Clara Merisa © Naruto

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Genre : Hurt/Comfort & Tragedy

Rate : T+

Length : Multichapter

Pair : Sasuke x Hinata

Warning : AU, Sedikit OOC, Typo(s),abal,Terinspirasi dari berbagai hal.

A/N : Maaf jika ada kesamaan jalan cerita, tempat, waktu XD karena ini benar-benar berasal dari otak saya.

DON'T LIKE? DON'T READ !

*Present From Heaven*

Matahari mulai tenggelam seiring waktu, warna jingga yang mempesona itu terpantul diwajah seorang gadis dengan rambut Indigonya yang tertiup angin. Mata Onyx itu masih terpaku pada matahari yang akan tenggelam dilautan sana. Gadis itu masih dengan wajah tanpa ekspresi, namun memancarkan luka mendalam.

Ia benci dunianya sekarang, bahkan gadis cantik yang ternyata bernama Hinata Hyuuga itu berniat mengakhiri hidupnya. Rasanya ia mau tertawa terbahak-bahak ketika mendengar penuturan dingin dan tegas dari sang Ayah. Mengingat ucapan pria paruh baya itu membuat hatinya teriris.

Tak seberguna itukah dirinya? Kenapa dengan mudah Ayahnya bilang akan menjodohkan Hinata. Apa karena ia masih berumur tujuh belas tahun, dan dianggap tak bisa meneruskan perusahaan Hyuuga Corporation? Apa karena Hinata dianggap lemah?

'Bahkan jika aku matipun, dia takkan peduli padaku.' Batin Hinata.

...

HINATA POV:

Pagi telah menjelang, dan tentu saja aku sudah bangun dan mempersiapkan diri untuk pergi kesekolah, Konoha Internatonal Senior High School.

Ku turuni tangga menuju ruang makan, disana sudah ada Ayah,Hanabi dan Neji-nii.

Seperti pagi-pagi sebelumnya, acara sarapan selalu hening mencekam, terasa dingin dan canggung. Semenjak ibu meninggal karena kecelakaan itu semuanya berubah menjadi ada yang mengatakan padaku kapan peristiwa itu tak bisa mengingat apapun saat aku terbangun dirumah sakit.

Tak ada lagi hangatnya kasih sayang dirumah ini, semuanya membuatku merasa asing.

Ayah berubah menjadi orang yang dingin dan entah sejak kapan pria itu tak mau mendengarkan ucapanku. Ia selalu membandingkan aku dengan Hanabi yang notabene nya lebih bisa diandalkan ketimbang aku.

Hanabi, tak banyak yang berubah darinya. Ia hanya menjadi gadis yang lebih pendiam semenjak Ayah membebankan pekerjaan yang terlalu dini untuk gadis seumuran Hanabi. Ia bukan lagi adikku yang ceria dan tempat berbagi cerita untukku. Ayah seolah menjadikan aku dan Hanabi adalah musuh. Walau aku tau Hanabi juga sama sepertiku, sama-sama tak menyetujui sikap ayah yang terlalu egois.

Neji-nii,aku menyayanginya dan masih sama hingga sekarang. Ia tak berubah, masih dingin dan irit bicara. Walau semua itu untuk menutupi kepeduliannya padaku, ia secara tak langsung memberiku izin untuk tak menyetujui perjodohan itu.

"Aku selesai makan, Hinata ayo berangkat." Neji-nii meminum susu hangatnya lalu beranjak dari tempat duduknya.

Aku hanya mengangguk dan membungkuk hormat pada Ayahku dan menyusul Neji-nii yang lebih dulu berada didalam mobil.

...

"Ohayou Hinata-chan!" seperti biasa, suara ceria dari sahabat pirangku ini selalu memecah keheningan kelas.

"Ohayou Ino-chan." Ku balas sapaannya beserta senyuman.

Aku duduk dikursi paling belakang didekat jendela yang mengarah pada lapangan. Aku menyukai duduk disini, selain mendapat banyak udara segar, disini juga termasuk bangku yang jauh dari kebisingan para siswi yang sering menggosip.

