Disclaimer : All hail to Kishimoto Masashi. Just borrowed his great masterpiece' characters. Story and plotline are mine.

Summary : Kau tak pernah melihatku, sayang. Kau hanya mengingat mereka. Sebagian kecil dari masa lalu yang ingin kau lupakan. Kau—lupa padaku seorang. Tetapi, tak perlu bersedih, sayang. Akan kubuat kau ingat, hingga kau berkata. "—semua yang sudah kuotopsi adalah kawan-kawan lamaku sendiri."

Warning : AU, mind trick, heavy dark theme, boring (perhaps), no pairing in this chapter.

.

.

.

Naruto © Kishimoto Masashi

.

Visum et Repertum

by ceruleanday

January, 2012

write things based on trace evidence. Never tell lies.

.

A fic of psychology, horror, crime, mystery, and drama

(LatinVisum adalah melihat sesuai kenyataan et [dan] Repertum ialah melaporkan)

.

.

.

Chapter One : Confusing

.

.

.

...you will report things based on something you see and sense, right? Or, you write things based on your memory?

Is your memory real or fake?

.

Ia berjalan dengan kedua kakinya yang berlapiskan boot kulit berwarna pastel. Langkahnya cepat dan tergesa-gesa. Bulan tergantung di antara awan kelabu dan langit gelap. Hujan mungkin akan turun sebentar lagi. Untung ia menyampirkan payung di tangannya sembari celingukan melihat arah dari selembar kertas. Rintik air dari langit memaksanya berhenti sebentar. Ia menoleh, mengamati jalan yang sudah begitu sepi, dan menemukan titik keramaian.

Tempat Kejadian Perkara. Kasus penembakan. Ditemukan beberapa buah longsongan peluru sejauh empat meter dari tubuh korban mati. Darah merembes dan mengenai pedestrian cross. Lagi-lagi, pembunuhan di jalanan. Motif dan cara yang selalu random. Polisi, penyidik, detektif swasta, ahli TKP, dokter forensik, dan ahli balistik mengerumuni si tubuh kaku. Hujan kian merintik dan waktunya mengevakuasi.

"Oi, segera bawa mayat ke dalam mobil. Kita akan mengotopsi setelah ahli TKP menyisir area yang diperlukan! Surat permohonan visum sudah di tanganku!" seru pria beruban dengan tampang urakan. Lebih mirip penyanyi punk tak tahu usia dibanding ketua forensik Rumah Sakit Sendai. Jiraiya namanya. Gerombolan anak buahnya yang berpakaian seperti kantung plastik mendekat dan melaksanakan titahnya. Mata tuanya yang awas tidak mudah dipengaruhi, meski hujan deras sekali pun. Ia memandangi sosok gadis yang terengah-engah pasca berlarian dengan sebuah payung yang melindungi kepalanya. "Oh, Haruno. Maaf sudah memanggilmu malam-malam begini."

"Ah, daijobu. Sudah jadi kebiasaan, bukan? Lagipula istirahat tiga jam saya rasa cukup."

Si pria beruban tertawa. "Oke."

"Bagaimana penyisirannya, Sir?" tanya si gadis.

"Well, soal ini itu kurasa yang lebih tahu adalah pria di sebelah sana. Aku hanya melihat sepintas. Posisi, letak, dan jarak mayat dari senjata yang dicurigai sebagai agen pembunuh. Nah, silakan kau bertanya pada Uchiha di sana itu."

Oh. Rasanya malas sekali kalau harus berbicara dengannya, batin Sakura. "Saa. Aku mengerti."

Ia melangkah di atas tanah yang membecek tapi dicegat oleh sebuah tangan. Jiraiya tersenyum, "perhatikan dan lihat. Aku selalu tahu kau yang paling terbaik dari yang terbaik."

"Tentu. Terima kasih, Jiraiya-sensei." Dan, ia melengang.

Pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan tersimpan dalam benaknya. Setidaknya, ia hanya akan berbicara sebentar. Seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun tengah berjongkok sembari mencatat di atas notes kecil. Jemarinya bergerak-gerak cepat bersamaan mata yang tak pernah lepas dari lokasi penembakan. Diguyur hujan pun, ia tetap tak bergeming. Pergerakannya statis seakan ia adalah robot. Antara kasihan dan iba, Haruno Sakura terpaksa berbagi payung dengan pemuda itu, meski harus menundukkan tubuhnya sedikit.

