The Workaholic

.

.

.

Naruto and All Characters belong to Masashi Kishimoto

.

.

Sasuke and Hinata Story

Warning! This is just a fanfic, don't think too much! No Bash! Many Typo! No Plagiarism!

Happy Reading

.

.

.

Hinata Hyuuga.

Begitu orang mengenalnya melalui nama.

Anggun, cantik, piawai, sopan, pekerja keras, dan ramah.

Begitu orang mengenalnya melalui sudut pandang.

Cerdas, tanggap, berasumsi secara logika, mampu menerima masukan, dan berpikir kritis.

Begitu pula orang mengenalnya melalui rapat perusahaan.

Salah? Tidak.

Sempurna? Hampir.

Ibarat tingkat persentase angka, Hinata berada pada titik 98%. Satu persen adalah hati. Satu persen lagi adalah bakat. Hey, kedua angka persentase tersebut saling berhubungan. Dimana untuk mencapai sempurna Hinata harus mempertahankan bakat beractingnya didepan khalayak umum, dan memperbaiki hatinya yang sudah lama tak berpenghuni. Karena apa? Karena bakat dan hati merupakan satu kesatuan. Jika ia pandai memilah saham mana yang akan diambil, sudah sepatutnya ia turut handal mendapatkan pujaan hati.

Dan dengan tegas Hinata membantah.

"Tidak!"

"Eh?"

Amethyst dan Sapphire beradu pandang, "Cukup dengan leluconmu dan tolong tinggalkan aku sendiri."

Naruto menganga, "Hinata, ini kesempatanmu."

"Dengarkan aku baik-baik, Namikaze. Sudah berulang kali aku menolak perusahaan yang berhubungan dengan lelaki sialan itu, dan kini kau menampakkan diri di siang hari begini hanya untuk membujukku? Oh ya ampun, katakan berapa banyak dia membayarmu?"

Naruto menganga, lagi. Ia tak habis pikir kenapa gadis yang dulunya begitu lembut kini berubah menjadi gadis keras kepala? Mungkin ucapan Shikamaru harus ia benarkan, wanita memang merepotkan.

"Hinata. Aku sudah katakan, ini kesempatanmu."

"Kesempatan apa?" suara sarkastik begitu menusuk indera pendengaran.

"Untuk membangun kembali Hyuuga. Untuk menyelamatkan perusahaan Neji di Kyoto, kau tahu 'kan?"

Hinata terdiam, mencerna kalimat itu baik-baik.

"Bukan berarti aku harus bergabung dan membiarkan setengah saham milik sahabatmu itu di perusahaanku."

"Terkadang kita harus merelakan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu, Hinata."

Tersenyum sinis Hinata membalas, "Bijaksana sekali kau, tuan Namikaze."

"Terima kasih. Jadi?" Naruto to the point, ia tak sabar mendengar jawaban Hinata yang mungkin berubah pikiran-

"Tidak."

-lupakan, dia memang keras kepala.

Hinata berjalan ke arah Naruto, "Beritaukan hal ini padanya, bahwa aku tidak pernah sudi berhubungan dengan lelaki macam dia, walau itu sebatas kerja sama antar perusahaan."

Naruto mengangguk. Sungguh ia tak ingin mendebat teman masa kecilnya yang sekarang menjelma bak malaikat pencabut nyawa. Mengerikan.

"A-aku permisi dulu, Hinata."

"Lebih baik begitu. Sampai jumpa, Naruto." tak henti disana, gadis itu menambahkan, "Itupun jika kita berjumpa lagi, kawanku."

Berdoa saja semoga Naruto tak menjatuhkan dirinya dari lantai 20 karena ekspresi Hinata yang kelewat menakutkan tersebut. Oh ya Tuhan, apakah masa pubertas wanita memang sekontras itu?

Memasuki mobil, Naruto lantas menginjak gas menuju gedung pencakar langit yang lain. Tujuannya satu, menemui si sahabat bungsunya dan menjelaskan semua yang telah ia lalui tadi. Termasuk amanat berupa kalimat pedas dari pewaris Hyuuga satu itu. Catat. Ini amanat.

.

.

.

"Kau bilang hari ini jadwal kerjamu tidak padat, Sasuke-kun."

"Seandainya kau lebih menggunakan mata dari pada mulutmu, aku pasti senang sekali." sindiran tajam yang langsung tepat sasaran jelas menusuk perasaan Karin.

Ia mendengus kesal, "Kau ini tidak senang atau bagaimana, sih? Aku calon tunanganmu! Seharusnya kau lebih meluangkan waktu untukku."

Alarm bahaya. Jika Karin merajuk maka bencana besar baginya. Ingatkan Sasuke seminggu lalu saat Karin yang dengan mode singa betinanya mengamuk dan membuat kekacauan besar di perusahaan. Bukan berbaik hati ingin memanjakan gadis itu, namun Sasuke cukup cerdas untuk tidak memantik api didekat kayu bakar.

