Overshadowed Feelings
.
Characters belong to Masashi Kishimoto.
.
This Is SasuHina Story!
Alternative Universe! Out Of Character! Plot Rush! Unbetaed! Grammatical Errors! Typical Errors!
You've been warned!
.
.
.
Angin saling berlomba bertiup kencang, membuat tumbuhan dan pepohonan membengkok tak kuat, bahkan nyaris tumbang. Aroma yang dikeluarkan tanah yang terciprati air hujan masih tercium. Langit di atas kota terlalu kelabu jika mengingat ini baru saja pukul lima sore waktu musim gugur.
Satu daun kecil yang rapuh terjatuh, terbang bersama daun tak beruntung lainnya. Beberapa cepat menyentuh tanah, beberapa masih bersedia dimainkan angin sore. Satu daun lama menari bersama angin, hingga angin mengantarkannya masuk ke salah satu jendela dan mendaratkannya di satu wajah.
Si pemilik wajah melenguh terganggu dan menyingkirkan daun yang mengusiknya tadi. Namun kemudian ia kembali termenung, atau entah hanya menatap laba-laba membuat jaring di pojok ruangan yang kini ia tempati.
Tapi akhirnya ia bangkit, menurunkan kakinya dari ranjang dan duduk sesaat barang untuk mengumpulkan sisa kesadarannya yang mungkin masih dibawa menjelajah bersama angin. Ia berdiri perlahan, antara belum siap bangun dan menahan nyeri tubuhnya, kemudian berjalan menuju kamar mandi.
Ia menahan pintu kamar mandi itu terbuka dan masuk ke dalamnya. Dan hal pertama yang akan ia sapa di dalam ruang kecil itu adalah cermin. Selalu benda itu. Ia menatap pantulan bayangan sosoknya sendiri dan mengeryit. Semakin waktu berjalan, ternyata apa yang ia dapatkan semakin buruk.
Eyeliner yang meleber kesegala arah, mata merah, jejak air mata yang jelek. Surai indigo yang berantakan, bibirnya terlihat membiru, bekas gigitan di dagu dan telinganya, jejak merah dan ungu hasil cupangan di lehernya yang terlihat hampir akan mengeluarkan darah. Dan tubuhnya bukanlah pengecualian, tanda yang serupa juga rasa nyeri yang mendera masih sangat jelas dirasakannya.
Seluruh tubuhnya berteriak kesakitan hingga ia melawan dirinya sendiri untuk tak merosot di lantai kamar mandi. Ia perlahan berjalan menuju pancuran, perlahan menggunakan waktunya untuk mandi. Ia beberapa kali mendesis karena perih yang muncul di sana sini saat air menyentuh permukaan kulitnya. Selesainya ia keluar dan memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai kamar tadi.
"Hinata."
Suara rendah yang sudah pasti milik seorang lelaki itu datang dari arah tempat tidur, dan Hinata seketika menghentikan gerakan memakai bajunya sementara. Hanya sementara, beberapa detik untuk kemudian wanita itu kembali berlaku biasa, merapikan pakaiannya kemudian mengemasi barang-barangnya.
Sepasang tangan kuat melingkar di perutnya ringan saat ia berusaha memasukkan barang-barangnya ke dalam tas tangan yang ia gunakan. Detik berikutnya, ia merasakan tubuh lain menghimpitkan diri di punggungnya.
"Mau pergi ke suatu tempat, huh?" lelaki yang memanggil namanya tadi kini kembali berujar, bernafas di tengkuknya, membuat Hinata harus menahan diri agar tak bergetar karena sensasi merinding yang diciptakan lelaki itu.
"A-aku harus pergi kerja," jawab Hinata, berusaha tenang.
"Haruskah?" tanya lelaki itu lagi. "Tinggallah," dan yang satu itu bukanlah sebuah permintaan, melainkan perintah.
