Naruto © Masashi Kishimoto

No profit gained

Fic ini didedikasikan untuk event Multychallence yang dibuat oleh kak Ariza Riza.

...

Mereka bukan Tuhan yang berhak menghakimi sesamanya.

Kalimat itu dilafalkannya berulang-ulang, terus-menerus, sampai hatinya membeku dan kebas sendiri. Namun, panas yang menyertai embusan napasnya menyeluruh di sekitar wajah dan cermin di depan muka.

"Tenang ..." bisiknya menggeram. Jari-jari tangannya mengepal di atas keramik wastafel tanpa bisa berhenti bergetar. Ia menggumam lagi, "ini bukan salahmu." Namun, nada yang terucap tidak seyakin yang biasanya.

Akhirnya ia pun goyah. Pijakannya limbung dan lututnya lemas tak bertenaga.

Lelaki itu merenung sesambil meremas kain celana di paha.

"Sasuke?" Suara seseorang dari luar mengalun. Rasanya terdengar begitu jauh dan fana. "Kau di dalam?" Pintu diketuk setelahnya.

"Pergi ..."

"Jangan begitu, Sasuke. Ayolah, keluar dulu ... Biar kubantu kau kembali ke kamarmu."

"Tidak ..." Lanjutan tertelan di tenggorokan. "Biarkan—"

Namun ketukan yang terdengar berubah menjadi gedoran keras.

"Buka!"

Bahu Sasuke menegang. Suara-suara yang mengusik kepalanya serasa kembali bergaung.

"Dengar ... Semuanya bukan salahmu. Jangan biarkan pikiran-pikiran buruk itu membuatmu tenggelam, Sasuke!"

Tapi, yang terjadi sebaliknya. Sasuke seperti melihat kejadian mengerikan itu lagi di ujung mata.

"Sasuke!"

Si pemilik nama tenggelam dalam dunianya. Menyaksikan kilas balik ketika wanita berambut sewarna gulali tertimpa lampu hias di lokasi syuting mereka.

...

Semula, ini hanya soal perasaan yang tak tersampaikan. Hanya sesuatu yang sepele dan berujung malapetaka.

Lawan main Sasuke dalam drama terbarunya, bernama; Sakura Haruno. Gadis cantik yang bermahkotakan merah muda di kepala. Gadis itu sangat anggun, setiap berbicara dengannya dia selalu tersipu. Sakura memulai debut pertamanya sebagai model yang berlanjut dengan drama televisi. Berbeda dengan Sasuke yang mengawali karirnya dengan bermusik.

Ketika itu, Sakura menemuinya saat mereka sedang break syuting. Gelagatnya terkesan gelisah. Jejari tangannya saling meremat dan bergetar. Begitu pun dengan bola mata hijaunya yang melirik ke sembarang arah saat meniti langkah demi langkah menghampirinya.

"Ada yang ... ingin kubicarakan," katanya tersendat. "Kau ada waktu?" imbuhnya lagi.

Sasuke tak langsung menjawab. Dia masih berkutat dengan setumpuk kertas naskah lalu memutuskan meraih gelas airnya.

"Se-sebentar saja," bujuk Sakura kemudian. Dia terlihat gelisah karena respon Sasuke yang terkesan tetap dingin dan tak acuh. "Bisakah?"

"Katakan saja di sini." Sasuke berujar sambil meletakkan gelas airnya yang tersisa setengah ke atas meja kecil dekat kursinya. Ia kembali berkutat dengan naskah.

"Tapi, aku malu mengatakannya kalau di sini."

"Berarti itu bukan hal yang penting."

"I-Ini penting."

Sasuke meliriknya sejenak, lalu kembali berkutat dengan dunianya.

"Baiklah, akan kukatakan." Sakura meraup udara banyak-banyak. Berusaha mengumpulkan keberaniannya yang hampir menciut. "Se-Sebenarnya sejak pertama kali melihatmu, a-aku suka ..." Rona merah menjalari kedua pipinya. Sakura menunduk dengan jantung berdebar keras. "Aku ... Aku suka Sasuke-kun. Jadilah pacarku."

"Aku tidak mau."

Kalimat itu terdengar dingin dan tak berperasaan. Sakura membeku di tempat, matanya memandang penuh kesakitan saar Sasuke bangkit dari kursinya dan melenggang pergi. Meninggalkan dirinya dan juga harapannya yang pupus begitu saja.

"Tu-Tunggu ..." Tak terima, Sakura bermaksud mengejar. Dia meraih lengan Sasuke dan menahannya tanpa tenaga. "Aku belum selesai. Aku akan melakukan apapun untuk Sasuke-kun." Suaranya penuh pengharapan dan bergetar.

