Harry Potter © Jo Rowling

Cold © hermeownie

.

.

.

Aku melihatnya dari jauh.

Ketika ia bercanda bersama sahabatnya. Ia tertawa untuk mereka. Ia tersenyum untuk mereka. Kapan…kapan ia akan tersenyum untukku?

Aku berusaha meraihnya. Ia begitu dekat, namun begitu sulit untuk diraih. Ia satu-satunya kebahagiaanku yang tersisa.

Andaikan…

Andaikan aku dapat meraihnya….

Aku pasti akan menjadi lelaki yang paling bahagia di dunia ini.

Apa kalian pernah menonton drama opera sabun? Ya, drama para Muggle. Aku tahu, aku tahu kalian pasti terkejut ketika mngetahui bahwa aku menonton acara drama. Aku menonton hanya karena dia adalah salah satu dari Muggle-Muggle itu.

Yeah, yeah, hidupku bagaikan opera sabun. Too much drama. Too much feels. Too much pains. I gotta kill this feeling, but I just can't. Because if I do then it means I'll kill my love to her. And I just can't do that. She's the only thing that reminds me that I still have happiness even though it doesn't belong to me.

Aku…


Kata-kata itu terputus. Tak ada lagi tulisan di sana kecuali coretan yang sudah tak bisa terbaca lagi.

Hermione Granger menutup buku harian yang ia baca sebelumnya. Ia memandang ke arah peti mati yang akan segera dikuburkan.

'Draco Malfoy…you stupid boy,' pikirnya.

Ia menitikkan air mata saat memandang ke peti mati tersebut.

Tubuhnya dingin, tak ada lagi kehangatan. Dulu, dulu sekali ia pernah merasakan kehangatan tubuh Draco. Ketika Buckbeak menyerang Draco, Hermione menungguinya di Madam Pomfrey ketika ia tertidur dan ia menggenggam tangannya. Betapa terkejutnya ia ketika merasakan tangan Draco yang sangat hangat.

Sekarang, Hermione menyesal telah membiarkannya pergi. Ia ingin merasakan kehangatan itu sekali lagi. Tapi apa daya, nasi telah menjadi bubur.

Tubuhnya mengginggil memikirkan bahwa setelah ini ia tak dapat melihat Sang Cassanova lagi.

"Hermione, kau kedinginan?" tanya Ron ketika ia merasakan bahu Hermione yang menggigil di sebelahnya.

Hermione mendongak menatap Ron. "Tidak," jawabnya singkat.

Ron menaikkan alisnya. "Yakin? Barusan kau menggigil."

Hermione mengangkat sedikit ujung bibirnya. "Ya, Ron. I'm pretty sure, because the cold never bothered me," jawab Hermione.

Ron hanya diam tak menjawab. Mau apa lagi, ia tak bisa memaksa Hermione untuk mengaku, Hermione tidak suka dipandang lemah. Jadi dia biarkan sajalah.

Because it never bothered him too, pikir Hermione setelah Ron tidak menjawab sama sekali. Ia tersenyum miris memikirkannya.

.

.

.

Setelah pemakaman itu usai, Hermione menaruh buku harian yang diberikan padanya oleh Narcissa Malfoy di atas makam Draco.

Ia memandang makam tersebut sebentar.

"Selamat tinggal," ucapnya. Kemudian ia pergi dari sana.

END.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

EPILOGUE

Setelah Hermione pergi dari pemakaman tersebut, angin berhembus kencang. Membuka halaman buku harian tersebut hingga ke tengan halaman. Memerlihatkan tulisan tangan dengan tinta yang telah memudar:

I love you, present tense, Hermione Granger.

Angin bertiup kencang kembali. Membuka kembali halaman selanjutnya; halaman terakhir buku tersebut dan memerlihatkan sebuah tulisan tangan baru:

I know it was too late, but I left the journal on your grave. Wishing you see this.

I love you, Draco Malfoy.

If only...if only you continue the words in the journal.

Now you know my true feeling toward you.

I love you, to infinity and beyond.

Love,

Hermione Granger.