"Bisa kita berbicara? Aku hanya ingin bertanya menge—"

"Tunggulah semenit lagi, Sakura."

Ah, kedua alis Sakura meninggi. Dari mana dia tahu kalau aku yang berdiri di belakangnya? Hujan cukup deras. Bisa membedakan suara meski di tengah kegaduhan? Wow, you're amazing as usual, Uchiha Sasuke.

Ujung lancip pena miliknya menggesek kertas notes. Sedikit basah di atasnya dan memberi noda air. Ia kembali memasukkan si pena ke dalam saku jaket berwarna pastel yang dikenakannya. Proses pencatatan dan pengecekan TKP sudah selesai. Sepertinya.

"Hn?"

Sakura memutar bola mata hijaunya. "Urusanku tidak ada sangkut pautnya dengan tugas kalian—maksudku para penyidik. Tapi setidaknya, sebelum surat perintah visum kalian ajukan untuk timku, aku perlu kepastian. Satu saja."

"Maaf, tapi kau belum bisa mengajukan pertanyaan mengenai hal itu kepada kami, ataupun aku. Terlalu simpang siur. Harus dipastikan." Berikutnya, si pengujar melengang pergi, tak memedulikan tubuhnya yang basah. Bahkan, tak mengucapkan terima kasih sudah diberikan payung untuk berteduh—meski sebentar. Saat kedua mata oniksnya bersirobok dengan mata hijau itu, Sasuke sudah paham satu pertanyaan milik Sakura. "Bertanya soal itu lagi, eh? Kurasa jawabannya sudah jelas. Semua korban mungkin berkaitan dengan masa lalumu, Sakura. Tetapi, bukan berarti ada sangkut pautnya denganmu. Kau paham, 'kan?"

Ingin sekali rasanya ia mengerucutkan bibirnya saat itu juga, tetapi dalih yang diujarkan Sasuke seperti ingin membuatnya melakukan lebih dari itu. Menonjok, mungkin?

"Kau lah yang tidak pernah paham, Sasuke! Sepuluh korban sebelumnya adalah teman-temanmu juga! Teman-teman kita..." teriaknya semakin parau.

"Meski cara, tempat dan waktunya random, tetapi lihat wajah-wajah mereka! Kau mengenal mereka bukan?" seru si gadis. Ia tidak sungkan lagi meninggikan suaranya pada satu-satunya kandidat ketua di bagian Coronary Departemen Penyidikan dan Penyelidikan Crime Scene Kepolisian Sendai. "Pertama, Jiroubo. Lalu, Deidara. Hidan, Kakuzu, Sakon dan kembarannya Ukon, Suigetsu, Juugo, Tayuya, Ami, dan dua minggu lalu—Karin. Kau tahu mereka semua, 'kan!" lanjutnya lirih.

Sekonyong-konyong hujan berefek pada kesunyian sesaat. Uchiha Sasuke sudah terlalu basah dan letih. Ia sama sekali belum kembali ke flat-nya semenjak sehari yang lalu. Terlalu banyak pekerjaan dan tugas yang harus ditangani dan ditkontrolnya. Di usia yang semuda itu, ia tahu, semua kasus yang datang kepadanya akan mengajarinya satu hal. Lakukan pekerjaan seprofesional mungkin dan lupakan masalah emosi.

"Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu." ujarnya dingin. Kedua tungkainya bergerak menjauh, membawa lari tubuhnya ke tempat di mana hujan tak lagi menderas, dan meninggalkan banyak tanya pada si gadis. "Aku hanya akan memberimu ini—"

Mata hijaunya mengikuti gerakan tangan Sasuke. Ia mengerutkan alisnya.

"—I'm sorry."

Darah bersama bercaknya mengering oleh hujan. Tangan si gadis memucat dan lemas. Masih meremas lembaran foto dari kamera Polaroid yang dibawa-bawa oleh sang kandidat ketua bagian Coronary. Ia masih mengenal wajah itu. Samar, tapi ia hanya perlu tato segitiga berwarna merah itu saja. Jika itu bukan Inuzuka Kiba, lalu memorinya tidak pernah salah, 'kan?

'Ki-Kiba-kun…'

(let me bring you back to the past)

.

.

.

It's almost more than fifteen years ago.

Remember. Remember. Remember.