Aku menyukai keheningan. Aku memang termasuk siswi yang tak pandai bergaul dan pendiam, tapi aku beruntung semua teman-temanku tak ada yang menjauhiku karena sifat anti sosial ku itu.

Kelas menjadi hening saat pintu kelas bergeser dan mendapati guru killer memasuki kelas kami, yaitu Anko-senpai.

"Ya Tuhan, aku lupa kalau hari ini guru killer itu akan memasuki kelas kita!" keluh Sakura yang berada didepan mejaku sambil menepuk jidatnya. Aku hanya tersenyum menanggapi keluhannya.

"Baik, buka halaman 68. Kerjakan soal-soal lalu kita ulangan!" seru Anko-senpai dengan nada santai tapi penuh ketegasan.

"Aish, sudah ku selalu ulangan mendadak sih?" Kini pemuda bertato dipipi bernama Kiba itu terlihat frustasi saat mendengar ulangan mendadak ini.

"Hei, walaupun ulangan ini diberi tahu sebelumnya, aku berani bertaruh kau takkan belajar tuan Inuzuka!" ucap Sakura dengan senyum mengejek.

"Ah, diam saja kau Haruno!" Kiba terlihat kesal saat mendapat senyuman mengejek dari Sakura.

Aku hanya bisa menahan tawa saat melihat pertengkaran kecil antara mereka yang tempat duduknya sejajar.

Melihat mereka yang kembali hening,kuputuskan mengerjakan apa yang disuruh oleh Anko-senpai.

...

"Baiklah, semoga hasil ulangan kalian kali ini tidak membuatku kecewa. Selamat siang." Lalu wanita itu pergi keluar kelas dengan wajah angkuhnya.

'Huft...'

Terdengar helaan nafas dari teman-teman sekelas Hinata. Gadis indigo itu yakin tak hanya dirinya yang mengeluhkan tentang sikap Anko-sensei.

"Hei, Hinata-chan!"Seru Ino yang hampir seperti teriakan, mengingat tempat duduk mereka berjauhan.

Tanpa menanyakan perihal Ino memanggilnya, ia berjalan menuju tempat gadis berambut pirang itu duduk. "Ada apa Ino-chan?" tanya Hinata.

"Ini memang tiba-tiba, tapi..," Ino menggantungkan kalimatnya, menghela nafas lalu kembali bersuara.

"Ah, tidak jadi." Ino tersenyum. Hinata mengangkat sebelah alisnya. Ia jadi bingung dengan teman-temannya akhir-akhir ini,sering menanyakan sesuatu namun selalu berakhir dengan kalimat 'Tidak jadi.' Atau 'Ah,aku lupa.'

Hinata hanya bisa menghela nafas. Oh Tuhan.

...

Gadis Itu tak menyangka bahwa akan turun hujan. Padahal acara ramalan cuaca ditelevisi jelas-jelas mengatakan bahwa hari ini akan menjadi hari yang panas dan mengikat rambut Indigo panjangnya menjadi kuncir kuda. Ia menghela nafas berkali-kali, kapan hujan akan reda? Dan lagi, Neji bilang tak bisa menjemput Hinata karena tiba-tiba ada rapat penting dengan kliennya. Oh!God! hari ini mood Hinata benar-benar hancur, walau tertutup oleh wajah manisnya.

"Butuh payung?" suara pemuda memecah keheningan diantara suara berisik yang ditimbulkan dari hujan deras.

Hinata menoleh kesamping kirinya. Menemukan pemuda memakai jaket biru malam gelap, dengan rambut ravennya yang terlihat...kering? dan..tunggu! sejak kapan pemuda itu ada disini? Hinata mengerjap beberapa kali, menimbulkan pemuda itu memanggilnya beberapa kali.

"...hei?kau baik-baik saja?" Hinata memandangi wajah stoic pemuda itu. matanya...Lavender? tunggu! Apa ia berasal dari klan Hyuuga? Hinata merasa keningnya berdenyut kala banyak berbagai pertanyaan dikepalanya.

"A-Aku baik-baik saja." Jawab Hinata dengan senyuman kecut.

"Aku akan mengantarmu pulang."