"Aku benar-benar harus pergi," sekarang Hinata tak bisa menahan dirinya untuk tak bergetar.
Lelaki itu menghela nafas kemudian melonggarkan pelukannya. "Baiklah, tapi aku ingin kau kembali kemari besok," ujarnya.
"Aku akan datang," jawab Hinata meyakinkan. Dan Hinata memang akan datang padanya lagi besok. "Aku... pergi sekarang?" tambahnya, lebih menanyakan izin untuk pergi kepada lelaki itu.
Separuh dari diri Hinata ingin tinggal. Sungguh. Bagian dari dirinya tak ingin pergi dari sana. Hinata terlalu terbiasa dengan pelukan itu. Pelukan itu begitu hangat, namun dingin di waktu yang bersamaan.
Hinata begitu kecanduan atas kehangatan dan rasa nyaman saat ia berada di rengkuhan lelaki itu. Namun di waktu yang bersamaan, Hinata juga ketakutan terhadap iris berkilat yang memang hobi menghadiahkan rasa sakit itu. Ia ingin tinggal namun ia ingin kabur dari lelaki itu. Ia ingin menjauh, namun tak bisa karena ia telah jatuh terlalu dalam, karena ia telah menutup sendiri satu-satunya jalan keluar yang tersedia, membuatnya terjebak dalam rengkuhan lelaki itu, selamanya.
Tangan yang merengkuhnya terlepas, dan Hinata segera bergerak menjauh sebelum lelaki itu mengubah pikirannya. Hinata melangkah cepat menuju pintu, keluar dari apartemen itu, turun melalui tangga yang tersedia dan kembali membaur bersama hiruk pikuk kota untuk sampai ke apartemennya.
Dan ia harus segera sampai ke apartemennya jika tak ingin menarik lebih banyak perhatian karena berbagai tanda yang menghiasi dagu hingga lehernya yang kemungkinan besar membuatnya terlihat seperti pelacur. Hinata mempercepat langkahnya, merapatkan kerah jaketnya lebih tinggi, berharap sedikit menutupi sesuatu disana.
Setibanya di depan gedung apartemen, Hinata mempercepat laju langkahnya melewati lorong sehingga wanita-wanita penggosip yang biasa berkumpul di sekitar sana tak perlu melihatnya. Di depat pintu apartemennya dengan cepat Hinata menekan sandi untuk membuka pintu itu, ia masuk ke dalamnya kemudian menutupnya kembali.
Di dalam, Hinata tak bergerak lebih jauh. Ia bersandar di badan pintu dan membiarkan tubuhnya merosot. Lututnya ia tekuk ke depan hampir menyentuh dadanya dan tangannya melingkari lututnya itu sedang wajahnya ia benamkan. Wanita itu mulai menangis.
Hinata tak pernah membiarkan siapapun melihatnya menangis. Tak pernah lagi sejak kejadian malam itu. Tak siapapun, kecuali dia.
Dering ponsel menyela kegiatan baru Hinata, tanpa pikir panjang ia mengambil ponsel itu dari tasnya kemudian mengangkatnya. Toh tadinya ia tak menangis tersegu hingga ia yakin suaranya takkan membuat si penelpon menuduh tentang apa yang terjadi padanya.
"Halo," buka Hinata.
"Hei! HyuugaHinata! Dimana kau sekarang, huh?! Kau tahu kita punya pesanan besar untuk besok! Munculkan dirimu secepatnya di hadapanku, mengerti?!" omelan yang meleking itulah sapaan balik yang diterima Hinata.
"Aku mengerti. Kau tak perlu berteriak padaku seperti itu, sungguh. Aku bisa saja tuli karena suaramu," Hinata memutar bola matanya merespon bos sekaligus sahabatnya itu.
"Hahaha, baiklah-baiklah. Kutunggu kau dalam sepeluh menit," dan sambungannya terputus.
..
...
..
