Disclaimer : Seluruh karakter di Kuroko no Basuke milik Fujimaki Tadatoshi. Saya hanya pinjam saja buat menyalurkan imajinasi.
.
.
.
"RUMAH KONTRAKAN"
.
.
.
Semua ini berawal dari kepindahan keluarga Kise Ryouta ke luar negeri. Ayah Kise dimutasi ke cabang kantornya yang di Amerika, sehingga mau tak mau mereka sekeluarga harus pindah. Tapi Kise bersikukuh ingin tetap di Jepang. Dia tidak mau meninggalkan teman-temannya, terutama tim basket yang sudah dia anggap seperti keluarga sendiri.
Akhirnya ayah Kise mengeluarkan ultimatum : Kise ikut pindah ke Amerika atau hidup sendirian di Tokyo. Dan satu hal yang ditekankan sang Ayah; Kise mau ikut pindah atau tidak, rumah yang sudah mereka tempati selama enam tahun akan tetap dijual. Artinya kalau Kise mau tetap di Jepang, dia harus mencari apartemen baru. Saking getolnya sang ayah agar Kise ikut pindah, dia juga sampai diancam tak akan diberi uang bulanan.
Kise yang galau curhat pada senpai-nya, Kasamatsu. Setelah banyak berpikir dan akhirnya masalahnya ini diketahui seluruh tim, akhirnya Kise memutuskan tetap di Jepang. Senpai-senpainya bersedia menolong mencarikan apartemen yang murah, yang kira-kira bisa ditanggung Kise dengan gaji paruh waktunya sebagai model.
Entah karena hari itu Kise tanpa sengaja membawa lucky item atau apa—kata Midorima lucky item-nya hari itu gantungan kunci bola basket—Kise ditawari pelatihnya untuk mengontrak rumah miliknya. Sang pelatih, Takeuchi, mendapat rumah itu sebagai warisan ketika ibunya meninggal setahun lalu.
Takeuchi sudah punya rumah sendiri dan keluarganya pun tak ingin pindah. Akhirnya rumah warisan itu terbengkalai tak ada yang meninggali. Mau dijual juga sayang, karena rumah itu adalah satu-satunya peninggalan ibunya. Apalagi Takeuchi juga besar di rumah itu. Kise segera saja menyanggupi tawaran pelatihnya yang terdengar menggiurkan. Terlebih lagi Takeuchi menetapkan tarif sewa yang tidak terlalu mahal untuk sebuah kontrakan, dengan syarat Kise bersih-bersih sendiri. Kise pun makin bersemangat.
Orangtua Kise akhirnya pasrah dengan keputusan Kise. Meski bilangnya tidak mau memberi bulanan, ternyata itu hanya gertakan saja. Mereka bersedia memberi Kise uang sekolah dan bulanan. Mereka bahkan diam-diam menemui Takeuchi untuk meminta tolong agar anak mereka dijaga—Kise tahu karena tidak sengaja memergoki ayahnya di ruang guru, bicara dengan pelatihnya itu.
Setelah orangtua Kise selesai packing dan ikut membantu Kise bersih-bersih kontrakan barunya serta pindahan, mereka berangkat ke bandara diantar Kise. Tangis-tangisan tak terelakkan, terutama ibu Kise yang kelihatannya masih tak rela dan khawatir karena putranya akan hidup sendirian. Kise harus rela mendengarkan wejangan orangtuanya selama menunggui mereka di bandara.
Kise pulang sendirian naik taksi ke rumah kontrakannya yang baru, menatap rumah yang halamannya masih agak semrawut itu dengan senyum lebar. Mulai hari ini dia akan tinggal sendiri. Maka dimulailah kehidupan Kise di kontrakan.
.
.
.
Malam ini Kise merasa gelisah. Maklum, malam pertama tidur di kontrakan sendirian. Tadinya ada ibunya atau ayahnya yang menemani. Kadang-kadang malah teman se-tim nya datang. Kise berguling ke kiri dan ke kanan. Matanya tak mau menutup juga, padahal jam sudah menunjukkan pukul satu malam dan besok dia harus sekolah.
"Uuuhh… ayo tidur ayo tidur ayo tidur…" Gumam Kise berulangkali sambil menutup matanya dengan kedua tangan. Seolah-olah kalau dia melakukan itu dia bisa langsung tidur. Tapi gumaman itu tak berhasil. Malah dia mendengar sesuatu seperti tetesan air… Tetesan air?
Kise segera bangkit terduduk, mendengarkan. Malam sudah sangat sepi, tak ada suara apapun. Kening pemuda berambut kuning itu berkerut. Pasti yang tadi hanya halusinasinya saja. Pemuda itu pun kembali berbaring. Tapi belum ada lima menit, suara tetesan air kembali terdengar.
