.

Banquet of Gods and Sorcerers

"They calls it fate, because it's inescapable"

.

.

.

Suara percikan dari kubangan air mengikuti mereka setiap kali melangkah, mengingatkan mereka akan orang-orang yang masih mengikuti mereka, tidak jauh dari mereka, meneriakkan kata-kata yang memerintahkan mereka untuk berhenti.

Namun orang yang berada di hadapannya tidak melakukannya—dan dia bersyukur untuk itu. Dia membiarkan tangannya sendiri di tarik dan memaksakan kakinya terus berlari, tidak peduli dengan ranting-ranting kayu yang menggores mereka tanpa ampun maupun lumpur yang seolah berusaha menghalangi mereka.

"Aku akan membawamu pergi," Adalah kata-kata yang diucapkan oleh orang itu—orang yang tidak jauh lebih tua darinya, selalu berada di sisinya, serta membuka dunianya yang seolah terkurung di balik penjara besi yang selalu mengurungnya—orang yang kini telah kehilangan sosok kejayaannya; rambut yang selalu ia puji telah kehilangan warna cemilangnya, dan sosoknya yang terlihat sama seperti umurnya, yang bahkan belum mencapai sepuluh tahun.

Tanpa sadar dia terjatuh ke kubangan lumpur, tidak sengaja membawa orang yang tengah menariknya terjungkal balik dan ikut terjatuh. Dia mendengar orang itu mengerang, kemudian merasakan tangannya kembali di tarik.

"Ayo, Kouki!"

Dia mendongak, mendapati wajah orang itu—yang sudah penuh dengan luka gores—terlihat kelelahan. Tangan yang sedikit lebih besar darinya terus berusaha untuk menariknya hingga berdiri. Namun dia sudah tidak punya tenaga untuk berlari lagi; dia hanya ingin menyerahkan dirinya pada orang-orang yang tengah mengejar mereka, kemudian menyuruh orang itu untuk lari meninggalkannya. Biarlah dia terkurung kembali dibalik jeruji besi dengan tangan dan kaki terikat dengan besi dan rantai. Asalkan orang itu selamat—itu sudah cukup baginya.

"Jangan menyerah, Kouki!"

Orang itu masih berteriak padanya, nadanya tidak pernah memohon, sekarangpun tidak. Namun kali ini saja, dia akan menentangnya sekali saja, dan pergi memasuki alam mimpinya.

"Kouki!"

"Kouki!"

"Kouki!"

—hingga tubuhnya terguncang dengan keras, dia terbangun dari lamunannya.

"Syukurlah kau sudah bangun, Kouki."

Kouki Furihata mengerjap sekali, dua kali, dan saat itulah dia baru menyadari dirinya tengah duduk di sofa di ruang tamunya. Dia melirik jam, dan akhirnya teringat kalau dia sudah berada di ruang itu sambil melamun selama tiga puluh menit terakhir.

Mata cokelatnya bertemu dengan sepasang mata merah yang hangat, kemudian dia tersenyum. "Sei," Kouki menutup buku yang dia pegang sejak tadi, namun tidak satu hurufpun masuk dalam otaknya. "Kapan kau pulang? Aku tidak mendengarmu masuk."

"Sejak kau mulai melamun, kurasa." Laki-laki berambut merah dihadapannya berkacak pinggang. Mata merahnya menyipit. "Apa yang kau pikirkan?"

Kouki hendak menjawab 'Tidak ada', namun memutuskan untuk tidak mengatakannya—Sei punya kekuatan untuk membaca pikirannya, sepertinya. "Ngomong-ngomong, Sei, ada apa tiba-tiba pulang?"

Alisnya terangkat, "Kau mengatakan kalau aku tidak boleh pulang ke rumahku sendiri? Sejak kapan kau menjadi dingin padaku, Kouki?" Dia mendesah. "...Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, tapi sebaiknya kau katakan apa yang mengganggumu padaku, oke?"

"Tentu. Suatu saat, mungkin."

"Kouki."

