Minna~! Im back! And yeah, with new multichip fic. Padahal yang kemaren aja belom selese. Ahahaha… forget it! *ditimpuk*

Sebenernya ide bikin ini fic udah lama banget, udah diketik malah, cuma lappie di format ulang, bikin semua data ilang. Yah, sudahlah, saya bikin ulang deh—walaupun teteup aja menurut saya bagusan yang lama. Waktu pas nulis lagi mood-moodnya sih. Yang ini? Bedasarkan ingatan wahahaha…

Gak usah banyak omong lagi, enjoy!


Black∙White∙Gray

Detective Conan © Aoyama Gosho


Prolog

Sore itu hujan.

Langit tak berwarna jingga, melainkan kelabu. Dan awan-awan gemuk bagai biri-biri menumpahkan isinya. Air. Yang jatuh tetes demi tetes.

Kota itu pun bagai berwarna kelabu. Gedung-gedung yang menggapai langit, dengan kaca buram, seolah sengaja agar matching dengan warna langit. Flat-flat kumuh bercat kusam—kalau tak abu-abu, mungkin putih kotor. Hampir tak ada bangunan tak bertingkat disini. Semuanya—paling tidak—berlantai 3. Ruko, flat, apartemen, gedung, kantor, dan sejenis bangunan bertingkat lainnya adalah penguasa tanah. Pohon? Sangat langka. Jarang sekali ada warna hijau disini, kebanyakan kelabu. Tidak, hamper semua kelabu.

Tahun 2024, dimana semua canggih namun kumuh. Atau mungkin, kota ini saja yang kumuh. Saking modern-nya, dunia bagai berulang lagi. Apa yang dulu eksis, kini akan eksis kembali. Dan mode, orang-orang sudah tak memperhatikannya! Kalau kau menanyakan tentang mode disini, bisa-bisa kau disangka berumur 50 tahun. Sudah lama sekali sejak mereka memperhatikan apa yang mereka pakai. Sekarang, semuanya memakai jubah abu-abu dibalik pakaian mereka. Tiap siang, selalu terlihat pemandangan orang-orang—bagai semut, berjalan menyusuri trotoar, tak peduli apa apapun kecuali dirinya sendiri. Individualisme adalah prinsip hidup. Dan disebelahnya, mobil-mobil lalu lalang dengan teratur, sama tak pedulinya dengan orang yang berjalan di trotoar. Lalu setelah jam 1 siang, mereka kembali ke kantor masing-masing, dan pukul 5-7 sore, mereka kembali mengisi jalan dengan tudung jubah melindungi kepala mereka dari hujan.

Dan ya, memang hujan turun tiap sore. Tak ada musim. Hey, ini 2024, Kawan!

Seperti yang dikatakan sebelumnya, hampir semua orang disini adalah individualisme. Tahu kan, kalau dalam bahasa Jakarta "Lo-lo, gue-gue" "lo siapa ikut campur?" "siapa lo?" dan lainnya. Nusuk memang, tapi itulah kenyataan. Dan prinsip individualisme itulah yang menyebabkan anak itu kebingungan. Anak itu, remaja lelaki berumur 15-16 tahun, berambut hitam basah karena hujan, dan berbaju kusam. Sekalipun ia meluruskan kakinya dengan sengaja, agar orang-orang itu tersandung, mereka dengan handphone di tangan dan tas di tangan yang lain akan bisa menghindarinya, meski mata mereka melihat lurus-lurus kedepan. Ada yang tersandung, namun langsung bangkit dan pergi lagi. Tak ada yang akan peduli padanya, bahkan jika ia membuka bajunya dan menari di tengah jalan.

Kecuali satu, ia tahu, ia sedang diperhatikan.

Kecuali satu, satu orang yang memperhatikannya dari tadi.

Orang itu sama seperti manusia-manusia individualisme itu, berjubah abu dengan hoodie menutup setengah muka. Orang itu ada di seberang, namun jelas-jelas sedang menatapnya. Bodoh sekali jika ia tak tahu, karena diantara semua orang yang berjalan cepat, hanya ia dan orang itu yang diam, saling tatap.