Ya. Ia mengingatnya. Ia memajang frame-frame itu seakan tak pernah lupa dengan masa lalu. Ia mengenakan kawat gigi di usianya yang masih sembilan tahun, bersama sebuah kacamata tua berbentuk kotak yang melekat pada matanya. Rambutnya acak-acakan. Berantakan sana-sini. Tak peduli, bahkan bila perlu hanya menggunakan karet gelang yang usang agar anak-anak rambutnya tak berterbangan oleh angin. Warnanya merah muda—itu lah sebab muasal ia disebut si pinky. Pendek sebahu tanpa perkakas lain yang mempercantiknya. Ia tak suka bersolek di usianya yang ke-lima belas. Menggapai limosin milik sahabatnya tanpa gaun berjumbai berlian dan high heels setinggi enam belas senti. Ia lebih terpukau pada buku dan komputer butut zaman purbakala. Di sudut kamar sempit dan ditemani dengan sebuah keyakinan—

I do admit that I am a geek.

Tapi, ia masih memiliki masa depan. Setidaknya.

Ia berada di masa lima belas tahun yang lalu. Usianya sepuluh dan ia mengenakan syal berbulu domba rajutan neneknya. Giginya tonggos dan diamankan oleh kawat merek biasa yang telah dipakainya selama berbulan-bulan. Ia benci dokter gigi tapi ia lebih takut pada ancaman ibunya. Saat berlari mengejar jemputan, ia ditarik oleh sekawanan anak perempuan lain yang jauh lebih tua darinya. Menyudutkannya dan mengatakan bila ia gadis jelek buruk rupa yang suka mencari-cari perhatian gurunya. Ia tidak melawan—tidak pernah bahkan. Ia hanya berdiam diri dan mencari celah agar bisa keluar dari kebisingan menyebalkan itu.

Sekonyong-konyong, ia merasa begitu dingin. Tubuhnya membeku, padahal salju belum sepenuhnya berada di titik puncak. Semacam angin jahat yang berhembus melalui bulu romanya. Tak hanya ia yang merasakan perasaan aneh itu, anak-anak perempuan nakal itu bergidik dan mengusap-usap lengan mereka. Saat kesempatan memberi celah, gadis itu tak melewatkannya. Ia berlari, sekuat tenaga.

Remember. [覚えていますか?]

Ia mengingat wajah-wajah itu. Satu per satu. Detil demi detil. Ia memiliki memori yang begitu baik. Mampu mengabsorbsi banyak ilmu dalam sekali telan. Ia dan kemampuan photograph memory-nya. Segelintir orang di dunia memiliki keahlian genetik itu termasuk dirinya. Semua wajah yang bermunculan dalam masa lalunya yang buruk adalah wajah-wajah yang sangat berkesan. Terlebih, mereka yang membuatnya merasa terhina.

Oh. Dia bukan pendendam, tentu saja. Ia tak'kan pernah menggunakan ingatan jangka panjang sekaligus berkah Tuhan itu untuk menuntut balas. Sudah cukup di masa lalu, ia yakin tak mungkin bertemu mereka lagi. Gadis ini sudah jauh berkelana. Cukup jauh membawanya ke sebuah tempat di mana ia akan memulai kehidupan dewasanya semenjak lulus dengan grade terbaik di SMA.

Ia mengingat bocah ini. Hidan. Bocah berambut perak dan bermata bulat. Sangat suka mengolok dan mengeluarkan sumpah serapah. Bocah yang sama sekali tak paham etika komunikasi dua arah. Lalu, Deidara. Gadis ini tak pernah tahu gender bocah ini. Ia tak merasa pernah terganggu dengan kehadirannya, hanya tatapan mengintimidasi yang diberikannya jauh lebih menusuk dibanding pisau bermata dua. Gadis ini tak suka—sebab mata biru Deidara akan selalu tertuju pada rambut merah mudanya. Itu—itu sama saja dengan eyes abuse, bukan? Oh. Ia ingat lagi. Suigetsu. Anak nakal dari kelas yang lebih tinggi darinya. Tukang gencet dan suka memalak. Jangan salahkan bila gadis ini harus menghemat uang jajannya jika dengan kesialan yang menyebalkan, ia dipertemukan dengan anak itu. Ah. Karin—gadis yang misterius. Berkacamata dan menjadi saingan terhebat gadis buruk rupa ini. Tetapi, di masa depan, Karin akan menjadi saingan paling menyebalkan yang pernah ada.

