Karamatsu menutup buku yang berada di tangan, menatap ke arah bangku taman dengan sedikit heran.
Ada seorang lelaki yang sepertinya seumuran dengannya, duduk di sana dengan kaki yang bergerak menendang-nendang udara. Terdengar suara senandung dari lelaki itu, yang membuatnya tertarik untuk mendekati.
"Halo," sapa Karamatsu seraya duduk di samping lelaki tersebut. Lelaki itu menoleh, sedikit terkejut ketika mendengar sapaan diberi padanya. Senandung dihentikan, kedua matanya menatap Karamatsu, memerhatikan pakaiannya serta buku yang dipegang.
Karamatsu menatapnya, beberapa detik kedua matanya tampak membulat, lalu langsung berusaha mengendalikan ekspresinya.
"Oh, kaukah pendeta di gereja ini yang sering orang bicarakan?" Lelaki itu kini menatapnya tepat di mata.
"Ya, aku pendeta di sini, yang dapat membantumu jika kau ada masalah atau—"
"Berhenti, berhenti. Kau tau ucapanmu itu menyakitkan," ucapnya tanpa ekspresi rasa bersalah. Karamatsu segera menutup mulut, sadar ucapannya seringkali dikomentari dengan kata-kata itu.
"Tapi aku memang memiliki masalah, dan kupikir kau dapat menolongku," sahutnya lagi, kini beralih memandang langit cerah pada siang itu.
Karamatsu memasang senyumnya, "Kalau begitu ceritakan saja apa masalahmu."
"Aku sudah mati, tapi masih ada di dunia ini. Apa yang harus aku lakukan agar aku bisa pergi?"
.
.
.
.
Farewell
Osomatsu-san © Akatsuka Fujio
Dibuat untuk kesenangan semata, tidak ada keuntungan lainnya yang didapatkan.
warning: spiritmatsu au—priest!karamatsu, ghost!todomatsu. karatodo / karamatsu x todomatsu. ooc. typo(s).
.
.
.
.
Karamatsu menaikkan sebelah alisnya, "Kau belum bisa pergi? Kenapa?"
Lelaki itu menjawab dengan mengangkat kedua bahunya, kedua kaki yang tidak menapak tanah itu kembali menendang-nendang udara.
"Mereka bilang, aku belum bisa pergi karena ada seseorang yang menahanku. Tapi aku tidak tahu siapa." Roh itu menoleh ke arah pendeta, menatap benda yang dipegangnya.
Tangannya mencoba meraih salah satu benda yang berada di tangan Karamatsu, walau hasilnya sia-sia karena tangannya justru menembus bagai udara.
"Benda itu ... aku rasa sepertinya aku sering sekali memegangnya." Dia menunjuk ke arah ponsel yang dipegang sang pendeta di atas buku yang ia bawa.
Mendengarnya, Karamatsu tersenyum, tangan kanannya mengangkat ponsel layar sentuh itu, menekan tombol power dan membuat layar menyala—menampilkan screen lock dengan gambar latar belakang seorang pemuda dengan kacamata hitam.
Roh itu menatap layar dengan mata membulat, lalu beralih pada pendeta di sampingnya. "Itu ... kau?"
"Maaf."
"Eh?"
"Maaf karena aku menahanmu sehingga kau tidak bisa pergi."
Pendeta itu menaruh kembali ponsel tersebut di atas buku yang ia pegang dengan tangan kiri, kini memegang kedua benda itu dengan kedua tangan. Wajahnya menoleh agar dapat menatap sang roh yang kebingungan.
"Kalau begitu, Todomatsu," roh itu tidak mengerti mengapa nama itu sangat familier, "aku akan merelakanmu sekarang."
Todomatsu.
Aku sudah keren, belum, Todomatsu?
Mungkin aku akan menjadi pendeta nanti, dan membacakan sumpah nikah untuk kita, Todomatsu.
Aku tidak butuh cokelat, kau saja sudah cukup manis untukku, Todomatsu.
"Hei, wujudmu semakin transparan."
Suara itu memecahkan memori demi memori yang sedari tadi ia lihat, memori yang berisi tentang dia dan pendeta itu.
Roh itu menatap kedua tangannya yang semakin lama semakin menghilang, begitu juga bagian yang lain. Pandangannya mulai samar, dan ketika ia kembali menatap pendeta itu, yang ia lihat adalah wajah yang tersenyum.
Sebuah senyum yang selalu ia sukai.
"Karamatsu-niisan," ucapnya pelan. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya ia katakan, tapi ia rasa kata-kata itu sering sekali diucapkan.
"Karamatsu-niisan,"
"Todomatsu," suara itu bagai sebuah bisikan ketika melihat sosok di sampingnya semakin menghilang, "aku sayang padamu."
.
.
.
END
a/n: ini ceritanya maksa banget orz