"Karin." panggil Sasuke berusaha terdengar lembut, "Karin, aku mohon mengertilah. Banyak berkas-berkas yang belum aku selesaikan, sementara kau tahu aku harus membiayai kebutuhanmu akhir-akhir ini."

Dan ya, meski Karin masih berstatus calon tunangan Sasuke, gadis itu memutuskan secara sepihak untuk tinggal bersama pemuda tampannya. Perbesar dan garis bawahi. Memutuskan secara sepihak. Sasuke? Jangan ditanya betapa muaknya ia berpura-pura menerima segala bentuk sifat menyebalkan si surai merah itu.

"Baiklah. Aku mengerti, Sasuke-kun."

Tepat ketika pintu terbuka, disitulah Sasuke menangkap sosok Naruto yang langsung beracting seolah ingin memuntahkan isi perutnya saat itu juga. Siapa yang tidak? Karin mencium paksa seorang Presdir! Jika ada setangkai mawar di tangan kanan Sasuke dan bom waktu di tangan kirinya, ia bersumpah lebih baik menempelkan bom itu dipunggung Karin dan mati bersama. Oke, itu berlebihan.

"Hey, lihat siapa yang sedang memaksa siapa disini." seperti biasa, Naruto dan urakannya.

Karin lantas menoleh, "Kau-"

"-senang melihatmu juga, nona Uzumaki."

Sasuke melepaskan tangan Karin yang entah sejak kapan berada ditengkuknya, "Pulanglah, aku tidak ingin kau kelelahan karena menungguku disini, mengerti?"

Karin tersenyum senang, "Sampai bertemu saat makan malam, Sayang." dan sekali lagi, Karin mengambil kesempatan mencium Sasuke didepan Naruto.

"100 untuk acting sialanmu itu, Sasuke." ujar Naruto setelah singa betina milik sahabatnya enyah, setidaknya dari pandangan kedua orang didalam sana.

Sasuke mendesah lelah, "Aku harap kau membawa kabar baik."

"Ah jika itu yang kau harapkan, maaf kau tidak mendapatkannya."

"Sudah kuduga." Sasuke memutar kursinya.

Naruto berkacak pinggang, "Sangat susah meyakinkannya, jika kau mau tahu."

"Hn."

"Dia benar-benar berubah. Kau tak akan percaya dia Hyuuga yang dahulu pernah menyatakan cinta padamu."

"Hn."

Naruto memejamkan mata mengingat bagaimana nada merendahkan Hinata ditujukan untuknya beberapa waktu lalu, "Dia juga sedikit lebih berani, Sasuke."

"Benarkah?" kursi itu berputar lagi, kali ini menghadap Naruto.

"Berharap saja kalian tidak akan pernah bertemu."

Sasuke menyunggingkan senyuman miring, "Aku berharap sebaliknya."

Naruto memutar bola mata, "Maka terjadilah perang antara kau dan dia."

Sasuke tertawa - tidak - dia hanya sebatas mengeluarkan suara untuk merespon Naruto, "Ini pasti menarik."

Bayangkan posisi Naruto sekarang. Teman masa kecil Hinata, dan sahabat Sasuke. Masing-masing dari kedua manusia berbeda darah itu mempunyai arti dikehidupannya. Naruto yakin, suatu saat, cepat atau lambat, ia akan dibuat susah oleh pemuda sinis dan gadis keras kepala tersebut. Rasanya Naruto ingin terjun dari pesawat tanpa parasut detik itu juga.

"Naruto."

"Hm?" balasnya ogah-ogahan.

Kedua mata Sasuke tertuju padanya, "Aku ingin menemui Neji."

Membelalak. Hal pertama yang Naruto lakukan adalah membelalak. Tak percaya, tentu saja. Ia menggeleng ragu, khawatir firasat buruk yang ia rasakan terjadi. Sahabatnya ini benar-benar minta dihajar rupanya, "Kau gila?!"

"Reuni mungkin?" bukannya membantu Naruto agar lebih tenang, Sasuke malah menimpali kalimatnya lagi.

"Demi Tuhan, Sasuke. Apapun yang kau rencanakan tolong jangan melibatkan aku. Tidak kali ini." dengusan tanda ia tak main-main dapat Sasuke tangkap dengan baik.

Pemuda itu menaikkan alisnya, "Sahabat macam apa kau, ha?"

"Ini bukan soal sahabat atau bukan. Jika menyangkut Hinata pribadi mungkin aku bisa membantumu sedikit melihat dia adalah teman masa kecilku, tetapi jika kau merubah ruang lingkupnya hingga ke Neji-"

Naruto bergidik.