Banyak nama. Ia mengingatnya dengan baik. Bahkan, karakternya pun terbaca sempurna olehnya. Seperti bentuk dan letak tato kesayangan milik Inuzuka Kiba. Ataupun keloid Uchiha Sasuke tepat di perutnya—bekas Appendectomy sepertinya. Ah, kenapa gadis ini tahu ya? Oh. Ia hanya mencuri dengar dari Ino—gadis berambut emas dan bermata biru. Gadis yang kerap kali meminta ini itu dari gadis ini—terutama pekerjaan rumah sekolah mereka. Mereka sahabat kecil, meski sebenarnya Ino tampak tidak terlalu peduli dengan masalah hidup gadis ini. Ambisi keduanya terlalu berbeda; ada yang menginginkan gelar the most popular dan ada yang berusaha merebut gelar the nerd one.

Ia bisa menyebutkan nama-nama manusia yang sering membuat masalah dengannya. Apakah nama Hidan, Deidara, Suigetsu dan Karin sudah disebutkan? Maka, yang berikutnya adalah Ami, Tayuya, Sakon dan kembarannya Ukon, lalu si gendut Jiroubo. Jika masalah memiliki pengertian dengan hal yang tidak diharapkan tetapi harus terjadi, maka Uchiha Sasuke juga termasuk masalah. Yah. Masalah di masa depan.

Kelogisannya menuntun pada pekerjaan ini. Pekerjaan luar biasa, namun biasa-biasa saja di mata orang-orang awam. Pekerjaan yang tidak semua orang bersedia dengan kerelaan hati melakukannya. Memangnya bertahun-tahun di ruangan mayat dan membedahnya bukan hal yang istimewa? Sebenarnya istimewa, hanya odor dan kuman menjadi penghalang utama.

Gadis ini bermata hijau cerah. Genetiknya sempurna, namun belum terasah. Itu hanya pendapat mengenai penampilan luar. Sesungguhnya, jiwa seseorang mirip dengan kerang. Apa yang di dalamnya mungkin lebih mulia dari yang tampak oleh mata mereka. Bertanya akan namanya—Haruno Sakura.

that's me. [それは私です]

.

.

.

(open your eyes and imagine the present days)

Gadis itu terbangun letih. Bulir keringat bagai air mengalir tanpa henti dari pelipisnya. Seperti baru saja melewati malam di bawah guyuran hujan. Ah, di luar sana memang sedang hujan deras. Ia tak sempat memasukkan pakaian kotornya lagi ke dalam bak cucian. Sudah berhari-hari hujan dan ia menjadi semakin malas mengangkat bunyi intercom. Jika bukan si pengantar susu, kemungkinan besar si pengantar kasus alias Shikamaru Nara.

Masih dengan pakaian malamnya, gadis itu meraih selembar karet gelang dan mengikat rambut panjangnya yang acak-acakan. Ia memutar gagang pintu apartemennya dan memandangi wajah lelah si pengantar kasus. Sungguh pagi yang menyenangkan—secara sarkasme.

"Morning. Maaf lagi-lagi menganggu tidur cantikmu, nona Sakura."

"Berhenti berkata seperti pemain opera sabun, Shikamaru. Apa lagi kali ini?"

Shikamaru merogoh isi tas bututnya dan menyodorkan selembar amplop tebal ke arah si gadis. Ia mendengus. "Gomen, gomen. Hah, masih mengenai kasus yang terjadi dua hari yang lalu. Hasil identifikasi balistik. Kupikir kau mungkin mau melihatnya."

"Hm. Thanks. Akan kubaca baik-baik." balas si gadis.

"Kalau begitu, aku pergi?" tanya Shikamaru. Kesan ambigu terdengar di balik ucapannya. "Ah, apa lagi-lagi berkaitan dengan orang-orang di masa lalumu yang kelam? Aku hanya mencuri dengar, maaf. Waktu rapat beberapa minggu yang lalu, suaramu mendengung begitu keras—terdengar hingga ke ruang kerjaku. Kau berteriak seperti orang kesurupan. Hell, kau nyaris mendapat detensi gegara kelakuanmu yang under control itu. Kau mau cerita padaku apa yang mengganggumu dengan semua kasus-kasus random itu?"

Sakura mendesis. Tangannya masih menggenggam gagang pintu dan akan segera membantingnya jika salah satu sepatu Shikamaru tidak menahannya. Terpaksa—mungkin—ia harus menjelaskan hal yang mengganggunya itu pada si Nara yang terkenal jenius di bagian balistik, Departemen Kepolisian Sendai. Bagian khusus yang mengidentifikasi peluru dan martil.

