"Kakek, kenapa kakek memberiku nama 'Tsunade'?" Tanya seorang gadis kecil pada kakeknya di sela-sela permainan kartu mereka.
Sang kakek tersentak mendapat pertanyaan seperti itu dari sang cucu. Tapi, dia berusaha menyembunyikan keterkejutannya dari mata si cucu di balik kartu-kartu yang kini di hadapannya, lalu memikirkan cara bagaimana menjawab pertanyaan gadis kecil itu.
"Kakek dengar aku?!" Tuntut si cucu.
Sang kakek—meskipun lebih pantas disebut 'pria paru baya'—itu, meletakkan kartu-kartunya lalu menatap sang cucu penuh arti.
"Bagaimana ya?" Jawab pria itu terkekeh kikuk sambil menggaruk belakang kepalanya.
"Kakek, ayolah!" Desak si gadis kecil sambil menarik-narik ujung yukata pria itu.
.
.
.
.
POISONOUS CONNECTION
Chapter 1 : Perdamaian
Disclaimer : Naruto dan segala antek-anteknya adalah milik MK-sensei. Sementara ceritanya adalah murni saya punya.^^
HAPPY READING!
.
.
.
.
"Ayah, a-ku t-akut kakak nanti...," isak gadis itu.
Sang ayah menunduk menatap putrinya yang sedang mengusap kedua matanya yang basah dengan ujung lengan bajunya.
"Tsunade," panggil sang ayah sambil mendaratkan tangannya di kepala gadis kecil yang dipanggil Tsunade itu. Si gadis kecil menghentikan isakannya lalu mengangkat wajahnya menghadap sang ayah.
"Kedua kakakmu adalah anak yang hebat!" Ujar sang ayah. "Kau sudah lihat bagaimana kemampuan kedua anikimu saat berlatih, kan?"
Tsunade mengangguk dengan polos. Sang ayah tersenyum menyadari isakan gadis kecilnya ini berkurang.
"Percayalah, kedua anikimu akan menjadi pahlawan klan Uchiha," ujar sang ayah yang sekarang mengusap kepala Tsunade sambil tersenyum cerah padanya.
Melihat senyuman sang ayah yang sangat ia sayangi, Tsunade pun turut tersenyum. Lalu, dari dalam muncullah si ibu.
"Suamiku, bawalah ini. Buatan ibuku," kata sang ibu sambil mengulurkan sebuah kotak kayu kecil.
"Salep luka?"
"Ya! Karena..., mungkin saja mereka nanti membutuhkannya," tanggap sang ibu sambil menoleh ke dalam rumah di mana kedua putranya baru saja keluar dengan menggunakan baju armor pertama mereka. Sang ibu menatap kedua putranya yang akan menghadapi perang pertama mereka itu dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Tak usah risau. Aku akan melindungi mereka," ucap sang ayah dengan mantab.
Sang ibu menoleh sambil tersenyum paksa, "Aku tahu kau akan begitu."
"Nana!" Panggil salah satu dari dua anak laki-laki itu. Tsunade menoleh pada kedua kakaknya yang kini benar-benar tampak gagah.
"KAKAK!" Teriak Tsunade sambil melempar dirinya pada tubuh kedua kakaknya. Matanya yang semula mulai mengering kini harus subur lagi oleh air mata.
"Aduh, jangan menangis!"
"Iya, sudah kami katakan kalau sebagai anggota klan Uchiha kau harus kuat!"
Tsunade tak menjawab. Ia lebih suka melampiaskan ketakutannya dengan memeluk kedua kakaknya semakin erat sambil sesenggukan. Karena, bayang-bayang bagaimana penguburan anak seusia kakaknya yang mati berperang selalu menggema di otaknya.
"Kau jangan takut, Nana! Kedua anikimu yang kuat ini akan baik-baik saja!"
"Justru ini adalah hal yang selama ini kami tunggu-tunggu, jadi seharusnya kau mendukung kami."