Hinata berjalan memasuki area kafe dengan nama Quadri Caffe. Ia mendorong salah satu pintu kaca ganda kafe itu meskipun tandanya masih menunjukkan kata 'Tutup'. Hinata membenarkan letak scarf-nya sebelum melangkah lebih jauh saat melihat Tenten, bos plus sahabatnya itu, tengah mengukir sesuatu di atas krim yang mengapung pada kopinya.
Tenten mengangkat kepalanya menyadari kehadiran seseorang di kafenya. Senyumnya masih mengembang melihat siapa yang datang namun detik berikutnya ekspresinya berganti drastis menyadari sesuatu yang berbeda dari Hinata.
"Ya Tuhan! Katakan padaku kau tidak..." Tenten menatap Hinata dengan tatapan horor tanpa merampungkan kalimatnya.
Hinata hanya menghela nafas secukupnya. Ia bergerak ke dapur, mengambil satu apron dan memakaikannya di tubuhnya sendiri, sedikit mengabaikan Tenten yang mengikutinya.
"Kukira kau bilang padaku bahwa dia tidak akan menyakitimu," omel Tenten, nadanya marah namun juga kental akan kekhawatiran.
"Dia tidak menyakitiku, Tenten," jawab Hinata ringan tanpa melirik lawan bicaranya.
"Hinata! Ini gila! Kenapa kau masih saja menemuinya, huh?!" dan jelas, Tenten tak menyukai dia yang mereka bicarakan itu.
"Karena aku tak memiliki pilihan lain," jawab Hinata, sama entengnya. Ia hanya tak ingin memperlihatkan bahwa masalah yang satu ini begitu menyiksa batinnya.
"Tapi lelaki brengsek itu selalu menyiksamu, Hinata!"
"Dia mencintaiku, Tenten," sanggah Hinata, kini matanya menatap mata Tenten, bukan dengan tatapan marah melainkan tatapan sendu. "Dia sangat mencintaiku sampai aku bahkan merasa tidak pantas mendapatkan cintanya," lanjut Hinata.
"Dia yang tidak pantas untuk kau cintai, Hinata. Tapi Sasuke pantas. Sasuke lah yang benar-benar mencintaimu, bagaimana bisa kau tak menyadari itu?!" ujar Tenten telak sebelum melangkah keluar dapur, meninggalkan Hinata yang kini menggigit bibirnya, menahan tangisnya.
..
...
..
"Kau sebenarnya tahu dimana dia, bukan?" Naruto memecah keheningan yang terlanjur nyaman menyelimuti mereka.
"Siapa?" Hinata menjawab dengan pertanyaan.
Sudah jam delapan malam, kafe sudah tutup terkecuali untuk beberapa orang yang memang mengenal pegawainya dengan dekat. Tenten masih membersihkan sebagian ruangan dengan mulut melemparkan beberapa umpatan dalam bahasa Mandarin.
"Orang yang memperkosamu dan membunuh Tetsuya," ujar Naruto rendah dan cukup berhati-hati.
"Naruto..." Hinata mengeluarkan satu nama itu bersamaan dengan hembusan satu nafas pendeknya, berharap Naruto dapat memahami betapa ia tak ingin mengungkit masalah itu lagi.
Naruto menghela nafas. "Aku tahu, maaf... sudah tiga tahun berlalu dan aku... kami hanya ingin menemukan pelakunya, Hinata."
Hinata tak merespon apapun, matanya tak beranjak dari permukaan meja besi di hadapannya. Hening tercipta lagi, hanya saja kini ditemani samar-samar suara Tenten yang masih belum menyelesaikan umpatan Mandarin-nya.
"Hime, aku minta maaf," ujar Naruto lagi, mulai merasa bersalah karena mengusik zona nyaman Hinata.
"Aku baik-baik saja," namun suara Hinata terdengar kosong tanpa makna berarti.