Sakura duduk di atas cushion empuk berwarna merah yang hanya muat untuk satu orang saja, sedangkan Shikamaru berdiri mengamati porselen-porselen mungil yang tersimpan apik dari balik kaca lemari ruang tamu. Tepat di hadapan si gadis, belasan album foto bersama sebuah buku alumni sekolah menengah atas terbuka lebar—menampilkan wajah-wajah yang dahulu sangat begitu dikenal olehnya. Oleh Haruno Sakura muda.

"Ia Hidan. Well, aku tidak pernah mencoba membencinya, meski bisa kau lihat sendiri bagaimana penampilannya. Urakan dan tsk—menyebalkan. Aku masih terlalu lugu dan polos saat itu. Ia selalu menumpahkan sup karamelnya di dalam laci mejaku."

"Masa sekolah menengah atas dan kau masih lugu? Astaga Sakura, kau bahkan tidak tahu Neji saat itu sudah—" Shikamaru menahan kata-katanya. "—nevermind. Bukankah si Hyuuga itu idolamu, eh?"

Mata lelah Sakura setengah terpejam. "Sudah? Maksudmu?"

"Yahh... sudah itu, 'kan? Memang benar. Kau itu masih polos sampai sekarang. Sudahlah. Lupakan saja. Siapa berikutnya?"

Jemari pucat Sakura membalik-balik lembaran buku alumni masa SMA miliknya. Ketika satu wajah tepat teringat di memorinya, ia berhenti. "Dia—Karin. Pramugari yang meninggal dua minggu yang lalu. Kau tahu?" Shikamaru menjawab dengan deheman. "Dia sangat suka menarik rambutku dan menyembunyikan kacamataku. Yahh, kuakui lensa kacamataku memang seperti pantat botol. Menyakitkan."

"Hmm. Lalu, di mana sekarang kacamata pantat botol itu? Aku tidak pernah melihatmu mengenakan kacamata model seperti itu."

"Ayah mengajakku menemui dokter spesialis mata. Operasi kornea kurasa. Dan, beginilah aku sekarang. Hanya mengandalkan soft lens?" jawabnya tanggap. "Dan, jangan mengalihkan pembicaraan, Shikamaru Nara." lanjutnya setengah marah."Kemudian, masih ada Deidara, Tayuya, Sakon-Ukon, Jirobou, Ami, Kakuzu, dan Suigetsu. Sudah terlalu banyak cerita tidak terlalu baik yang kulewati bersama orang-orang itu."

Shikamaru mengambil sebuah boneka Matryoshka dari balik lemari kaca Sakura. Membuka-buka isinya dan mendapatkan telur emas mungil dari lapisan boneka yang kelima. Merasa seolah sudah mendapatkan hadiah yang begitu luar biasa. "Oh. Sou ka."

Jahil, pria berambut nanas itu menarik lembaran foto yang terabaikan. Melihat-lihat wajah-wajah tak familiar baginya. Mengacak-acak dan mengingatnya secara random. Kemudian, menemukan satu wajah yang tampak—dikenalnya. "Ini Sasuke ya? Rambutnya berbeda."

"Hm?" gumam Sakura. Shikamaru menunjukkan foto yang dipegangnya ke arah pengelihatan Sakura. Mata hijaunya menyipit. Memang benar-benar menyerupai Uchiha Sasuke, tetapi terlalu berbeda. "Itu... siapa? Sepertinya, aku tidak kenal."

"Kau yakin? Bukannya Jiraiya-sensei selalu berkata hanya kau yang memiliki kemampuan photograph memory itu? Tak mungkin kau bisa melupakan wajah yang sudah pernah tertangkap oleh kedua matamu. Teori sih." Foto itu kemudian tersodorkan untuk si gadis. "Sebaiknya kau lihat dulu baik-baik. Mungkin kau mengenalnya."

Ia membolak-balik selembar foto tua itu. Berwarna hitam putih tanpa nama dan identitas satu pun. Setidaknya, ia akan mengingat meski dari nama ataupun inisial. Tidak mungkin memorinya salah. Ia tahu, ia akan selalu mengingat semua wajah, nama, dan identitas unik dari semua foto yang dimilikinya. Tapi, yang ini berbeda. Ia—tidak mengenalnya. Sama sekali tidak.

