[Twoshot]
Title : He is Uchiha
By : Gatsuaki Yuuji
Chapter : 01/02
Main Cast : Uzumaki Naruto & Uchiha Sasuke
Disclaimer : All Chara punya Papi Kishi. FYI, Papi Kishi itu
Papiku.
Genre : Meibi humor
BGM : Da Ice - Hush Hush


Special for sasUKE day again (ノ˚̯́ ∇˚̯̀)ノ✧
Kayaknya gak enak banget kalo gak bikin sesuatu di tanggal kramat itu, walaupun sudah lewat.

#SasukeBirthday_NaruSasu_2015

Say 'Noprob' to late.


Uzumaki Naruto.
19 tahun.

Siswa kelas XII di SMU Kurokin, sekolah khusus laki-laki. SMU ini peringkat kedua se-Konoha. Peringkat kedua dalam katagori SMU terjelek. Jadi tidak heran, jika sebagian besar murid-muridnya terdiri dari para berandalan berwajah masa depan suram, tua, lumutan dan juga berotak dangkal.

Tapi tidak termasuk diriku dan Namikaze. Meskipun umurku baru 19 tahun, setidaknya wajahku tampan, mempesona, dan bersinar-sinar. Otakku juga pas-pasan dan tidak dangkal seperti yang lain. Aku pernah tinggal kelas 2 kali, itupun karena aku malas belajar dan aku tidak rela harus meninggalkan sekolah terkutuk itu. Lebih tepatnya aku masih ingin menikmati masa-masa di sekolah bersama Namikaze, gank yang berkuasa di SMU Kurokin.

"Kalau sampai tinggal kelas lagi, tahun depan tidak usah sekolah! Bantu papamu berjualan!", teriak wanita cantik berambut merah panjang, wanita itu mamaku.

Aku hanya mendengus mendengar omelan mama yang sama persis seperti ketika aku tidak naik kelas tahun lalu.

"Mama tidak kreatif, kalimatnya itu-itu terus!"
"Jika tidak ingin mendengar kalimat basi ini, maka cepatlah lulus sekolah! Jangan banyak tingkah!",

"Iya, iya~ Itekimasu~", dengan tidak bersemangat, aku keluar rumah sambil menjinjing tas sekolahku.

Kalau seperti ini terus, mau tidak mau, aku harus lulus sekolah. Setelah itu langsung berjualan seperti papa.

Papa menjabat sebagai direktur di perusahaan sparepart. Meskipun berpangkat direktur, papa lebih senang turun langsung ke lapangan, menawarkan produk-produk ke customer. Mama ingin aku mencontoh kegigihan papa.

Ya, semoga saja aku bisa segigih papa.


Di depan kelas XII-C, kelasku. Lebih tepatnya di lorong koridor, tampak berdiri beberapa murid laki-laki bergaya preman. Mereka siap membully adik kelas yang melintasi area mereka. Mereka menamainya jalur Gaja dan tentu saja akulah penguasa area ini.

"Wah! Ada mangsa nih!", ucap Kiba melirik seorang murid laki-laki, dari warna dasi yang dikenakannya, murid itu kelas X.

Kiba, Chouji dan Neji mulai bersiap-siap menghadang murid itu.
"Kau tidak ikut?", tanya Shikamaru yang menguap dengan lebar.
"Malas", jawabku memasuki kelas.
"Sama", Shikamaru lebih tertarik tidur di kelas daripada tebar pesona. Sedangkan aku lebih tertarik membaca manga dewasa yang dipinjami Kiba.

"Hai, bocah!", Kiba mulai menyapa murid itu.
"Tolong minggir, senpai", melalui jendela aku bisa melihat dia tersenyum ramah hendak melewati Kiba, tidak ada rasa takut di wajahnya. Model rambutnya aneh, bisa dibilang seperti pantat ayam.

Kiba mengeluarkan kegarangannya, mencengkram kerah seragam murid itu.
"Kau sunguh berani, bocah!",
"Hey! Jangan merusak penampilanku!", murid itu berhasil menepis cengkraman Kiba. Dia merapikan dasinya yang longgar.
"Sepertinya kita harus memberinya pelajaran", saran Chouji.

Kiba dan Chouji mulai merenggangkan otot, sedangkan Neji malah diam mematung memperhatikan murid itu. Entah apa yang membuatku berdiri dan menghampiri mereka.

Aku menendang meja untuk memulai aksiku.
"Jangan macam-macam, kusogaki!", aku meninggikan suaraku agar terdengar sangar.

Murid itu terpaku menatapku, bola mata oniks itu tidak bergerak sedikitpun. Dia pasti takut melihat aura kepremananku.