"B-begitu, ya?" Sahut Tsunade sesenggukan sambil melepaskan pelukannya.
"Ya! Jadi, jangan menangis, tersenyumlah!"
"Dan kami akan mengalahkan musuh demi Uchiha, juga demi adik tersayang kami, yaitu Nana!"
Tsunade tersenyum melihat kedua kakaknya begitu bersemangat. Tak terkecuali sang ayah yang begitu bangga dengan hasil didikannya pada kedua putranya ini.
"Kalau begitu, kami berangkat dulu," pamit sang ayah yang kemudian melengang meninggalkan gerbang rumah diikuti dua putranya.
"DAH, NANA!" Lambai salah seorang di antara mereka.
"SEMANGAT KAKAK!" Teriak Tsunade membalas lambaian itu.
Selanjutnya, ketiga sosok itu pun semakin menjauh hingga hilang di tikungan gerbang rumah.
Tsunade menurunkan tangannya dan mendadak merasa kesepian, terutama saat kedua kakaknya telah lenyap dari pandangannya kini. Dia menatap gerbang dengan pandangan kosong. Dan perlahan namun pasti, guratan kesedihan kembali terukir di wajahnya. Pikiran mengerikan itu muncul kembali.
Bagaimana jika kedua kakaknya meninggal? Bagaimana jika beberapa jam kemudian, dia akan menghadiri upacara pemakaman kedua kakaknya? Atau mungkin ayahnya? Atau mungkin juga semuanya? Lalu, segala pertanyaan itu langsung saja buyar saat sebuah tangan yang lembut mendarat di bahu kanannya.
"Ibu?"
"Ayo masuk!" Ajak ibunya sambil tersenyum. Sebuah senyuman yang sebenarnya untuk menutupi kekhawatiran agar gadis kecilnya ini tidak khawatir lagi.
Tsunade terdiam sesaat menatap senyuman ibunya.
"Ibu...apa ibu tidak khawatir?" Tanya Tsunade dengan polos.
Senyuman sang ibu lenyap dan berubah menjadi tatapan sendu. Wanita paru baya itu menunduk, lalu meletakkan tangan kirinya pada kepala sang anak.
"Bagaimana pun kita tetap harus berdo'a, Tsunade...," ujar sang ibu sambil memandang ke depan.
Tsunade menunduk lesu. "Aku benci perang...," celetuknya.
Sang ibu terkejut dengan ucapan putrinya. Lalu, perlahan tatapan matanya melembut dan ia pun tersenyum.
"Kalau begitu, lebih baik kau masuk ke dalam, karena aku akan membuatkan ocha kesukaanmu! Setelah meminumnya kau pasti akan merasa tenang," seru sang ibu mencoba mengajak agar putrinya itu tersenyum.
"Baiklah," sahut Tsunade dengan lemas.
Tsunade berjalan menuju kamarnya, menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur, merebahkan diri, memandang langit-langit kamar dengan pandangan kosongnya. 'Hmm..., kira-kira apa yang kakak-kakakku lakukan sekarang?'
Terbayang bagaimana kedua kakaknya menebas musuh dengan lincahnya, lalu mengeluarkan jutsu katon yang sudah lama mereka kuasai. 'Mereka pasti sagat hebat!'
Tapi, bagaimana jika ada musuh yang melukai mereka? Bagaimana jika ada musuh yang tiba-tiba menebas mereka? Bagaimana jika mereka akhirnya meninggal? Karena bagaimana pun, kedua kakaknya masih tergolong anak-anak. 'Ya Tuhan, lindungilah keluargaku!' batin Tsunade sedih.
"Tsunade! Ini ochamu!" Teriak ibunya sambil mengetuk pintu kamar.
"Ya, ibu!" Tsunade bangkit lalu membuka pintu kamarnya.
"Aromanya harum, kan? Ibu baru saja menambahkan aroma melati, lho!" Ujar sang ibu.
"Iya," sahut Tsunade.
Sang ibu menunduk memandang wajah putrinya yang masih saja tampak mendung itu.
