Hamba dulu pernah berjanji untuk bikin fic NaruHina lagi, dan inilah realisasinya. Hamba ingin kembali mengetuk hati pembaca melalui kesedihan. Kalau menurut hamba sih, cerita yang satu ini bakal amat angst... serta romance tentunya.
Hamba, Galerians, sangat berharap ini bisa memberi Anda kepuasan.
•••
Di Antara Kunang-Kunang
Chapter I
Malam ini adalah satu dari sekian banyak malam musim panas, di saat berbagai serangga bernyanyi bersama dan jangkrik bersenandung riang. Diiringi tarian puluhan kunang-kunang, sesungguhnya taman yang kini menjadi objek pandangan seorang gadis itu mampu mencuri napas dari manusia mana saja yang bisa mengapresiasi keindahan. Sayang, tidak baginya.
Matanya sayu dan sendu, walau menatap tapi bagai tak melihat. Pikirannya melayang jauh ke dunia lain, tenggelam dalam lamunan dan terperangkap dalam khayalan otaknya sendiri. Lagipula, apa artinya melihat pemandangan? Apa yang tersimpan di balik semua keindahan ini? Dari penglihatan matanya yang berwarna biru abu-abu, kecantikan kunang-kunang dengan kelap-kelipnya hanyalah bayangan kabur. Di pendengaran telinganya, suara nyanyian serangga yang bersahut-sahutan hanyalah bunyi tiada asri laksana organ buangan rusak.
Bagi orang lain, semua ini pasti sesuatu yang patut disyukuri, sebab semua lanskap dan alam ini adalah arsitek buatan Tuhan Yang Maha Esa yang indah nan rupawan tiada tara. Tapi dari penilaian sang gadis berambut panjang, semuanya hanyalah kesemuan yang dalam sekejab akan menghilang, bagai api lilin di tengah badai taifun, seperti setitik debu di gurun Sahara. Tak perlu diperhatikan, tak usah diindahkan, karena tak ada makna di dalamnya dan pasti akan lenyap juga pada akhirnya.
Semua tak punya makna bagi dirinya. Atau tepatnya, dirinya yang sekarang.
Dia berbalik dari jendela untuk kembali menatap kamar yang telah ditempatinya dalam kurun waktu satu tahun ini. Tempat inilah yang kini menjadi seluruh dunia bagi sang gadis, selain pemandangan di luar yang sudah tak terjangkau kedua tangannya. Kamar seluas 12 m persegi ini berlantaikan porselen yang selalu bersih berkilau tiap hari, ranjangnya adalah ranjang spring bed berwarna putih khusus yang empuk dan pasti mampu menjamin kenyamanan pemakainya. Selimut dan seprai penutupnya begitu lembut seakan dibuat dari beludru.
Fasilitas ruangan juga sudah tak perlu ditanya, AC dan televisi flat screen telah terpasang demi kesenangan sang gadis. Tak hanya itu, Dvd dan Mp3 player telah menunggu jamahan tangannya andai bosan menyiksa. Dan jika semua itu masih kurang, gadis itu bisa dengan mudah meminta maka barang apapun pasti akan muncul dalam kurun waktu kurang dari sehari.
Tapi semewah apapun kamar ini, itu semua tak akan bisa menghapus kenyataan yang terukir pada dirinya. Semua benda maupun harta duniawi tak akan bisa melenyapkan apa yang bercokol dalam tubuhnya. Rasa sedih kembali menyiksa saat dia teringat, memaksa matanya menjelajah ruangan putih yang gelap gulita ini untuk mengalihkan pikiran, walau dia tahu tak akan ada yang bisa menarik perhatiannya.
Dia mendongakkan kepala untuk menatap langit-langit... gelap. Tentu saja, jika tak ada lampu dinyalakan di tengah malam, sudah pasti hanya akan gelap yang ditemukan. Biarpun kamar ini seluruhnya dicat putih, warna yang melambangkan terang itupun pasti akan berubah hitam di kegelapan gulita yang mampu menelan segalanya. Dan tak hanya ruangan, kegelapan juga telah menelan hatinya sampai hampir tak bersisa. Di sana, kekosonganlah yang sekarang merajalela, harapan pun telah berubah menjadi putus asa. Sebab apa yang kini bisa dipercaya olehnya? Selain kehampaan, kekecewaan, serta kesedihan?
"Tuhan..." gadis itu berbisik sendiri. "Mengapa harus aku...?"
•••
Sampai tahun lalu, semuanya berjalan baik-baik saja. Kehidupannya tentram, damai dan menyenangkan. Masa muda tipikal anak remaja 14 tahun. Dia akan bangun di pagi hari, mengecup pipi kedua orangtuanya sebelum duduk di meja makan, sambil sedikit berbincang atau bercanda dengan kakak sepupunya yang juga tinggal di rumah di kala makan pagi. Dia akan pergi sekolah, bertemu dengan teman-temannya, membahas pelajaran, mengerjakan pr yang belum selesai, atau sekedar ngobrol tentang hal-hal trivial khas gadis remaja. Ya, sampai tahun lalu, semuanya berjalan begitu lancar dan baik-baik saja.
