Sore itu perpustakaan sepi dan Ichigo Kurosaki tidak bisa lebih senang lagi. Ada ratusan halaman yang perlu dia baca untuk ujian semester. Profesor Unohana tidak pernah setengah-setengah. Ujian beliau selalu yang tersulit. Tingkat kelulusan di kelasnya kira-kira hanya 40% - Ichigo tidak mau – tidak mau sama sekali – mengulang kelas Profesor Unohana untuk tahun depan. Satu semester saja sudah lebih dari cukup untuk Ichigo. Memang Profesor Unohana adalah salah satu dari sedikit dosen terbaik di Universitas, Ichigo sendiri mengakui keahlian beliau, tapi jujur saja, Ichigo lebih memilih kehidupan damai di Universitas, terima kasih.

Di jendela tampak semburat oranye yang menandakan matahari sebentar lagi terbenam. Bagi kebanyakan orang mungkin pemandangan itu sangat indah mereka bisa memandang berjam-jam tapi Ichigo tidak bisa peduli, di depannya terhampar formula kimia yang perlu diingat sampai akhir bulan. Alis Ichigo berkerut menjadi satu dan keringat mulai menetes, meski sore itu bisa dibilang sejuk. Ah, andai saja Ishida ada di waktu seperti ini. Sayangnya yang bersangkutan lebih memilih menonton fashion show daripada belajar. Temannya satu itu sepertinya salah jurusan.

Ichigo mendengar kursi di depannya ditarik dengan pelan. Dari sudut matanya dia melihat seorang anak perempuan berambut hitam kebiruan duduk di hadapannya. Dia memakai summer dress berwarna putih. Dari tas besarnya yang berwarna ungu dia mengeluarkan sebuah buku sketsa, tempat pensil, kuas – ah, anak jurusan seni, pikir Ichigo. Jurusan Seni memang gedungnya terletak paling dekat dengan perpustakaan dan banyak anak seni yang sering berkumpul disini. Mata Ichigo beralih ke barang-barang yang baru dikeluarkan. Di tempat pensilnya yang besar (dua kali lipat besar tempat pensil Ichigo) tertulis nama dengan spidol hitam dan huruf super besar: KUCHIKI RUKIA.

Walau nama "Rukia" sama sekali tidak membunyikan lonceng di kepala Ichigo, lain halnya dengan nama "Kuchiki". Sepertinya dia sering mendengar nama tersebut, hanya saja kali ini dia tidak ingat. Formula kimia Profesor Unohana telah sukses menghapus 10% memori Ichigo.

Dari suara goresan pensil, sepertinya Rukia mulai menggambar sesuatu. Ichigo tertarik untuk melihat, tapi sepertinya itu agak tidak sopan, belum lagi dia masih punya formula kimia untuk dihapal. Beberapa menit berlalu, Ichigo mendengar Rukia berdesis pelan- sepertinya sketsanya tidak berjalan seperti yang diinginkan?

"...tidak, tidak begini, Chappy harusnya lebih bulat...," desis Rukia pelan, sangat pelan, sehingga Ichigo hanya mendengar kata "Chappy".

...Chappy?

Kartun yang sering ditonton Yuzu dan Karin sewaktu mereka masih berusia 5 tahun?

Ichigo pura-pura merenggangkan tangannya ke udara untuk melihat buku sketsa Rukia.

"PFFFFFT,"

Ichigo menutup mulutnya dengan kedua tangannya, namun sudah terlambat. Kuchiki Rukia menatapnya dengan penuh tanya, mata besarnya yang berwarna violet menatap lurus ke mata cokelat Ichigo.

Ichigo mengerling buku sketsa Rukia sekali lagi, airmata mulai keluar karena menahan tawa. Maaf, Ichigo berusaha mengoreksi, jelas Kuchiki Rukia bukan anak seni. Chappy yang berusaha dia gambar, hanya berbenHAHAHAHA bahkan Ichigo tidak dapat meneruskan kalimat dalam kepalanya.

