak sanggup, karena itulah dia memutuskan untuk menginap di ruang kerjanya. Ludwig dan Gilbert juga sama. Mereka bergadang bersama demi mencari petunjuk baru dari Black Dove ini. Beberapa orang petugas pencari barang bukti sudah dikirimkan ke semua lokasi untuk yang kesekian kalinya, tetapi tidak ada hasil yang memuaskan.
Siang itu, atasan mereka menyuruh Roderick, Ludwig, dan Gilbert untuk pulang ke rumah masing-masing dan beristirahat sampai besok. Untuk sementara, kasus Black Dove akan ditangani personel lain―setidaknya untuk mencari barang bukti di tempat kejadian.
Roderich tiba di apartemennya, diantar dengan mobil kantor lantaran atasannya benar-benar khawatir Roderich tidak dapat menyetir pulang sendiri, begitu pula yang lain. Kalau dipikir-pikir, atasannya itu ada benarnya juga. Saat tiba di apartemennya, hal pertama yang Roderich lakukan adalah mengunci pintu dan menjatuhkan badan ke kasur. Tumbang.
Pria berkacamata itu terbangun dengan kondisi apartemennya gelap gulita. Rupanya matahari sudah terbenam dan dia belum menyalakan lampu sama sekali. Roderich menggerakkan tangannya ke arah nakas, hendak meraih ponsel untuk melihat jam. Oh, rupanya pukul sebelas malam.
Roderich memeriksa notifikasi ponselnya. Tidak ada yang penting, hanya informasi dari kantor bahwa barang bukti lagi-lagi sehelai rambut palsu. Sisanya hanya notifikasi berita dan satu pesan lagi...
Dari Elizabeta.
Pesan itu dibuka dan dibaca satu demi satu oleh Roderich. Elizabeta meninggalkan tiga pesan yang isinya menanyakan kabar Roderich yang beberapa hari ini tidak menghubungi Elizabeta sama sekali. Roderich segera membalas, mengatakan bahwa dia hanya sedang sibuk dengan urusan kantor dan meminta maaf karena tidak mengabari lebih awal.
Baru saja Roderich hendak memejamkan mata lagi, tahu-tahu ponselnya berbunyi panjang. Ada telepon, dari Elizabeta.
"Halo?" sapa Roderich dengan suara parau.
"Rod, kau benar-benar tidak apa-apa?" tanya Elizabeta di ujung sana.
"Tidak apa-apa," jawab Roderich yakin, tetapi lagi-lagi suara paraunya tidak dapat berbohong. "Hanya butuh tidur panjang."
"Kau sudah makan?"
"Belum."
"Lampu apartemenmu menyala?"
"... tidak."
"Ada makanan tidak di apartemenmu?"
"... kurasa tidak."
"Kopi? Bagaimana dengan kopi?"
"Entahlah."
Elizabeta menghela napas. "Aku akan ke sana."
"Liz, tidak us―"
"Aku memaksa," potong Elizabeta. "Aku akan tiba dalam setengah jam. Bukakan pintu untukku, ya."
Setelah pembicaraan singkat itu, Elizabeta menutup telepon begitu saja. Roderich akhirnya terpaksa bangkit. Harus dinyalakannya lampu apartemen, digantinya pakaian yang tidak ia ganti selama tiga hari ini, dan dibukakannya pintu untuk Elizabeta nanti. Tenggorokannya terasa sakit. Ah ya, dia belum minum sejak pulang ke apartemen.
Setengah jam kemudian, setelah Roderich meminum segelas air mineral, menyalakan lampu apartemen, mengganti pakaian, dan mencuci muka, alarm pintunya berbunyi. Roderich melirik ke luar jendela dan melihat ada Elizabeta di bawah sana. Cepat-cepat ia buka pintu bawah dengan tombol utama, lalu membiarkan pintu apartemennya terbuka agar Elizabeta bisa masuk.