Kutarik kerahnya agar dia mendekat. Kuplototi dia, berharap dia terkencing di celana.

"Kau ingin menciumku, Dobe?", tanyanya dengan wajah polos.
"Ih! Najis!", langsung kudorong dia hingga menabrak meja.

Aku memeluk diriku yang merinding. Jika dia perempuan sih boleh-boleh saja, tapi dia laki-laki! Memangnya aku...

"Kau boleh menciumku, beb", tawar Neji.

Astaga! Aku baru ingat, bahwa Neji itu hombreng! Pantas saja dia diam saja dari tadi. Dan kebetulan murid itu adalah tipe Neji. Kulit putih, rambut dan bola-mata hitam seperti gadis asia. Ditambah lagi postur tubuh yang tinggi ramping dan datar.

"Tidak mau! Jiwa dan ragaku hanya untuk Dobe!", tolak murid itu angkuh.
"Siapa yang kau sebut 'Dobe'! Aku ini Namikaze Naruto! Dasar kusogaki!", makiku.

Wajah murid itu mendadak sendu.
"Kau tidak ingat padaku, Dobe?",
"Memangnya siapa kau?",
"Aku Sasuke",
"Aku tidak kenal!",
"Kalau Uchiha Itachi? Apa kau kenal?",
"Kenal",

Uchiha Itachi adalah makhluk beruntung yang berhasil mengalahkanku dan Namikaze. Aku tidak mungkin melupakan semua yang telah dia lakukan pada Namikaze!

Murid itu mendadak tersenyum lega.
"Nah! Aku Uchiha Sasuke, adik Uchiha Itachi",
"WHATS!", mataku terbelalak kaget, tidak hanya aku, tetapi semua yang mendengarkannya ikut terkejut. Kami semua tahu, siapa itu Uchiha Itachi.
"Apa kau sudah mengingatnya, Dobe?",
"Tidak mungkin bocah hombreng sepertimu itu adik Itachi!",
"Benar! Model rambutmu tidak mirip dengan Itachi!", sambung Kiba.
"Apa perlu aku memanggil Uchiha Itachi ke sini?", cibirnya menanggapi keraguan kami.

"Tidak perlu!", tolak kami kompak.

Kami tahu seberapa menakutkannya Uchiha Itachi itu kalau marah. Dan akupun tidak ingin melihatnya lagi.


- Flashback -

Kejadian 3 tahun silam, Saat itu Namikaze baru saja terbentuk. Meskipun baru, tetapi Namikaze tetap menakutkan di mata orang lain. Tapi tidak bagi Uchiha Itachi, senior kelas XII, yang pernah tinggal kelas 1 kali. Dia hanya sendirian, tapi dia mampu mengalahkan Namikaze yang terdiri dari Kiba, Chouji, dan Shikamaru. Neji saat itu belum ada.

Amarahkupun mulai memuncak melihat teman-temanku babak belur. Kami mengatur strategi untuk membalas dendam kesumat. Tetapi strategi itu tidak pernah berhasil.

Suatu hari, Dewi Fortuna sepertinya mendukung kami. Sore itu Chouji membawa seorang bocah laki-laki berkacamata kotak ke markas. Penampilan bocah itu cupu, mengenakan seragam SMP Hanamasa, SMP paling top-markotop se-Konoha, wajar saja penampilannya seperti siwa teladan alias cupu. Bocah itu bernama Uchiha Sasuke, adik kandung satu-satunya dari Uchiha Itachi.

Chouji bilang, bocah itu bisa dijadikan pelampiasan. Itu ide yang bagus!

"Berisiaplah bocah! Khukhukhu...", kami berseringai seperti serigala yang bersiap menyantap seekor domba.
"Hn?", masih dalam posisi duduk manis, Sasuke memiringkan kepalanya menatap kami satu persatu.
"Mengapa kau memasang ekspresi seperti itu!", marah Kiba karena tidak melihat ekspresi ketakutan dari wajah Sasuke.
"Lalu? Aku harus apa?", tanya Sasuke yang masih polos.
"Setidaknya kau berteriak minta tolong atau memohon pada kami", jawabku.
"O, begitu", angguknya.

"Sepertinya bocah itu 'agak-agak'", bisik Shikamaru melihat Sasuke menggaruk-garuk pelipisnya, seperti orang kebingungan.

"Ne, mengapa aku harus berteriak minta tolong atau memohon pada kalian?", tanya Sasuke lagi.

Ya, Sasuke memang agak-agak. Dia terlalu polos menjurus bodoh. Tidak tahu dunia premanisme.

