Sinar matahari membangunkan Iruka. Ia mengerang, masih ingin terlelap, tapi kemudian ia teringat bahwa hari liburnya sudah selesai dan sekarang adalah waktunya untuk kembali bekerja. Membayangkan anak-anak penuh semangat yang menunggunya di akademi ninja saja sudah cukup untuk membuatnya terjaga.
Ia meregangkan badan tapi kemudian tersadar bahwa sikunya mengenai rusuk seseorang.
Eh... rusuk seseorang?
Iruka pun menyadari bahwa sepasang tangan kekar memeluknya dari belakang, dilihat darimanapun juga itu adalah tangan laki-laki. Di punggungnya, ia bisa merasakan naik-turunnya dada seseorang. Ia langsung memucat, tangannya berubah dingin. Apakah... apakah ia... apakah ia?
Tak mampu menyelesaikan kata-katanya sendiri, Iruka hanya bisa berbaring tegang selama beberapa menit yang panjang. Tentu saja, ini bukan pertama kalinya ia berakhir di ranjang dengan seseorang. Tapi, ia tidak pernah berakhir di ranjang dengan seorang lelaki dan berakhir dalam kondisi mabuk pula. Samar-samar, ia teringat bahwa kemarin malam Anko berhasil membuatnya kalah taruhan, ia dipaksa meminum berbotol-botol sake yang sekarang membuat kepalanya pening luar biasa.
Baiklah, Iruka, kau adalah seorang shinobi, kau harus berani. Siapapun lelaki di belakangmu, kemungkinan besar dia juga mabuk dan karena kalian berdua lelaki, pasti akan lebih mudah untuk melupakannya. Sekarang, ia hanya perlu melihat siapa yang sudah menghabiskan malam dengannya.
Pelan-pelan ia menolehkan kepalanya, sekilas ia bisa melihat helai rambut keperakan, jantungnya langsung berdegup kencang. Ada banyak ninja dengan rambut putih atau keperakan, ia mengingatkan diri, semoga saja itu bukan karena usia. Kemudian perlahan ia pun melihat semakin jelas siapa yang tidur di belakangnya. Jantungnya berdegup sangat kencang hingga ia merasa mual.
Rambut perak, satu mata yang terluka, hidung yang tegak, bentuk rahang yang bagus, dada bidang dan tato anbu di tangannya.
Ini pasti mimpi!
Iruka buru-buru menutup mata dan mencubit pipinya sendiri.
Saat ia membuka mata, dilihatnya Kakashi Hatake tertidur lelap di sampingnya.
Iruka tidak akan pernah mengakuinya tapi pada detik itu ia menjerit, kencang sekali hingga ia yakin bisa membangunkan seisi Konoha.
Oke, seisi Konoha mungkin tidak terbangun, tapi Kakashi jelas terbangun.
Lelaki berambut perak itu membuka mata, menampakkan satu manik kelabu gelap dan satu manik merah menyala. "Maa..." ia menggaruk-garuk belakang kepalanya. "Ini masih terlalu pagi untuk... Iruka-sensei?"
Mereka saling berpandangan.
Menyadari bahwa mereka berdua sama-sama tidak menggunakan sehelai benang pun, Iruka buru-buru meraih selimutnya dan dengan muka semerah tomat, turun dari ranjang untuk mencari-cari sesuatu yang bisa dipakai. Kakashi melakukan hal yang sama, tapi bukan untuk menutupi ketelanjangannya ataupun mencari maskernya—tidak, itu tidak terpikirkan olehnya—ia hanya mencari-cari kesempatan untuk memproses apa yang sudah atau sedang terjadi.
Ia berada di ranjang Iruka, mereka berdua sama-sama tidak berpakaian, dan setiap Iruka melangkah lelaki itu tampak kesakitan. Hanya ada satu kesimpulan.
Tapi, ia tidak mengatakannya, karena entahlah, siapapun yang ada di posisi seperti ini cenderung tidak tahu apa yang harus dikatakan, bahkan seorang Kakashi sekalipun. Lelaki berambut perak itu memakai maskernya dan pakaiannya yang berada di samping ranjang, sengaja tidak mencuri pandang ke arah Iruka sampai sang guru akademi itu memanggilnya.
"Kakasih-san... apa... apa kau ingin sarapan?"
"Tentu saja," jawab Kakashi sambil tersenyum, walaupun senyum itu hanya bisa dilihat di matanya. "Pasti akan sangat menyenangkan."
"Baiklah kalau begitu."
Sayangnya, Iruka berjalan seperti orang yang baru saja menerima tembakan di punggungnya. Melihatnya, Kakashi jadi tidak bisa tinggal diam, ia meletakkan lengannya di pundak si rambut cokelat, membuat Iruka segera menjauhi sentuhannya. Oh wow, Kakashi merasa sedikit ditolak. Tapi, itu hal yang wajar, si rambut perak mengingatkan diri sendiri, kita 'kan baru saja...
"Sepertinya kau tidak begitu sehat, Iruka-sensei," ujarnya. "Bagaimana kalau aku saja yang memasak?"
Iruka ingin memprotes, tapi ia pun melihat pandangan Kakashi yang mengisyaratkan bahwa lelaki itu akan dengan senang hati membahas mengenai kondisi bagian belakang Iruka kalau si rambut cokelat tidak menuruti kata-katanya. Jadi, dengan desahan kekalahan, Iruka pun menganggukan kepala.