Senyum lebar merekah di wajah laki-laki berambut cokelat itu. "Tentu, tentu." Dia terdiam sebentar, merekam senyum kecil yang muncul di wajah Sei sebelum melanjutkan, "Apa kau akan tinggal hari ini? Kita bisa makan bersama."

Dia menggeleng, dan Kouki harus berusaha ekstra supaya senyumnya tidak jatuh. "Tidak. Hari ini aku akan langsung pergi ke Rakuen. Aku hanya ingin memberitahu kalau ada temanku yang datang nanti. Dia akan menjadi penjagamu yang baru."

"Penjaga?" Kouki mengernyit, "Sei, aku baik-baik saja tanpa penjaga, sungguh—"

"Mereka bisa datang kapan saja. Aku tidak bisa pergi dan meninggalkanmu tanpa seorang penjaga."

Kouki mendesah, memutuskan untuk tidak melanjutkan debat ini lebih jauh. Dia tahu Sei pasti akan memberikan alasan-alasan konyol namun masuk akal yang akan memaksanya untuk menerima apapun yang dia katakan. Sungguh, seharusnya dia menjadi seorang duta besar saja, bukannya penyihir yang berkeliling untuk mencari benda-benda langka.

"Baiklah," Kouki berkacak pinggang, berusaha untuk tidak cemberut begitu melihat tatapan kemenangan laki-laki berambut merah itu, "Bagaimana ciri-ciri orang itu?"

"Dia aneh, tetapi menyenangkan."

Wow. Sangat mendetail. Kouki memutar bola matanya, namun tidak mengatakan apapun. Dia tidak ingin sebuah gunting muncul dan menancapnya sembarangan.

Sei melanjutkan, "Dia sedikit lebih kecil darimu, dan kurasa umur kalian cukup dekat. Dia berasal dari Seirei, dan tidak suka jika ada yang mengungkit-ungkit masalah kota itu. Dia juga berbicara apa adanya. Dan, oh—" Dia menjentikkan jarinya, "Dia juga seorang penyihir. Bisa di andalkan."

Kouki mengangguk, berusaha untuk membayangkan bagaimana rupa orang itu, walaupun tanpa hasil.

"Baiklah, kurasa aku harus pergi sekarang."

Mata cokelatnya mengerjap. Kemudian dia mengernyit lagi. "Secepat ini?"

"Sudah cukup lama, terutama ketika memandangimu melamun." Sei tersenyum pelan, kemudian mencondongkan tubuhnya untuk mencium keningnya. "Hati-hati di rumah. Jangan mati dan jangan tertangkap. Akan kubunuh kau jika tertangkap."

Bagi orang yang belum biasa mendengarkan ancaman Sei dengan nada dingin, mungkin sekarang sudah lari terbirit-birit sekarang. berbeda dengan Kouki, yang sudah menghabiskan hampir seluruh hidupnya dengan Sei. Dia hanya menganggap sikap itu sebagai sikap posesif yang dimilikinya sejak kecil.

"Tentu. Sei-nii juga harus kembali dengan selamat dan makan malam denganku lagi, oke?"

Dia merasakan bibir laki-laki itu terpisah dari keningnya, kemudian melihat Sei tersenyum sekali lagi padanya. "Kalau begitu, aku pergi dulu." Kemudian dia berbalik dan pergi melalui pintu yang menuju halaman depan.

"Hati-hati di jalan, Sei-nii."

.

.

.

"...Ini, tempatnya?"

Seorang laki-laki berambut biru muda mendongak dari kertas yang sejak tadi ia pandangi semenjak menginjakkan kakinya di kota Heikou. Dia sudah berkeliling di kota yang baru ia datangi itu semenjak beberapa menit yang lalu—sesekali mengutuk orang yang sudah mengirimnya ke tempat ini tanpa memberikan alamat yang mendetail—tanpa menemukan tempat yang ia tuju. Inginnya dia menanyakan alamat yang sudah diberikan padanya pada orang lain, sayangnya orang yang hendak ia tanyai selalu saja berlalu tanpa memandangnya atau berteriak ketakutan karena tidak menyadari keberadaannya dan langsung berlari tanpa mendengarkan pertanyaannya.