Akhirnya kami memutuskan untuk menjadikan Sasuke sebagai sandera. Itachi adalah musuh kami, dan Sasuke tidak ada hubungannya walaupun dia adalah adik Itachi.

"Ne, Dobe! Ini penculikan ya? Wah! Keren! Aku tidak menyangka akan diculik!", seru Sasuke, "Ne, berapa uang yang kalian minta? Usahakan minta yang banyak ya! Karena nilaiku sangat saaaangat mahal!",

Karena dia terus berbicara, aku mengikatnya di bangku, menutup mulutnya dengan plester hitam.


Beberapa jam kemudian, Itachi datang ke markas Namikaze.

"Aniki~", panggil Sasuke seperti teraniaya, tidak ada yang menyuruhnya beracting seperti itu, ini inisiatifnya sendiri.
"Lepaskan adikku!", gertak Itachi melihat kedua tangan adik kesayangannya terikat ke belakang.
"Setelah kami puas menghajarmu", ucap Kiba.
"YEAH!", ketiga temanku berteriak bersama-sama, lalu menyerbu Itachi. Itachi pasrah menerima serangan, dia tidak membalasnya.

"Mengapa kalian memukul kakakku?", tanya Sasuke melihat kakaknya dikeroyok.
"Karena kakakmu memukul teman-temanku",
"Maafkan kakakku...hiks...hiks... Jangan pukul kakakku...", pinta Sasuke terisak, aku tidak tahu kapan dia mulai menangis?

"Dobe, tolong hentikan mereka...hiks..hiks... Aku tidak mau main penculikan lagi... Aku takut...",

Akhirnya aku luluh karena tangisannya yang memilukan itu. Aku menyuruh ketiga temanku untuk berhenti.

"Apa kalian sudah puas memukulku?", Itachi tergeletak di tanah dengan wajah babak belur.

Kulepaskan ikatan Sasuke, dengan cepat bocah itu berlari dan memeluk Itachi.
"Maafkan aku, aniki~",
"Aniki baik-baik saja, Sasu-chan", Itachi tersenyum lembut sambil menyeka air mata di pipi Sasuke.
"Tapi aniki berdarah",
"Tidak sakit kok!",

Apa dia bilang? Tidak sakit? Sombong sekali dia!

Itachi membisikkan sesuatu di telinga Sasuke. Sasuke mengangguk dan berlari meninggalkan markas.

Itachi bangkit berdiri.
"Berani sekali kalian menculik adikku. Sekarang rasakan pembalasanku, banci-banci Namikaze!", seringai Itachi mengeluarkan aura mematikan.

Meskipun dia babak belur, tapi dia masih bisa bergerak gesit. Hingga akhirnya dia berhasil merobohkan ketiga temanku dan mengalahkanku dalam duel one by one.

Cih! Dewi fortuna sudah terbang ke pihaknya!

"Jika kalian membenciku, maka lawan aku secara jantan. Jangan pernah melibatkan adikku. Memanfaatkan adikku adalah cara terbanci yang pernah kuhadapi",

- Flashback End -


Sudah seminggu lebih, Sasuke mengejarku. Apapun dilakukannya untuk menarik perhatianku. Sayangnya, aku tidak terpancing, karena aku masih lurus.

"Aku iri padamu", curhat Neji yang merasa tidak dilirik oleh Sasuke.
"Neji, tolong buat bocah itu jatuh cinta padamu~", pintaku yang merasa tersiksa atas PDKT yang dilakukan Sasuke.
"Aku tidak bisa. Dia bilang jiwa dan raganya hanya untuk Dobe. Dan kau adalah Dobe yang dimaksudnya",

Jujur, aku tidak tahu mengapa Sasuke begitu tergila-gila pada laki-laki tampan sepertiku? Seharusnya dia membenciku karena kejadian 3 tahun yang lalu.


Di markas Namikaze, sebuah gudang yang tidak terpakai.

"Perkenalkan! Anggota baru Namikaze!", Neji tersenyum memperkenalkan sosok yang dibawanya itu.
"Hai! Aku Sasuke!", sapa sosok itu tersenyum manis.

Dengan cepat aku menyeret Neji menjauh.
"Mengapa kau membawa bocah itu ke sini?", bisikku gregetan.
"Aku ingin dekat dengannya, tolong bantu aku untuk PDKT", Neji mengatupkan kedua tangannya, meminta bantuanku.

Akhirnya aku menyetujui Sasuke untuk bergabung, semua kulakukan untuk Neji. Semoga saja bocah itu berpindah ke lain hati.


Tapi ternyata aku salah. Dia semakin berani mendekatiku, merayuku dengan gombalan basi. Aku bisa melihat raut sedih di wajah Neji, meskipun dia memaksakan diri untuk tersenyum.