Kise kembali terduduk, kembali mendengarkan. Kali ini dia jelas mendengar suara tetesan air. Kise langsung bangkit, berniat melihat kalau-kalau keran kamar mandi bocor. Pemuda itu membuka pintu. Rumah dalam keadaan gelap karena tadi lampunya memang sudah dia matikan. Malas menyalakan lampu, Kise langsung berjalan menuju kamar mandi di ujung lorong.
Rumah yang dikontraknya ini cukup besar dan hanya terdiri dari dua lantai. Lantai satu adalah yang ditempati Kise. Di lantai ini ada ruang tamu, ruang santai dan tiga buah kamar. Dengan demikian paling depan ada ruang tamu bersebelahan dengan ruang santai, kemudian di depan pintu keduanya ada lorong panjang yang kedua sisinya terdapat kamar-kamar, dan paling ujung ada dapur sekaligus ruang makan dan kamar mandi bersebelahan.
Katanya dulu ibu Takeuchi-sensei tinggal berdua saja di sini bersama pembantunya, jadi lantai dua sudah lama kosong. Di lantai dua sendiri hanya ada dua buah kamar, gudang, dan beranda luas yang dapat berfungsi sebagai tempat menjemur pakaian sekaligus menjemur diri. Lumayan, irit tak perlu ke pantai kalau hanya ingin berjemur.
Kise sendiri menempati kamar pertama dari depan—di samping ruang tamu. Ruangan di depan kamarnya menyatu dengan ruang santai. Sementara di sebelah kamarnya ada kamar kosong, berhadapan dengan kamar kosong pula yang terletak di sebelah ruang santai. Lalu di sebelahnya lagi, di paling ujung, ada kamar mandi. Jadi kamar mandi berjarak satu kamar dari kamar Kise.
Dengan berpegangan pada dinding, Kise terus berjalan sampai kamar mandi. Sesampainya di kamar mandi tangan Kise meraba-raba ke bagian dalam dinding, mencari saklar lampu. Ditekannya saklar lampu segera setelah ditemukannya. Kise mengerjapkan mata untuk membiasakan diri dengan cahaya yang tiba-tiba. Pemuda itu melihat sekeliling.
Kamar mandi rumah ini terbilang luas. Di depan pintu kamar mandi terdapat dua wastafel berjejer dan cermin panjang yang dibaliknya ada kabinet—di mana Kise menaruh segala peralatan mandinya di dalam. Di sebelah kanan, menempel pada tembok, ada kloset yang tertutup. Kemudian agak jauh di sebelah kloset, ada shower screen berupa dinding kaca buram tinggi membentuk kubus. Akhirnya, di ujung kamar mandi terdapat bath-up yang tertutup gorden.
Kise diam mendengarkan. Suara tetesan itu masih ada, namun dilihatnya tak ada keran yang terbuka. Untuk lebih meyakinkan diri Kise berjalan menuju wastafel, menadahkan tangannya di bibir kedua keran. Semuanya kering. Aksi yang sama dia lakukan pada shower—siapa tahu bocor—tapi bibir shower juga kering. Kening Kise berkerut. Mungkin wastafel di dapur, pikirnya.
Kise bermaksud keluar dari shower screen ketika dirasakannya hawa dingin yang membuat bulu kuduknya berdiri. Pemuda itu sontak melihat ke sekelilingnya. Tapi tak ada apapun. Dia mengusap pelan tengkuknya. Pemuda itu hendak membuka pintu shower screen ketika tanpa sengaja dia melihat sesuatu dari arah bath-up yang terletak di samping shower screen. Kise mengerutkan kening, mendekati dinding kaca buram di sebelah kanannya.
Sesuatu itu tampak seperti bayangan hitam tak berbentuk. Kise merasakan jantungnya berdetak makin keras. Disentuhnya dinding kaca buram itu. Dingin. Napas Kise mulai tak beraturan. Rasa dingin di jari-jarinya terasa menjalar ke lengan dan tubuhnya, membuatnya menggigil pelan. Kise mulai melangkahkan kakinya.
Satu langkah. Hanya perasaan Kise atau dinding kaca yang dipegangnya terasa seperti membeku perlahan?
Dua langkah. Kini hidung Kise tepat berada di depan kaca. Pemuda itu bisa melihat kaca berembun karena napasnya. Hawa terasa makin dingin. Perlahan Kise menajamkan penglihatannya—berharap bisa menembus kaca buram.
BRAK!