Tapi kecelakaan itu mengubah segalanya.
Ketika pulang sekolah, tanpa mengetahui nasib yang selalu sabar menunggu, gadis itu melangkahkan kaki ke jalan setapak bersama teman-temannya. Walaupun cantik dan menawan, tapi gadis ini dikenal pendiam, dan itulah alasan mengapa dia hanya tersenyum ketika ketiga temannya asyik menggosip tentang macam-macam topik yang sebenarnya tidak penting. Jika ditanya, hanya anggukan atau gelengan yang menjadi jawabannya. Tapi walau tidak ikut ambil bagian, dia jelas-jelas ikut terserap dalam obrolan ngalor ngidul itu, memusatkan seluruh perhatiannya pada apa yang keluar dari bibir sahabat-sahabatnya.
Mereka terlalu asyik berbicara, sampai tidak menyadari kalau kaki mereka sudah menapakkan langkah untuk menyeberangi jalan raya, yang sayangnya tidak kosong akan kendaraan.
"TIIIN!!"
Suara decitan ban mobil dan klakson menggema di udara, bersamaan dengan terlemparnya sebuah tubuh ke semen dengan suara debukan nyaring. Rambut biru panjang itu segera basah akan cairan merah pekat dan kental, ketika sedikit demi sedikit kesadaran pemiliknya mulai terayun ke alam lain. Hal terakhir yang dia dengar, adalah teriakan-teriakan kebingungan dan cemas yang datang dari belasan orang, sebelum semuanya berpindah, larut ke kegelapan.
Untungnya, luka yang dia terima bukanlah sesuatu yang begitu serius. Memang ada beberapa tulang retak seperti tangan dan tengkoraknya, tapi semua itu tak akan cukup untuk membahayakan nyawanya. Sesenang apapun pada keberuntungan yang dianugerahkan Tuhan padanya, gadis berambut biru itu jauh lebih senang saat teman-temannya datang berkunjung. Dia optimis akan segera sembuh dan kembali beraktivitas bersama mereka lagi.
Tapi Sang Takdir sekali lagi menunjukkan kekejamannya, ketika dia membuktikan kalau Tuhan memiliki kehendak lain.
Untuk meneliti tulang-tulang yang retak, tentu saja pihak rumah sakit harus melakukan beberapa diagnosis termasuk penggunaan sinar-X. Dan sejak pertama kali dilakukan, telah ada sesuatu yang aneh dalam setiap hasil tes. Khawatir akan kemungkinan terburuk, mereka meminta ijin pada kedua orangtua untuk melakukan tes MRI untuk pemeriksaan lebih mendalam, hanya untuk memastikan kalau kekhawatiran itu salah atau cuma sekedar perasaan. Sayang, ketakutan mereka jadi kenyataan.
Jantung gadis itu mengidap kanker ganas.
•••
"A-apa...?" suara itu terdengar serak dan tidak percaya, bergetar di tiap suku kata. "Kanker... jantung...?"
"Ya, Hinata-san..." dokter paruh baya yang sudah botak itu membetulkan kacamata yang bertengger di hidungnya, berusaha menghindari tatapan tajam yang ditujukan oleh gadis bernama Hinata itu. "Anda mengidap kanker ganas di jantung anda..."
"A-a..." gadis berambut biru itu terpana sejenak, suara yang keluar dari mulutnya hanya berupa satu atau dua huruf vokal tanpa makna. "A-aku..."
Hinata mengalihkan pandangan ke arah dua orangtuanya, tapi dia tak menemukan ketenangan. Sosok ibunya yang menangis di bahu ayahnya, yang juga memasang wajah bagai baru saja kehilangan satu anggota keluarga, sama sekali tak membantu dalam memperbaiki emosinya. Dia kembali menatap dokter, masih dengan ketidakpercayaan pada dua bola ungu abu-abu itu.
"D-dok, ku-kumohon jangan bercanda..." dia tersenyum dengan cara aneh, seakan menganggap semua ini hanyalah kekonyolan atau lelucon yang mereka buat-buat untuk menakutinya. "Ka-kanker...? I-itu tidak mungkin, mana mungkin..."
"Maafkan saya, Hinata-san..."
"Ayah, Ibu, ayo katakan sesuatu dong..." pintanya memelas, berharap sekuat tenaga kalau semua ini hanyalah kebohongan belaka. Dia berdiri dan mendekati ayahnya, kemudian mencengkeram baju pria itu. "Ayah, tolong bilang sesuatu padaku...! Katakan kalau semua ini cuma bohong...!"
Tapi mata ayahnya hanya memancarkan kesedihan dan sesal yang mendalam, dan ketiadaan suara maupun perkataan ini sudah cukup bagi Hinata sebagai jawaban atas pertanyaannya. Tanpa diundang, air yang hangat menetes dari dua matanya, mengalir turun melewati pipinya yang mulus sampai akhirnya jatuh dari dagunya.
"Kumohon... katakan kalau ini bohong..."
Semuanya berubah. Seluruh kehidupannya luruh begitu saja.