"Kurasa aku menyerah~", Neji meneguk habis sakenya.

Usaha PDKTnya gagal, Sasuke sama sekali tidak tertarik padanya. Terang-terangan Sasuke menganggap Neji sebagai temannya. Bagi Neji, itu terlalu menyakitkan daripada dianggap kakak.

"Lalu? Bagaimana denganku? Apa kau tega melihatku tersiksa olehnya?", raungku.
"Dia serius. Kaupun juga harus serius",
"Aku serius tidak menyukainya. Aku masih lurus, Neji!",
"Membelok juga tidak apa-apa. Kau tetap temanku...ehehehe...", Neji mulai mabuk.
"Come on, Neji~",
"Bahagiakan Sasuke-ku, OK bro?", Neji menepuk pundakku, lalu melenggang pergi meninggalkanku.


Jam istirahat.
Di taman belakang sekolah.

"Mengapa kau menyukaiku?",
"Karena... Mmmm~ Apa ya?", Sasuke sedang berpikir keras sejenak, "Tidak tahu",
"Lalu mengapa kau bisa menyukaiku, sedangkan kau tidak tahu alasannya?",
"Entahlah! Mungkin aku telah dipelet olehmu",

Melihat cengirannya, membuatku ingin menggeplak kepalanya.

"Sejak kapan kau menyukaiku?",
"Saat kau hadir dalam mimpi basahku. Aku merasa kau adalah jodohku di masa depan",

Aku mulai melayangkan tanganku ke kepalanya, tapi dengan cepat Shikamaru, Kiba dan Chouji mencegahku. Aku tidak tahu, kapan mereka datang?

"Dia Uchiha", bisik Shikamaru, memperingatkanku bahwa orang yang akan kupukul itu seorang Uchiha.

"Tidak apa-apa kok, kalau kau mau memukulku. Memang selalu ada KDRT dalam menjalankan hubungan", jelas Sasuke dengan gaya istri yang teraniaya.
"Pukul saja dia!", ketiga temanku mendukungku untuk memukul bocah ini.

Dengan senang hati, aku menghajarnya hingga babak belur.


Sepulang dari markas menuju rumah, aku merasa ada yang mengikutiku. Saat aku menoleh ke belakang, aku melihat orang yang tidak ingin kulihat.

"Mau apa lagi, kusogaki!",
"Aku tidak bisa pulang dengan kondisi seperti ini", lirih Sasuke menunjukkan wajah sendunya yang dihiasi lebam di bawah mata kiri, pelipis kiri dan bibirnya yang sobek.
"Kau bisa menginap di tempat Neji",
"Aku tidak ingin memberi harapan palsu pada Neji",
"Itu masalahmu!", aku berlari meninggalkannya.


Malam harinya, sebelum tidur aku malah kepikiran dengan nasib bocah itu. Bagaimana jika dia nekat pulang dengan kondisi babak belur? Bagaimana jika dia mengadu pada Itachi? Bisa-bisa Itachi mengamuk pada Namikaze. Padahal teman-temanku tidak ikut memukulnya, hanya aku yang memukulnya.

"Cih! Kusogaki!",

Dengan cepat aku berlari keluar mencari Sasuke.


Aku menumukan Sasuke di tempat tadi kami bertemu. Dia sedang terbaring tidur beralas karton, persis seperti gelandangan.

"Oi, kusogaki!", kutendang kakinya yang menekuk.
"Hn?", matanya mulai membuka sayu-sayu.
"Ikut aku!", kutarik kerah seragamnya, seperti mencubit punggung anak kucing.
"Kau mau membawaku kemana?",
"Ke rumahku",
"Kau ingin memperkenalkanku pada orang tuamu?",

Kugeplak kepalanya.
"Berhenti berpikir di luar jangkauan!",
"Aku hanya mengutarakan apa yang ada di pikiranku",
"Ada baiknya kalau kau diam",
"Kau suka kalau aku diam?",
"Hn! Sangat suka sekali!",
"Baiklah! Aku akan mencoba diam. Silent is gold, betul kan Dobe?",

Aku berani taruhan, bahwa dia tidak akan bisa diam.


Sesampainya di rumah.
Mama terkejut melihat wajah babak belur Sasuke. Mama langsung mengambil kotak P3K di dapur, lalu mengobati luka lebam Sasuke.

"Siapa yang memukulmu?",
"Do..",
"Seorang preman tak dikenal!", selaku. Aku memberi isyarat pada Sasuke agar menutup mulutnya.
"Ah! Silent is gold!", serunya.
"Ng?", mama tidak mengerti maksudnya.
"Silent is gold kan, okaasan?",

Berani sekali dia memanggil mamaku seperti itu?