"Tsunade," panggil si ibu dengan lirih, lalu menekuk lututnya hingga wajahnya sejajar dengan wajah Tsunade. Tangannya yang lembut menyapu pipi anak gadisnya itu.
"Ibu tahu persaanmu. Ibu paham perasaanmu. Karena, ibu sekarang juga merasakannya. Tapi, selalu mengkhawatirkan seperti ini tidak akan membantu mereka. Karena itu, kau harus percaya pada mereka, ya?"
Tsunade mengangkat muka.
"Lagipula, kau sudah dengar kalau ayahmu akan melindungi mereka berdua, kan?"
Tsunade mengangguk pelan, lalu sang ibu pun tersenyum.
"Sekarang minumlah ocha spesial ini, lalu tidurlah," ujar sang ibu sambil mengulurkan ocha hangat itu pada Tsunade.
"Karena, saat kau bangun nanti, kau akan mendengar teriakan kedua kakakmu yang membawa kemenangan."
"Sungguh?"
"Iya."
Tsunade kembali menundukkan kepala, memandangi ocha yang mengepul di tangan mungilnya itu. Dia harus percaya pada mereka bahwa mereka pasti menang. 'Kedua kakakku adalah orang hebat! Mereka pasti menang!' Batin Tsunade.
Tsunade pun menghirup ocha itu. Enak sekali! Dan perlahan, kekhawatirannya mulai memudar. Ocha buatan ibunya memang selalu enak juga unik. Ibunya itu memang orang yang pandai meracik apapun.
Tsunade menenggak habis ocha itu.
"Nah, karena sudah habis, lebih baik kau istirahat agar tenang, ya!" Ujar sang ibu sambil menutup pintu kamar Tsunade yang mengangguk ringan.
Tsunade menghela napas begitu pintu kamarnya tertutup. Dia membalikkan badan lalu menjatuhkan diri di tempat tidur lagi. Dia mencoba tidur, tapi matanya sulit sekali dipejamkan. Di saat sendirian seperti ini, bayangan kematian kedua kakaknya selalu berkelebatan dalam pikirannya. Guratan ketakutan kembali terbentuk di wajahnya.
Mendadak, sebuah ide melintas di pikirannya. Dengan segera, Tsunade bangkit dari tempat tidur, mengendap-endap keluar kamar, melewati ruangan tempat ibunya masih berkutat dengan alat-alat makan yang kotor, dan berhasil keluar rumah.
Tsunade sekarang berjalan melewati rumah-rumah warga yang mana di dalamnya kini hanya tinggal perempuan dan anak-anak kecil saja. Tsunade berlari semakin kencang menuju gerbang pemukiman klan Uchiha. Namun, ia berhenti saat mendengar keramaian dari jalan di sebelah kirinya.
Dia mendekati keramaian itu dengan bersembunyi di balik semak-semak dan terkejut menemukan banyaknya para laki-laki dewasa maupun yang masih anak-anak seumuran dengan kedua kakaknya berbaris dengan rapi di lapangan yang biasanya digunakan sebagai tempat latihan anggota klan. Jadi, sebelum berangkat perang mereka berkumpul dulu di sini rupanya.
"HARI INI, KEMENANGAN AKAN MENJADI MILIK KITA!" Seru pemimpin klan yang Tsunade ketahui bernama Tajima Uchiha.
Teriakan sang pemimpin pun di sambut dengan sorakan riuh para prajurit. Tsunade menelan ludah sambil menjulur-julurkan kepala mencoba mencari sosok kedua kakaknya juga ayahnya. Tidak ketemu, terlalu banyak orang!
Tsunade menghela napas. Dan mendadak, barisan yang sangat banyak itu membubarkan diri meninggalkan lapangan.
'Apakah mereka akan berangkat sekarang?' Batin Tsunade risau.
Gerombolan besar itu meninggalkan lapangan bersama-sama dan terlihatlah kedua kakaknya itu berjalan beriringan dengan ayah mereka. Tanpa sadar, Tsunade berteriak memanggil kedua kakaknya.