Sasuke menepisnya. Matanya menyorot tajam. Ia tidak suka disentuh, terutama oleh orang asing.

"Kumohon ... Aku menyukaimu sudah sejak lama—"

"Itu bukan urusanku," sahutnya masih terdengar dingin.

"Ta-Tapi ..." Sakura membelalak tak percaya saat Sasuke membalikan badan dan kembali melangkah pergi. Ia sama sekali tak berpikir ketika tangannya meraih siku lengan Sasuke secara refleks. Ia sudah terlanjur malu, jadi berpikir untuk tidak melakukannya secara setengah-setengah.

"Jangan sentuh aku!" Namun, hal serupa juga dilakukan Sasuke di luar batas kesadarannya. Rasa risih dan muak, menuntun dirinya melakukan hal kasar. Sasuke mendorong Sakura menggunakan tenaga berlebih hingga menyebabkan gadis cantik itu terjerembab jatuh menyenggol tiang penyangga lampu dan—

Bruk!

Yang mampu Sasuke ingat hanyalah warna merah. Merah yang begitu pekat dan kental mewarnai hampir di seluruh helai merah muda dan sebagian wajah yang tertutup kelopak matanya.

...

Cara kerja media secepat tiupan angin di sore hari. Entah siapa dan dari mana berita itu datang, tiba-tiba saja sudah membuat gempar seluruh negeri.

"Aktor tampan Uchiha Sasuke mencelakai lawan mainnya, Haruno Sakura."

"Ada saksi mata yang melihat mereka berdua bertengkar. Apakah ini termasuk cinta lokasi?"

"Uchiha Sasuke tiba-tiba mendorong Sakura dan melakukan kekerasan."

"Blablablabla ..."

Kalimat-kalimat menyakitkan itu merasuki indera pendengar, bersarang di dalam otak, lalu terngiang di sepanjang waktu.

Sasuke berusaha menulikan telinga tapi hal itu seolah tak mau berhenti meski ia sudah menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Sasuke merasa terganggu. Namanya terancam rusak. Bahkan drama yang seharusnya masih dibintangi oleh dirinya dan Sakura terpaksa diberhentikan sejenak waktu.

Hari-hari yang dilalui Sasuke mendadak terasa sangat berat. Ia harus kuat mendengar segala pemberitaan miring dan opini masyarakat yang membuatnya semakin terlihat buruk.

Sepanjang waktu yang dilakukan Sasuke hanya diam di dalam kamar. Menenggak obat tidur, atau mencuri-curi kabar mengenai keadaan Sakura yang diberitakan mendapat luka serius di kepala. Sampai sekarang pihak aktris cantik itu masih bungkam, dan itulah yang membuat keadaan Sasuke semakin buruk di mata publik.

"Kau masih menonton acara gosip itu?" Seseorang menegur seraya mendecih kesal.

Sasuke tak mencoba berbalik. Ia sudah tahu suara siapa yang mengganggunya di belakang.

"Jangan bersikap sok tangguh dengan menonton berita yang menjelek-jelekkan namamu, Teme." Tangan berkulit tan merebut remot di genggaman Sasuke. Menekan tombol off lalu berkelit saat lelaki bermarga Uchiha itu ingin merebutnya kembali.

"Berikan."

"Ini saatnya kau untuk istirahat."

"Kubilang berikan."

"Dan sudah kukatakan ini saatnya kau untuk istirahat, Teme." Lelaki itu lebih keras kepala lagi dari Sasuke. Ia tidak menerima kompromi dalam bentuk hal apapun. Jika ia bilang A maka hasilnya akan tetap A, jangan berharap keputusannya berubah menjadi B.

Sasuke harus rela ketika dirinya digiring menuju kamar. Lelaki itu juga memberinya dua pil obat seperti rutinitas hariannya sebelum tidur di malam hari. Padahal waktu masih menunjukkan pukul delapan, seharusnya Sasuke tidak tidur secepat ini.

"Lebih cepat lebih baik. Pikiran dan emosimu harus diistirahatkan jika tidak ingin meledak."

Sasuke mendecih, lelaki itu selalu tahu isi kepalanya dan seolah-olah bersikap seperti cenayang handal.

"Nah, tidurlah. Kumohon jangan memikirkan hal-hal yang berat. Semua ini bukan kesalahanmu." Usapan sayang diberi. Selimut dinaikannya sampai sebatas dagu Sasuke.

"Naruto ..." Sebelum lampu kamarnya dimatikan, Sasuke menahan lelaki itu untuk tetap tinggal. "Aku ... aku memang mendorongnya," akunya, namun tatapan dan suara yang dihasilkan tetap datar seperti biasa.