"Hai!" sapa Elizabeta saat sudah tiba di apartemen Roderich. Wanita itu membawa seplastik besar berisi kotak-entah-apa di tangan kanan dan tas bahu di tangan kirinya. Ditutupnya pintu apartemen Roderich dengan punggung sebelum ia meletakkan seluruh barang bawaannya di atas meja makan. "Bagaimana kabarmu, Roddy?"
"Aku benar-benar tidak apa-apa," ucap Roderich sambil menghampiri wanita yang tengah mengatur napas itu. "Kau tidak perlu repot-repot begini."
"Tidak, tidak, aku yakin kau kurang asupan gizi," cerocos Elizabeta sambil membuka kotak demi kotak yang dibawanya dalam plastik besar tadi. "Aku yakin makananmu selama tiga hari ke belakang tidak lebih dari sosis panggang, sosis panggang, dan sosis panggang. Ditambah minumannya, kopi?"
Roderich mengerjap. Bagaimana wanita ini bisa tahu?
Elizabeta tersenyum bangga, merasa menang. "Aku bawakan ... sup krim jagung, sup kacang polong, kebab isi sayuran, krepes isi buah-buahan ... ada juga steak, kemudian aku juga beli mie sayuran." Wanita itu menatap Roderich. "Kau mau makan yang mana?"
Roderich terperangah. "... kau yakin tidak membeli makanan-makanan itu untuk satu kompi?"
"Tentu saja tidak," balas Elizabeta diiringi tawa pelan. Wanita itu duduk di salah satu kursi meja makan. "Kau butuh asupan empat sehat. Aku tidak memberimu susu karena aku tidak mau kau tambah tinggi."
"Kaupikir aku masih dalam masa pertumbuhan?" Roderich mendengus geli, tawa Elizabeta semakin kencang. "Terima kasih, Liz."
"Sama-sama, tidak usah terlalu dipikirkan." Wanita itu menyunggingkan senyum kecil. Diedarkannya pandang ke sekitar apartemen sebelum berkomentar, "Apartemenmu kelihatan kosong. Tidak banyak perabot."
"Sengaja," sahut Roderich sambil mengisi gelasnya dengan air keran lagi. Diteguknya air di dalam gelas itu sebelum ditawarkan kepada Elizabeta, "Mau? Dari gelas lain tentu saja."
"Akan kuambil sendiri," tolak Elizabeta halus. Wanita itu kembali mengedarkan pandang. "Kau lebih sering di kantor ya ketimbang di sini? Tidak banyak debu, tapi tidak sepenuhnya bersih juga. Ditambah lagi, kau tidak punya jam dinding. Televisi juga tampaknya tidak pernah dinyalakan."
"Teliti sekali," komentar Roderich sambil ikut duduk di meja makannya. "Aku memang tidak banyak di apartemen, jadi merasa tidak perlu jam dinding. Televisi juga ... entahlah, ingin kujual tapi rasanya sayang."
"Simpan saja," saran Elizabeta. "Suatu saat kau pasti butuh hiburan."
"Ya." Roderich mulai memilih kotak yang telah Elizabeta bukakan. "Kau akan ikut makan juga, tidak?"
Elizabeta mengernyitkan dahi. "Aku datang ke sini kan untuk mengasuh, bukan ikut makan."
"Aku memintamu ikut makan," balas Roderich. "Anggap saja bentuk permintaan maaf karena menghilang tanpa kabar selama beberapa hari."
Elizabeta tergelak pelan sembari mengambil kotak berisi sup krim jagung. "Permintaan maaf diterima."
Keduanya menghabiskan malam di meja makan sembari menghabiskan makanan yang dibeli Elizabeta dan sesekali melontarkan candaan. Rasanya Roderich tidak pernah sebahagia itu selama hidupnya.
.
Keesokan siangnya, Roderich berangkat ke kantor ditemani Elizabeta. Wanita itu menginap di apartemennya semalam―tidak mungkin kan Roderich membiarkannya pulang sendiri dini hari begitu? Kebetulan, Elizabeta membawa mobil saat pergi ke apartemen Roderich semalam, jadi siang itu mereka bisa mampir dulu ke kantor Roderich sebelum Elizabeta berangkat kerja.