Setelah sekian lama bersitatap, orang itu berjalan menghampirinya. Jantungnya berdegup kencang, agak panik. Mau apa orang itu? Memang ia sempat lega, karena ada seorang yang sepertinya tidak menganut individualisme, tapi begitu orang itu mendekat, tetap saja ia panik. Panik dalam tenang, karena ia penasaran. Penasaran pada orang itu.

Hingga akhirnya mereka berhadapan. Ia, duduk di bawah, dengan kaki ditekuk sebelah, dan kepala mendongak menatap orang itu. Orang itu berdiri, di hadapannya, masih menatapnya. Ia membuka tudung kepalanya, memperlihatkan wajahnya.

Gadis.

Shinichi belum pernah melihat gadis itu sebelumnya, namun alam bawah sadarnya, seakan ia benar-benar mengenal gadis ini.

Dan ya, ia memang sempat melongo sebentar begitu tahu orang itu adalah gadis, berambut pirang ikal, dengan wajah putih bersih. Namun, wajahnya terlihat keras, menunjukkan wataknya—mungkin.

"Sedang apa kau disini?"

Ia terkejut, namun segera menjawab ragu, "Entahlah… aku sendiri tak tahu."

"Dimana rumahmu?"

"Entah, aku juga tak tahu."

"Kau tahu ini dimana?"

"Tidak. Aku tak tahu."

"Lalu apa yang kau tahu?"

"Aku tak tahu."

Bola mata itu berputar—dan ia sempat lega, karena mata itu tak menatap matanya lagi.

"Baiklah, siapa namamu? Jangan bilang kau juga tak tahu."

"Shi-Shinichi…, iya, kalau tak salah," jawabnya ragu, agak tergagap.

"Bahkan nama saja kau ragu?" Mata gadis itu melebar.

"Tapi lebih baik daripada tidak tahu kan?" sahutan isengnya membuat mata cewek itu makin melebar, tak percaya.

"Baiklah, Shinichi. Kau amnesia?"

"Amnesia? Bisa jadi."

"Kapan kau ada disini?"

"Entahlah… aku lupa. Begitu sadar, aku sudah ada disini."

"Jadi kau tak punya tempat tinggal?"

Shinichi menggeleng. "Kenapa? Kau mau menampungku?"

Gadis itu tak mengatakan apa-apa, hanya melemparkan sebuah kain—jubah abu—kepadanya. Shinichi menerimanya tangkas, namun masih bingung.

"Pakai itu. Ini hujan."

Shinchi mendongak ke langit, seolah baru sadar kalau sekarang turun hujan. "Oh iya, benar juga…."

Gadis itu menggelengkan kepalanya, hopeless. "Ayo."

Shinichi menoleh bingung, alisnya terangkat sebelah. "Kemana? Omong-omong siapa kau?"

Gadis itu membuka pintu bangunan tempat Shinichi duduk tadi. "Kau mau kutampung tidak?"

Mata Shinichi melebar, lalu mengangguk semangat. Ia mengikuti gadis itu masuk ke flat. "Kenapa kau mau membantuku? Kupikir semua orang disini menerapkan individualisme."

"Karena… sepertinya aku mengenalmu," jawab gadis itu ragu—Shinichi bisa tahu itu dari suaranya karena yang ia lihat hanyalah punggung kecilnya dengan jubah kelabu menyelimuti. Mendengar jawaban itu, Shinichi terkejut. Perasamaan mereka seolah sama. Dari punggung kecil itulah, Shinichi sadar, kalau gadis itu kesepian. Mungkin, gadis itu membutuhkannya, meski hanya untuk berbagi cerita.

"Hei, siapa namamu?"

Ia tertegun sebentar saat membuka pintu kamarnya, saat Shinichi menanyakan namanya. Ia tersenyum—seolah geli sendiri karena kekonyolannya. Dan saat itu, saat sinar lampu kamar menusuk matanya, gadis itu berbalik, "Shiho. Shiho Miyano."


3 tahun kemudian:

"chi…."

Ia tak bergerak.

"nichi…!"

Hanya kepalanya yang bergerak pelan.

"Shinchi! Shinchi Kudo!" Bantal menimpanya.

"Apa sih?" lelaki berusia 16 tahun itu bangkit, kesal. Di hadapannya, duduk Shiho dengan wajah menyebalkannya, siap melemparkan bantal berikutnya.

"Lihat sekarang jam berapa," Shiho melirik jam dinding di belakangnya.