"Dia ini—siapa?"

"Hn? Nah, itu aneh. Kau bisa lupa juga, 'kan?"

"Tapi... aku yakin aku tidak akan pernah lupa dengan foto-foto yang kusimpan, Shika. Aku—aku yakin aku tidak pernah memiliki foto wajah ini."

Shikamaru menurunkan sudut bibir dan memasukkan kedua tangan di saku jeans-nya. "Punya keistimewaan seperti itu juga kau pasti punya kelemahan, bukan? Well, jika kau memintaku untuk mencari tahu empunya wajah di foto itu, mungkin saja bisa."

"Memangnya ahli balistik juga punya akses ke database penduduk?" celetuk Sakura. Satu alisnya terangkat. "Jika saja ada satu atau dua clue, aku mungkin mengenalinya. But anyway, kurasa masalah siapa pemilik wajah ini tidak penting. Mau kulanjutkan wajah-wajah lain yang berkaitan dengan korban tewas dalam kasus-kasus ini?" ujar Sakura sembari mengembalikan selembar foto asing itu ke atas mejanya. Meninggalkan sebuah tanya dan rasa penasaran hebat bagi Shikamaru. Sebuah tangan jahil lagi-lagi terlihat di sana.

Pria itu mendengus. Ia menyandarkan punggungnya pada samping cushion yang diduduki Sakura. Begitu banyak hal yang gadis itu kisahkan. Mulai dari satu dan banyak nama. Semuanya terdengar menyakitkan bagi Shikamaru. Entah kenapa, gadis ini tampak begitu menderita di masa lalunya. Seperti tak ada kawan atau sahabat yang bisa membuatnya tersenyum. Apa karena ia geek dan berbeda?

Ada saatnya, pria itu berasumsi. Bahwa... gadis yang telah berteman dengannya selama kurang lebih enam tahun belakangan ini adalah gadis yang unik. Spesial.

"Sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah, orang-orang yang sudah kusebutkan dan tewas sejak Valentine tahun ini adalah sama. Tidakkah itu memang benar-benar aneh, Shika? Mak-maksudku, aku bahkan tidak menyangka—"

"Menyangka apa?" putus Shikamaru. Ia menatap nanar posisi Sakura yang tengah memeluk tubuhnya sendiri, seakan tengah menyalahkan dirinya seorang.

Bunyi getaran jendela oleh petir yang menyambar melambatkan alunan jam di pagi itu. Haruno Sakura mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke depan. "—semua yang sudah kuotopsi adalah kawan-kawan lamaku sendiri."

Bang!

Benturan ion-ion cahaya dan udara terdengar hingga ke dasar tanah. Memekikkan suara dan memberi efek tak mengenakkan. Lampu-lampu yang melekat di langit-langit sekejap mati dan hanya menyisakan dua sosok yang masih sibuk dengan dirinya masing-masing. Si gadis makin berkelit dengan pikirannya. Menitikkan air mata dan mengibur diri dengan memeluknya. Shikamaru mendekati Sakura—sahabat masa kuliah yang paling memahaminya.

"Hei, bagaimana jika itu hanya kebetulan. I mean, kebetulan sering terjadi, bukan?" sanggah pria berdahi licin itu. Ia menilik wajah gadis di sampingnya dan hanya menggaruk tengkuk. "Kalau kau butuh seseorang untuk mengiburmu, kau tak perlu sungkan untuk memanggilku ataupun Temari, oke? Lalu, bagaimana dengan Inuzuka Kiba yang satu ini?" ujar Shikamaru sembari menepuk-nepuk pundak Sakura. Suhu tubuh si gadis terasa lebih dingin dari biasanya. "Sakura? Kau baik-baik saja?"

"Hmm. Dia juga... kawan lamaku. Tapi, dia tidak seperti mereka. Dia baik, sama seperti Naruto dan Sasuke."

"Naruto?" potong Shikamaru. Dahinya mengerut kasar.

"Oh, dia juga salah satu teman kecilku. Dulu, semenjak sekolah dasar hingga menengah atas, Naruto dan Sasuke adalah dua orang yang bisa kuajak bicara dengan... normal."

Pemuda itu menurunkan sudut bibirnya. "Normal, eh?"