"..." Dan Hinata membiarkan pemuda itu menggenggam tangannya ditengah derasnya hujan.

Entah apa yang gadis itu rasakan. Tangan pemuda itu dingin. Entah perasaanya saja atau...memang denyut nadi pemuda itu tak berfungsi?

Selang beberapa menit, mereka sudah tiba dikediaman Hyuuga. Hinata sedikit terperanjat saat menemukan pemuda disampingnya sudah tidak ada lagi,meninggalkan dirinya sendirian didepan gerbang rumahnya sambil memegang payung hitam milik pemuda itu.

Hinata hampir tak mempercayai apa yang telah terjadi. Ia merasa ini mimpi, namun ketika menyadari Hanabi memanggil namanya saat membukakan pintu gerbang, barulah ia sadar, bahwa ini bukan mimpi.

Saat itu juga kepala Hinata terasa pusing.

Dan sesaat setelah itu, kegelapan mengambil alih kesadarannya.

...

Hinata butuh beberapa menit hingga kesadarannya kembali pulih.

Ia diam, dan berpikir. Apa itu tadi? Kejadian saat pulang sekolah dan pemuda itu...

Ya Tuhan! Ini benar-benar membuatnya hampir gila! Apa itu sebuah penampakan hantu? Hantu sekolah yang sering digosipkan teman-temannya baru-baru ini? Hantu pemuda yang cukup-errr tampan.

"Nee-chan akhirnya kau sadar juga." Suara penuh kekhawatiran itu tentu dari adik Hinata –Hanabi.

Hinata hanya mengangguk disertai senyuman tulus. Diliriknya sebuah nampan berisi mangkuk dan segelas susu hangat yang dipegang Hanabi.

"Apa kau yang memasaknya?" tanya Hinata dengan suara parau.

"Tentu saja! Mana mungkin Neji-nii memasak." Hanabi mencoba untuk tidak tertawa, mengingat betapa traumanya kakak laki-lakinya itu, karena rambut cokelat pemuda itu hampir terbakar.

Hinata mengulum senyumnya, mengerti arah pembicaraan Hanabi tentang Neji.

Hinata teringat sesuatu. Ia memegang sebelah matanya, lalu mengeluarkan suara paraunya, "Hanabi..." ia memberi jeda lalu melanjutkan, "Apa kau tau tentang mataku...ini?"

Hanabi jelas sekali terlihat terkejut, lalu kembali memasang ekspresi seperti biasa.

"Ya, aku tau." Ucap Hanabi tanpa memandang Hinata.

Hinata mengerutkan keningnya. "Benarkah?"

"Ya, mata itu milik...Ibu."
"Hanabi, jangan bercanda! Ibu kita seorang Hyuuga!" Hinata menaikkan oktaf nada bicaranya.

"Dari klan Hyuuga, tak semuanya memiliki mata Amysthy,kan!" dan Hanabi tentu membalasnya.

"A-Aku masih tak percaya..."

Hanabi meletakkan nampan itu, lalu berdiri. "Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Itu akan membuat Nee-chan tambah sakit." Kemudian gadis berumur lima belas tahun itu menutup rapat pintu kamarnya.

'A-Aku merasa telah dibohongi..' Hinata membatin sambil meringis.

Ah, sepertinya ia harus minum obat setelah ini.

...

"Kau yakin juga melihatnya?"

"Iya! Jelas-jelas ia berdiri –ah seperti menunggu seseorang digerbang sekolah kemarin!" Gadis berambut pirang terlihat antusias.

"M-Menunggu? Kemarin? Saat hujan?"

"I-Iya! Dan –Astaga! Hinata kemarin sendirian kan saat menunggu Neji?"

"Apa Hinata juga melihatnya?"

"Entahlah..." ucapan sepasang sahabat dengan warna rambut terang itu,terpaksa harus berakhir ketika mendengar yang sedang dibicarakan memasuki kelas.

Hinata.

Gadis yang baru saja dibicarakan oleh teman-teman sekelasnya.

Gadis itu terlihat murung, dan sama sekali tak terganggu dengan bisik-bisik dari teman-temannya.