"Hei!" Kuchiki Rukia berdiri dan memandangnya dengan tajam. Berdiri pun ternyata Kuchiki Rukia tidak jauh berbeda. Ichigo yang duduk bahkan sedikit lebih tinggi daripada Rukia.

"Kau ada masalah denganku?"

"Tidak," Ichigo berusaha menguasai dirinya, "Aku hanya penasaran apa yang kau gambar. Kau bilang itu Chaphahahaha,"

Ichigo tertawa terbahak-bahak. Wajah Kuchiki Rukia memerah. Kalau ini adegan di film kartun, mungkin asap sudah keluar dari kedua telinganya. Rukia menarik kerah Ichigo.

"Apanya yang lucu?" kata Rukia, wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajah Ichigo, dan kali ini baru Ichigo menyadari bahwa suara Rukia satu oktaf lebih dalam dari perempuan biasanya – Inoue misalnya – dan dia mempunyai bau sabun – lavender mungkin?

"Maaf," kata Ichigo dengan suara yang bukan suaranya, hilang di tatapan intens mata violet Rukia.

Mereka tetap bertatapan seperti itu untuk beberapa waktu, sampai akhirnya Rukia melepaskan sihir diantara mereka. Rukia kembali duduk di kursinya tanpa suara.

"Aku suka Chappy," katanya datar, wajahnya sedikit merah di bawah cahaya oranye.

"Adik-adikku juga," kata Ichigo otomatis, "Waktu mereka kecil," tambahnya, meski Yuzu mungkin masih menyukainya, Karin kemungkinan besar tidak.

"Kuchiki Rukia," kata Rukia sambil kembali menatap mata Ichigo lurus, tangannya yang mungil memainkan pensilnya, "Jurusan Seni Rupa,"

"Kurosaki Ichigo," kata Ichigo, seperti terhipnotis, "Jurusan Kedokteran,"

Saat itu, sebenarnya Ichigo bisa tertawa lebih keras lagi karena ternyata Rukia, dengan keahlian menggambarnya yang sekelas anak berumur 6 tahun adalah mahasiswa Seni Rupa, tapi saat bibir Rukia mendarat di bibirnya dengan pelan, dan tangannya yang mungil meremas rambut oranyenya untuk berciuman lebih dalam – Ichigo lupa semuanya. Ada sesuatu yang dia rasakan di dadanya, di perutnya, seperti percikan kembang api- dan yang paling kuat- rasa nostalgia.

Kalau formula kimia Profesor Unohana menghilangkan kira-kira 10 % memorinya, Kuchiki Rukia menghilangkan 100% memorinya.

Socratic Love

by mayo prince

BLEACH | ICHIGO x RUKIA

"Chad, berapa lagi waktu yang aku punya?" kata Ichigo panik sambil membaca cepat kursus yang di tangannya. Kawan baiknya yang berkulit cokelat memandang jam tangan bermerk Rolex yang melingkar di pergelangan tangannya.

"10 menit, Ichigo," jawabnya dengan suara dalam, khas Chad.

"Oh f_ no," Ichigo memandang kursus di hadapannya seakan kalau tidak dia akan mati. Sebenarnya sih benar juga, kalau dia tidak menghapal sisa formula di kursusnya, dia harus mengulang kelas Profesor Unohana yang sama saja dengan mati.

"Kurosaki, kau kan punya kira-kira dua minggu untuk belajar...ini tidak seperti dirimu saja," kata Ishida sambil menatap Ichigo dengan kasihan, "Bukannya kau sering ke perpustakaan untuk belajar akhir-akhir ini?"

"Bukan urusanmu, Ishida," balas Ichigo, pipinya sedikit memerah, meski Chad dan Ishida (untunglah) tidak menyadarinya. Beberapa menit kemudian bel berbunyi dan mahasiswa yang lain mulai masuk ke dalam kelas untuk ujian semester. Chad dan Ishida mengalungkan tas mereka.