Terkadang dia mengutuk kekuatan yang sekaligus menjadi senjata terbesarnya. Walaupun begitu, lebih baik dia tinggal di Touren saja dan bermain game yang baru Aomine dan Kagami dapatkan.

Dia mendesah sekali lagi. Yah, yang sudah berlalu biarlah berlalu. Yang penting akhirnya dia menemukan orang yang tidak berlari ketakutan ketika menyadari keberadaannya dan akhirnya berhasil menemukan tempat yang ia tuju—sebuah rumah kecil yang cukup terpencil di perbatasan kota Heikou dan kerajaan Rakuen. Rumah itu terlihat cukup nyaman dari luar, menunjukkan kalau orang yang tinggal di dalam juga tentram. Atau setidaknya dia berharap begitu.

Dia berjalan untuk mendekati rumah itu. Baru saja dia memegang pagar kayu untuk membukanya dan masuk ke dalam rumah, dia merasakan tegangan listrik yang cukup kuat hingga dia langsung menarik tangannya dan mendecak.

'Untuk apa dia menyuruhku menjaga kalau pelindung buatannya sudah sekuat ini?' Dia membatin kesal, memandangi tangannya yang memerah dan mulai mengeluarkan bau tidak sedap. Jujur saja dia tidak mengerti tentang jalan pikiran orang yang menyuruhnya jauh-jauh datang dari Touren ke Heikou itu. Akhirnya dia menyimpulkan kalau orang itu memang aneh dan posesif akan siapapun yang tinggal dalam rumah ini.

Pintu depan rumah itu terbuka, kemudian seseorang berambut cokelat melongokkan kepalanya dari celah pintu. Mata cokelatnya melihat sekeliling—dia kembali mendesah. Orang itu pasti tidak menyadarinya sudah berdiri di depan pagar selama beberapa menit ini. Dia sudah biasa dengan perlakuan ini hingga tidak merasa ingin menertawai orang yang membuat wajah aneh ketika baru menyadari keberadaannya.

Dia menjentikkan jarinya. Dari ujung jari telunjuknya, muncul sebuah bola cahaya yang cukup terang, hingga perhatian orang itu langsung tertuju padanya—nah, sekarang orang itu membuat wajah terkejut yang aneh.

"Aku Tetsuya Kuroko." Dia yang sejak tadi berdiri di depan pagar kayu itu memperkenalkan dirinya dengan datar. "Aku diperintahkan untuk datang dan menjaga seseorang yang bernama Kouki Furihata."

.

.

.

Dia tidak menyangka kalau orang itu akan datang secepat ini. Dan—dan—orang seperti ini?

Kouki mengernyit, memandangi tamu yang sekarang sedang duduk dengan tenang di sofa di hadapannya. Wajahnya masih sedatar sejak ia berdiri di depan pagar dan memperkenalkan dirinya.

Awalnya Kouki baru saja hendak menuju kamarnya, memutuskan untuk tidur sambil menunggu penjaga yang Sei katakan sebelum ia pergi beberapa menit yang lalu. Tiba-tiba dia merasakan perasaan janggal—yang selalu ia rasakan jika seseorang yang asing baru saja menyentuh pelindung yang Sei pasang di sekitar rumah mereka. Dia buru-buru menuju pintu depan dan membuka pintu, andai saja itu orang yang Sei maksud, maka dia harus cepat-cepat mengobati luka yang dihasilkan oleh pelindung tersebut (Kouki pernah melihat seseorang yang tidak sengaja menyenggol pelindung mereka. Hasilnya kulit orang tersebut terlihat seperti terbakar. Mengerikan).

Dia tidak melihat seorangpun ketika melongokkan kepalanya dan melihat sekeliling. Walaupun begitu, dia merasakan kalau orang yang menyentuh pelindung masih ada di sekitar tempat itu. barulah ketika dia melihat sebuah kilat cahaya, matanya tertuntun untuk melihat asal cahaya itu—dari seorang laki-laki berambut biru cerah dengan wajah datar.