Suasana canggung yang menyesakkan itu disela oleh denting bel pintu kafe yang berbunyi karena seseorang membukanya. Baik Hinata maupun Naruto reflek mengalihkan pandangan mereka ke sumber suara.
Senyum kecil seketika muncul di bibir Hinata, senyum tulus, seakan obrolan pendek bersama Naruto tadi tak pernah terjadi.
"Oh hai, Sasuke," sapa Naruto terlebih dahulu.
"Hai, Naruto. Hai, Hinata," sapa Sasuke dengan senyum penuhnya, senyum yang tak hanya tergambar dari lekung bibirnya, namun juga sorot mata hangatnya.
"Hai," sapa Hinata balik, senyumnya melebar.
"Dua waktu, duh," cibir Naruto rendah.
Hinata dengan sengaja memberikan tendangan di tulang kering Naruto di bawah meja sebagai respon cibiran lelaki itu padanya.
"Kau sudah selesai dengan pekerjaanmu?" tanya Sasuke kepada Hinata.
Hinata menangguk, wajah cerahnya kini mungkin dapat menyaingi cuaca pertengahan musim semi. Entahlah, hanya saja Sasuke memiliki aura yang selalu membuatnya bahagia.
Sasuke berkedip dua kali, kemudian lekung bibirnya mendatar, sinar matanya padam. "Hinata... lehermu," ujarnya tanpa menunjuk lebih jelas.
"Bukan apa-apa," jawab Hinata, tangannya mengibas satu kali sedang kesadarannya mencoba mempertahankan senyumannya.
"Dasar pembohong cilik," cibir Naruto lagi. Bukan, bukan Naruto membenci Hinata, ia hanya membenci ketika wanita itu mencoba terlihat baik-baik saja di sela kesakitannya.
Sasuke mengangguk ringan. "Mau keluar bersamaku?" tanya Sasuke akhirnya, mencoba membangun kembali senyumannya.
"Tentu," jawab Hinata cepat, ia meraih tas tangan miliknya di atas meja. "Dah, Naru-chan," Hinata melambaikan tangan.
Naruto hanya merespon dengan gumaman, agaknya sudah terbiasa dengan panggilan semena-mena dari Hinata, matanya memperhatikan tangan Sasuke yang bergerak untuk menggenggam tangan Hinata sembari melangkah keluar kafe. Naruto menghela nafas panjang.
Uchiha Sasuke. Bocah itu benar-benar lelaki yang baik, ia begitu menyayangi Hinata dan entah apa yang membuat Hinata masih tak memiliki alasan untuk berhenti menduakan bocah itu.
Memikirkan tentang Sasuke selalu membawanya ke masa lalu saat ia pertama kali bertemu dengan lelaki itu. Saat Sasuke menjadi penyelamat bagi Hinata.
..
...
..
Naruto merapatkan jaketnya sembari berlari kecil menyusuri gang sempit itu. Ia dan beberapa rekannya seketika turun lapangan setelah menerima laporan dugaan pemerkosaan yang terjadi di sekitar area itu.
Setelah beberapa lama mencari, dari ujung gang yang bercabang tiga, Naruto mendengar suara langkah kaki terburu juga panggilan serak tanpa arah.
"Tolong! Seseorang tolonglah!"
Naruto reflek berlari ke sumber suara. Momen selanjutnya, ia dapat melihat sosok lelaki tinggi berlari dengan kehati-hatian. Di bawah lampu gang yang remang, Naruto masih dapat melihat jejak air mata di wajahnya. Warna kulitnya yang putihbahkan tak dapat menyamarkan tampang pucatnya.
Di lengannya, ia mengangkat satu sosok. Wanita. Matanya tertutup, wajahnya agak kotor karena debu, lebam terlihat di wajahnya dan jari-jari tangannya yang ternodai cairan merah, mungkin darah. Tubuhnya terbalut jaket coklat yang Naruto asumsikan milik si lelaki yang menggendongnya itu.