"Ichigo,"

"Ya, ya aku tahu Chad," Ichigo untuk terakhir kalinya membaca formula kimia sebelum menjejalkannya begitu saja di tasnya. Dia memasuki kelas Profesor Unohana dengan wajah seperti sapi akan disembelih. Kali ini dia hanya bisa pasrah...

[]

"Hari ini mampir ke perpustakaan ya, Rukia, aku perlu meminjam buku Sejarah Seni untuk ujian Profesor Yamamoto," kata Renji setelah ujian praktek selesai. Rukia yang sedang menutup tasnya buru-buru menatap Renji dengan wajah kaget.

"Tidak! Maksudku, maaf Renji, aku tidak bisa," tolak Rukia dengan cepat.

"Kau ini kenapa, Rukia?" Renji melipat tangannya, alisnya bertaut, "Akhir-akhir ini kau aneh deh. Memang kenapa dengan perpustakaan? Toh kau juga dulu sering kesana kan?"

"Tidak apa-apa, hanya saja hari ini aku tidak bisa, Renji," Rukia mengalungkan tasnya ke bahu dan pergi begitu saja meninggalkan teman masa kecilnya yang terheran-heran.

Kejadian dua minggu yang lalu di perpustakaan masih terbayang di kepala Rukia.

Kuchiki Rukia sama sekali bukan perempuan agresif. Jangankan berciuman, punya pacar saja Rukia belum pernah. Maka dari itu Rukia merasa malu pada dirinya sendiri bahwa dia yang pertama kali me-mencium Kurosaki Ichigo sore itu. Ada sesuatu yang menariknya dengan Ichigo, sebuah ikatan yang sangat kuat yang Rukia tidak bisa menjelaskan. Ketika bibirnya bersentuhan dengan bibir Ichigo, sesuatu seperti meledak di dadanya, seperti petasan, atau percikan kembang api – sesuatu yang mengatakan, "ini benar". Ketika ciuman mereka bertambah dalam dalam dan lidah Ichigo menyentuh bibirny-

Wajah Rukia memanas. Yang pasti dia tidak punya muka lagi untuk bertemu Kurosaki Ichigo. Dia yakin bahwa Ichigo juga merasakan hal yang sama (percikan kembang api dan hal klise semacamnya itu) tapi tetap saja Rukia tidak bisa menatap wajah Ichigo untuk kedua kalinya. Ah, apa kata Nii-sama kalau beliau tahu yang Rukia lakukan. Tiba-tiba wajah Nii-sama terbayang di kepala Rukia. Horor. Rukia bergetar ketakutan sambil mempercepat langkahnya.

"Selamat datang Rukia,"

Kakak Rukia, Hisana, menyambut Rukia dengan wajah ceria. Dia memakai celemek berwarna pink dan memegang sebuah sendok besar. Rukia melepas sepatu hitamnya dan meletakannya di laci sepatu dengan rapi.

"Bagaimana ujianmu?" tanya Hisana. Rukia memandang kakaknya – yang lebih cocok menjadi saudara kembarnya, kata orang kebanyakan – sambil tersenyum.

"Baik," kata Rukia, "Nee-san, apa kau sudah merasa baikan?"

"Oh ya, ya, tentu saja. Baik sekali. Hari ini aku yang memasak makan malam," kata Hisana. Dari belakang Hisana tampak seorang perempuan tua yang sudah lama bekerja di keluarga Kuchiki, Machiko-san. Dia memakai baju tradisional dengan celemek. Wajahnya cemas.

"Hisana-sama, tapi kata dokter anda harus tetap istirahat-,"

"Tenang saja, Machiko-san. Aku merasa sehat kok," meski Hisana tersenyum ceria, wajahnya masih tetap pucat, pikir Rukia.

"Hari ini Byakuya-sama pulang lebih awal kan? Aku tidak bisa melewatkan kesempatan ini begitu saja," kata Hisana sambil bersenandung dan berjalan menuju dapur. Machiko-san menghela nafas.

