Koko Ni Iru Yo!

Chapter 1

Malam ini hujan turun dengan derasnya. Jalanan yang basah akibat guyuran air dari langit tampak sangat lengang. Sangat wajar jika para penduduk pinggiran Kota Iwatobi lebih memilih berlindung di rumah mereka dengan secangkir coklat panas bersama keluarga. Namun tampaknya meskipun hujan sangat lebat, tak menghalangi seorang gadis untuk terus berlari. Gadis itu sama sekali tidak mempedulikan pakaiannya yang sudah basah kuyup dan ia menghiraukan rasa dingin yang menyerang tubuhnya. Hal yang terlintas dikepalanya hanya lari. Lari. Lari menjauh dari rumahnya. Gadis berambut scarlet panjang itu terus berlari dengan kencang tanpa takut akan menabrak orang-orang.

Bruuk!

Ia terjatuh. Jalanan yang licin membuatnya terpeleset. Gadis itu bersimpuh dan melihat lututnya berdarah. Sangat perih rasanya saat luka dilututnya ikut diguyur air hujan.

"Hiks.." terdengar isakan kecil dari si gadis. Ia menangis sambil memeluk lututnya. Sekitar sepuluh menit kemudian, ia kembali berdiri dan melanjutkan perjalanannya. Namun kali ini ia tidak berlari mengingat luka yang baru didapatnya beberapa saat yang lalu. Ia hanya berjalan tertatih-tatih dan masih dalam keadaan menangis.

Gadis itu memasuki sebuah gang yang cukup lebar dan berkelok-kelok. Di sisi kanan-kiri jalan terdapat rentetan rumah penduduk dan toko kelontong. Ia berhenti sejenak di ujung jalan dan pandangannya menatap sebuah tangga berbatu didepannya. Tanpa disangka-sangka gadis itu tersenyum tipis kemudian ia menaiki tangga itu. Tangga itu membawanya pada jalan setapak dan jika ia berbelok ke kiri dan berjalan sekitar 100 meter, ia akan sampai pada sebuah rumah sederhana dengan gaya Jepang yang masih kental. Di sinilah gadis itu berdiri. Tanpa mebuang waktu lagi, ia mengetuk pintu utama dengan sedikit keras, berharap sang empunya rumah mendengarnya dan segera membukakan pintu.

Sekitar dua menit, pintu di depan gadis itu terbuka, menampakkan seorang pemuda tinggi tegap dengan wajah yang cukup tampan. Pemuda itu terlihat sangat terkejut dengan datangnya 'tamu tak terduga' ditengah hujan lebat seperti ini.

"Kou?" pemuda itu setengah berseru menampakkan keterkejutannya.

"HARUKA-SENPAI!" gadis yang dipanggil Gou itu langsung menerjang si pemuda sambil terisak. Gou memeluk Haru dengan erat, tidak peduli pemuda itu juga ikut basah akibat dirinya dan sepertinya Haru sama sekali tidak keberatan. Ia membalas pelukan Gou meskipun raut wajahnya kebingungan.

"Ada apa?" Tanya Haru lembut. Gou tidak menjawab dan malah semakin mengeratkan pelukannya. "Masuklah." Haru membimbing Gou masuk ke dalam rumahnya dan mendudukannya di sofa.

Haru memperhatikan Gou dari ujung rambut sampai ujung kaki. Gou masih saja terisak sambil menunduk dalam. Ia tau Haruka Nanase tengah memperhatikannya dan kebingungan dengan kedatangannya yang sama sekali tidak terduga.

"Kau harus ganti baju dulu." Haru menarik Gou ke dalam kamarnya. Ia membuka almari pakaiannya dan mulai mencari pakaian yang bisa dipakai gadis itu. Akhirnya ia menarik kaus lengan panjang miliknya dan menyerahkannya pada Gou. "Aku tidak punya baju wanita jadi pakai ini saja." Kata Haru sambil menundukkan kepalanya. Ia melihat kedua lutut Gou yang terluka dan sedikit membiru. Ia menghela napas berat dan menepuk puncak kepala gadis itu kemudian ia berbalik. Namun, belum sempat ia melanglahkan kakinya, Gou sudah menarik tangannya, menahan Haru agar tidak pergi.

