My first Zutara! I'm always a Zutarian! I wrote this fic in Indonesian but if you want to read it in English, you can always go straight to chapter 2, it's the same story only translated. I hope you guys like it! Don't forget to review!

Oh, before you read, I want you to know that starfingers helped me in writing this story (I owe you one!). She has awesome fics, you guys need to read them!

Disclaimer: I'm not Bryan or Michael. Therefore, I don't own Avatar: The Last Airbender.


Siang hari ini di Pulau Ember terasa berbeda. Matahari tampak di kejauhan, bersinar terang seperti biasanya. Namun ada sesuatu dalam udaranya yang membuatnya terasa lain. Angin berhembus melalui pepohonan, menimbulkan suara gemerisik yang damai. Sejuk.

Jejak kaki tercetak di pasir, terbentang dari rumah pantai hingga ke tengah pantai. Debur ombak meraih-raih permukaan bersamaan dengan semilir angin yang menggulirkan butiran pasir ringan, mencoba menutupi bekas telapak kaki yang tertinggal disana.

Zuko sedang berjalan menyusuri pantai, mencoba untuk mengalihkan pikirannya. Ia menengadahkan wajahnya meghadap laut. Pandangannya tajam seperti biasa, namun sejak bergabung dengan Sang Avatar dan teman-temannya, jati dirinya yang sebelumnya keras dan tegas melembut walaupun sedikit. Hal tersebut menjelaskan adanya sesuatu yang berbeda dalam tatapan Zuko. Bimbang.

Memori berkilas di kepalanya, menambah suasana gundah dan semakin mengganggunya. Ia menunduk, alisnya mengernyit seiring telunjuk dan ibu jarinya mengusap-usap kedua pelipis. Menggerutu, tiba-tiba ia menyentak pandangannya ke atas. "HRAAH!" Ia meninju-ninju udara, menendang ke arah laut, mengeluarkan api darinya. Percikan dan kobaran api menyala, membakar udara lalu menghilang dalam sekejap, begitu terus berulang-ulang.

"AAAAH!" Air mata mengalir, meluap dari pelupuknya kemudian Zuko jatuh terbaring diatas pasir. Serpihan tanah disekitarnya tunduk, menahan berat badannya yang dihempaskan. Ia membawa kedua lengannya ke wajahnya, menekan matanya yang mengeluarkan air mata yang kian menderas.

"Zuko…?" Seseorang menyentuh bahunya. Ia buru-buru menghapus air matanya lalu menengadah, masih terbaring di punggungnya. Ia hafal suara itu. Dan orang itu tak akan pernah melihat seseorang sepertinya menangis. Ia merasa lemah dan rentan, dua hal yang ia benci. Orang itu seharusnya tidak datang diwaktu yang tidak tepat seperti ini. Matanya bertemu dengan mata orang itu dan menemukan sesuatu yang tersimpan didalam kedua bola mata birunya. "Ck," gumamnya sambil melempar pandangannya. Satu hal lagi yang paling ia benci adalah merasa dikasihani.

"Bukankah seharusnya kau tidak disini?" tanya Zuko datar, berusaha keras menyembunyikan getaran di suaranya. Katara mengambil tempat duduk disampingnya. Tampaknya ia tak menghiraukan nada lain dari suara Zuko. "Toph sedang mengajari Aang untuk menguasai earthbending, Sokka dan Suki pergi meninggalkanku entah kemana." Gadis itu kembali menatapnya. "Kau tidak apa-apa?"

Ia menarik tangannya kembali menutupi wajahnya. "Pikiranku sedang kacau."

"Mungkin aku bisa membantu?" tanya Katara. Matanya tidak lepas dari luka di wajah bagian kiri lelaki disampingnya. Déjà vu.

Zuko menegakkan badannya, menarik kaki dan menyilangkannya melalui pergelangannya. Kedua tangannya bertumpu di kedua sisinya sebagai penopang. Kepalanya tertunduk, ia membuang nafas yang secara tidak sadar tertahan.

"Hari ini hari ibu di Negara Api." Zuko berusaha sekuat tenaga menahan air matanya saat pikirannya membawanya terbang ke masa lalu dan memperlihatkan wajah ibunya. Tangannya tercengkeram, menggenggam pasir yang keluar dari sela-sela jarinya. Betapa rindunya ia terhadap beliau. Senyumannya, rangkulannya, dekapannya, setiap kata yang diucapkannya, hal-hal itulah yang selalu membuat Zuko kuat menghadapi segalanya yang ia pikir memberatkan. Tak mengetahui dimana ibunya berada sekarang, bagaimana kabarnya, apakah beliau masih hidup atau tidak hanyalah membuat hatinya semakin rapuh hari demi hari. Hari ibu merupakan salah satu hari yang paling berat baginya setiap tahun.