"Oh Hisana-sama...,"

"Tetap awasi dia ya Machiko-san, aku akan ikut turun ke dapur setelah ganti baju," kata Rukia pelan. Machiko-san mengangguk sambil mengikuti Hisana ke dapur.

Hisana, kakak Rukia, menikah dengan Kuchiki Byakuya empat tahun lalu. Kuchiki Byakuya adalah penerus perusahaan besar milik keluarga Kuchiki. Mereka masih ada hubungan darah dengan keluarga kerajaan, sehingga mereka termasuk bangsawan. Sebenarnya pernikahan Hisana dan Byakuya ditentang oleh tetua keluarga Kuchiki. Namun, Byakuya sama sekali tidak bergeming. Rukia sangat menghormati Byakuya karena itu. Byakuya, yang biasanya dingin, bisa memperjuangkan Hisana dan Rukia sekeras itu. Sejak saat itu Hisana dan Rukia tinggal di rumah besar milik Byakuya.

Sebelum itu mereka berdua tinggal di panti asuhan. Orangtua Hisana dan Rukia meninggal ketika mereka masih kecil. Hisana yang sejak kecil berusaha terlalu keras akhirnya mempunyai tubuh yang sakit-sakitan. Kebanyakan waktu Hisana habiskan di tempat tidur. Kalau ada satu hal yang Rukia minta, itu satu: agar Byakuya dan Hisana bisa bahagia. Selama ini mereka jarang sekali menghabiskan waktu sebagai suami-istri. Hisana tubuhnya terlalu lemah dan Byakuya selalu sibuk mengurus perusahaannya. Sungguh, Rukia berharap mereka bisa menjadi sepasang suami-istri normal yang mempunyai banyak anak, pergi ke taman bermain setiap minggu...

Rukia menuruni tangga menuju dapur. Dia mendengar suara samar-samar. Dari balik pintu Rukia bisa melihat bahwa Byakuya sudah pulang. Wajahnya terkejut melihat Hisana yang memasak makan malam. Hisana tersenyum menatap suaminya. Rukia membalikkan badan dan mencoba memberikan waktu untuk mereka berdua lebih lama ketika terdengar suara piring pecah dengan keras.

"Hisana!"

[]

"Semuanya 800 yen, terima kasih,"

Ichigo memberikan recehan di sakunya kepada penjaga konbini. Saat itu jam menunjukkan pukul delapan malam. Sepulang ujian Ichigo sama sekali tidak bisa berpikir apa-apa karena sangat khawatir akan hasil ujiannya. Dia berhasil mengerjakan lebih dari setengah- tapi sisanya dia karang dengan formula kimia sendiri. Semoga Profesor Unohana mengampuni dirinya. Setelah itu Ichigo baru sadar bahwa dia tidak punya apa-apa di kulkasnya sehingga dia harus membeli paket makan di konbini.

Saat seperti ini Ichigo teringat rumahnya di Karakura, dimana Yuzu selalu menyiapkan makanan enak dan hangat setiap malam...

Ichigo merogoh kantong plastiknya dan mengambil satu batang es loli. Malam itu termasuk panas. Musim panas sebentar lagi tiba, pikir Ichigo. Biasanya bersama Chad, Ishida dan Inoue mereka akan pulang ke Karakura untuk libur musim panas, tapi kali ini pikiran Ichigo melayang ke seseorang yang tak lain tak bukan adalah Kuchiki Rukia. Anak perempuan yang selalu memenuhi kepalanya belakangan ini. Mau tak mau Ichigo penasaran apa yang dilakukan Kuchiki Rukia. Akan sangat bagus sekali kalau mereka bisa menghabiskan musim panas bersama. Semenjak mereka bertemu di perpustakaan dua minggu lalu Ichigo tak pernah melihat Rukia lagi. Apa Rukia dengan sengaja menghindarinya? Ichigo sendiri tidak bisa mencarinya begitu saja di Jurusan Seni, jurusan itu terlalu besar dan banyak orang aneh.