"Jam 10. Lalu apa?"

"Kau mau tidur seharian, hah? Aku harus kerja!"

"Ya sudah, pergi saja sana!" Shinichi memakai bantal bekas lempar Shiho tadi untuk menutup telinganya.

"Kalau begitu sarapanmu kubawa sebagai bekal berikut makan siang," ujar Shiho santai, hendak keluar.

"Apa-apaan kau?" Shinichi bangkit, mengejar Shiho yang sudah turun ke bawah.

Hari-hari selama 3 tahun ini bagai berulang. Membosankan, sungguh! Rasanya hidup ini sama sekali tak berarti bagi Shinchi.

Pagi hari—agak siang, sebetulnya—ia dibangunkan oleh Shiho. Lalu sarapan. Lalu naik lagi ke atas untuk tidur. Lalu siangnya bangun lagi, memanaskan makanan yang disiapkan Shiho sebelum pergi kerja. Lalu makan. Lalu nonton atau tidur lagi. Lalu Shiho pulang, mereka makan malam. Lalu pergi tidur lagi. Kadang begadang kalau ada film bagus. Diselingi bertengkar dengan Shiho saat pagi dan pulang. Itu saja. Sangat monoton, Saudara-Saudara.

"Aaah, bosan!"

"Kau bilang itu tiap hari, Shinichi," ucap Shiho sambil menggigit roti bakarnya. Ia membolak balik—lebih tepatnya meng-klik—koran di depannya. Koran jaman 2027, dimana udara yang disentuh bisa menjadi layar dan menghidangkan surat kabar di depan mata.

"Apa sih, yang menarik dari kota ini? Kau sendiri kenapa tak bosan?"

Shiho menghela napas. "Kenapa? Entahlah, aku sendiri tak tahu. Kenapa kau bosan?"

"Karena… tak ada yang baru! Kenapa kau tak beli baju baru saja? Atau membelikanku baju. Atau mengganti sofa dan mengecat ruangan ini.

"Ini baju baru!" Shiho menunjuk kaus cokelat kusam yang ia pakai.

"Tapi warnanya! Oh, Tuhan, belilah kaus berwarna merah, pink, atau apa kek!"

"Aku tak suka warna itu."

"Tapi warna itu cerah. Kalau kau membeli kaus semacam itu, aku bersumpah, aku takkan mengganggumu," Shinichi membuat tanda silang di dadanya.

Shiho hanya bisa memutar mata, malas menanggapinya. "Terima sajalah, sudah takdir kota ini seperti ini."

"Kota ini seperti ini, cuh!" Shinichi mengikuti ucapan Shiho. "Kenapa orang bisa menerimanya? Lihat!"

Shinichi menyibakkan tirai flat, hingga pemandangan kota terlihat. "Lihat langitnya! Lihat jalannya! Lihat gedungnya! Lihat juba orang-orang itu! Itu semua berwarna sama, sama-sama kelabu!"

Shiho manyun. "Pasrah sajalah Shinichi! Kau mau memakai jubah pink pun, orang takkan peduli!"

"Setidaknya beri warna pada kota ini!"

"Usaha saja sendiri, kalau sudah selesai, beritahu aku," ucap Shiho, sambil bangkit dan mengambil tasnya.

"Kau berangkat sekarang?"

Shiho mengangguk, memakai jubah abunya. Sekilas ia melirik jubah abu Shinichi yang 3 tahun lalu ia berikan pada lelaki itu. "Jubahmu berdebu."

"Biarkan saja. Siapa pula yang ingin memakai jubah itu."

"Terserahlah. Aku pergi!"

"Yaa!" jawab Shinichi malas, masih mengais-ngais rempah roti sarapannya.

Hidup di kota kelabu ini… apa menariknya? Begitu selalu Shinichi berpikir. Namun, keesokan harinya, pikiran itu segera berubah.


Next: Chapter 1: Orang-orang itu.

"Shiho! Aku ada ide bagus!"

.

"Apa yang kau lakukan, Shinichi? Baka! Jangan terlalu dekat! Kau bisa—"

.

Lelaki berambut perak itu menyeringai. "Ketemu."


Yosh, minna, diharapkan review… dan berhubung saya gak tau kapan updatenya, mending saya update 2 chap sekaligus? Hemm… doakan aja chap 2 cepat selesai~!