"-ya ampun, aku tidak bisa membayangkannya." Naruto terduduk lesu di sofa, raganya lelah, pikirannya lelah.

Sasuke berdecak lalu bangkit dari singgasana, "Baiklah. Aku harap kau memegang kata-katamu, Naruto."

"Huh?"

"Untuk membantuku mengenai Hinata."

Skak!

Tamatlah riwayat Naruto.

.

.

.

Kaki jenjangnya ia hentakkan seanggun mungkin, membuat tiap pasang mata yang melihat berdecak kagum seolah Hinata adalah suatu hal yang berharga dan langka. Ia tak menampik fakta, dirinya memang permata Hyuuga. Siapa yang rela mengesampingkan Hinata? Tak ada, kecuali orang itu memiliki gangguan jiwa atau tak ada selera kepada lawan jenis. Begitu bersinar dan elegan, inilah salah satu dari segala kelebihan yang Hinata punya.

"Hinata!"

Masih mempertahankan tampang angkuh ia menoleh, "Kau memanggilku?"

"Tak kusangka kita bertemu disini!"

Hinata semakin melongo, "Kau ini siapa? Kau mengenalku?"

"Ke-kenapa kau bertanya, Hinata? Ini aku!"

"Aku tidak mengenalmu, nona manis." berbalik dan pergi, niatnya hampir tercapai namun tangan seseorang menghentikan pergerakannya, "Ada apa lagi?" tanya Hinata yang mulai bosan berlama-lama dengan orang asing didepannya ini, terlebih ia berani melakukan kontak fisik tanpa seijinnya.

"Demi Tuhan, kau melupakan teman sekamarmu saat di London?"

Hinata meneliti gadis itu dari atas sampai bawah. Matanya benar-benar memperhatikan dengan seksama, tinggi badan yang ideal, rambut pirang tanpa pewarna, dan mata aquamarine yang selalu terlihat ceria, "I-ino?" ujarnya memastikan bahwa memori otaknya cukup tanggap dalam mengingat sesuatu.

"Akhirnya!" Ino mendekap erat Hinata, "Apa kabar, Hinata?"

"A-ah, baik. Kau sendiri?" karena masih canggung Hinata memilih untuk berbasa-basi sebentar.

Ino merangkulnya, "Aku baik-baik saja, Hinata. Jika kau bertanya kenapa aku disini, tentu karena orang tuaku membuka usaha dan salah satu cabangnya mereka tempatkan di Tokyo."

'benar-benar banyak bicara', pikir Hinata.

"Aku bisa mengajakmu ke sana sekarang, bagaimana?" tawar Ino antusias.

"Terima kasih, tapi tidak. Masih banyak yang harus aku lakukan, Ino." Hinata menolak.

"Begitu, ya?"

Hinata mengangguk, "Mungkin lain kali?"

"Baiklah, selama seminggu ke depan aku tinggal sementara disini. Berkunjunglah bila ada waktu, Hinata."

"Uh-hm." Hinata menggumam sebagai respon.

Tak lama, mereka berpisah dipersimpangan jalan. Ino beralasan untuk pulang lebih awal dan membantu orang tuanya membereskan sisa barang-barang, sementara Hinata berdalih dengan mengatas-namakan pekerjaan. Hinata sengaja berjalan kaki dan meninggalkan mobilnya di perusahaan, toh ia tidak pergi jauh untuk sekedar menghirup udara guna melepas penat sehabis rapat tadi.

Entah setan apa yang merasukinya, Hinata tiba-tiba teringat seseorang. Sosok yang sangat ingin ia lupakan mendadak bertengger nyaman dan berputar gusar dipikirannya. Ia menggeleng cepat, "Sialan benar, orang itu pasti menghasut Naruto supaya perusahaanku jatuh dalam genggamannya." dia menghela nafas kasar, "Tidak akan aku biarkan dia semena-mena terhadapku, dasar Uchiha." jelas desisan itu bukan sebatas omong kosong. Ia ingin membuktikan pada dunia, dirinya sudah berhenti menyebarkan senyuman ramah, yang ada malah ekspresi dingin nan angkuh namun memikat. Keputusannya sudah bulat sejak saat itu.

.

.

.

Waktu berjalan begitu cepat, sangat cepat bahkan. Sasuke menendang sudut sofa untuk membangunkan manusia yang tengah tertidur disana, "Cepat bangun, bodoh."

Naruto menggeliat terusik, "Kau ini benar-benar tak punya hati, ya?" suara serak khas orang kelelahan membuat Sasuke memutar bola matanya.

"Salahkan dirimu yang tertidur diruanganku."

Naruto mengumpat, "Sialan, aku tahu kemana ucapanmu mengarah, Sasuke."

"Hn." Sasuke melengos pergi dan Naruto mengikuti.