Tidak ada yang bisa memutuskan mana yang lebih merah, wajah Iruka atau saus tomat yang dihidangkan Kakashi bersama telur dadar mereka berdua.
"Ano... mengenai malam tadi... aku... aku hanya ingat sedikit saja."
Iruka berbohong, kalau ia menutup mata ia bisa dengan mudah mereka ulang bagaimana ia berada di bawah Kakashi sementara si rambut perak menggagahinya. Itu adalah malam yang panjang, simpul Iruka, tidak berani lagi menggali memorinya.
"Maa... untunglah aku punya sharinggan," jawab si copy-nin tanpa rasa bersalah.
Iruka hampir saja memuncratkan air teh di mulutnya, sekarang bahkan wajahnya lebih merah daripada saus tomat. "Kakashi-san!" serunya tidak percaya. "Kau... kau merekam yang... yang tadi malam?"
"Sepertinya begitu," Kakashi mengangkat bahu. "Versi mabuk dari diriku sepertinya memikirkan bahwa kau pantas untuk direkam."
Si rambut cokelat tersedak, tidak bisa lagi merespon omongan Kakashi. Ia tahu bahwa jonin terkenal itu bisa dikategorikan sebagai salah satu ninja yang paling mesum di Konoha—lihat saja Icha-Icha yang selalu dibawanya—tapi, ia tidak menyangka bahwa Kakashi semesum itu. Setelah Iruka kembali normal, ia pun langsung menasehati Kakashi dengan berbagai macam wejangan, dari mulai bagaimana Kakashi harus menghapus apapun yang tersisa dari malam itu dengan segera—karena, demi Tuhan, mereka sama-sama merupakan sensei yang seharusnya tidak melakukan tindakan seperti itu!—sampai bagaimana kemesuman Kakashi bisa mencemari 'anak-anak polos' seperti Naruto.
Kakashi mendengarkannya sambil menghirup sup miso dengan tenang dan begitu penuh perhatian sehingga Iruka curiga bahwa lelaki itu sama sekali tidak memperhatikan.
Mereka menyelesaikan sarapan yang janggal itu dengan seteko teh panas buatan Iruka.
"Jadi, bagaimana? Iruka-sensei?" tanya Kakashi.
Sejenak, Iruka tidak mengerti maksud lelaki itu, tapi kemudian ia menggigit bibir dan berpikir keras. Akhirnya, ia pun menghela napas. "Tidak terjadi apa-apa di antara kita."
"Sungguh?" Kakashi berpura-pura terkejut lalu berakting dramatis, mencengkeram dadanya yang terbalut jaket jonin-nya. "Maa... padahal kukira kita lebih dari sekadar kenalan saja, Iruka-sensei."
"Tidak dan memang sebaiknya kita hanya menjadi sekadar kenalan saja, Kakashi-san."
"Bahkan walaupun tadi malam kau mendesahkan namaku? Mengerang, 'Kakashi-san, ayo masukkan...'"
Iruka membekapnya, bersumpah jika saja Kakashi tidak menguasai sharinggan dan bukan merupakan ninja genius yang diagung-agungkan oleh semua orang, ia pasti sudah mencekik si rambut perak. Tenang Iruka, ia menasehati diri, Kakshi adalah aset yang sangat penting bagi Konoha.
Tapi, berbicara memang lebih mudah daripada melakukan sebab Iruka tetap ingin mencekik Kakashi. Lelaki itu memiliki kemampuan yang luar biasa untuk membuatnya merasa malu sekaligus kesal luar biasa.
"Maa... ya, sayang sekali kalau begitu, tapi apadaya kalau itu memang merupakan keputusanmu."
"Berhenti bercanda, Kakashi-san."
"Aku tidak pernah bercanda tentangmu, Iruka-sensei," balas Kakashi, masih dengan akting terkejutnya. "Perasaanku untukmu murni dan bersih."
Dan berakhir di ranjang, tambah Iruka dalam hati. Kemudian ia pun memutuskan bahwa sudah saatnya mengakhiri ini semua. Ada sedikit perasaan sedih di hatinya, ia mempertanyakan apa yang mungkin terjadi jika saja mereka tidak dipengaruhi alkohol. Tapi, itu bukanlah pikiran yang rasional. Jadi, Iruka menggelengkan kepala lalu bangkit berdiri.
"Baiklah, aku harus pergi ke akademi sekarang."
"Kau yakin, Iruka-sensei? Sepertinya bagian belakangmu masih..."
Melihat aura membunuh di mata Iruka, sang jonin pun menutup mulut.
Mereka berpisah di pintu depan, Iruka dengan was-was melihat ke kiri dan ke kanan, memastikan bahwa tidak ada satu pun yang menyadari bahwa Kakashi Hatake keluar dari kamar apartemennya.
"Maa...tenang saja, Iruka-sensei. Tidak ada yang melihat."
"Kuharap begitu," desisnya, kemudian ia menambahkan, dengan nada yang sakral seakan-akan sedang berdoa. "Semoga saja satu malam ini tidak memiliki konsekuensi apa-apa."
Ah, Iruka, apa kau tidak tahu bahwa Kami-sama senang bercanda?
-TBC-
Ada yang tertarik?
Tinggalkan review supaya fanfic ini cepat update.
Tolong jangan tanya kenapa fanfic yang satunya lagi belum update.
Terimakasih sudah membaca~
Naruto © Masashi Kishimoto