Ichigo menggigit es lolinya ketika seseorang berlari lurus kearahnya, membuat Ichigo terjatuh ke jalan dan isi belanjaannya berserakan. Orang yang menabraknya jatuh tepat diatas Ichigo.

"Hei!" Ichigo baru akan protes ketika dia merasa sesuatu yang basah mengenai kaosnya. Hujan? Tidak mungkin. Beberapa saat kemudian Ichigo baru sadar bahwa sumbernya berasal dari orang yang menabraknya itu. Dia menangis. Jalannya saat itu gelap sehingga Ichigo tidak bisa mengenali orang yang menangis di dadanya. Kemudian tiba-tiba cahaya bulan menimpa mereka berdua dan Ichigo tersadar bahwa orang yang ada di hadapannya adalah Kuchiki Rukia.

[]

"Hisana!" suara Byakuya mengagetkan Rukia dan dia buru-buru memasuki dapur. Hisana terjatuh pingsan di lengan Byakuya. Rukia menekap mulutnya. Kakak iparnya memandang Rukia dan berkata,

"Rukia, panggil dokter!"

Rukia yang kaget hanya bisa menangguk dan berlari untuk menelepon dokter keluarga. Byakuya menggendong Hisana kembali ke kamar mereka. Wajah Byakuya sangat panik. Machiko-san dan beberapa pelayan lainnya buru-buru menyiapkan kompres untuk Hisana.

Beberapa saat kemudian dokter keluarga, Mahiro-sensei datang dengan tergesa-gesa. Rukia mengantar beliau ke kamar Hisana dan Byakuya.

Byakuya dan Rukia menunggu di luar dalam diam. Tak ada satupun kata keluar dari mulut mereka. Setelah beberapa waktu yang terkesan seperti seabad dengan pelan Mahiro-sensei keluar dari kamar dan berdiri di depan Byakuya. Rukia memandang mereka berdua dengan tatapan cemas. Ada apa dengan kakaknya sekarang?

"Byakuya-sama, apa kau tahu bahwa Hisana-sama sedang mengandung?"

Mata Rukia melebar. Hisana-neesan, hamil?

"A-apa?" Wajah Byakuya seperti kehilangan warna. Mahiro-sensei menunduk, sesaat Rukia tidak mengerti, bukankah fakta bahwa Hisana hamil seharusnya membahagiakan-

"Sayangnya Hisana-sama kondisi tubuhnya sangat lemah. Aku menyarankan agar Hisana-sama segera dibawa ke rumah sakit, untuk memastikan bahwa bayinya baik-baik saja. Byakuya-sama, maaf tetapi kalau Hisana-sama harus melahirkan, ini akan sangat berat untuk kondisi fisik dan mentalnya-"

Rukia merasa sepeti seperti ditampar. Ah, ya tentu saja. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan kondisi tubuh kakaknya itu. Tiba-tiba saja Rukia sudah berada di mobil bersama Byakuya dan Hisana menuju rumah sakit. Kemudian fakta bahwa kemungkinan hidup Hisana hanya lima puluh persen – bahwa ada saatnya bagi mereka untuk memilih untuk mempertahankan hidup Hisana atau bayi yang dikandungnya. (masafumi)Wajah Byakuya seperti pecah, dan baru kali ini dalam hidup Rukia, Byakuya menangis.

Rukia sekejap membalikkan badan dan berlari, secepat, sejauh yang dia bisa.

[]

"Kau sudah merasa baikan?"

Ichigo memberikan segelas susu hangat kepada Rukia yang duduk terpaku di ujung apartemennya. Rukia memegang gelas itu sambil masih terdiam, pandangannya jauh dan kosong.

