Harry Potter dan segala seluk beluknya milik JK Rowling.
Tetapi cerita fanfic ini milik saya, jadi … no plagiarism, no copy paste.
Warning : AU, femHarry, cerita mungkin membosankan dan mungkin idenya agak pasaran, banyak typo bertebaran, ada tata bahasa maupun penulisan yang tidak sesuai EYD, etc,etc.
Sekali lagi ini femHarry. Bagi yang tidak suka Harry tercasting menjadi perempuan, silakan pencet back button.
JANJI
Remaja itu tertegun melihat rumah sederhana yang mulai hari ini akan menjadi tempat tinggalnya, entah sampai kapan. Rumah itu berukuran tidak terlalu luas, dengan halaman sempit yang ditanami dengan berbagai tanaman hias di lantai maupun di dinding dalam bentuk vertical garden yang terlihat begitu asri, hijau, dan terawat. Di dalam rumah juga dipenuhi berbagai perabotan yang lumayan lengkap, meskipun menurut remaja itu memiliki kualitas tak sebaik fasilitas rumahnya, dulu saat semuanya masih ia miliki. Di dinding ada beberapa foto penghuni rumah yang tergantung rapi. Remaja itu mengamati semua dengan seksama, seperti tengah menghapal dan menscan dengan sorot tajam bola mata keabu-abuan miliknya.
"Nah Draco, kamarmu ada di lantai 2, ayo Uncle antar!" tepukan dari seorang pria berusia akhir tiga puluh tahunan menginterupsi kegiatannya. Tanpa banyak kata, ia hanya mengangguk dan mengikuti langkah tegap pria itu. Mereka menaiki tangga lurus dengan pegangan kayu tak berukiran tanpa ada satupun pembicaraan.
"Aunt Lily?" tanya remaja itu tiba-tiba saat keduanya sampai di depan pintu kamar bercat coklat itu.
"Sedang menjemput Harry, puteri kami. Dia seusia denganmu, kuharap kalian bisa berteman baik," pria itu tersenyum lembut sambil membuka pintu dan kembali memimpin masuk.
"Ini kamarmu Draco. Maaf kalau tidak semewah kamarmu di mansion. Di sini hanya ada tempat tidur, lemari pakaian dan meja belajar. Semoga kau tidak merasa kesulitan menyesuaikan diri,"
"Ini sudah lebih dari cukup Uncle James, aku sudah sangat bersyukur ," remaja itu memaksakan sebuah senyum penuh rasa terima kasih.
"Aku lega mendengarnya. Baiklah, Uncle akan mengambilkan beberapa barangmu yang masih di bawah. Sementara kau rapikan dulu isi ranselmu itu. Kalau ada apa-apa kau tinggal panggil Uncle," pria bernama James itu mengacak rambut pirang platina milik si remaja lelaki, kemudian meninggalkannya seorang diri di ruangan yang telah resmi menjadi kamarnya.
Sebuah helaan nafas panjang memasuki organ pernafasannya sepeninggal pria bernama James beberapa detik sebelumnya. Remaja lelaki yang usianya mungkin baru menginjak sekitar 13 tahun itu menghempaskan diri di single bed yang dilapisi bed cover warna hijau tua polos. Matanya menerawang langit-langit kamar. Menahan cairan bening yang siap untuk tumpah kapanpun ia kehendaki. Tapi sekuat tenaga ditahannya agar air matanya tersimpan rapat-rapat.
"Aku tidak boleh menangis. Mom dan Dad akan sedih jika aku menangis. Tidak…Ini tidak boleh…" gumamnya sambil menggelengkan kepala dan kemudian cepat-cepat beranjak kembali. Mengambil ransel warna hitam yang tergeletak begitu saja di lantai, membongkar isinya, beberapa potong baju miliknya yang langsung dirapikan ke dalam lemari, sebuah foto berbingkai emas yang memperlihatkan wajah cerianya bersama dua orang dewasa, Mom dan Dad nya, buru-buru ditaruhnya di puncak meja belajarnya, lalu kembali mengeluarkan beberapa buku pelajaran yang kemudian ditatanya di meja belajar yang sama. Saat James kembali membawakan sekoper penuh barang miliknya ke dalam kamar, semua isi ranselnya sudah tertata di tempatnya.
"Wow, kau benar-benar anak yang rapi dan cekatan, Draco. Tidak heran jika Lucy dan Cissy terlalu berlebihan membanggakanmu. Berbeda sekali dengan anak Uncle yang justru bangga dengan kamar berantakannya," keluh James sambil memandang berkeliling di kamar milik Draco.
"Uncle berlebihan. Aku ini hanya tidak suka dengan hal-hal yang berantakan. Itu saja," Draco kembali berkutat dengan barangnya yang berada di koper, mengambilnya dan menatanya hingga rapi pada tempatnya. Membuat James kambali hanya bisa berdecak kagum melihat tingkah laku anak sahabatnya yang menurutnya sudah kelewat dewasa untuk ukuran seusianya itu.
"Oiya, kau lapar Draco?" tanya James saat melihat Draco sudah selesai dengan kegiatan beres-beresnya.
"Sedikit, Uncle," jawab Draco singkat.
"Hmmm, ayo turun dan coba kita cek isi kulkas untuk melihat kemungkinan makan siang yang bisa kita santap," James tersenyum jenaka lalu menggandeng tangan Draco agar mengikutinya turun ke dapur, sementara Draco hanya menurut dan kembali mengikuti kemana James berjalan.
"Nah, hanya ada salad, pai, ayam panggang yang harus dipanaskan, hmmm, kau mau apa Draco?"
"Pai saja Uncle, kebetulan aku belum terlalu lapar!"
"Kau anak laki-laki, saat seusiamu aku makan banyak setiap saat, jangan takut gemuk!" kembali senyum jenaka menghiasi wajah berkacamata itu, membuat Draco mau tidak mau ikut tersenyum.
James mengambil dua potong besar pai dan menaruhnya di dua piring, lalu menyerahkan salah satu piring kepada Draco. Mereka kemudian duduk di kursi makan berhadapan.
"Kuharap kau benar-benar menyukai rumah Uncle ini, kau tidak usah memikirkan apa-apa. Uncle, Aunt Lily dan kedua orang tuamu adalah sahabat baik sejak kecil, jadi semua keperluan hidupmu akan kami tanggung. Dan kau juga masih terus boleh berharap, semoga kedua orang tuamu bisa ditemukan secepatnya. Kurasa meskipun kecil masih ada kemungkinan mereka masih hidup. Tentang hutang keluargamu, kemarin pengacara orang tuamu mengatakan bahwa semuanya sudah bisa terbayar dengan hasil penjualan mansionmu,"James menyuapkan sepotong kecil pai ke dalam mulutnya.
"Iya Uncle, terima kasih. Uncle dan Aunt sudah berbuat terlalu baik kepadaku, aku sampai tidak tahu harus bagaimana untuk membalas jasa kalian kelak. Dan tentang orang tuaku, selama aku tidak melihat dengan mata kepalaku sendiri kondisi mereka, aku akan tetap berharap mereka masih hidup, meskipun kapal yang mereka tumpangi karam seperti itu," Draco hanya memainkan pai di piringnya tanpa ada niatan untuk memakannya.
James kembali tersenyum memandang Malfoy muda di hadapannya, "entah apa yang diajarkan Lucy dan Cissy kepadamu hingga kau sudah berpikiran sedewasa itu, tapi kuharap kau tidak usah memikirkan masalah balas jasa atau apapun. Kami berdua ikhlas, kau akan kami anggap seperti putera kami sendiri. Kebetulan juga, Uncle dan Aunt hanya punya seorang anak perempuan, jadi kau bisa berada di pihakku saat kita nanti melakukan berbagai permainan bersama. Hah, selama ini Harry selalu saja berada di pihak Lily hanya karena mereka sama-sama perempuan. Dengan kedatangamu, kedudukan akan menjadi seimbang. Bagus!" gumam James, membuat Draco kembali tersenyum.
'Sepertinya keluarga Uncle James sangat menyenangkan,' bathin Draco sambil menelan potongan pai pertamanya.
XX
Draco sedang membantu James mencuci piring kotor saat bel rumah itu berbunyi. Buru-buru James berlari kemudian membuka pintu dan disambut ocehan ramai dua suara perempuan, yang satu suara perempuan dewasa dan yang satunya anak remaja.
"Dad, Mom tidak mau membelikanku sepatu saat kami tadi berbelanja, padahal aku sangat menyukai modelnya," keluh suara anak perempuan itu, terdengar langkahnya menaiki tangga menuju kamarnya di lantai 2.
"Kau masih punya dua pasang sepatu yang masih bagus, Harry. Untuk apa beli sepatu baru, bukankah sudah Mom bilang, kita beli barang sesuai kebutuhan," kilah suara wanita yang lebih dewasa.
"Tapi nanti saat sepatuku rusak, model yang seperti itu tidak akan ada lagi stoknya, Mom…" jawab sang anak.
"Sudahlah Harry, Mom mu benar. Sebaiknya uang yang akan untuk membeli sepatu kau tabung untuk keperluan lain,"
"Dad, you don't understand! Teman-temanku semua punya sepatu lebih dari tiga pasang, sementara aku hanya dua, ah sudahlah, aku mau ganti baju dulu!" dan suara pintu ditutup menandakan sang anak remaja putri itu sudah masuk ke dalam kamarnya.
"Kau dengar James, putrimu itu terlalu manja sekarang. Itu karena kau selalu menuruti kemauannya," Lily berjalan menuju ke dapur lalu meletakkan barang belanjaannya, sementara sang suami mengikutinya sambil membawakan beberapa belanjaan lain.
"Aku tidak begitu, Lils. Aku hanya membelikan baju setiap pergantian musim,"
"Juga semua pernak-pernik yang dia minta. Oh James, kau terlalu memanjakan Harry!"
"Sudahlah, malu didengar Draco!" James member isyarat kepada istrinya, menggerakkan dagunya ke arah Draco yang sedang mengeringkan tangannya.
"Draco. Oh Dear, kapan kau datang? Maaf, Aunt tidak bisa ikut menjemputmu tadi, kau tahu kan pekerjaan Aunt tidak bisa ditinggal, dan Aunt juga harus menjemput Harry," wanita bernama Lily itu memeluk Draco dengan hangat.
"Tidak apa-apa Aunt Lily, tadi Uncle sudah banyak membantuku. Kurasa tidak jadi masalah,"jawab Draco.
"Ya ampun, apa yang barusan kau lakukan? Kau mencuci piring? Hei James, kenapa kau biarkan Draco melakukan ini? Dia kan baru saja datang ke rumah kita, setidaknya harus banyak beristirahat dulu," Lily memandang sengit ke arah suaminya.
"Aku yang ingin melakukannya Aunt. Dan jangan khawatirkan kondisiku, semuanya baik-baik saja. Mencuci piring itu bukan pekerjaan berat. Mom sering memintaku untuk melakukannya sejak aku berusia 11 tahun," cerita Draco.
"Benarkah? Itu sangat luar biasa, Draco. Harry saja sangat sulit untuk kusuruh membantu pekerjaan rumah. Oiya, ngomong-ngomong, apakah kau sudah makan, Dear?"
"Kami sudah menghabiskan pai di kulkas Lils. Aku tiga perempat dan Draco seperempatnya," cengir James dan langsung mendapatkan pelototan gratis dari sang istri.
"Kau belum kenal dengan Harry bukan?" tanya Lily lagi sambil mengaduk tas belanjaannya dan mengambil sekotak es krim dingin. Draco menggeleng perlahan mendengar pertanyaan Lily.
"Harry putri kami. Namanya memang nama laki-laki, itu juga karena Uncle mu yang memaksa karena dia sebenarnya sangat menginginkan anak laki-laki dan sudah menyiapkan nama itu jauh sebelum Harry lahir. Jadi meskipun akhirnya Aunt melahirkan anak perempuan, namun nama itu tetap digunakan juga. Entah mengapa, mungkin pengaruh nama, akhirnya Harry putri kami juga senang bertingkah laku lumayan tomboy, kau nanti akan mengerti kalau melihatnya sendiri," cerita Lily panjang.
"Semoga Harry bisa menerima keberadaanku di rumahnya ini, Aunt!" ucap Draco pelan.
"Tentu saja, dia harus menerimamu. Kebetulan dia sejak lama sebenarnya menginginkan memiliki seorang saudara, bukankah ini sangat tepat momentnya?"
"Tapi entah mengapa aku khawatir, Aunt!"
"Tidak usah terlalu kau pikirkan, Dear!"
"Mom, mana es krimku?" mendadak suara seorang remaja perempuan menginterupsi pembicaraan Lily.
Dan masuklah sesosok remaja perempuan seusia Draco. Mengenakan celana pendek warna hitam dan t-shirt putih, rambutnya pendek terlihat tidak rapi dan matanya berbingkai kacamata berbentuk bulat. Wajah gadis itu secara keseluruhan lumayan manis. Gadis itu langsung duduk di kursi yang kebetulan berhadapan langsung dengan kursi yang tengah Draco duduki.
Sesaat keduanya sedikit terkaget. Saling memandang mencoba untuk saling mengenali. Tapi kemudian Harry yang memutus pandangan lebih dulu.
"Mom, mana es krimku?" ulang gadis itu, mengacuhkan keberadaan Draco di hadapannya, sementara Draco hanya bisa menghela napas panjang. Mulai muncul kembali kekhawatiran di hatinya tentang kemungkinan keberadaannya yang tidak diterima oleh gadis itu.
"Harry, sopanlah sedikit, ada Draco di sini. Ah, sebaiknya kalian berkenalan dulu. Draco, ini putri Aunt, Harry James Potter namanya, panggil saja Harry. Dan Harry, ini putra dari Uncle Lucy dan Aunt Cissy, Draco Lucius Malfoy, seperti yang kemarin sudah kita diskusikan, mulai hari ini Draco akan tinggal di rumah kita," ucap Lily memperkenalkan kedua anak remaja itu.
Keduanya saling bersalaman dan kemudian saling melepas dalam durasi yang cepat.
"Kuharap kalian bisa menjadi teman baik, atau menjadi saudara angkat," senyum Lily penuh harap.
"Hei, aku ketinggalan sesuatu?" James kembali bergabung sambil membawa beberapa barang belanjaan lain yang baru saja diangkutnya dari mobil istrinya.
"Tidak James, hanya saja Harry dan Draco barusan berkenalan,"
"Ah, padahal aku sudah menyiapkan kamera untuk merekam wajah Harry dan Draco," wajah James pura-pura menyesal, sementara Harry mendelik garang kepada Daddy nya yang ia tahu pasti sedang berusaha berkelakar lagi.
"Sudahlah, aku mau makan es krimku," ucap Harry kini berkonsentrasi pada es krim di tangan Momnya,
"Kali ini bagi dua dengan Draco, dan Mom yang membagi, okay!"
"Mana bisa begitu, itu jatahku Mom," Harry tak terima.
"Ini namanya berbagi, 'Rry. Mulai sekarang kau punya saudara, jadi apapun harus kau bagi!" James mengacak rambut putrinya.
"Aku tidak mau. Pokoknya es krim itu milikku. Titik!" teriak Harry sambil cemberut dan merajuk.
"Harry!" teriak Lily.
"Sudahlah Aunt, aku kebetulan tidak suka es krim, jadi tidak usah memikirkanku!" ucap Draco menengahi.
"Mom dengar sendiri kan!" ucap Harry langsung menyahut sekotak es krim itu dari tangan Mom nya.
Sementara James dan Lily hanya menggeleng melihat tingkah putri semata wayangnya itu.
Bersambung ...
author note : hmmm...saya sudah lama ni ga nulis ff yang bersambung gini. sedikit kekhawatiran karena biasanya saya menulis bergantung dengan mood. kalao mood bagus maka saya bisa terus dan terus nulis, tapi kalo mood jelek, saya biasanya jadi susah dapet ide ... makanya akhir-akhir ini saya lebih suka bikin 1 oneshot karena lebih nyaman ... hehehe... tapi entah mengapa saya pengen banget bikin ff Draco-FemHarry yang chapter, semoga saja bisa saya tulis sampai selesai ...
oiya, di ff saya satu ini, Draco saya sulap jadi anak baik ... wkwk ... smg tidak mengecewakan
tolong yang sudah baca kasih review ya, kasih masukan ke saya...
Makasih ...