"Mau sampai kapan?" tanya Sasuke tiba-tiba.

"Maksudmu?" mereka kini berada didalam lift. Naruto terus menatap Sasuke dengan tanda tanya besar diotak, sedetik setelahnya ia merasa benar-benar harus melayangkan bogem mentahnya untuk Sasuke, "Sialan kau."

"Aku tidak ingin kau menguras hartaku."

Naruto semakin dongkol, "Berhenti mengomel seolah-olah aku sering merepotkanmu, Sasuke."

"Memang." Sasuke menjawab enteng.

"Kau tahu aku tak bisa kembali sekarang, setidaknya untuk beberapa hari lagi."

"Maka carilah tempat lain yang bisa kau singgahi."

"Huh?"

"Tidak di perusahaanku atau rumahku." Sasuke mendengus. Bukannya ia tak sudi Naruto berkunjung dan menemuinya setiap waktu, Sasuke hanya berpikir mungkin Naruto harus segera pulang ke rumahnya dan meluruskan masalah keluarganya.

"Tou-san sangat kecewa padaku, Sasuke." Naruto tersenyum tipis, "Mana bisa aku menampakkan diri didepannya setelah kepercayaannya padaku menghilang."

Sasuke melirik Naruto sekilas, "Apa salahnya berusaha?"

"Percuma-"

"Tidak ada yang percuma, Namikaze." Sasuke menyela, "Temui orang tuamu dan jelaskanlah."

Ting!

Pintu lift terbuka. Sasuke berjalan keluar, sementara Naruto masih didalam sembari memperhatikan ubin lantai yang menurutnya jauh lebih menarik, "Kau benar." lalu ia pun melangkah menyamakan diri disamping Sasuke.

"Sasuke."

Merasa namanya dipanggil, Sasuke yang hendak membuka pintu mobilnya otomatis menoleh, "Apa?"

"Biarkan aku menginap semalam lagi, ya?"

Sasuke segera menatap Naruto nyalang, "Sialan."

"Hey, aku perlu berpikir matang-matang sebelum menemui Tou-san dan Kaa-san." Naruto merajuk.

"Hanya semalam, Namikaze. Ingat." penekanan pada kata terakhir membuat Naruto bergidik.

"Kau memang sahabat terbaik, Sasuke."

Dengan itu Naruto memasuki mobilnya sendiri dan mengikuti Sasuke dari belakang. Selama perjalanan Naruto terus bergerilya berpikir apa saja yang akan ia ucapkan agar kedua orang tuanya mengerti, Naruto sempat dibuat marah semarah-marahnya ketika skandal yang menyangkut nama Namikaze tersebar luas di berita. Parahnya lagi, anggota keluarga Namikaze yang terlibat adalah dirinya sendiri. Bila skandal itu berisi tentang korupsi atau kasus perusahaan mungkin Naruto bisa membayar orang untuk menutup semuanya, tetapi tidak, Namikaze adalah keluarga terpandang yang enggan mengambil hak orang lain. Naruto menyadari, skandal kali ini sayangnya bukan tentang kasus perusahaan namun pemerkosaan terhadap seorang gadis dibawah umur.

Ia memukul setir mobil, "Berengsek."

.

.

.

to be continued

.

.

Hai minna, perkenalkan aku author baru disini. Kalian boleh memanggilku Hana. Sebagai penulis, ada beberapa hal yang ingin aku jelaskan mengenai cerita diatas, tolong simak baik-baik agar tak menimbulkan berbagai komentar negatif nantinya.

Pertama, ini soal sifat Hinata yang aku buat sedikit melenceng. Kalian tahu Movie Naruto : Road to Ninja? Ya, aku lebih tertarik membuat karakter Hinata seperti dalam movie tersebut - namun bukan tak beralasan - semua ini sudah aku pertimbangkan demi mendukung plot cerita.

Kedua, tentang Karin dan Naruto. Jika kalian membaca dan menyimak diatas, aku memberikan marga Namikaze untuk Naruto dan marga Uzumaki untuk Karin. Sekali lagi aku tegaskan, Naruto dan Karin tak memiliki hubungan keluarga (sekalipun dalam anime Kushina merupakan clan Uzumaki).

Dan terakhir, aku berusaha menggunakan bahasa baku agar pembaca tertantang untuk mengerti walaupun bukan gaya baku yang sebenarnya (semi baku), aku juga sedikit menggunakan majas, serta terdapat beberapa kalimat langsung yang aku buat ber'basa-basi' agar alur cerita tak terkesan terburu-buru.

Ketiga hal yang baru saja aku jelaskan mohon untuk tidak disalah-artikan. Pembaca berhak berkomentar tetapi pandai-pandailah mengkritik karya seseorang. Sampai jumpa di chapter berikutnya! ^^

Mind to review?