"O, itu pepatah zaman dulu, tidak berlaku di keluarga ini",
"Lalu apa?", tanya Sasuke ingin tahu.
"Rajin pangkal pandai. Tidak pandai itu karena tidak rajin. Bukan karena bakat, keturunan ataupun makanan", mama melirik ke arahku, aku tahu mama sedang menyindirku.


Setelah mengobati lukanya, aku mengajak Sasuke ke kamar.

"Mamamu cantik, tapi aku lebih tertarik padamu", perkataan Sasuke itu membuatku membanting tubuhnya ke lantai.
"Perbaiki kata-katamu itu, kusogaki!",
"Mamamu cantik dan baik, aku beruntung punya ibu mertua seperti itu",

Kupijak perutnya dengan kesal.
"Apa aku salah lagi?",
"Kau selalu salah!",
"Hn! Aku tahu. Uke selalu salah di mata seme",
"Apa maksudmu uke seme?",
"Kau seme, aku uke",
"Aku tidak mengerti",
"Kau bisa googling",

Pasti hal itu berbau hombreng.

Kulempar bantal dan selimut ke wajahnya.
"Kau tidur di bawah!",
"Tidak ada alas?",
"Oyasumi!", aku langsung mematikan lampu kamar.
"Hn! Oyasumi. Mimpikan aku ya, karena aku juga akan memimpikanmu",
"Ih! Najis!",


Aku tidak bisa tidur. Di dalam pikiranku terus bergentayangan 2 kata itu, seme uke.

Akhirnya aku menyambar ponselku dari meja dan mulai menggoogling.

Terlusuri, lalu baca dan pahami artinya. Bayangi...

"Watdepak!",


Keesokan pagi harinya.

Sasuke telah bangun lebih awal dariku. Dia membantu mama menyiapkan sarapan. Dia terlihat cantik mengenakan apron bermotif bunga-bunga itu.

"Kau terpesona?", bisik Sasuke agar mama tidak mendengar.
"Kau seperti banci",

Sasuke terjongkok di sudut ruangan.

"Waktunya sarapan. Sasu-chan, ayo!", panggil mama.

Sasuke secepat kilat mengambil posisi duduk di samping mama, tempat duduk papa. Seminggu ini, papa sedang dinas ke luar kota.

"Enak", gumanku pada semangkuk bubur di hadapanku, rasanya berbeda dari bubur biasanya.
"Wah! Enak!", seru mama, "Tidak kusangka, ternyata Sasu-chan bisa memasak seenak ini",
"Ehehe...", Sasuke tersenyum sambil memberiku 'peace'.

Persetan dengan siapa yang membuat bubur ini, yang jelas aku lapar dan tidak akan menyia-nyiakan makanan seenak ini!


Sasuke tidak ke sekolah karena wajahnya masih lebam. Dia tidak ingin pihak sekolah menuduhnya berkelahi. Lebih baik membantu mama di rumah.

Uh! Mengapa aku malah tidak sabar ingin secepatnya pulang ke rumah?


"Tadaimai!",
"Okaeri!", sahut Sasuke tersenyum menyambutku.
"Kau seperti istri yang sedang menyambut suami saja!", dengusku.
"Apa terlihat seperti itu?",
"Hn!",

Sasuke melompat kecil. Wajahnya terlihat begitu senang.

Ck! Apa aku salah ucap, sehingga dia bisa sesenang itu?

Aku merebahkan diri di atas sofa. Dari sini aku bisa mencium aroma masakan yang wangi.
"Kau masak apa?", tanyaku.
"Sup tomat dan salmon goreng", jawab Sasuke.
"Mamaku kemana?",
"Okaasan sedang ke sebelah, melihat Yamanaka-san membuat kue",

Ck! Mama tidak ada kapok-kapoknya. Padahal mama sama sekali tidak ada bakat membuat kue. Memasak saja masih hambar.

"BTW, kapan kau akan pergi dari rumahku?",
"Kau mengusirku?", Sasuke jatuh terduduk di lantai, gaya seperti istri yang teraniaya.

Kulempar wajah jijiknya itu dengan bantal sofa.