"Dan—jika kau berkesimpulan semua korban tewas itu adalah sebuah kebetulan—Shika—kebetulan tidak terjadi secara beruntun selama sepuluh kali lebih!" tuntut si gadis sembari menegakkan kembali wajahnya, meski bekas air matanya terlihat lebih jelas. "Pas-pasti ada sesuatu. Aku yakin itu. A-aku—"

Kedua tangan pucat itu meremas sisi-sisi kepala miliknya. Ia kalut kala mengingat kembali bagaimana ia dengan cekatan, bahkan tanpa menunjukkan satu emosi sekali pun membedah, membuka, dan mengorak-arik organ-organ tubuh mereka—kawan-kawan lamanya yang telah tewas oleh berbagai kasus pembunuhan yang misterius. Bagai suatu kejahatan berencana yang terkirakan hanya berupa kasus pembunuhan biasa—berdasar pada waktu, lokasi, dan motif.

Namun, si gadis selalu merasakan keganjilan. Keganjilan aneh yang luput dari mata siapapun.

Semua adalah orang-orang yang dikenalinya. Semuanya—semua yang mati. Adalah mereka. Mereka. Mereka. Mereka!

(the one who made you suffered)

Kawan-kawan lamanya. Ya.

Dan, ia mendengar bisikan.

"Ah—"

"Ng? Ada apa? Kenapa tiba-tiba kaget begitu?"

Ti-ti-tidak. Jangan sampai... Tidak... Tidak... Jangan. Tidak boleh...

"Sa-kura? Kau oke?"

Suara Shikamaru terdengar pasif olehnya. Dengan terburu-buru, Sakura bangkit dari posisinya. Menggapai kemeja dan mantel musim dinginnya, beserta sebuah payung. Ia berlari menuju kamarnya, mengambil tas dan memasukkan dokumen-dokumen yang berantakan di atas meja ke dalam tas itu, kemudian menarik kunci apartemen. Tak peduli pada kondisi rambut dan wajahnya yang kusam selepas bangun pagi yang sudah terganggu.

"He-hei, kau mau ke mana?" tanya Shikamaru kebingungan. Ia telah berada di luar apartemen si gadis dan masih dibuat heran dengan kelakuan Sakura yang begitu tergesa-gesa. "Kenapa terburu-buru begitu, hei?"

Tangan Shikamaru menenangkan sikap Sakura yang cemas. Saat berbalik, yang terlihat oleh mata hazel Shikamaru adalah air mata. "Sakura?"

"Hanya tersisa dua orang, Shika. Tinggal tersisa dua orang. Kawan lama yang kukenal dan selalu bersamaku sejak sekolah dasar hingga menengah atas. Hanya dua lagi—tinggal mereka!"

"A-apa? Maksudmu siapa, Sakura?"

Air mata jatuh di ujung ekor mata hijaunya. Tidak secerah seperti biasanya. Tidak secerah dahulu. "Mereka

—NARUTO DAN SASUKE!"

Percaya ataupun tidak percaya, Shikamaru Nara hanya membulatkan kedua matanya. Di saat yang tidak tepat—ah, mungkin sudah menjadi takdir—ponsel miliknya bergetar. Sesegera mungkin ia menjawab dan menerima panggilan darurat dari sang bos. "Hai'. So-sou ka? Wakarimashita."

"Shi-Shika?" tanya si gadis di balik kecemasannya.

"Sakura—seorang pemuda bernama Uzumaki Naruto sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ia baru saja mengalami tabrakan dengan sebuah limo di perempatan Kurogane Avenue. Aku harus segera bergabung dengan kesatuan." ucapnya cepat. "I'm sorry, Sakura." Detik berikutnya, pria itu berlari. Menghilang di antara kabut dan hujan. Meninggalkan sang gadis seorang diri. Terkurung oleh sekelebat pikiran yang makin mengganggunya.

Lagi-lagi. Lagi-lagi... Lagi...

(and, you just realized it, my love)

(you just realized it)

Siapa kau? Siapa sebenarnya dirimu? Perlihatkan dirimu! Kenapa kau membunuh mereka!

Gadis itu terjatuh.

(yet, you forgot me)

(you always forget me, my love)

.

.

.

Crawling in my skin

These wounds, they will not heal

Fear is how I fall

Confusing what is real

.

.

.

To Be Continued

The lyric above is Crawling by Linkin Park.

.

A/N :

Mungkin akan banyak pertanyaan dari fic ini. Tapi silakan reader sekalian yang menebak bagaimana fic ini berjalan. Chapter 2 sudah jadi. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk diapdet. So, mind to review?