"Minum, Rukia. Baik untukmu biar cepat tinggi," kata Ichigo bercanda, berharap dapat mencairkan suasana yang sangat suram itu. Jujur saja kesunyian itu agak menyesakkan. Ichigo meminum gelasnya sendiri sambil menunggu Rukia mengatakan sesuatu.

"...Ichigo,"

Dengan cepat lelaki berambut oranye itu menatap Rukia, suara Rukia yang memanggil namanya membuat dirinya seakan tersetrum, dan perasaan itu ada lagi. Rasa nostalgia. Rasa rindu.

"Y-ya?" Ichigo berusaha menjawab tanpa gagap.

"Kalau kau tidak keberatan, bolehkan aku menginap disini?"

Kalau Kuchiki Rukia meminta nyawanya sekalipun, Ichigo yakin dia akan memberikannya dengan senang hati.

"Uh, ya, kau boleh memakai kamarku, aku akan tidur di sofa," kata Ichigo sambil menggaruk punggungnya, "Tapi, Rukia," Ichigo tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya, "Uh, Kau yakin tidak apa-apa menginap di rumah orang asing – laki-laki asing sepertiku?" yang dua minggu lalu kau cium seperti tidak ada waktu lagi untuk hidup?

"Aku percaya padamu, Ichigo," kata Rukia, "Justru aku yang perlu bertanya, apa kau tidak apa-apa membiarkanku tidur disini? Saat ini aku tidak bisa cerita apa-apa, tapi aku janji-,"

"Aku mengerti," Ichigo menepuk kepala Rukia dengan lembut, kali ini giliran Rukia kembali merasakannya – rasa nostalgia, rasa rindu, rasa ingin

"Tidur, oke? Tidak perlu memaksakan diri untuk menceritakan kalau kau tidak mau," kata Ichigo. Rukia mengangguk dan mengucapkan terimakasih dengan lirih. Ichigo menunjukan kamarnya ke Rukia dan mengambil selimut dari lemari untuk dirinya sendiri di sofa. Ketika Ichigo beranjak untuk keluar kamar dan mematikan lampu, Rukia menarik T-shirtnya.

"Rukia?"

"Ichigo, jangan tinggalkan aku," pintanya.

Mereka berdua berpegangan tangan semalaman, dengan Ichigo tidur di lantai dengan alas selimut tipis. Posisi itu jelas akan membuat Ichigo sakit punggung keesokkan harinya, tapi dia tidak bisa peduli. Dia memegang Rukia, tangan mungil Rukia di tangannya yang besar, dan semuanya tidak masalah lagi. Persetan dengan ujian Profesor Unohana, persetan dengan universitas, dengan uang kontrak apartemen – saat ini yang dia pedulikan hanya Rukia, Rukia, Rukia. Tangannya yang mungil, nafasnya yang teratur saat dia tertidur, bulu matanya yang panjang – saat itu seperti untuk pertamakali dalam sembilan belas tahun hidupnya, Ichigo tertidur pulas.

Rukia terbangun keesokan harinya karena getaran telepon genggam. Saat itu jam di telepon genggamnya menunjukkan pukul sembilan pagi, dan sebuah pesan dari Byakuya menghiasi layarnya.

"Rukia, kau dimana? Kalau kau baik-baik saja, cepat pulang."

Setengah tertidur, Rukia mengetik balasan dengan cepat.

"Aku di rumah Hinamori. Jangan khawatir, aku akan segera pulang."

Rukia berbohong, untuk pertama kalinya kepada Byakuya. Dia harus segera menghubungi Hinamori kalau-kalau Byakuya mengecek. Kalau sampai Byakuya tahu bahwa dia tidur di rumah Ichigo... Rukia memandang tangan kanannya yang masih digenggam erat oleh Ichigo. Lelaki itu masih tertidur dengan pulas. Rukia dapat melihat air liur yang mengering di sudut mulutnya dan dia nyaris tertawa-

"KU-RO-SA-KI-KUUN!"