Tidak tahu apa yang harus dikatakan, Katara menaruh tangan di punggung temannya lalu mengelusnya perlahan, bermaksud untuk menenangkan. Ia mengerti perasaan Zuko. Sangat. Mereka pernah membicarakannya di Ba Sing Se tempo lalu, meski saat itu ia belum mendengar cerita sepenuhnya. Hatinya sedikit tergores menyaksikan mantan musuhnya yang tangguh kini rentan. Melihat kilatan risau di mata lelaki itu, Katara tahu bahwa masa lalu Zuko sangat berat sehingga ia memilih untuk tidak menggalinya lagi. "Aku mengerti bila kau tidak ingin membicarakannya."

Zuko terdiam sejenak. Logikanya membantah bahwa ia tak ingin dan tak akan membicarakannya. Seberapa cengeng lagi dia, untuk membahas hal sepele seperti rindu? Paling tidak, bukan di depan orang lain.

Namun Zuko menggeleng. Ia tahu bahwa gadis disebelahnya adalah orang yang tepat untuk mendengar curahan hatinya. "Aku sangat merindukannya," merupakan kalimat yang Katara sudah Katara duga akan keluar dari mulut Zuko.

Katara menyentuh kalung yang melekat di lehernya. Sungguh, ia pun rindu akan kehadiran seorang ibu. Katara telah melihat bagaimana anak-anak perempuan di sukunya tumbuh dan dan berkembang dengan tuntunan ibu mereka. Sementara, ia harus menjadi ibu bagi keluarganya sendiri dengan menangani urusan rumah maupun urusan pribadinya. Ia pun harus belajar dan melalui masa akil balighnya sendiri. Katara beruntung masih memiliki Gran-gran yang membantunya, tapi bagaimanapun, Gran-gran tidak dapat menggantikan ibunya.

Gadis itu mengangguk pelan. "Aku tahu."

"Aku ingin tahu dimana ia berada, dan mengatakan padanya bahwa aku menyayanginya. Lebih dari apapun."

"Aku tahu."

"Aku ingin mendengar suaranya, mengatakan padaku bahwa semuanya akan baik-baik saja."

"Aku tahu."

"Tidak! Kau tidak tahu! Berhenti mengatakan bahwa kau tahu padahal kau tidak!" Zuko beranjak dari tempat duduknya dan berdiri menghadap Katara, mengepalkan tangannya. Nafasnya naik-turun, menahan emosi yang tersimpan dihatinya. Ia tahu gadis didepannya mengerti perasaannya, namun ia tidak dapat berpikir jernih sekarang.

Ah, sial. Katara melihatnya menangis merupakan hal terakhir yang Zuko inginkan.

Katara bangkit dari duduknya. Ia mengambil tangan Zuko dan menuntunnya menyentuh kalungnya. "Ini adalah kalung warisan ibuku." Zuko tahu. Katara tahu itu. "Aku memiliki hal yang dapat membuatku merasa ia berada didekatku. Setiap kali aku menyentuhnya, ia disini. Pernah sekali aku kehilangan benda ini yang kemudian kau temukan. Saat itu aku merasa kehilangan dirinya. Tanpa kalung ini, aku tidak dapat merasakan Ibu didekatku. Perasaan itu sangat menggangguku, aku kesepian." Ia menghela nafas sebelum melanjutkan. "Namun aku sadar bahwa dengan atau tanpa kalung ini, Ibu akan selalu berada didekatku. Aku yakin, dimana pun kau berada, ibumu pasti bersamamu. Mereka tersimpan didalam hati kita," katanya. Jemarinya meraih dan menyentuh bagian di dadanya dimana hatinya tersimpan. Zuko terperangah mendengar ucapan Katara.

Katara menarik Zuko ke dalam pelukan. "Kau boleh menangis." Apa-apaan ini? Dimana harga dirinya? Bagaimana mungkin ia, Pangeran Api, pewaris takhta kerajaan, membiarkan dirinya menangis dihadapan gadis kampung seperti dia?

"Katara—"

"Aku mengerti."

Bibir Zuko terkunci. Mungkin benar apa yang dikatakan Lo dan Li tentang pantai ini yang memiliki kekuatan khusus yang dapat merubah seseorang, memperlembut bahkan sampai ke hati yang keras sekalipun.

Zuko pelan-pelan menurunkan bentengnya, membiarkan dirinya melunak dipelukan Katara. Tangannya bergerak ke punggung gadis itu, membalas pelukannya. Bahunya mulai berguncang seiring dengan matanya yang kembali mengeluarkan bulir-bulir air mata. Selama ini ia selalu berpikir bahwa menangis hanyalah untuk manusia yang lemah. Ayahnyalah yang mengatakan itu. Namun ucapan Katara barusan membuatnya merasa ia tidak sendirian. Katara mengerti.

