Title: Kehidupan Kedua
Rating: 13+ PG (T rated)
Summary: Mei 2012, sebuah pesawat terbang Belanda jatuh dan meledak di sebuah pulau kecil luar Jawa. Lars van Anderson, seorang pengusaha asal Belanda merupakan satu-satunya korban yang selamat dan merasa dunianya sudah berakhir—sebelum ia diselamatkan oleh gadis muda bernama Nesia.
Disclaimer: Hey, saya bukan pemilik Hetalia. Cuman punya satu OC di sini namanya Nesia. Nama panjangnya? Silahkan baca fanfiksi ini. /geplaked/
Notes: multi-chap!AU yang entah kapan promptnya udah ada di arsip saya. Tapi akhirnya chapter satu selesai juga karena saya lagi tengah liburan pasca selesai Ujian Nasional, jadi saatnya untuk jadi lebih produktif lagi. Mumpung fandom NetherNesia (terutama female!Nesia karena menurut saya masih lebih sedikit daripada yang male!Nesia ;3;) masih agak sepi, pengen nyumbang jadinya. /ciee/ *author digeplak readers* anyway, read and review ya! :D
Italic buat flashback. Bold buat penekanan. Kalau kata-kata yang ditulis di sini bahasa Indonesia, anggapannya mereka mengerti bahasa yang mereka gunakan untuk berbicara. Kata-kata dari Belanda bakal langsung di translate kok. Tenang aja.
EDIT Notes: Chapter ini sebetulnya flashback-kind-of-prologue, jadi ... Semua yang ditulis di sini bakal di Italic kalau ada bahasa asing atau flashback (later chapter). Thanks buat koreksinya!
Prologue.
Kehidupan Kedua.
"… Ik klaar ben."
"… I am done."
…
Hey kamu.
Iya. Kamu yang sedang duduk di restoran mewah bergaya khas Eropa Barat dan penuh tulip. Hmm, iya, itu kamu kan? Yang ditemani oleh perempuan berambut pendek gelombang bewarna pirang itu?
Mengapa kamu terlihat seperti mau mati begitu? Bukankah usiamu merupakan usia yang sangat mapan dan bukankah seharusnya kamu terlihat bersemangat?—oh! Lihatlah dirimu! Kau berjaskan kasmir berlilitkan syal bewarna khas biru putih saja sudah menandakan kamu adalah orang yang berada.
Eh? Kamu ingin aku diam? Bagaimana bisa? Tidakkah kau lihat bahwa aku sedang berusaha membuatmu menaruh perhatian pada seorang wanita cantik yang sedang duduk di seberang meja bundar bertaplakan kain putih linen mewah? Anggap saja aku ini sedang membantumu, bodoh!
Sungguh, aku tidak mengerti apa yang ada di pikiranmu. Lihatlah. Mata perempuan itu terlihat berair. Rambut gelombangnya terlihat berantakan. Isakan tangis terdengar dari sela-sela mulut manisnya. Seorang wanita Belgia tidak dapat memalingkan wajahnya dari wajahmu, Lars. Mau tau apa yang ia ingin katakan?—Hey, kamu, stop memandangi vas bunga itu. Ia melihat ke arahmu dan kamu harus mendengar perkataannya.
"Lars … Maaf … Tetapi, kita batalkan saja pertunangan ini."
Kata-kata gadis cantik itu benar-benar menusuk hatimu bukan? Tentu saja. Melihat dirimu yang terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan membuat segalanya hancur. Ya, termasuk pertunanganmu dengan wanita Belgia itu.
Mau apa kau? Menyalakan cangklong favoritmu di tengah ruangan ini? Kau gila?
"… Kenapa?" tanyamu. Aku tidak percaya kau menanyakan hal terbodoh di dunia hari ini.
Perempuan itu menghela nafas. Lalu raut wajahnya terlihat sedikit kusam, menampilkan senyum apik yang terlihat sedih untuk menjawab pertanyaan bodoh-mu itu, "Karena … Aku sudah … tidak mencintaimu lagi, Lars."
Tusukan kedua sudah berhasil ia lancarkan pada hatimu yang rapuh itu. Kau pura-pura tidak tahu. Kau pura-pura tidak merasakan. Tetapi yakinlah, Lars van Anderson, suatu saat nanti kamu tidak akan bisa berbuat apa-apa untuk menyembunyikan perasaanmu.
"Apa ini semua karena lelaki brengsek itu?" katamu dengan nada rendah. Ya, kau berhasil membuatnya sedikit kaget, "Ya kan? Si Antonio, lelaki Spanyol yang kau temui di tempat kerja lamamu itu?"
Oh. Perempuan itu terlihat marah. Mata-nya yang tenang berubah menjadi mata yang dapat membuat banyak orang gentar. Kecuali kau, mungkin. Isakan tangisnya tetap bisa terdengar olehmu, menyirit segala isi hatimu yang mungkin tidak berisi itu.