"Apa keluargamu tidak mencarimu?",

Sasuke merayap di lantai dan meletakkan kepalanya di pangkuanku.
"Aku sudah mengabari aniki",
"Apa yang kau katakan padanya?",
"Aku baik-baik saja",
"Hanya itu?",
"Hn!",
"Lalu? Reaksi orang tuamu?",
"Orang tuaku sudah meninggal",
"O, maaf~",
"Aku hanya tinggal bersama kakek, aniki dan sekutunya",
"Sekutu? Berarti rumahmu itu ramai ya?",
"Hn! Terlalu ramai, sehingga aku tidak bisa mengenali mereka. Mereka semua sama",

Wajar saja, keluarga Uchiha adalah keluarga yakuza terbesar di Konoha. Para pengikutnya lebih dari 200.

"Kelak aku akan meninggalkan tempat itu",
"Serius?", rasanya aneh, jika cucu yakuza yang terpandang seperti Sasuke ingin meninggalkan kediaman seluas dan semegah itu?

Sasuke mengangkat kepalanya, tatapan matanya menyorot menatapku.
"Aku ingin tinggal bersamu", ucapannya itu terdengar seperti permohonan.

Bola mata kelam itu, membuatku iba.


Sudah seminggu lebih, aku tidak melihat Sasuke. Sasuke juga tidak masuk sekolah ataupun mampir ke markas. Tidak ada yang tahu, alasannya tidak masuk sekolah.

Apa aku harus ke rumahnya ya?


Akhirnya aku benar-benar ke rumahnya. Rumah kediaman Uchiha sangat luas, 3 kali lipat luasnya dari rumahku.

Saat aku menekan bell, tampak 4 orang pria sangar bertubuh gemuk tinggi mengenakan kimono hitam dan hakama putih.

"Mereka semua sama",

Iya, Sasuke benar. Wajah keempat pria sangar itu sama. Postur tubuh, pakaian dan juga model rambut cepak berwarna hitam.

"Aku ingin bertemu Uchiha Sasuke", aku mencoba tenang dan bersikap biasa-biasa, walaupun aku sedikit gugup
"Kau siapa?",
"Aku Uzumaki Naruto, temannya",
"Teman?", pria itu memicingkan matanya, menatapku dari atas sampai bawah.
"Sudah seminggu lebih dia tidak masuk sekolah. Apa dia baik-baik saja?",

"DOBE!", teriak seseorang yang kucari.

4 pria itu menoleh ke belakang, mendadak horror saat melihat Sasuke berlari terpincang-pincang menghampiri kami.
"Sasuke-sama! Kaki anda!",
"Sasuke-sama! Anda tidak boleh berlari!", mereka dengan cepat menggendong Sasuke.

"Turunkan aku! Aku mau bertemu Dobe!", mereka dengan sigap menggendong dan memasukkan Sasuke ke dalam.

Salah satu dari mereka mengarahkanku untuk masuk. Sepanjang jalan, aku berpapasan dengan orang yang berwajah sama. Ada juga yang berbeda style, tapi tetap saja aku tidak bisa mengenali mereka semuanya.


"Uh! Mereka terlalu berlebihan!", dengus Sasuke.

Sasuke mengenakan yukata berwarna biru dan hakama berwarna abu-abu, ada lambang kipas khas Uchiha di belakangnya.

"Kau cocok mengenakan itu", aku lebih menyukainya berkostum tradisional daripada mengenakan seragam sekolah.
"Kau suka?",
"Hn! Kau terlihat anggun",
"Kau beruntung memiliki uke anggun sepertiku!", ucap Sasuke dengan gaya songong khas Uchiha.

Kutarik ucapanku, dia sama sekali tidak ada anggun-anggungnya!

"Kakimu kenapa?", tanyaku melihat kaki kirinya digips.
"Jatuh dari kuda",
"Ow, kasian!", ucapku dengan nada mengejek.
"Aku senang kau menjengukku",
"Aku kebetulan lewat",
"Tidak ada yang mau lewat daerah angker ini. Kau pasti sengaja ke sini. Kau rindu padaku?",
"Ih! Najis!",
"Aku tahu kau pasti rindu padaku", Sasuke tersenyum kecil.
"Hey! Jangan berpikir yang aneh-aneh, kusogaki!",

Kami berbincang beberapa hal. Setelah tamat sekolah, Itachi langsung terjun ke dunia bisnis, mulai belajar mengenai perusahaan keluarganya, sekarang dia telah menjadi president director. Aku tidak menyangka, berandalan itu bisa sepintar ini. Aku juga tidak mau kalah darinya!

Sasuke memintaku untuk menginap, tapi kutolak dengan cepat. Aku tidak ingin bertemu dengan kakek galak dan kakaknya yang sok keren itu. Sasuke bilang dia kesepian, itu hanya alasannya. Rumah kuno seluas ini, terlihat orang asing yang berlalu lalang. Bagian luar juga tampak beberapa orang berjaga-jaga. Hanya saja, aura rumah ini terasa dingin dan membosankan. Aku jadi kasihan melihat Sasuke terkurung di rumah ini.