Setelah reda, Zuko melepaskan diri lalu menghapus bekas air matanya. Dengan mata sembab, ia menatap Katara tajam. "Aku ingin menunjukkanmu sesuatu."

Mereka kembali ke rumah pantai. Tapi kali ini Zuko mengajak Katara ke kamarnya. Walaupun mereka bukan lagi musuh serta ia pun sudah memaafkan dan memberikan kepercayaannya, Katara memasang kuda-kuda, waspada. Ia tidak tahu apa yang Zuko inginkan untuknya memasuki kamarnya dan menunjukkannya sesuatu. Bisa saja hal yang tidak diduga terjadi.

"Tenang, aku tidak akan 'menyerangmu'."

Sesaat, Katara berpikir, selain dapat melakukan firebend, mungkinkah Zuko dapat membaca pikiran orang lain? Ia menggeleng cepat pada pikiran sintingnya yang mustahil dan berdiri normal, melonggarkan kepalan dan pijakannya.

Zuko membuka laci lemarinya dan mengambil sebuah bingkai berisi gambar. "Kutemukan ini kemarin." Ia memberikan bingkai tadi kepada Katara. "Kupikir kau mungkin ingin melihat wajah ibuku."

Katara menerima bingkai tersebut dan memperhatikan gambar yang terlukis ditengahnya. Terlihat sebuah keluarga dengan Ayah, Ibu, seorang anak berumur kisaran 2 tahun dan seorang bayi yang sedang ditimang sang Ibu.

"Ini keluargamu?" tanya Katara. Yang ditanya mengangguk. "Dan aku menduga ini Azula?" Ia menunjuk bayi di gambar itu.

Zuko mengangkat bahu. "Orang tak akan mengira bayi sepolos itu akan tumbuh menjadi orang yang mengerikan."

Kilas balik, Zuko menemukan dirinya sedang menghadap Raja Api Azulon bersama keluarganya. Zuko duduk disamping adiknya dan mencoba menjawab pertanyaan dari kakeknya. Azula menyela dan memberikan jawaban yang tepat. Kemudian ia berdiri untuk mendemonstrasikan gerakan firebending yang telah ia pelajari. Sempurna. Bahkan Ayah dan Kakek bangga terhadapnya. Tidak mau kalah, Zuko berdiri dan mencoba untuk memperlihatkan apa yang telah ia pelajari. Ia mengambil ancang-ancang dan mulai melompat namun ia terjatuh. Zuko bangkit dan mencobanya lagi, namun gagal. Putus asa, ia menundukkan kepala. Malu. "Aku gagal." Ursa berdiri dan menghampiri anaknya. "Tidak, Zuko. Gerakanmu indah, Ibu suka melihatmu berusaha." Ibunya memeluknya lembut dan ia merasa aman.

Katara membangunkan Zuko dari lamunannya. "Beliau pasti sangat menyayangimu." Zuko mengangguk, tersenyum simpul.

"Ibumu sangat cantik." Jemarinya bergerak menyusuri wajah sang Ibu. Rambut cokelatnya jatuh sepanjang punggung. Wajahnya tirus, membuatnya terlihat lembut. Bibirnya yang indah menyunggingkan senyum kecil yang hangat. Matanya yang… Katara menoleh, menatap wajah Zuko. Nafasnya tertahan saat menemukan sepasang bola mata emas milik temannya itu. Wow, Zuko memang menyerupai ibunya. Terutama mata emas mereka yang teduh, membuat mereka berdua terlihat menawan.

Katara merasakan jantungnya berdegup lebih kencang dan wajahnya mulai memanas. Ia pun memalingkan pandangan, berpura-pura memperhatikan lukisan ditangannya kembali.

"Berkat Ibu, aku masih hidup sampai sekarang," tambah Zuko.

Katara tersenyum mendengarnya. Ia juga mengalami hal yang sama. Kya telah mengorbankan nyawanya demi melindungi waterbender terakhir di sukunya yaitu dirinya.

"Demi menggantikan Paman yang akan menjadi Raja Api selanjutnya, Ayah rela memenuhi syarat yang diberikan Raja Api Azulon yaitu untuk merasakan kehilangan seorang anak laki-laki dengan membunuhku. Ibu yang mengetahui hal ini, menukarkan nyawaku dengan nyawanya."

Katara menatap Zuko kasihan tapi yang dipandang justru tersenyum. "Malam itu, Ibu membangunkanku. Ia mengatakan selamat tinggal sebelum memelukku dan pergi dari istana."

Mata Katara membulat. "Jadi… Ibumu masih—"

"Aku tidak tahu." Zuko menggeleng. "Aku hanya bisa berharap ia masih hidup dimanapun ia berada."