"KAKAK!" Teriaknya. Semua orang yang ada di lapangan itu sontak saja menolehkan kepala menatap Tsunade dengan heran luar biasa.
"Tsunade! Sedang apa kau di sini?!" Seru sang ayah terkejut mendapati putrinya muncul dari balik semak-semak.
Namun, Tsunade tak menjawab pertanyaan sang ayah dan sekali lagi ia melemparkan diri dalam tubuh kedua anikinya.
"Eh, Nana...,"
"Maafkan aku, tapi aku takut jika kalian—."
"HENTIKAN, TSUNADE!" Gertak sang ayah. "Sekarang kami akan berperang. Jadi, kembalilah ke rumah dan temani ibumu."
Terkejut dengan gertakan ayahnya, Tsunade melepas pelukannya lantas berjalan mundur langkah demi langkah. Dia sempat memandang kedua kakaknya yang menatapnya dengan tatapan minta maaf karena tak berdaya melawan kehendak ayahnya, dan dengan sebuah tetesan air mata yang mengalir, Tsunade berlari meninggalkan lapangan itu.
Tidak. Tsunade tidak sepenuhnya meninggalkan lapangan itu. Tapi, ia bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Karena, ia sudah bertekad akan menjalankan ide yang ia temukan di kamarnya tadi.
Tsunade menbuntuti gerombolan itu dengan bersembunyi di balik pohon demi pohon tanpa para prajurit itu sadari dengan jantung berdegub kencang.
Gerombolan prajurit Uchiha melalui jalur hutan yang tak pernah Tsunade ketahui. Dan sekarang, Tsunade tidak tahu lagi jalur mana yang akan membawanya kembali dari medan pertempuran nanti, karena ia betul-betul asing dengan jalur hutan yang satu ini. Satu-satunya jalan adalah menunggu pertempuran selesai, lalu mengikuti anggota klannya pulang.
Sekarang, pepohonan tampak semakin jarang, dan di depannya tampak sebuah lapangan yang membentang amat luas. Tsunade segera bersembunyi di balik pohon dan menyaksikan bagaimana prajurit klannya berbaris dengan bendera klan Uchiha yang berkibar gagah di barisan paling depan.
Tsunade menjurkan leher. Dia bisa melihat pasukan musuh di sisi lain lapangan. Bendera bergambar lambang melintang dengan lengkungan-lengkungan menancap tegap di hadapan mereka, seolah menantang klan Uchiha.
Dan entah mengapa, Tsunade merasakan aura yang aneh menguar di lapangan ini. Aura kebencian dan hasrat untuk membunuh—meskipun ia tidak bisa melihat ekspresi para prajurit Uchiha yang membelakanginya, apalagi ekspresi para prajurit musuh yang tentu tak kelihatan karena jauhnya.
Tsunade menelan ludah. Ketakutan. 'Kakak...ayah...,' rintihnya dalam hati.
Tsunade tersentak saat terdengar bunyi tiupan terompet yang kemudian di sahuti dengan gema teriakan para prajurit perang.
"SERAAAANG!"
"AYO SERAAANG!"
Tsunade terkejut. Dua kubu itu saling menyerbu, saling menusuk, saling menebas, saling memenggal, saling menunjukkan jutsu, dan itu semua dilakukan dengan kilatan mata penuh kebencian. Tsunade bergetar. Matanya melebar ngeri. Perlahan, Tsunade melorot hingga berjongkok memunggungi pemandangan itu di balik pohon dengan kedua mata berlinang.
"Kakak...ayah...," rintihnya sambil menangis, sementara di balik pohon tempatnya sembunyi teriakan kesakitan begitu memekakan telinga.
"Kakak...hiks! Ayah..., hiks!"
WHUSH! DAK!
Mendadak, sebuah shuriken melesat dan menancap tepat hanya berjarak beberapa mili dari telinga kanannya. Tsunade terkejut luar biasa. Dia mengalihkan pandangannya, menatap shuriken itu dengan kengerian luar biasa.