Naruto menghela napas. Tak jadi mematikan sakelar lampu. Ia kembali menemani Sasuke dengan duduk di pinggiran kasurnya. "Aku tahu, tapi ... kau tidak akan melakukan hal itu tanpa alasan."

Sasuke mengangguk. Naruto mengusap helai-helai di pucuk kepalanya.

"Itu hanya kecelakaan, Sasuke. Kau tidak berniat mencelakainya."

"Tapi mereka—"

"Tidak usah mendengarkan orang lain. Cukup kau dengarkan aku saja, oke?" Setelah mendapat anggukan kecil dari Sasuke, Naruto lekas tersenyum dan mengecup keningnya. "Selamat malam."

...

Seharusnya keadaan sedikit membaik berkat perkataan Naruto yang membuat batinnya berhasil tenang sejenak. Tapi, tidak ... semua tetap berjalan sebagaimana mestinya. Pemberitaan media, pendapat dari pihak-pihak yang terasa menyudutkan, lagi-lagi diterima Sasuke keesokan harinya.

Semua brand yang memakai jasanya sebagai model mendadak menghentikan kontrak kerjasama karena adanya pemberitaan negatif itu. Dan Sasuke lagi-lagi larut dalam perasaan bersalahnya yang besar terhadap Sakura.

"Sudah kukatakan ini bukan salahmu." Sentuhan Naruto membelai puncak kepala dan turun ke bahunya.

"Tidak perlu menghiburku segigih itu."

Dengusan Naruto terdengar. Kepala berhelai kuning menyembul dari sebelah bahu Sasuke dan mengecup bibirnya. "Kau terlalu melankolis, Teme."

"Aku tidak!" Mata Sasuke mendelik tajam tak terima.

Dan bibirnya kembali dihujani ciuman kedua, ketiga, dan keempat.

"Hentikan."

"Aku hanya tak tahan melihatmu yang lebih dingin dari biasanya." Naruto mengangkat bahu, lalu duduk di sofa tepat di samping Sasuke.

Inginnya membalas, tapi ponsel di atas meja sudah lebih dulu menyela. Sasuke hampir meraih benda itu, sebelum tangan yg lebih besar dan berkulit tan merebutnya lebih awal.

"Dobe!" Sasuke mendesis.

Tapi Naruto tidak mempedulikannya. Hanya mata yang seolah berkata pada Sasuke untuk diam. Dan ia segera menjawab panggilan telepon itu.

"Ya, Paman Fugaku, ada apa?"

Satu nama itu berhasil membuat seluruh tubuh Sasuke tegang. Naruto berusaha merangkul dan menyenderkan kepala berhelai hitam ke ceruk lehernya.

"Sasuke sedang sibuk, mungkin ada yang bisa kusampaikan padanya?"

Kepalan tangan Sasuke mengepal tanpa sebab. Jantungnya bergejolak. Panas dan perih.

"Aku mengerti. Sebaiknya Paman tidak perlu terlalu khawatir. Sasuke baik-baik saja dan saat ini ia sedang menjalani aktivitasnya seperti biasa. Ya, selamat sore."

Panggilan ditutup. Sasuke melemaskan otot-otot tubuhnya. Dan Naruto menghela napas panjang.

"Apa yang dikatakan lelaki tua itu?"

"Beliau hanya bertanya mengenai kabarmu."

"Jangan membual, dia tidak akan melakukan itu."

"Kau terlalu negatif menyikapi semua hal."

"Dobe—"

"Sudah diam saja! Serahkan padaku dan jangan menyela."

Sasuke akhirnya terdiam. Ia tidak bodoh. Ayahnya pasti ingin menghujat soal pemberitaan buruk yang menjadikannya bulan-bulanan di media sejak beberapa hari yang lalu. Sejak dulu, hubungannya dengan sang ayah memang tidak bisa dikatakan baik.

"Hn. Aku akan kembali ke kamar."

Naruto tak mencoba menahannya, ia menghembus napas keras dan mengacak rambut kuningnya dengan kedua tangan. Bukan maksudnya untuk membentak, tapi ia sendiri pusing dengan masalah yang ada.

Sementara Sasuke yang sudah sampai di kamarnya langsung menjatuhkan tubuh di belakang pintu yang terkunci. Di kepalanya menjejal banyak hal seolah terus berputar dan menghantuinya setiap saat. Ketika melirik ke arah jendela, Sasuke menemukan seorang remaja lelaki berpenampilan kumuh, wajahnya tertutupi sebagian rambut yang menjuntai menyentuh dagu. Dia menyeringai, matanya menyorot dingin dan penuh kebencian.

Tbc