Roderich turun dari kursi pengemudi saat mereka sudah sampai di kantor polisi. Elizabeta segera menempati kursi tersebut. Wanita itu membuka jendela mobilnya lalu berkata, "Sampai jumpa kapan-kapan lagi?"
"Ya," senyum Roderich.
"Jangan menghilang lagi seperti kemarin-kemarin."
"Tidak akan."
"Janji?"
"Janji."
Elizabeta tersenyum puas. "Sampai jumpa."
Setelah mengucapkan salam perpisahan, Elizabeta segera memundurkan mobilnya dan melaju kembali. Roderich menunggu sampai mobil wanita itu hilang dari pandangannya sebelum masuk ke dalam kantor.
"Ada yang diantar pacar rupanyaaa," kekeh Gilbert yang entah sejak kapan sudah berada di belakang Roderich.
Roderich membalikkan badan dan memasang wajah datar. "Ayo masuk."
"Ah, kau ini terlalu serius, Kacamata." Gilbert merangkul pundak rekannya itu dengan tangan kiri. "Sejujurnya aku kaget lo saat tahu pacarmu secantik itu. Seleramu pasti tinggi sih, tapi selera pacarmu? Ck, tidak kusangka."
"Dia bukan pacarku," balas Roderich kaku. "Belum, mungkin."
Gilbert lagi-lagi terkekeh. "Terserah kau sajalah."
Keduanya menaiki lift hingga tiba di lantai kerja mereka. Rupanya, Ludwig sudah ada di sana, sedang menyeduh minuman di pojok istirahat seperti biasa. Roderich dan Gilbert otomatis menghampiri pria itu.
"Kalian datang bersama?" tanya Ludwig. Didudukinya kursi di meja bundar pojok tersebut.
"Kami sampai bersama," kilah Roderich sambil duduk di salah satu kursi yang kosong. Gilbert mengikuti. "Aku pergi dengan Elizabeta tadi."
"Si Kacamata ini tidak pernah bilang kalau Elitatata―"
"Elizabeta," ralat Roderich.
"―ya itulah pokoknya." Gilbert mendecak. "Pokoknya pacar si Kacamata ini, ternyata cantik sekali, lo."
Ludwig mengangkat alis. "Tidak heran."
Roderich menghela napas. "Kalian mau menemuinya?"
Gilbert membelalakkan mata. "Apa ini? Kau mau menyerahkan pacarmu karena sadar aku lebih tampan, ya?!"
"Bukan," dengus Roderich. "Tentu saja bukan. Dan lagi, dia belum jadi pacarku."
"Atur saja kapan, aku akan usahakan datang," ucap Ludwig setelah menyesap tehnya. "Oh ya, apa kalian sudah tahu kabar terbaru soal kasus Black Dove?"
Roderich langsung menegakkan badannya. "Terbaru itu kapan?"
"Sekitar pukul sepuluh tadi pagi, saat museum buka," jawab Ludwig. Melihat wajah bingung Roderich dan Gilbert, Ludwig melanjutkan, "Soal lukisan-lukisan yang dicuri Black Dove."
"Kenapa lukisannya?" tanya Roderich setengah mendesak.
"Mereka kembali lagi," jawab Ludwig. "Tadi pagi semuanya sudah ada di tempatnya semula, tanpa cacat sedikit pun."
Tatapan Roderich dan Gilbert berubah horor. "... apa?"
.
.
.
bersambung...
A/N.
Hai Nana!
Jadi ... gini Na, awalnya aku mau bikin oneshot, tapi udah panjang bANGET dan aku udah gak kuat lanjutinnya, bahkan colornote di HP-ku udah error ngetiknya sampai kubagi dua file-nya, jadi kuputuskan untuk dibagi jadi dua chapter. Nggak apa-apa ya :"3
Nulis ini penuh perjuangan banget, dan seperti biasa, AusHun selalu bablas di tangan Rana. Semoga Nana suka ya! Aku menulis ini dengan sepenuh hati loh (?)
Sampai ketemu di chapter berikutnya!