Ia menerima bingkainya yang dikembalikan Katara. Ia memandang wajah ibunya lama sebelum memejamkan mata.

"Zuko…" Katara mengulurkan tangannya.

"Aku tidak apa-apa." Zuko mengambil nafas dalam-dalam, membuangnya perlahan lalu menyalakan api dari tangannya, membiarkan bingkai berisi gambar keluarganya terbakar sedikit demi sedikit.

"Zuko!" Katara membuka kantung airnya dan mengeluarkan isinya untuk memadamkan api. Apa yang lelaki itu pikirkan? Membakar gambar yang sangat berharga, yang mungkin satu-satunya hal yang dapat mengingatkan ia pada ibunya?

Tangannya bergerak, mengarahkan air dari dalam kantungnya ke benda yang terbakar itu tapi sebuah tangan lain menahannya. Katara menengadah, menatap Zuko tak yakin.

"Biarkan."

Katara menelan ludah sebelum memasukkan airnya kembali kedalam wadahnya. "Kau yakin…?" tanyanya ragu. Zuko mengangguk lalu membesarkan api yang melahap benda ditangannya lebih cepat. Setelah habis terbakar, ia menepuk-nepukkan tangannya, membersihkannya dari abu. Ia mengambil tangan gadis didepannya dan menariknya keluar dari ruangan penuh asap itu.

"Apa maksudmu membakar gambar itu?" tanya Katara, panik.

Zuko menaruh tangan dibahunya, tersenyum. "Tenang, Katara. Aku tahu apa yang aku lakukan."

"Tapi—"

"Lagipula kau sendiri yang mengatakan mereka tersimpan didalam hati kita, bukan?"

Malam itu Katara terjaga. Seluruh badan bulan terlihat di angkasa, membuatnya gelisah dan tak bisa tidur. Ia beranjak keluar dari kamarnya, berjalan menuju teras belakang rumah. Mungkin udara segar dapat membantunya memudarkan pikiran yang mengganggunya.

Katara menyandarkan sikunya pada balkon dan mendongak, menghadapkan kepalanya ke arah bulan. Ia teringat bagaimana dahulu kakaknya gemar sekali memandang bulan setiap malam, sebelum bertemu Suki. Kehilangan orang yang sangat kau sayangi sangatlah berat.

Ia mengambil langkah ke belakang, hendak duduk untuk menikmati udara malam. Tetapi sebuah kaki lain menyandungnya dan membuat tubuhnya tertarik gravitasi. Katara memekik pelan sambil membentangkan tangannya, mencari keseimbangan.

Gadis itu tersentak saat menemukan warna pucat pada kaki yang telah membuatnya hampir terjatuh tadi. Selimut abu-abu menutupi kepala sampai pinggangnya, membuat seseorang yang disembunyikannya terkamuflase oleh warna malam.

Katara meraih selimut itu lalu menyibaknya pelan, memperlihatkan wajah dibaliknya dan tersenyum saat mendapati Pangeran Api sedang tertidur pulas, duduk menyandar pada balkon.

Ia berjongkok, memperhatikan wajah lelaki didepannya dengan seksama. Tangannya terulur, menyingkapkan rambut hitam kasarnya yang menutupi kening dan matanya yang terpejam. Katara hampir memekik lagi saat merasakan cengkeraman lembut ditangannya. Zuko membuka mata dan menatap gadis didepannya dengan mata emasnya yang bersinar dibawah cahaya rembulan.

"Ketemu," gumamnya. Katara membuang wajahnya saat merasakan pipinya merona.

Tiba-tiba sepasang lengan melingkar dibahunya, menariknya ke dalam dekapan. "Aku menyayangimu." Zuko berbisik ditelinganya. Nafas Katara memburu, berlomba dengan detak jantungnya. Ia menggerak-gerakkan bahunya, mencoba melepaskan diri namun tidak bergeming. "Ugh!" Ia mendorong dada Zuko dengan keras dan berhasil melepaskan diri.

"Ow!" Zuko mengelus belakang kepalanyayang terbentur balkon. Ia menoleh, menemukan wajah Katara yang menatapnya cemas. "Ah, kau…" Ia membetulkan posisi duduknya. "Kau tahu, aku baru saja mengalami mimpi yang sangat aneh." Jemarinya menghapus kotoran dari matanya kemudian ia menerawang. "Aku bermimpi Ibu didepanku, mengelus rambutku. Terasa sangat nyata, aku memeluknya dan mengatakan aku menyayanginya."

Sesaat bibir Zuko membentuk senyuman, tangan Katara bergerak, mengguyurnya dengan air laut.

"Hei!"

Gadis itu pun berlalu, menggumamkan sumpah serapah pelan sambil meninggalkan dirinya.