"Kau mau marah, Laura?" Tatapanmu tidak kalah, membuat banyak perhatian orang-orang barat tercurah ketika melihat kalian berdua berantam di restoran penuh kesan wah ini.
Akhirnya ia membuka mulutnya, lengkungan di mulutnya menurun ke bawah, ah … Ia marah Lars. Apa yang akan kamu lakukan?
"Paling tidak, ia lebih perhatian daripada kamu, Lars."
"Oh, jadi itu sisi positif-nya? Sungguh … Aku kadang tidak mengerti jalan pikirmu yang absurd itu."
"Absurd? Kau gila? Apa yang membuat otak encermu itu tidak berfungsi sekarang? Aku dapat mengerti jika kamu tidak mau terang-terangan memberikan perhatianmu kepadaku, tetapi tidak ada kabar darimu selama dua bulan? Tidak ada, Lars!"
Tidak ada yang berbicara.
Tidak ada yang menyinggung kalian berdua.
Tidak ada apapun selain—
"Waffles-nya tuan?"
Lalu suara piring kaca yang ditaruh di atas meja kalian berdua berhasil membuat salah satu di antara kalian untuk berbicara. Oh Tuhan, kalian ini memang canggung. Berbicaralah sebelum pelayan tua itu pergi dari meja kalian!
"Kau tau Lars … Kamu belum siap untuk pertunangan—pernikahan apalagi. Aku—"
Singgungan itu memang benar, kepala tulip. Apa kau tidak sadar bahwa kamu itu merupakan seorang lelaki pintar yang mampu mencapai kekayaan banyak orang ingin gapai? Seharusnya kau pakai otakmu itu untuk berbicara dengan baik. Sebab kau tahu, pertunanganmu itu sudah di ujung tanduk. Ayolah, pikirkan sesuatu, lelaki pintar.
"… Apa hanya itu saja yang membuat kamu ingin memutuskan pertunangan ini, Laura?"
Ia menggeleng kepala. Oops, Lars, kau mengenai bull's eye. Kamu benar di satu poin, dan perempuan itu nampak gelagapan dalam menanggapi pertanyaanmu itu. Harus kuakui, kau itu antara terlalu bodoh, terlalu berani, atau kau hanya terlalu nekat. Kau menanyakan pertanyaan berupa bom waktu, Lars. Apakah kau cukup pintar untuk menyikapi respon-nya?
"Aku tidak mencintai kamu lagi Lars—Oh gott, ini menyebalkan!" sahutnya sebal, memberikan signatur ekspresinya kepadamu, dan akhirnya langsung membuka mulut untuk melanjutkan perkataanya.
Apa kau siap?
"Selama dua bulan kau tidak mengontakku—selama kamu masih di Asia untuk menangani masalah perusahaanmu itu—aku jatuh cinta pada Antonio."
… Ya, itulah jawabanmu, Lars. Apa yang kau tunggu? Lho, mengapa ekspresi datarmu itu menjadi ekspresi orang yang sangat depresi? Hah, sungguh tidak cocok untuk personality-mu Lars. Ia hanyalah seorang gadis Belgia, Lars. Kau sungguh-sungguh mencintai-nya? Pantas saja kau terlihat seperti orang mati sejak ia mengajakmu bertemu.
Jadi apa jawabanmu? Kau tidak akan menjawab apa-apa? Pengecut.
"Maafkan aku Lars. Tetapi, memang sebaiknya aku mengatakan ini secepatnya."
Sesaat kamu sedang berpikir, perempuan Belgia itu melepaskan cincin pertunangan kalian berdua yang berlapiskan emas murni itu di atas meja penuh vas tulip itu. Ia berdiri dari tempat duduknya dan ia membungkukkan badannya seraya berkata …
"Het is voorbij, Lars. Tot ziens."
Ini sudah selesai Lars. Selamat tinggal.
Selamat tinggal. Ulangi lagi kata itu di dalam pikiran rapuhmu.
Selamat. Tinggal.
Ah, apakah ia merupakan orang yang akan meninggalkan-mu sendirian setelah orang tua dan adikmu meninggal? Pantas saja kau merasa sedih. Kau benar-benar sendiri sekarang, Anderson.
"Laura," katamu sebelum ia benar-benar pergi dari meja yang kau pesan mahal-mahal itu, "Makanlah waffle itu dulu. It's Belgian original especially for you."
Kau berusaha meringankan suasana, dan itu berhasil. Aku tahu kok Lars, kamu berkata itu karena kamu tidak ingin uang mu itu sia-sia dengan makanan yang tidak dimakan oleh orang yang seharusnya memakan makanan itu.
"Seperti biasa Lars, kau memang pelit dan terlalu teliti mengenai uang," Ia tertawa kecil dan akhirnya kalian berdua makan bersama tanpa ada seorang maupun suara yang menganggu kalian berdua. Yah … Anggap saja ini adalah makan malam terakhir kalian berdua sebagai sepasang kekasih.
