Hetalia - Axis Powers (c) Himaruya Hidekazu.

limerensia satu, oleh INDONESIAN KARA.

—o0o—

Hari pertama di bulan kedelapan tahun ini, Kartika awali dengan membuka kelopak mata dan tentu saja ... bernapas. Yang ia netra pertama kali adalah langit-langit kamar, lalu jendela, dan terakhir ... menerawang ke luar. Cerah, namun teramat dingin. Kartika mendengus pelan. Untung saja, dia tak lupa untuk mengenakan piyama biru tua dengan motif bunga krisan warna putih.

Kaki-kakinya membawa diri menuju ke balkon. Tangan kanan terjulur, membuka daun jendela yang rupanya lupa Kartika kunci sedari malam kemarin. Dia merotasikan bola mata, untuk tiga detik. Hah.

Tak ada yang menarik di luar sana ketika ia menetrai. Hanya beringin besar dengan usia lebih-kurang sembilan puluh tahun yang masih berdiri, selalu di tempat yang sama—tentu saja. Sepoi angin pagi yang seharusnya menenteramkan batin karena mengantarkan hawa sejuk, pagi ini justru terasa amat dingin. Kartika menggigil kembali. Mengurungkan niat untuk melepas piyama dan mengenakan baju santai pagi ini, tidak. Batal. Baju santai hanya akan membuat tubuh semakin merasa dingin (angin pagi kembali berembus pelan), bahkan mengenakan piyama serba panjang ini saja masih kurang hangat (Kartika menyisir rambutnya menggunakan jemari tangan kanan).

Tunggu sebentar.

Mengingat sesuatu, gadis berusia dua puluh satu tahunan itu mengernyit, dan kalender bulan Juli tahun ini menjadi sasaran netra. Astaga, hal terakhir yang Kartika ingat dari hari kemarin adalah tanggal terakhir di bulan ketujuh itu, maka artinya ...

Jdengrr! Cklek!

Kartika membuka almari pakaian, mencari satu stel seragam putih yang selalu digunakan putera-puteri bangsa untuk melakukan "tugas mulia". Gerakannya cepat, tidak lagi tergopoh-gopoh. Tak ada waktu untuk merenung, mengeluh—juga bergulung di tempat tidur dengan selimut hangat; menjadi seonggok daging bernyawa di atas ranjang—di pagi hari yang dingin ini. Tidak untuk sekarang, besok, atau lusa.

Hingga tanggal yang dia sakralkan untuk sepanjang masa.

Ponsel di nakas berdering kencang—satu hal lagi yang Kartika lupa: mengatur perangkat genggam itu dalam mode diam. Gerakannya terhenti, menimbang-nimbang; buka atau tidak? Sepuluh detik, tangan kanan terjulur, meraih ponsel. "Lampu" hijau kecil di pojok kanan atas, sejajar dengan kamera depan telepon seluler, menyala. Tanda notifikasi yang belum dilihat.

Tombol on dia tekan, layar kunci menampakan notifikasi bundar warna hijau dengan lambang putih dari telepon kabel. Konten tersembunyi, yang berarti ada pesan dari seseorang—atau lebih. Dari Kirana, batinnya setelah membuka chats bar. Bundaran hijau dengan angka satu, jumlah pesan dari persona pertamanya.

Kartika, apa kaubisa menggantikanku di latihan capaskib hari ini?

Sependek itu. Dengan sekata kunci yang telah ia duga tempo sekon. Satu kalimat pertanyaan dengan bumbu permohonan. Baiklah, Kartika terima dengan cepat, namun tetap disertai pertanyaan.

Tentu saja bisa. Memangnya kenapa?

Lima menit, tak ada jawaban. Ah, tinggalkan jawaban dari Kirana, Kartika beranjak dan memasuki kamar mandi. Bersiap-siap, langkah pertama: membersihkan diri. Mendinginkan pikiran dan jiwa, sebelum dipanas-panasi lagi hingga petang nanti.

Percik air segera terdengar, memenuhi kamar mandi. Di dalam, Kartika jelas tak mendengar dering ponselnya; ada panggilan dari seseorang yang beriris merah darah di Asia Timur sana.

bersambung ke fanfiksi INDONESIAN KARA ke-134.