Tsunade benar-benar terduduk sekarang. Lemas. Jantungnya menggebu. Nafasnya tak terkendali. Kedua matanya melotot ngeri pada shuriken itu. Sementara itu, air matanya berhenti mengalir saking terkejutnya.
"T-tidak...,"rintihnya perlahan.
"Siapa itu?!" Teriak sesosok yang berlari kearahnya. Tsunade ketakutan dengan sosok itu. Dia semakin meringkuk sambil membekap mulutnya dengan kedua tangannya yang bergetar agar ia tidak bersuara. Tapi, entah mengapa itu sangat sulit ia lakukan.
Suara gerakan itu semakin jelas dan cepat. Nafas Tsunade pun memburu. 'Apakah aku akan mati di sini?' pikirnya ketakutan. Dahinya sekarang berkilat karena keringat.
"P-pergi! A-aku t-tidak m-mau ma-ti! Ja-ngan bunuh a-ku!" Teriak Tsunade menahan tangis. Dipejamkannya kedua matanya erat-erat. Kedua tangannya kini memeluk lututnya dengan kepala meringkuk.
Mendadak, suara gerakan itu berhenti, menandakan sosok itu berhenti mendekat. Tsunade mengangkat kepalanya sedikit, menatap was-was ke depan.
"Siapa kau?" Tanya suara itu lagi.
Tsunade kembali tekejut mendengar langkah sosok itu terdengar kembali dan semakin jelas.
"K-kubilang, pergi!" Teriak Tsunade lemah karena sekarang tenggorokannya terasa sakit karena saking berdebarnya.
Dan detik berikutnya, Tsunade tertegun melihat seorang anak laki-laki yang sedikit lebih tua dari kedua kakaknya muncul dari balik pohon di hadapannya. Potongan rambutnya lurus seperti batok kelapa. Kulitnya agak coklat dan wajahnya terlihat ramah jika tidak dalam kondisi seperti ini.
Namun, Tsunade semakin ketakutan saat melihat lambang klan yang bukan lambang Uchiha terikat di kepala anak laki-laki itu. Lambang melintang dengan lengkungan-lengkungan. Lambang musuh. Anak itu juga membawa sebuah pedang di tangan kanannya.
Dan anak itu sekarang menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya.
Jantung Tsunade seperti mau keluar sekarang. Dan dengan keadaannya yang terpojok sekarang, ia tidak bisa lari. Lalu, ia ingat perkataan kakaknya bahwa sebagai anggota klan Uchiha, dia harus berani.
"P-PERGI KATAKU, MUSUH!" Teriak Tsunade lantang.
"Eh? Er...tenanglah!" Ujar anak laki-laki itu dengan kikuk. "Aku hanya ingin mengambil kembali shurikenku, kok!"
Tsunade membelalakan mata. Nada bicara anak laki-laki di hadapannya itu seperti sedang bicara dengan bukan musuh.
"Apa?" Gumam Tsunade sambil menatap tak percaya anak di hadapannya itu. Tsunade menatap shuriken yang menancap di batang pohon beberapa mili di atasnya, lalu menatap anak laki-laki itu. 'Itu miliknya, ya?'
"K-kau BERBOHONG!" Teriak Tsunade. Anak laki-laki itu membelalakan mata.
"Begitu kau memegang shurikenmu, kau akan melemparkannya padaku dan aku akan mati!" Seru Tsunade yang sekarang berdiri. Dia mencabut shuriken itu dan mengambil posisi siap melemparkannya pada bocah itu.
"Kau dari Uchiha, ya?" ujar anak laki-laki itu mengabaikan ucapan juga tindakan Tsunade.
"Kau—," Tsunade ingin menyebut nama klan anak itu. Tapi, sayangnya dia lupa nama klan lambang di dahinya itu.