Ia hanya terfokus pada pemuda itu. siapa sebenarnya pemuda bermata Lavender itu? Kenapa ia merasa ada terikat sesuatu dengannya?

Bel masuk kelas membuyarkan lamunannya. Hinata menatap awan hitam yang menggumpal dilangit sana lewat jendela besar disamping tempat duduknya.

'Nampaknya akan turun hujan lagi.' Pikir gadis itu.

Arah pendangannya beralih kelapangan–ah lebih tepatnya seseorang yang tengah berdiri disana tengah memandang menyipitkan matanya, mencoba agar gambaran wajah pemuda itu lebih jelas.

Astaga.

Hinata membelalakan matanya. Pemuda itu... pemuda yang sama. Yang membuatnya hampir tak bisa tidur. Yang membuatnya penasaran.

Hinata masih memperhatikan pemuda berambut Raven itu.

Pemuda itu menggerakkan mulutnya. Apa itu hanya perasaan Hinata atau memang benar? Gerakan mulut pemuda itu baru saja terlihat mengatakan sebuah kalimat seperti 'Tunggulah Aku'.

"Baiklah, harap semuanya tenang, kita akan memulai pelajarannya." Suara seorang pria dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya.

"Hah, Iruka-sensei." Keluh Kiba dengan menyandarkan kepalanya pada kedua tangan yang menyangga kepalanya dari belakang.

Hinata yang terkejut dengan kedatangan Iruka-sensei, kemudian mengalihkan pandangannya dari pemuda itu. merasa semua kembali normal dan Iruka-sensei terlihat santai, ia kembali mengalihkan pandangannya pada pemuda itu.

Dan hasilnya nihil. Mata Onyx Hinata tak menemukan pemuda itu dibawah sana.

Keringat dingin meluncur begitu saja dari pelipisnya. Ia merasa tiba-tiba saja angin dingin entah dari mana berhembus melewati tengkuknya.

Ia menjadi merinding sendiri. Astaga, apa yang terjadi padanya?

Hinata berdehem pelan lalu mengusap-usap tengkuknya untuk sekedar menghapuskan rasa tegangnya.

...

Sepulang sekolah, Hinata kembali mengalami hal yang sama seperti kemarin.

Hujan deras, dan Neji tak bisa menjemputnya. Tuhan, apa yang terjadi? gumam Hinata berulang kali.

"Kau baik-baik saja?" dan...pemuda itukembali muncul.

"Astaga.." Hinata membelalakan matanya saat pemuda itu kembali muncul tiba-tiba.

Pemuda itu menatapnya dingin, lalu berkata. "Kau tau aku siapa?"

"Justru itu yang akan ku tanyakan padamu." Sahut Hinata.

"Aku...Sasuke Uchiha."

"Kau Uchiha? Maksudku, kau bukan dari klan Hyuuga?"

"Bukan. Aku Uchiha."

"Ya Tuhan..."

"Ada apa?" pemuda bernama Sasuke itu mengerutkan keningnya.

"T-Tidak ada apa-apa. Namaku Hinata Hyuuga." Hinata mengembangkan senyuman.

Sasuke tertegun sejenak melihat senyuman tulus milik gadis itu. sudah lama sekali ia..

"Kau bersekolah disini?" tanya Hinata.

"Ya." Jawaban singkat dengan aksen aneh.

"Lalu kenapa kau tidak memakai seragam sekolahmu?"

"Aku..." Sasuke memberi jeda dan menatap hamparan langit, lalu melanjutkan, "Aku melepas seragamku, karena basah saat bermain bola."

Hinata hanya mengangguk tanda ia paham dengan alasan Sasuke.

"Hinata.."

"Hm?"

"Boleh aku-"

...

To Be Contiuned...

A/N: _ Omegot, ini fanfic kedua saya tentang SasuHina. Entahlah apa fanfic ini bagus, tapi saya hanya ingin menuangkan imajinasi saya. ^^ saya akan berterimakasih banyak apabila kalian meninggalkan kritik,saran,pesan,kesan. Flame? Mungkin jangan sekarang, takut saya tidak siap dan kembali menuliskan Discontiuned dalam fanfic saya.

Mind to RnR ?