Sebentuk tangan menghantam kaca buram, tepat di depan wajah Kise. Pemuda itu memekik tertahan dan meloncat mundur. Punggungnya membentur keras dinding kaca buram yang berlawanan. Kise meringis menahan sakit selama beberapa detik, kemudian pandangannya kembali menatap ke depan. Tapi tak ada apapun. Tak ada tangan ataupun bekasnya. Hawa dinginnya pun normal, senormalnya hawa di kamar mandi tengah malam.
Kise menelan ludah. Tanpa berpikir lagi dia cepat-cepat keluar dari shower screen. Matanya tak berani menatap ke arah bath-up maupun kabinet cermin panjang yang menempel di tembok. Pintu kamar mandi ditutupnya dengan keras, hampir dibanting. Pemuda itu cepat-cepat melangkahkan kaki menuju kamarnya dalam kegelapan lorong, namun suara tetesan air kembali terdengar.
Oh, ya, keran air bocor. Batin Kise. Pemuda itu ragu beberapa saat, apa ia kembali ke tempat tidur saja atau mengecek wastafel tempat cuci piring di dapur. Tapi kemudian dia memutuskan untuk mengecek saja, karena kalau keran itu bocor sepanjang malam akan sangat mengganggu.
Kise pun berbalik, bermaksud menuju dapur yang terletak di samping kamar mandi. Tapi kemudian tubuhnya langsung membeku. Pintu kamar mandi terbuka, lampunya menyoroti lorong yang gelap. Jantung Kise berdegup dengan keras. Tanpa menunggu lagi dia langsung berlari masuk ke kamarnya, mengunci pintu dan bersembunyi di balik selimut. Sambil menggumamkan segala jenis doa yang dia tahu, Kise berharap pagi segera datang.
.
.
.
Kise menghela napas berat sambil menyeruput minumannya. Dia sudah beberapa hari ini tidak tidur. Kantung matanya makin lama makin tebal. Di depannya para senpai anggota tim basket Kaijou sedang ribut mengobrol sendiri-sendiri.
"Sudahlah, Kise. Mungkin mereka cuma ingin mengajakmu main." Kata Moriyama sambil menepuk-nepuk bahu Kise penuh simpati.
"Itu namanya bukan ngajak main–ssu! Dua hari lalu aku dengar seperti ada yang cuci piring di dapur. Belum lagi suara wanita menangis tiap jam tiga pagi… Lalu keran wastafel dapur meskipun sudah diperbaiki tukang ledeng berkali-kali tapi tetap saja menetes-netes airnya. Uuuh, aku sudah tidak tahan—ssu!"
"Bagaimana kalau kau cari teman? Barangkali kalau yang menghuni lebih dari satu orang mereka jadi tidak mengganggumu lagi." Kobori berkata sambil mengelus-elus dagunya dengan pose berpikir. Mendengar itu semua terdiam. Mata Kise langsung terbelalak, lalu dengan gerakan cepat pemuda itu melempar diri memeluk Kobori.
"Kobori-senpai jenius—ssu!" Seru Kise gembira. Meja langsung bergoyang gara-gara gerakan tiba-tiba Kise, membuat pemuda berambut kuning itu ditampol Kasamatsu.
"Diam, Kise! Kau membuat minumanku hampir tumpah, aho!" Seru Kasamatsu jengkel.
"Graaaaaa!" Hayakawa berteriak tidak jelas. Kise terkekeh, merasa akhirnya bisa mendapat solusi.
"Jadi, siapa yang mau ngontrak bareng aku?" Tanya Kise penuh semangat. Semua kembali terdiam. "Eh? Lho?"
.
.
.
Solusi sudah didapat, namun masalah muncul kembali. Tidak ada yang mau mengontrak bersamanya. Sedang pusing-pusingnya memikirkan apa yang harus dilakukan, tiba-tiba Kise menabrak seseorang.
"E-eh, gomenasai!" Kise reflek berseru. Di depannya berdiri seorang gadis berambut pink panjang.
"Lho, Ki-chan? Kebetulan sekali! Darimana? Aku baru selesai belanja, nih." Momoi Satsuki berseru gembira, mengacungkan dua kantung plastik yang ada mereknya. Kise tersenyum. Pasti deh habis shopping.
"Aku dari kumpul bersama teman-teman-ssu. Momocchi sendirian? Tidak sama si Ahomine?"
"Siapa yang kau panggil aho, Kise?" Suara berat menyahuti, disusul kemunculan pemuda berkulit gelap yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Momoi. Aomine Daiki mengulurkan tangannya untuk mengambil barang belanjaan si gadis berambut pink. Kise tersenyum tipis melihat kelakuannya. Meskipun sehari-harinya pemalas dan menyebalkan, tapi Aomine masih mau bersikap gentleman terhadap perempuan. Atau hanya pada Momoi?