"Kau boleh bermain ke rumahku",
"Benarkah?",
"Em, maksudku markas, bukan rumahku ya!", ralatku.

Aku tidak ingin dia dekat dengan mamaku. Bisa-bisa mama merestuinya menjadi menantu. Iiii~ jangan sampai!

"Aku merasa nyaman dekat dengan kalian. Kalian temanku",
"Dimana teman-teman SMPmu dulu?",
"Itu...", Sasuke terkesan enggan menjawab.
"Ah! Aku mengerti", tebakku melihat ekspresi sendunya.

Dia pasti tidak punya teman. Karena mana ada yang mau berteman dengan seorang Uchiha? Menyapa saja sudah ketakutan, apa lagi mengajaknya berbicara? Mereka masih sayang nyawa.


Seorang pria jangkung berambut abu-abu dengan masker hitam menutupi mulut dan hidungnya, Kakashi-san. Ya, hanya pria inilah yang bisa kukenali dengan mudah.

Sasuke menyuruh Kakashi-san untuk mengantarku sampai ke pintu gerbang, Sasuke takut bahwa aku akan tersesat menemukan pintu keluar. Atau bisa saja aku dipukuli karena disangka penyusup.

"Terima kasih atas kunjungan anda. Sasuke-sama pasti senang sekali", Kakashi-san membungkuk hormat diikuti oleh 4 pria bertubuh besar tadi.
"Ehehehe...", cengirku.
"Semoga ini bukan kunjungan terakhir anda",
"Tentu! Aku akan datang lagi!", tegasku.


Sasuke sudah masuk sekolah, seperti biasa, dia terus mengusikku. Aku sudah biasa menanggapinya.

"Ayo dicoba, Dobe! Aku memasak ini khusus untukmu", pinta Sasuke memelas agar aku memakan bento yang dibuatnya.

Karena kasihan padanya dan juga bento itu terlihat menggoda, akhirnya aku memakannya. Dan rasanya enak, sangat berbeda dengan masakan mama.

"Kurasa mamaku harus belajar banyak darimu",
"Belajar?",
"Hn. Masakan mamaku sangat payah!",

Sasuke mendadak tidak suka dengan perkataanku. Dia marah dan mengambil jatah bentoku.
"Aku tidak suka kau menghina okaasan! Bagaimanapun juga okaasan itu mamamu!",
"Maaf, maaf, aku tidak tahu kalau kau sesensi ini", aku menarik bentoku kembali.
"Kau harus bersyukur masih punya orang tua. Jangan mengeluh",
"Hn. Maaf deh!",

Seharusnya aku lebih berhati-hati dalam berbicara.

"Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugrah, tetap...",
"Cukup! Jangan menyanyi dengan nada sumbang seperti itu!", selaku.

Suaranya tidak sebagus wajahnya.


Sasuke suka sekali main ke rumahku. Mama juga menyambutnya dengan senang hati. Mama senang bisa belajar memasak sambil berbincang-bincang dengan Sasuke.

"Akhir-akhir ini kau sering pulang cepat, ada apa?", tanya mama mencicipi brownies yang dibuatnya bersama Sasuke.
"Apa tidak boleh?", cibirku.

Kuakui, selesai pulang sekolah, aku memang langsung pulang ke rumah, biasanya aku selalu di markas hingga senja.

"Mama rasa, kau mulai berubah", mama tersenyum melirik Sasuke yang sedang mencuci peralatan kue.

Aku menarik sepiring kue yang dicicipi mama.
"Laki-laki tidak seharusnya mencuci", sindirku pada mama yang terlihat seperti ibu tiri di dongeng Cinderella.
"Laki-laki yang jago di dapur, itu baru keren. Benar kan, Sasu-chan?", mama kembeli menarik jatah kuenya.
"Hn! Aku ingin terlihat keren di hadapan Dobe!",
"Jangan mengganti namaku sesuka hatimu! Dasar, kusogaki!", protesku.
"Ow, jadi 'Dobe' yang dimaksud Sasu-chan itu Naruto ya!", mama mengangguk mengerti.

Aku penasaran dengan apa yang dibicarakan Sasuke pada mama saat aku tida ada?

"Iyup! Dobe adalah semeku!", tambah Sasuke sambil tersenyum manis. Hey! Dia tidak manis! Mmm~ Iya, dia manis...

CRiiiiNG
Sendok yang dipegang mama terlepas.

"Hee?!", jerit mama histeris.