Orang itu memperkenalkan dirinya sebagai Tetsuya Kuroko, kenalan Sei yang datang dari Seirei, yang ditugaskan untuk menjaga Kouki dari ancaman selama Sei pergi ke Rakuen. Seperti Kouki, Tetsuya juga tidak diberikan detail tentang tugas apa yang harus dilakukannya. Dia hanya diberitahu untuk memperkuat pertahanan di sekitar rumah mereka, kemudian tinggal untuk sementara waktu bersama Kouki.

"Pelindung di tempat ini cukup kuat." Tetsuya menyeletuk, masih memegangi tangannya yang telah diperban oleh Kouki. "Walaupun begitu, aku tidak bisa mengabaikan tugas yang sudah diberikan oleh penyelamatku."

"Kuroko, kau datang darimana?"

Mata biru cerahnya menatap lurus wajahnya, walaupun Kouki bisa melihat sedikit ekspresi tidak suka di wajahnya. "Dari Seirei. Kemudian aku mengikuti kakakmu yang telah menyelamatkanku dari serangan Rakuen yang kedua." Dia mendesah. "Dia memerintahkanku dan dua temanku yang lain untuk berjaga di Touren untuk sementara waktu. Dan akhirnya beberapa hari yang lalu, dia menyuruhku untuk datang ke tempat ini."

Kouki hanya mengangguk pelan, memutuskan kalau bertanya lebih jauh adalah keputusan yang tidak bijak. Laki-laki berambut cokelat itu berdiri dari duduknya, memutuskan untuk menyiapkan makan siang.

"Kuroko, ada makanan yang tidak kau suka?" Ketika Tetsuya memandangnya dengan tatapan aneh, Kouki buru-buru menambahkan, "Aku tidak ingin tidak sengaja menyajikan makanan yang tidak kau suka, itu saja."

Laki-laki berambut biru cerah itu memiringkan kepalanya, terlihat berpikir, sebelum menjawab singkat, "Tidak ada." Dia menambahkan, "Aku bukanlah seorang pemilih makanan. Hanya saja, aku tidak makan terlalu banyak, jadi tolong jangan memberiku terlalu banyak makanan."

.

.

.

Makan siang pertama Kouki dengan Tetsuya berjalan dengan mulus, dan Kouki bersyukur akan hal itu. Dia menjadi semakin mengenal orang itu; Saat melihat porsi makan Tetsuya, yang nyaris tidak sampai setengah dari porsi Kouki, dia khawatir dengan kondisi tubuh Tetsuya yang hanya diberi sedikit tenaga. Dia juga baru tahu kalau Tetsuya tidak suka dengan orang yang menyinggung tentang tingginya, dan Kouki merasa kalau tatapan tajam Sei bisa kalah oleh Tetsuya saat dia bertanya tentang hal yang dianggap tabu itu.

Kesan pertamanya akan laki-laki itu berubah sepenuhnya. Awalnya dia mengira Tetsuya adalah orang yang dingin, namun barulah ia tahu kalau Tetsuya sebenarnya menyenangkan, walaupun sedikit aneh dan terkadang sering menghilang dari pandangannya. Sekarang dia mengerti dan setuju dengan kata-kata Sei yang mengatakan kalau dia menyenangkan.

"Sihir seperti apa yang kau gunakan, Kuroko?"

Tetsuya mendongak dari televisi yang sejak tadi ia perhatikan, masih dengan wajah datarnya. "Aku—tidak, kami dari Seirei, sebagian besar menggunakan kekuatan makhluk lain dengan membuat kontrak dengan mereka. Aku termasuk."

Makhluk lain? Kouki menelan ludah. Hantu, bukan? Makhluk yang dimaksud itu—

"—mereka bukan hantu, Furihata-kun." Tetsuya menambahkan, seolah bisa membaca pikirannya. "Aku ingin menunjukkannya padamu, tetapi..." Dia terdiam, kemudian mendongak untuk menatap langit-langit. "...Tempat ini membuatku merasa sihirku ditekan."