•••
Ya, keluarganya memang kaya, itu bukanlah rahasia. Marga Hyuuga sudah terkenal di seantero dunia sebagai nama pemilik perusahaan marketing dengan puluhan cabang di dalam maupun luar negeri. Hinata tidak perlu menjadi seorang jenius untuk mengetahui kalau dengan uang sebanyak itu, dia mampu membeli apapun yang dia mau. Tapi dia bukanlah manusia seperti itu, dia bukanlah orang yang bisa dibutakan oleh harta sehingga mau saja diperbudak oleh kekayaan duniawi semata.
Tapi sekarang dia tak kuasa untuk tidak berharap, bahwa bisakah uang ayahnya menolong dirinya? Sayang, dia tahu bahwa jawabannya adalah tidak, sebesar apapun dia menginginkannya. Dirinya kini berbaring dalam kamar perawatan tanpa daya, mengetahui kalau dalam tubuhnya sebuah penyakit ganas tak berbelas kasihan menggerogotinya perlahan-lahan layaknya belatung di daging busuk.
Gadis itu tidak langsung menyerah, dia tak boleh langsung putus harapan seakan-akan takdirnya hanyalah tinggal kematian. Tapi seberapapun inginnya dia, sang dokter tak bisa memberikan jaminan apapun, apalagi karena kanker Hinata adalah kanker ganas yang sudah sering terbukti tak dapat disembuhkan. Tapi pria berjubah putih itu berjanji, akan berusaha sebisa mungkin untuk menyembuhkannya.
Tapi bagaimana kalau itu memang takdirnya...?
•••
Satu tahun telah berlalu, dan tak ada tanda apapun yang mengindikasikan kalau Hinata akan sembuh. Satu tahun dia menjalani perawatan, kemoterapi telah tak terhitung menerpa tubuhnya, serta berbagai obat-obatan telah ditelan melewati tenggorokannya. Sayang, Tuhan masih belum berkenan untuk memberinya kesehatan.
Bahkan, hari ini dia mengetahui kabar yang malah semakin menghancurkan hatinya.
"Semua yang kita lakukan telah gagal, kanker di jantung putri Anda sama sekali tidak merespon pada semua terapi yang telah dilakukan..."
"Lalu? Apa yang akan terjadi pada Hinata?!"
Dia mendengar ini secara tidak sengaja, yang mungkin juga merupakan kesalahan mereka karena berbicara tepat di luar pintu kamarnya. Jam 12 di tengah malam bukanlah jamiman kalau dia sudah tidur nyenyak. Apalagi sekarang setelah mendengar namanya disebut-sebut, niatnya yang semula bertujuan untuk tidur kini berubah menjadi mencuri dengar percakapan apapun yang tengah berlangsung antara sang dokter dan ayahnya.
"Satu-satunya cara sekarang, hanyalah mencari jantung cangkokan yang bisa diberikan pada Hinata-san. Tapi..."
"Tapi apa?!" Hiashi memotong dengan sebuah raungan, terdengar marah padahal menyimpan kecemasan terbesar yang pernah dia alami sepanjang hidupnya. "Kalau kau butuh uang, bilang saja! Berapapun aku pasti akan bayar!"
"Ini bukan tentang uang. Masalahnya, kami masih sama sekali tidak bisa menemukan jantung yang cocok dengan gen Hinata-san..." dokter itu menjelaskan dengan sabar. "Jika kita asal mencari saja, dan ternyata tidak cocok, maka tubuh putri Anda akan melakukan reaksi penolakan yang sangat besar kemungkinan berujung pada kematian..."
"Jadi kita bisa apa?"
"Saya sudah melakukan kontak dengan berbagai rumah sakit baik di dalam maupun luar negeri," dokter itu kembali berkata, tapi ekspresi wajahnya kuyu. "Kita hanya bisa berdoa, semoga jantung itu bisa ditemukan sebelum waktunya tiba..."
"Waktu...?" suara Hiashi tertinggal bisikan. "Waktu apa, dokter...?"
Saat menjawab, dokter itu terlihat ikut sedih.
"Jika kita tak bisa menemukan organ itu dalam satu bulan, maka tak ada pilihan selain mengucapkan selamat tinggal pada Hinata-san..." dia berhenti sebentar, menelan ludah untuk menguatkan hatinya. "Untuk selamanya."
Di balik pintu, seorang gadis berambut biru panjang menekap mulutnya agar tidak menjerit. Diam-diam, air matanya kembali menetes.
•••
Seperti dulu, kalau soal romance dan angst hamba memang nggak suka chapter yang terlalu panjang. Sebab hamba ingin kalimat yang padat makna dan penuh arti, bukannya kata-kata panjang dan bertele-tele ala telenovela atau sinetron.
Inginkah kalian membaca lanjutannya? Apakah anda sekalian mempunyai pertanyaan, keluhan, dan kritik? Hamba menerima semuanya, dan pasti akan dijawab dengan sebaik-baiknya. Cepat atau tidaknya chapter berikutnya diposting tergantung pada Anda semua (dan otak hamba juga sih, tentunya).
Naruto baru akan masuk di chapter berikutnya, lho!
Ja, matta ne!