"Mou, Dai-chan lama banget ke toiletnya. Hampir saja kutinggal tadi, kalau Ki-chan tidak menabrakku." Momoi merengut. Aomine hanya nyengir. Lalu tiba-tiba muncullah ide brilian di otak Kise.
"Ne, ne, Aominecchi, Momocchi, mau mampir ke Majiba sebentar? Kutraktir deh." Kise memberikan senyuman paling cemerlangnya. Mata Momoi langsung berkilau penuh semangat, sementara Aomine memandang Kise penuh curiga. Tapi toh Aomine tidak sempat protes, karena Momoi sudah menarik lengannya menuju Majiba.
.
.
.
"Jadi begini, keluargaku pindah ke Amerika mulai minggu lalu-ssu."
"Kok, kau masih di sini? Padahal kalau kau pergi kan Jepang bisa mengurangi polusi suara." Aomine memotong perkataan Kise tak sopan, membuat si pemuda berambut kuning merengut.
"Aominecchi hidoi!" Serunya.
"Dai-chan tidak boleh begitu!" Momoi ikut berseru. "Terus, Ki-chan?" Pandangannya kembali pada Kise.
"Terus sekarang aku ngontrak-ssu. Nah, aku sedang cari teman kontrakan. Soalnya, kan, kalau ada teman bayarnya lebih murah-ssu." Kise cengar-cengir modus.
"Itu bagus sekali!" Momoi menepukkan kedua tangannya. "Dai-chan juga sedang cari apartemen. Iya, kan?" Matanya menatap pemuda yang duduk di sampingnya. Aomine langsung mengerutkan kening.
"Heh. Aku sudah menemukan kok." Sahut Aomine bohong. Dia tidak mau berada dalam satu rumah dengan mantan teman se-timnya yang berisiknya minta ampun.
"Eehh…" Kise menatap kecewa.
"Bohong. Kemarin kan kau bilang tidak suka apartemennya karena terlalu kotor. Lagipula, Dai-chan, kalau kau tidak cepat-cepat cari tempat tinggal nanti paman marah-marah, lho." Kata Momoi.
"Dai-chan disuruh latihan hidup mandiri oleh ayahnya. Jadi sekarang dia sedang cari apartemen murah untuk ditinggali." Jelas Momoi pada Kise. "Memangnya berapa harga sewanya, Ki-chan?" Dari caranya berbicara, tampaknya yang memilihkan apartemen semuanya Momoi.
Kise menyebutkan angka. "Rumahnya juga luas, dua lantai." Sambungnya promosi. Momoi langsung terbelalak.
"Itu termasuknya murah sekali! Daripada kau harus bayar lebih mahal untuk apartemen sempit, mending kau mengontrak saja bersama Ki-chan, Dai-chan!" Seru Momoi bersemangat. Aomine mendengus. Momoi pasti sudah survei seluruh harga apartemen di Tokyo. Dan lagi, kalau Momoi saja sudah seperti itu, pasti nanti orangtua Aomine ikut-ikutan. Mereka kan selalu membela gadis itu—yang anaknya siapa coba.
"Ya sudah kalau begitu. Tapi aku tetap lihat tempatnya dulu, ya." Kata Aomine pasrah. Kise nyengir senang. Akhirnya misi mencari teman kontrakan berhasil. Semoga saja dengan kehadiran pemuda mantan teman se-timnya yang bertampang preman, hantu semuanya jadi takut untuk menakut-nakuti. Takut dibegal, hahaha.
.
.
A/N : Akhirnya. AKHIRNYA. Saya nulis juga fic horor yang beneran horor. BANZAI!
Tapi pertama-tama, saya mau minta maaf kalau ada yang merasa alurnya terlalu cepat. Soalnya saya ingin menekankan pada pertemuan tokoh dengan hantunya sih. Biar begitu nggak serem ya? Tenang saja, guys, ini baru permulaan. Chapter depan hantunya saya liatin. Hantunya cewek atau cowok? Cewek dong. Kan nggak lucu kalau rambutnya udah panjang, eh pas dideketin kumisan. Bisa-bisa yang liat ketawa, jadi nggak serem.
Terus, saya ga jago bahasa Jepang, jadi bingung juga bagaimana menaruh -ssu nya Kise. Semoga nggak aneh.
Oke deh. Silahkan tinggalkan review kalau berminat. Kalau tidak berminat diminat-minatin ya #plak. Nggak ding. Review kalian pastinya akan membuat saya lebih bersemangat nerusin ini fic. Rencananya per chapter saya ceritakan satu tokoh. Kejadiannya beda-beda tentunya. Ya udah deh. Thanks banget buat yang udah mau baca. Yang mau ngetik review nanti saya kasih cium #plak.
See you next chapter!