Sebuah suara ceria mengagetkan Rukia. Setelah itu terdengar suara ketokan pintu beberapa kali.

"Kurosaki-kun! Kau sudah bangun?"

Rukia memandang Ichigo yang masih pulas tertidur. Sepertinya yang memanggil adalah teman Ichigo. Dengan pelan Rukia melepaskan genggaman tangan Ichigo – sedikit susah, karena Ichigo menggenggam tangannya dengan erat – dan membuka pintu.

Di hadapan Rukia adalah seorang wanita dengan rambut cokelat kemerahan sepinggang. Wanita itu memakai blus berwarna biru dengan rok putih selutut. Wajahnya kaget melihat Rukia, tapi dia buru-buru menguasai dirinya.

"Halo," katanya ceria, meski agak dibuat-buat sekarang, "Apa Kurosaki-kun ada?"

"Ichigo masih tidur," jawab Rukia, dan ekspresi wanita itu tambah kaget karena Rukia memanggil Ichigo dengan sangat familiar.

"K-kalau Kurosaki-kun bangun, kau bisa sampaikan pesan bahwa masih ada ujian Profesor Ukitake jam 11?" tanya wanita itu dengan agak gugup. Matanya memandang Rukia dari atas sampai bawah dengan sembunyi-sembunyi.

"Oh, tentu saja," kata Rukia polos. Wanita itu kemudian tersenyum dan melambaikan tangan pada Rukia.

"Oke, terima kasih. Em, daah,"

Rukia menutup pintu apartemen Ichigo setelah wanita itu pergi.

Beberapa saat kemudian dia baru tersadar betapa penampilannya saat itu sangat mengundang kesalahpahaman. T-shirtnya yang jelas kebesaran – milik Ichigo, karena baju Rukia saat itu kotor dan tidak nyaman dipakai untuk tidur – jatuh sampai keatas lututnya dan terlihat seakan Rukia tidak memakai apa-apa dibaliknya, meski sebenarnya Rukia masih mengenakan celana jeans pendeknya. Rambutnya yang acak-acakan...bagaimana kalau wanita itu ternyata, misalnya, kekasih Ichigo? Tiba-tiba hati Rukia seakan diremas.

"Siapa tadi, Rukia?" Ichigo yang baru bangun bertanya sambil menguap. Dia bersandar di frame pintu kamarnya.

"Euh," Rukia sama sekali tidak tahu nama wanita itu, "Seorang wanita, dia mengingatkan kalau jam 10 ada ujian Profesor U-Ukitake," kata Rukia sambil berusaha mengingat-ingat.

"Oh, tidak, jam berapa sekarang, Rukia?" Tiba-tiba Ichigo terbangun seratus persen. Rukia mengecek telepon genggamnya.

"Jam sembilan lebih lima belas menit," jawab Rukia. Ichigo buru-buru mengambil jaket dan tasnya dari sofa.

"Hei, Rukia, aku harus segera pergi ke kampus, kau boleh tinggal disini selama kamu mau, oke? Tapi kalau kau pergi jangan lupa kunci pintu. Aku masih punya satu kunci di tas, jadi kau bisa bawa kunci yang ada di pintu. Sampai jumpa," kata Ichigo cepat sambil memakai jaketnya yang berwarna hitam. Dia baru akan keluar sebelum berhenti seperti teringat sesuatu dan berjalan kearah Rukia, mendaratkan sebuah ciuman lembut di dahinya.

"Sampai jumpa," kata Ichigo lagi tanpa memandang Rukia. Semburat merah mewarnai pipi dan telinga Ichigo. Kali ini dia benar-benar pergi dan menutup pintu dengan pelan. Rukia memegang dahinya, dia merasa sekujur tubuhnya panas, seperti demam, tapi rasanya tidak menyakitkan. Rukia malah menyukainya.

Tiba-tiba saja dia sangat merindukan Ichigo, rasa rindu yang menyesakkan di dadanya, membuatnya sulit bernafas.

[´]