Naruto meneliti beberapa saat, dan wajahnya memucat seketika menyadari wanita yang tengah tak sadarkan diri itu.
"Hinata!" teriak Naruto, reflek berlari ke arah mereka.
Tanpa pikir panjang, Naruto mencoba mengambil alih Hinata ke rengkuhannya, namun si lelaki mundur satu langkah, matanya menatap Naruto dengan keraguan dan mosi tak percaya.
"Tidak apa-apa. Aku polisi, dan dia adalah sahabatku," ujar Naruto meyakinkan. Lelaki itu perlahan melepaskan Hinata. "Dia masih bernafas," Naruto menghela nafas lega. "Bisakah kau menghubungi ambulan?" tanya Naruto kepada lelaki yang kini hanya menatapnya dengan kehati-hatian penuh.
"Aku... aku tidak membawa ponselku," jawabnya dengan suara yang agak bergetar.
Naruto mengangguk ringan kemudian berjongkok masih dengan Hinata di dekapannya. Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan ponsel dari sana untuk menghubungi ambulan.
Setelah Naruto selesai dengan ponselnya, lelaki itu merosot ke tanah, lututnya di tekuk dan wajahnya ia benamkan di sana. Dan Naruto baru menyadari tangan lelaki itu yang juga ternodai darah.
"Siapa namamu?" tanya Naruto.
"Sasuke," jawab lelaki itu.
"Apa yang terjadi?" Naruto bertanya dengan hati-hati.
"Aku tidak tahu," jawabnya lirih. "Aku tidak tahu," jawabnya lagi dalam gumaman.
..
...
..
Setelah proses penyelidikan, Sasuke dinyatakan bersih, pengakuan Hinata bahkan mengatakan bahwa lelaki itu tak terlibat apapun atas kejadian yang dialaminya. Hinata bahkan tak tahu bahwa Sasuke yang menemukannya. Di sisi lain Sasuke tak pernah dapat mengingat apapun dari kejadian itu, mereka bilang karena trauma.
Sasuke merupakan teman kelas Sejarah Hinata saat mereka masih duduk di bangku kuliah. Malam itu, entah bagaimana ia bertemu dengan Hinata dan satu sosok yang terbaring di tanah tanpa nyawa. Yang ia sadari selanjutnya, ia segera mendekat untuk meraih Hinata dan mencari bantuan.
Sasuke memiliki perasaan terpendam yang begitu besar terhadap Hinata sejak dulu. Perasaan Hinata terhadapnya juga bukanlah hal yang remeh. Sampai suatu saat Sasuke mengakui perasaannya kepada Hinata, sepuluh bulan setelah kejadian itu. Hinata menerimanya, namun wanita itu tak pernah bisa memutuskan hubungannya dengan lelaki di balik bayangan yang hobi meninggalkan jejak di tubuhnya.
Awalnya Sasuke tak mengerti, namun ia tetap menerimanya. Hinata membenci itu. Ia membenci bagaimana Sasuke dengan dada lapang menerima keadaan cinta segitiga mereka. Ia membenci bagaimana dirinya yang tak bisa melepaskan lelaki misterius itu bahkan demi Sasuke.
Dan kini bisa dibilang Sasuke dan Hinata memiliki hubungan yang aneh, yang mereka sendiri tak tahu harus dengan istilah apa menamainya.
.
to be continued...
..
.
Old fic banget... pernah dipublish di suatu blog dengan cast berbeda meskipun emang belon selesai. Ngga tau kenapa ada feel pengen nyelesain aja, dan berhubung belakangan lagi doyan 'ngebisnis' sasuhina, aku republish disini dengan pinjem chara mereka wkwk. Isinya juga ngga banyak saya edit jadi yaahh~~~~ wkwkwk
Noted ya ini tragedy (mungkin) dan hurt/comfort (terlepas dari feel fic ini yang mungkin lemah kalo dibaca -_-).
Mind to Review?