"Aku tidak akan membunuh anak yang—sebenarnya—tidak membawa senjata, apalagi anak perempuan," ujar anak laki-laki itu sambil menatap sekeliling dengan cepat. "Lagipula, klanmu tidak mungkin mengirim anak perempuan ikut perang, kan?"
Tsunade diam. Apakah anak itu sedang menghinanya? Dan...kenapa dia selalu melihat sekeliling? Apa dia memastikan tidak ada orang yang akan melihatnya terbunuh?
"Kemarikan shurikenku," ujar anak itu sambil mengulurukan tangannya dengan lembut.
"Tidak!" Sahut Tsunade.
"Aku paham sikap waspadamu. Tapi, kumohon...," pintanya.
Tsunade terkejut. Seingatnya ayahnya pernah berkata bahwa apapun yang terjadi jangan pernah berlutut memohon di hadapan musuh.
"Itu shuriken kesayangan mendiang adikku," ujarnya.
'Mendiang'?
"Adikmu...mati?" Gumam Tsunade.
"Ya. Karena itulah aku benci perang," ujar bocah itu sambil memandang arena perang dengan tajam. Tsunade tercegang. Anak di depannya ini benci perang...sama sepertinya...
"Dan aku hanya ingin perdamaian," tambahnya.
"Tapi, sekarang kau berperang!" Tuntut Tsunade.
"Itu karena aku mencari temanku."
"Temanmu?"
"Dia seorang Uchiha sama sepertimu."
"Sama seperti...ku?" Gumam Tsunade.
Mendadak terdengar deru mengerikan yang disusul teriakan yang menyayat telinga.
"Apa itu?!" Seru Tsunade ketakutan sambil melompat mendekati anak laki-laki itu.
"Itu elemen api...," gumam bocah itu. "Dan aku rasa itu adalah dia..."
"'Dia' siapa?" Celetuk Tsunade ketakutan.
"Temanku. Dia bernama...AWAS!"
SET! SET! SET!
TRING ! TRING! TRING!
"Aduh!" Keluh Tsunade karena punggungnya baru saja menghantam tanah.
Tsunade terkejut saat ada tiga buah shuriken menancap di tanah di dekatnya. Dia mengangkat kepalanya. Anak laki-laki itu tadi mendorongnya agar dia tidak terkena shuriken itu rupanya. Dan sekarang ia menghunus pedangnya menghadapi seseorang yang berjarak lima meter di hadapan mereka. Orang itu—tidak, anak itu, memakai pakaian yang bentuk kerahnya sama dengan kerah Tsunade.
"Madara...," gumam anak laki-laki itu.
Tsunade tercengang. Madara? Bukankah itu putra sulung Tajima-sama sang pemimpin klan Uchiha?
"Kau berhasil menghindar dari maut, Hashirama...," ujar Madara sambil menatap tajam bocah di hadapan Tsunade yang di panggil Hashirama itu. Kedua matanya menyala, dan tampak sharingan dengan dua tomoe di sana.
Tsunade ketakutan. Mereka...berteman?
"Jadi, selama ini kau bersembunyi dari pertarungan, eh? Pengecut!" Ejek Madara.
Tsunade terkejut. Putra sulung Tajima-sama seperti ini perilakunya? Lalu, Madara menelengkan kepalanya menatap pada Tsunade yang jatuh terduduk.
"Siapa kau?!"
Tsunade sekarang benar-benar ketakutan. Sebenarnya ada perasaan lega saat di temukan orang yang satu klan dengannya, tapi saat ini dia lebih merasa ketakutan saat melihat Madara.
"Dia hanya anak yang satu klan denganmu, Madara! Aku menemukannya sedang bersembunyi di sini!" Ujar Hashirama lantang.
"Jadi diam-diam kau mau membunuhnya?"
"Apa katamu?"
"Sudah kuduga. Kau pengecut!"
"Tidak!" Teriak Tsunade tiba-tiba.
"Apa?" Desis Madara.
"D-dia tidak membunuhku, Madara-sama!"