"Sei memang membuat pelindung di tempat ini seperti itu." Kouki menjawab. "Pelindung buatannya tidak bisa ditembus dari luar maupun dari dalam. Aku hanya bisa membuka pelindung ini sebentar, tetapi yang bisa menghancurkan dan merubah pelindung ini hanya Sei seorang."

Tetsuya menggumam pelan. "Dia kuat sekali."

Kouki hanya mengangguk pelan, kemudian tersenyum kecil ketika mengingat semua kehebatan kakaknya—dalam hal ini, semua yang telah ia lakukan sejak mereka bertemu. Sei memang sempurna dalam semua bidang, berbeda jauh dengan Kouki, yang hanyalah seorang yang biasa dan membosankan.

Ketika menyadari tatapan datar Tetsuya terarah padanya, Kouki buru-buru menggeleng dan tersenyum padanya.

"Bagaimana kalau kita berkeliling besok, Kuroko?"

Laki-laki berambut biru cerah itu mengangkat satu alis, sepertinya tidak menduga pertanyaan yang diluncurkan oleh Kouki sama sekali.

"Tentu."

Jawaban singkat itu sudah cukup membuat Kouki merasa Tetsuya tidak akan mengangkat topik ini lagi.

Ketika sore tiba, dan akhirnya berganti malam, Kouki membimbing Tetsuya menuju kamar tamu yang tidak terpakai. Rumah dengan gaya barat milik Sei dan Kouki memang terlalu besar untuk dua orang, sehingga lebih banyak ruangan yang tidak terpakai daripada yang dipakai. Kouki mengucapkan selamat malam pada Tetsuya, yang sepertinya sudah terlihat begitu lelah walaupun jam belum menunjukkan pukul delapan. Kouki hanya mengiyakan, mengingat betapa lelahnya wajah Tetsuya ketika dia pertama datang.

Hari pertama dengan pelindungnya yang aneh ini telah berlalu. Sekarang dia berharap kalau hari-hari menenangkan ini bisa terus berlanjut.

Semoga saja.

.

.

.

"Ini tempatnya?"

Seorang laki-laki berambut pirang memandangi rumah sederhana yang terletak di pinggir perbatasan kota Heikou dari puncak bukit yang tidak terlalu jauh dari rumah itu. Di tangannya, dia menggenggam secarik kertas dengan sebuah foto yang menampilkan seorang anak laki-laki dengan rambut cokelat dan mata cokelat lebar, beserta beberapa kalimat di bawah foto tersebut;

"Kouki Furihata, Kota Heikou, bunuhlah dia dan bawa kepalanya ke Kerajaan Rakuen. Raja ke sepuluh Kerajaan Rakuen, Seijuurou Akashi."

Ryouta Kise, nama laki-laki pirang itu, hanya mengangkat bahunya dengan acuh ketika membaca nama orang yang 'memesan' jasanya dan langsung meremukkan kertas tersebut, kemudian melempar benda itu hingga menghilang di balik semak-semak. Sekarang bukan saatnya dia bisa memilih-milih klien. Lagipula, bayarannya tidak terlalu kecil. Walaupun datang dari seseorang yang memiliki terlalu banyak rumor tidak enak dari sekitarnya.

"Uang tetaplah uang." Dia menggumam pada dirinya sendiri, kemudian tersenyum dan mulai melangkah menuju rumah tersebut.

.

to be continued.


dapaq, saya nulis apa ini ( moAo)m #tepar

mungkin ini karena saya kebanyakan baca fic dan novel supernatural/fantasy, entah kenapa jadi mau buat tentang sihir-sihir begini ahahah _(:'3/ sumpah gejes banget nggak bisa mendeskrpisikan hal-hal berbau fantasea _(:'3/ #duagh

btw, ini AkaFuri dan Kikuro. why? karena saya udah jarang kena OTP feels mereka dan butuh sesuatu supaya feels saya bisa balik _(:'3/

semoga saya bisa lanjutin fic ini, amin uwu #jduk

I don't own Kuroko no Basuke! c: