a/n: dapet ide nulis beginian gara-gara menjelang UKK kemarin setiap hari main Pet War di kelas #howcome

warnings: ini pertama kalinya saya bikin cerita bertemakan politik dan international relations jadi mungkin ada banyak yang salah-salah, terus OOC dan typo mungkin ada, dan disini the dissolution of Prussia menyebabkan Prussia benar-benar menghilang, nggak jadi East Germany seperti di cerita Hetalia aslinya. Mungkin ada beberapa hal yang nggak sesuai dengan fakta sejarah, jadi mohon koreksinya. Various pairings, mainly PrussHung. Gambar cover bukan milik saya. Human name used karena saya bingung orz XD Future setting, kebanyakan warning.


"…and the result of the conference is an agreement between three countries—Germany, Hungary, and Austria, we three countries hereby announce an alliance called Berlin-Budapest-Vienna Alliance with a certain purpose, which is to re-establish a dissolved nation in 1947, Freistaat Preußen."


Resurrection: Countdown to Reunion

Mission 01 ~Announcement~

Hetalia: Axis Powers © Hidekaz Himaruya


[Washington D.C, Fall 2047]

Layar kristal tipis di ruangan itu masih saja menyala, menyiarkan satu berita dari daratan Eropa yang akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian dunia. Berita ini disiarkan secara nonstop, padahal pengumuman menggemparkan yang menjadi inti berita tersebut sudah selesai diumumkan beberapa jam yang lalu. Nyaris semua saluran televisi menampilkan wajah seorang gadis Magyar bersurai cokelat dan bermanik hijau, representasi dari negara Hongaria, berdiri di atas podium dengan ekspresi dan tatapan mata penuh determinasi yang seolah tak akan bisa goyah, dikelilingi pemuda tegas bersurai pirang di kirinya serta pemuda berkacamata berpotongan aristokrat di kanannya. Beberapa acara berita sampai mengundang seorang pembicara untuk mengomentari wacana pembentukan ulang Freistaat Preußen yang menjadi tujuan utama dari aliansi tiga negara tersebut.

Sang pemilik televisi hanya mengeluh bosan sambil memindah-mindahkan saluran, berharap ada saluran lain yang tidak membahas berita ini selain saluran kartun anak-anak, saluran musik, dan saluran khusus telenovela yang menayangkan drama-drama romantis nonstop. Manik biru sang pemilik televisi yang terbingkai sebentuk kacamata itu meredup bosan, sampai akhirnya ia memutuskan untuk mematikan televisinya tanpa ragu. Ia sama sekali tak memiliki ketertarikan pada wacana yang diumumkan sang representasi sekaligus personifikasi negara Hongaria itu, meskipun kini wacana itu sudah menarik perhatian seluruh dunia. Ia menguap malas, sedikit senang juga karena telepon seluler di mejanya belum berdering sampai sekarang—

KRIIIING.

—sepertinya ketenangan sang personifikasi negara adidaya sudah harus diakhiri sekarang. Pemuda pemilik manik biru dan surai pirang itu beringsut mendekati meja, dan menjawab panggilan yang masuk ke telepon selulernya itu.

"…halo?"

Pemuda itu hanya terdiam, membiarkan lawan bicaranya berbicara sampai puas. Diliriknya jam dengan malas—hmm, sudah tiga menit…

"Baiklah, aku akan melakukan sesuatu. Ya, ya. Aku tahu. Baiklah."

Pip.

Sambungan terputus tanpa salam perpisahan. Helaan napas panjang terdengar sejenak, disusul dering berikutnya dari sang telepon seluler. Diliriknya sekilas caller ID yang terpampang di layar telepon selulernya, dan sudut-sudut bibirnya refleks terangkat.

"Yo! Tumben sekali kau meneleponku pagi-pagi begini, merindukanku?"

Yang didapat bukanlah jawaban, melainkan omelan panjang dengan kecepatan super memenuhi gendang telinga sang personifikasi negara adidaya. Seperti sudah mengantisipasi reaksi semacam itu, sang pemuda beriris biru langit hanya bisa tertawa sambil pura-pura tidak mendengarkan omelan penuh protes yang menuduhnya terlalu percaya diri.

"Iya iya iya, kau tidak usah mengomel seperti itu, Iggy. Berisik!" komentar pemuda itu tanpa memperhitungkan kalau ucapannya barusan akan memicu omelan yang lebih panjang disertai umpatan-umpatan terselip diantara kalimatnya. "Oke—oke, terserah kau saja. Jadi, ada apa pagi-pagi begini meneleponku, hmm—"

"Pagi kepalamu! Meskipun kita berada di zona waktu yang berbeda, aku tahu pasti kalau di tempatmu sekarang sudah siang, git!" seru suara di seberang sana. "Kau sudah lihat berita? Oke, tidak usah dijawab, aku tahu kau pasti sudah lihat berita."

"Hng," pemuda itu menaikkan tangannya untuk mengais-ngais surai pirangnya yang masih berantakan. "Kau juga pasti sudah melihatnya kan. Lalu ada apa?"

Lima detik dihabiskan dalam keheningan sebelum akhirnya gelombang suara dari speaker sang telepon genggam kembali merambat dalam gendang telinga sang pemuda bersurai pirang. "…bagaimana pendapatmu soal itu?"

"Soal pembentukan ulang Freistaat Preußen?"

"…bukan, soal pembentukan organisasi ibu-ibu PKK se-Afrika dan Eropa."

"…Oh."

"Bukan 'Oh' bodoh! Tentu saja aku membicarakan soal pembentukan ulang Freistaat Preußen!" kembali omelan meluncur dari personifikasi negara kepulauan United Kingdom yang berbicara di seberang sana. "Kau tahu sendiri aku tidak mungkin mengurusi soal ibu-ibu PKK."

"Eh? Tapi aku bisa dengan jelas membayangkanmu bersama ibu-ibu lho, Iggy~"sang personifikasi negara Amerika Serikat itu menampilkan sebuah cengiran jahil yang tak akan mungkin bisa dilihat lawan bicaranya—kecuali jika mereka menggunakan fasilitas video call.

"Tutup mulut! Lebih baik kita kembali ke pembicaraan kita sebelumnya!" omelan yang didengarnya barusan tak lantas membuat cengiran jahil di wajah pemuda bermanik biru langit itu menghilang. "Sekali lagi, aku tanya pendapatmu soal ini."

Pemuda itu, masih mempertahankan cengirannya meskipun topik yang tengah dibahasnya merupakan hal yang serius, menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa empuk yang tengah didudukinya. "Yaaa… bosku sudah menghubungiku dan menyuruhku untuk melakukan sesuatu mengenai hal ini, tapi kalau kau tanya pendapatku sih… pendapatmu sendiri bagaimana, Iggy?"

"Aku yang bertanya padamu duluan, dan stop memanggilku Iggy."

"Oke, oke—Arthur. Kalau menurutmu sendiri, bagaimana, hm? Aku mau dengar pendapatmu terlebih dahulu sebelum aku mengutarakan pendapatku."

"Curang sekali kau," protes sang personifikasi United Kingdom, Arthur Kirkland. Meskipun memprotes, ia tetap menjawab. "Kau tahu—menurutku hal ini akan menimbulkan banyak kecurigaan. Mendirikan kembali nation yang sudah terpecah dan menghilang dari peta dunia… jika aku orang awam, aku akan menganggap hal itu sebagai hal yang kurang kerjaan, dan kau tahu aku bukan orang awam. Wajar kalau aku curiga ini hanyalah sebuah kamuflase untuk membangun suatu kekuatan baru yang mungkin membahayakan negara lain—"

"Sudah kuduga jalan pikiranmu pasti begitu, Art."

"Eh-heh?"

Satu helaan napas mengisi tiga detik tanpa kalimat yang keluar dari mulut mereka berdua.

"Aku tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran gadis Magyar itu, Art, tapi yang jelas, aku pernah tahu rasanya kehilangan orang yang sangat disayangi."

"A-alfred?"

Pip. Meninggalkan lawan bicaranya dalam kebingungan, Alfred F. Jones memutuskan sambungan telepon dan beranjak dari sofa empuk yang sedari tadi didudukinya, kemudian bergegas meninggalkan ruang televisi. Ada tempat yang harus dikunjunginya sekarang.


"Bagaimana, Roderich?"

Satu baris pertanyaan yang memiliki beragam penafsiran itu meluncur dari bibir sang gadis Magyar bersurai cokelat, membuat pemuda berkacamata yang duduk di sebelahnya—sambil membaca berbagai macam dokumen melalui sebuah telepon seluler yang memproyeksikan sebuah layar virtual seukuran kertas A4—mendongakkan kepalanya dan menatap sang gadis dengan manik amethyst-nya.

"Bisa kauperjelas 'bagaimana' apa yang kau maksud, Elizaveta?" Roderich mengembalikan fokusnya kepada barisan kalimat berbahasa Inggris yang tengah dibacanya di layar virtual itu. "Kalau kau tanya bagaimana reaksi dunia mengenai pengumuman aliansi kita, artikel ini akan menjawabnya untukmu."

"Kau tahu yang aku maksud bukan itu, Rod."

Sekali lagi Roderich Edelstein, representasi sekaligus personifikasi negara Austria, mendongakkan kepalanya untuk menatap lawan bicaranya—Elizaveta Hedervary, gadis Magyar bersurai cokelat sepanjang pinggang yang bahkan sama sekali tidak menatapnya. Manik emerald-nya melayangkan tatapan kepada pemandangan Kota Berlin yang bisa dilihatnya dari balik jendela kaca yang lebih tinggi daripada tubuhnya, alih-alih memandang Roderich. Roderich menghela napasnya, mematikan layar virtual dari telepon selulernya dan berjalan mendekati gadis itu.

"Kalau boleh jujur, aku belum sepenuhnya setuju dengan tindakanmu ini."

"Aku tahu. Ludwig juga," tanpa mengalihkan pandangannya dari pemandangan Kota Berlin tahun 2047. "Tapi aku tidak terkejut melihat kalian masih mau membantuku."

"Hng," Roderich menyenderkan sisi kanan tubuhnya ke jendela kaca itu. "Meskipun kau tak tahu alasan kami membantumu?"

"Meskipun aku tidak tahu itu," gumam Elizaveta mengulang pernyataan Roderich. "Dan aku berterima kasih banyak atas bantuan kalian."

Roderich kembali terdiam, tindakan yang sinkron dengan perangainya sebagai orang yang lebih suka diam daripada mengatakan hal yang tidak perlu—namun kali ini, sebenarnya bukan hal yang tidak perlu yang ingin dikatakannya. Tapi lebih kepada tidak ingin.

Hal itu sebenarnya penting, namun tidak ingin ia katakan.

Bukan tabiat Roderich untuk tidak mengatakan hal yang penting—karena biasanya hal-hal penting meskipun menyakitkan akan langsung menyembur dari mulutnya tanpa ragu-ragu—dan bisa disimpulkan, keputusannya untuk tetap diam merupakan caranya untuk menjaga perasaan Elizaveta.

Elizaveta yang selama ini berusaha untuk terlihat tegar apapun yang terjadi—meskipun ada beban yang mengganjal di hatinya sejak seratus tahun silam, selalu berusaha untuk bertindak tanpa dipengaruhi oleh beban tersebut. Ia selalu berusaha melakukan yang terbaik.

Jadi tidak salah kalau Roderich juga berusaha sebaik mungkin untuk menjaga perasaan gadis itu.

"Apa menurutmu… rencana ini akan berhasil?"