Madara mendengus. "Kau membela musuh, anak kecil?"
Mendadak, Hashirama melempar lima buah shuriken pada Madara yang segera menangkis lima shuriken itu dengan pedangnya. Lalu—
"Mokuton no jutsu!" Teriak Hashirama sambil menautkan kedua telapak tangan dan jari-jarinya.
Tsunade terkesima. Dia melihat batang-batang kayu muncul dari tanah dan berusaha menghantam tubuh Madara. Membuat Madara menghindar dan akhirnya dia berada di lapangan, menjauh dari Tsunade.
"Sekarang pulanglah, di sini tidak aman!" Ujar Hashirama yang kemudian melesat menuju lapangan sebelum Tsunade berkata 'tunggu!' dan menghujani Madara dengan serangan kayunya yang bertubi-tubi.
Tsunade menelan ludah. Tidak percaya dengan apa yang terjadi padanya barusan. Mendadak, ia sadar dengan keberadaan benda yang sedari tadi ia genggam.
"Oh, shurikennya!" Seru Tsunade yang berdiri dan mencoba menuju lapangan. Tapi, itu tidak mungkin! Karena sekarang dua anak itu telah bertarung jauh di tengah lapangan. Tsunade menunduk memandang shuriken itu. Lalu, ia ingat ucapan anak itu...
"Ya. Karena itulah aku benci perang. Dan aku hanya ingin perdamaian."
"Perdamaian...," gumam Tsunade sambil meringkuk kembali di balik pohon besar di tepi lapangan itu, karena Tsunade tidak tahu jalan pulang.
Saat melihat shuriken itu, Tsunade tampak melupakan segala teriakan kesakitan yang meluap-luap di lapangan itu. Hingga akhirnya sebuah bunyi terompet menggema. Menandakan pertempuran telah berakhir. Tsunade terkejut. Segera saja ia simpan shuriken itu di saku bajunya dan berdiri.
Apa yang ia lihat sekarang adalah bergelimpangan mayat para prajurit yang sedang diangkut oleh keluarga masing-masing. Tsunade menelan ludah. Ia menjulur-julurkan kepalanya mencari kedua kakak juga ayahnya.
"Apa yang kau lakukan di sini, nak?!" Sapa seseorang yang menepuk pundaknya. Tsunade tersentak lalu menoleh menuju sumber suara.
"A-aku sedang mencari kakak-kakakku...," jawab Tsunade. Dia lega sekali di temukan oleh orang yang menggunakan ikat kepala lambang Uchiha di kepalanya. Wajah orang itu penuh lebam.
"Kalau begitu, ayo kita pulang! Dan...kau pasti anak perempuan, kan?" Ujar orang itu sambil menarik tangan Tsunade.
Tsunade mengangguk. Dia heran kenapa orang itu jalannya pincang, dan terkejut saat melihat darah mengucur deras dari betisnya.
"Tidak apa-apa, jangan khawatir. Peperangan selalu memberi dampak seperti ini," ujarnya riang. Tsunade menatap wajah yang tersenyum padanya itu.
"Dan Aku tidak tahu bagaimana bisa kau mengikuti kami!" Tambah orang itu sambil menatap Tsunade dengan serius.
Tsunade tersentak, "Aku hanya mencari kakak-kakakku, sungguh!"
"Siapa namamu, nak?" Tanya orang itu.
"Ts-Tsunade," jawab Tsunade malu-malu.
"Oh, Tsunade," ulang pria itu sambil menatap ke depan.
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dalam diam sementara di kanan-kiri mereka prajurit lain juga sedang pulang sambil terpincang-pincang karena luka. Tsunade menunduk. Jika mereka yang dewasa saja seperti ini keadaannya, bagaimana dengan kedua kakaknya?
TBC
.
.
.
YESS! Akhirnya, fic pertama! ^^
Nggak tahu harus bilang apa, tapi thanks udah baca, Review bagaikan obat penambah stamina buat saya! ^^
Dan nantikan ch selanjutnya ya!