Setelah santapan terakhir berada di dalam lambung perempuan itu, akhirnya kau berkata, "Ik hou van je, Laura. Aku sungguh-sungguh mencintaimu."
Sang perempuan hanya tersenyum sedih.
Kau membalasnya dengan senyuman yang lebih menyedihkan.
"… Wat dacht je van een laatste kus?"
… Apa? Kau meminta ciuman terakhir? Harus kuakui aku kaget! Aku tidak mengira kau akan seberani itu. Aku akan memberikan sebuah tepuk tangan yang meriah untukmu karena ini cukup mengejutkanku. Apa yang bisa kau harapkan dari sebuah romansa?
"Mmm, de laatste."
Ini adalah yang terakhir, Lars. Kusarankan kau ingat baik-baik rasa bibir perempuan itu sebelum kau merindukannya. Ciuman singkat dengan perasaan yang seadanya memang tidak terlalu tertinggal baik di bibir mulusmu itu, tetapi setelah ia pergi, kamu hanya bisa bergumam …
"… Ik klaar ben."
Kamu sudah selesai, Lars.
...
Apa yang kau lakukan di sini, Lars? Bukankah seharusnya kau berada di penthouse-mu yang ada di dekat Red Light District itu sambil menangisi kepergian mantan kekasihmu? Mengapa kamu ada di bandara Schiphol? Oh, aku tahu apa yang akan kau lakukan. Kau ingin melarikan diri kan? Dasar pengecut.
Bukankah kau berjanji pada dirimu sendiri bahwa kau tidak akan sendirian lagi? Kau tidak akan merasa sedih lagi? Omong kosong, bukan?
"Tuan Anderson, pesawat menuju Indonesia sudah tiba."
Nampaknya manager-mu pun juga memberikan senyum masam kepadamu. Mungkin raut wajahmu itu tidak enak dilihat, Lars. Hey, tersenyumlah seperti biasa! Kau menakuti banyak orang di bandara, tahu? Sudahlah, sana pergi ke pesawatmu dan segeralah kamu ke negara Asia itu.
"Selamat menikmati perjalanan anda, tuan Anderson."
…
Nampaknya kau cukup nyaman di kursi ekonomi. Seperti biasa, kau selalu pelit dalam masalah uang. Kau ini pengusaha besar, Anderson. Tidakkah kau malu memilih kelas ekonomi macam ini? Kenapa tidak kelas bisnis saja? Oh .. Aku tahu, kau ingin bersikap low profile kan?
"Waffle-nya tuan?"
Kau ingin berkata tidak, tetapi itu sebelum pesawat yang kau tumpangi ini bergetar. Pramugari yang sebelumnya menawarkan makanan favorit Laura itu berubah menjadi sedikit ketakutan, dan pada akhirnya ia memaksakan senyumnya kepada kamu, dan ia pergi menuju ruangan pilot.
Apa yang akan terjadi, Lars? Apakah kamu takut? Mata zamrud-mu itu menandakan bahwa kau benar-benar takut.
Lalu intercom pesawat tiba-tiba memberitahukan kepadamu, bahwa kau harus memasang sabuk pengaman-mu lebih kencang lagi. Karena kau tahu apa?
"Pesawat ini akan jatuh!"
Wanita tua itu berkata yang sesungguhnya, Lars. Meskipun dia berteriak karena pelepasan frustasi-nya, tapi memang benar.
Pesawat ini akan jatuh, Lars.
Apa yang akan kau lakukan?
Kau pasang sabuk pengaman-mu ketat-ketat? Oh, kau sudah melakukannya.
Lalu apa? Kau berdoa sekarang? Wah, aku baru tahu kau ini seorang yang religius. Tetapi itu tidak menjadi masalah bukan, kalau kau sedang berada di depan pintu kematian seperti ini?
Apa yang akan kau lakukan, Lars?
Jatuh. Semuanya berteriak. Anak-anak kecil menangis. Orang tua hanya terdiam dan berdoa. Kaca pesawat pecah. Banyak manusia yang terlempar keluar dari tempat duduknya. Pesawat ini jatuh. Jatuh ke laut. Jatuh mengenai pantai. CRASH. Sebelum itu semuanya terjadi, kau berteriak frustasi, sedangkan aku hanya bisa terkekeh mendengar perkataanmu itu.
"BERHENTI BERBICARA DI PIKIRANKU, SIAL!"
Lalu semuanya gelap.
…
Apa yang akan kau lakukan, Lars?
Footnote: Astaga ... Ini fanfiksi pertama yang POV-nya macam kayak gini ... Abal banget dah. Cuman suer, aslinya pengen dibikin POV orang pertama, cuman jadi pikiran Lars. Prolog-nya udah cukup jelas belum, kalau Lars itu mengalami kecelakaan pesawat? Chapter berikutnya akan dimulai dari first POV, update-annya akan menunggu selagi saya menunggu review-reviewnya~ (Kira-kira tanggal 6 Mei 2012 atau sekitarnya /eh/)
Salam,
Liesselotte.