Sebetulnya pertanyaan itu retoris. Ya, Elizaveta tak membutuhkan jawaban dari pertanyaannya barusan. Roderich sendiri tak mau repot-repot menjawab. Karena ia tahu, bagaimanapun caranya, mereka harus berhasil. Mereka harus berhasil mengembalikan Freistaat Preußen sebagai satu nation yang berdaulat dan melukis teritorinya di peta dunia. Demi sebuah janji yang terukir seratus tahun silam…

"Mereka pasti berpikir aku egois, iya kan, Roderich?" timbre messo Elizaveta terdengar bergetar, membuat Roderich mengalihkan pandangan manik amethyst-nya kepada pot bunga yang menghiasi sudut ruangan. Ia tahu 'mereka' yang Elizaveta maksud adalah nation-nation lain di dunia ini. "Mereka pasti tak habis pikir kenapa aku mau membangun kembali negara yang sudah menghilang tanpa alasan yang jelas… mereka bisa saja mencurigaiku…"

"Jangan bilang begitu dulu. Kalau mereka belum tahu alasannya, wajar untuk berpikiran seperti itu," kini Roderich tidak dapat menahan keinginannya untuk berbicara. "Kau ingin membangun kembali Freistaat Preußen, kan? Kalau kau benar-benar ingin melakukannya, tetapkan hatimu. Jangan terpengaruh orang lain, setidaknya sampai langkah kaki terakhirmu menuju destinasimu. Kurasa jika orang itu melihatmu ragu hanya karena memikirkan apa kata orang lain seperti ini, dia akan mentertawakanmu habis-habisan sampai ia lupa untuk berhenti."

Seulas senyum menghiasi wajah manis Elizaveta begitu Roderich menyelesaikan kalimatnya. Ia bahagia dengan kalimat Roderich barusan. Ia bahagia karena Roderich masih mendukungnya. Dan ia bahagia karena Roderich masih mengungkit-ungkit soal 'orang itu'.

"Terima kasih, Roderich," gumam Elizaveta tulus. "Aku betul-betul berterima kasih padamu."

Roderich memberikan 'hm' singkat sebelum melanjutkan, "Aku harus pergi, Elizaveta. Tampaknya Vash ingin membicarakan sesuatu denganku mengenai hal ini. Kau beristirahatlah—setelah kerja kerasmu selama bertahun-tahun, kau layak mendapatkan istirahat juga."

"Ya. Sekali lagi terima kasih, Roderich."

Tanpa basa-basi lagi Roderich berbalik dan meninggalkan gadis bermanik emerald itu sendirian, menghilang di balik pintu otomatis yang menjadi akses masuk ke ruangan ini. Sepeninggal Roderich, Elizaveta melayangkan pandangannya ke hamparan langit biru yang luas, memproyeksikan imaji sosok seseorang yang tengah mengisi pikirannya ke kanvas biru tiada batas itu. Senyumnya kembali merekah, menciptakan sebuah senyum yang layak untuk membalas senyuman milik proyeksi imaji seseorang yang ada di dalam pikirannya itu.

"Sebentar lagi, Gil. Aku janji… sebentar lagi.*


"Hei, memangnya apa yang salah dengan melakukan hal yang orang-orang anggap bodoh jika itu adalah jalan menjadi impian kita? Kalau aku jadi kau, aku tidak akan peduli! Biarkan saja mereka berkata apa, mengejek juga silakan, asalkan kita tidak berhenti berlari. Kalau begitu terus, kapan kita akan meraih mimpi kita?"


to be continued

a/n: masih pendek karena baru awal. diusahakan chapter depan lebih panjang. dan meskipun saya nulis ini bukan berarti saya ngga ngelanjutin Shiawase Iro no Hana loh. Masih lanjut kok itu, meskipun updatenya bakal lama-banget. Oke, kritik dan sarannya? :D

Haik iijyou, Arisa deshita.