Semoga mama menghajar dan menyeret Sasuke keluar rumah, lalu melarang Sasuke untuk datang lagi.

Tapi ternyata...
Mama malah berlari dan memeluk gemas Sasuke.

"Welcome welcome, Sasu-chan sayang!", seru mama kegirangan.

Jashin, tolong tampar aku sekarang!


"Jadi, mamamu sudah memberi lampu hijau?", tanya Shikamaru.

Aku kabur dari rumah dan menginap di tempat Shikamaru. Shikamaru adalah pemecah masalah di Namikaze. Kuharap Shikamaru bisa memberiku solusi terbaik.

Shikamaru menepuk pundakku.
"Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugrah", ucap Shikamaru, mengubah lirik lagu menjadi puisi.
"Mengapa kau memberiku solusi terburuk ini, Shika?", aku menarik-narik kaos Shikamaru, mengguncang-guncang tubuhnya dengan gregetan.
"Hanya itu yang melintas di otakku",
"Gah!",
"Percaya deh, dia uke terbaik dari uke yang pernah Neji pacari!",

Apa hubungannya?!


Sepulang sekolah, Sasuke mengikuti kami. Dia memaksa ikut bermain basket. Dengan senang hati mereka -Neji, Kiba, Shikamaru dan Chouji- menyetujuinya.

"3 on 3. Itu ide yang bagus", saran Shikamaru.
"Aku, Shika dan Chouji. 1 team", Kiba seenak perut menentukan teamnya.
"Noprop! Karena kami berdua kuat!", kurangkul pundak Neji, menghiraukan keberadaan Sasuke.
"Sebagai super uke, aku tidak akan mengecewakanmu kok, Dobe!", Sasuke ikut merangkulku.

Tanpa berdebat dengannya, kamipun memulai permainan. Tidak ada juri.

Lempar, tangkap, drible, kejar.
Sasuke berhasil melakukan shoot pertama, mencetak 3 point untuk teamku.

Lagi, dan lagi.
Sasuke tidak membiarkan kami ataupun team lawan untuk mencetak point. Dia benar-benar gesit seperti Itachi.

Tap tap tap
BRuuuuK
Sasuke tiba-tiba terjatuh.

"Aduh! Princess jatuh!", seru Kiba heboh.
"Kau kenapa?", tanyaku menghampirinya.
"Pusing kepala Sasu", Sasuke enggan mengangkat wajahnya yang menempel di lantai. Dia juga masih betah terbaring telungkup.
"Kalau kau tidak terbiasa olahraga, sebaiknya jangan ikut!", ejekku.

Sasuke mengangkat kepalanya, dagunya masih menempel di lantai. Aku bisa melihat wajahnya yang pucat dan berkeringat.

"Kepalaku pusing, Dobe~", lirihnya.
"Hayo, seme! Tanggung jawab!", Kiba menepuk bahuku.

Kiba, Shikamaru dan Chouji pergi meninggalkan kami. Mereka sama sekali tidak mau membantuku. Begitu pula dengan Neji, dia berbisik padaku agar aku menjadi Uchiha bungsu ini dengan baik.

Aku menggendong Sasuke untuk naik ke punggungku. Dia tidak seberat yang kukira.

"Kau merepotkanku, kusogaki!",
"Maaf~",
"Lain kali aku tidak akan mengajakmu main lagi",
"Mengapa? Padahal aku senang bermain dengan kalian",
"Itu kerena kau merepotkan!",
"O, begitu ya? Maaf, telah merepotkanmu",

Setelah itu, tidak terjadi percakapan di antara kami. Aku mengantarnya hingga sampai di gerbang rumahnya. Sebelum menekan bell, Sasuke turun dari punggungku. Dia tidak ingin sekutunya mengira terjadi ada apa-apa padanya.

"Kapan-kapan kami akan mengajakmu main permainan ringan. Tidak seberat basket", tawarku. Aku merasa bersalah telah mengatainya merepotkan. Padahal aku tahu, dia sama sekali tidak punya teman bermain.

"Hn. Aku senang", Sasuke tersenyum kecil, apa dia masih memikirkan ucapanku tadi?
"Mungkin besok, aku tidak masuk sekolah", ucapnya.
"Kau ingin membolos?",
"2 atau 3 hari, atau bisa jadi seminggu", jawabannya tidak nyambung.
"Maksudmu?",
"Tolong, rindukan aku",

Sasuke memelukku, lalu dia mendorong pintu dan berlari secepat kilat meninggalkanku yang masih mencerna ucapannya itu.

"Apa maksudmu, kusogaki?",


Terputus


Segini dulu deh, chapter 2 mungkin akhir bulan dipost.

See you again ^3^