"Jangan tinggalkan aku.. hiks.." pintanya sambil terisak.

"Aku hanya akan mengambil kotak obat." Haru melepaskan tangannya lalu meninggalkan Gou di kamarnya. Di depan lemari kecil yang terletak di ruang tengahnya, Haru merenung. Ia memandangi kotak obat di tangannya sedangkan otaknya terus menerka-nerka apa yang terjadi pada adik kelas sekaligus manajer klub renang di sekolahnya itu. "Kou.." Meskipun Haru jarang menampakkan emosi, namun untuk saat ini jika ada orang di sekitarnya pasti akan dengan mudah melihat raut kekhawatiran Haru karena ekspresi wajahnya sekarang sangat mudah terbaca.

Haru keluar dari ruang tengah dan menuju kamarnya dimana Gou berada. Gadis itu sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian Haru yang terlihat sangat kebesaran dan saat ini gadis itu duduk di ranjangnya. Hanya diam, dan menundukkan kepalanya.

"Kou.." Haru duduk di lantai di depan gadis itu dan mulai membersihkan luka di kedua lutut Gou akibat terjatuh tadi dengan alkohol. "Kau kenapa? Ada yang menyakitimu?"

"Mereka membohongiku, senpai.." jawab Gou lirih.

"Apa maksudmu?" Tanya Haru tidak mengerti sambil mengoles luka di lutut Gou dengan salep.

"Kaasan dan Tousan, mereka bukan orang tuaku. Rin-niichan juga bukan kakakku.. Hiks.. Lalu dimana keluargaku senpai?" Gou kembali terisak.

Haru tersentak mendengar kabar ini. Hal ini sama sekali di luar pemikirannya dan ia menganggap hal ini tidak akan pernah terjadi. Benar-benar diluar dugaan Haru. Pemuda itu berdiri dan memeluk Gou. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia belum pernah berurusan dengan gadis yang sedang menagis sebelumnya.

"Tapi aku yakin meskipun mereka bukan orang tuamu, mereka pasti sangat menyayangimu seperti mereka menyayangi Rin. Seharusnya kau bersyukur bisa bertemu dengan mereka dan dibesarkan dalam keluarga yang penuh cinta. " Haru menyampaikan gagasannya. Bukannya tenang, Gou justru semakin mengeratkan pelukannya pada perut Haru.

"Tidak senpai. Senpai tidak mengerti. Mereka berniat menikahkanku dengan Rin-niichan!" Seru Gou penuh emosi. Badan Haru menegang seketika. Menikah katanya? Entah kenapa ia tidak suka mendengar kabar ini. Dadanya terasa sakit ketika membayangkan Rin dan Gou berdiri di altar pernikahan mengucapkan janji setia di depan pendeta dan para tamu. Tanpa sadar ia mengeratkan pelukannya.

"Kenapa? Bukankah Rin pemuda yang baik? Aku yakin dia akan menjagamu." Tenggorokan Haru tercekat. Apa yang dikatakannya berbeda dengan pikirannya. Berbeda dengan hatinya. Apa mungkin tanpa ia sadari, ia sudah menaruh perasaan pada gadis ini? Sejak kapan?

"Tidak senpai. Mana mungkin aku menikah dengan niichan. Selama ini Rin-niichan adalah kakakku. Aku tidak mungkin menikah dengannya kan? Tapi sayangnya kaasan dan tousan tidak mau mengerti." Gou melepaskan pelukan Haru dan kembali menunduk. Air matanya menetes.

"Jadi itu alasanmu pergi dari rumah?" Haru mengusap air mata Gou dengan jarinya. Gou mengangguk.

"Lagipula ada seseorang yang aku cintai dan aku tidak akan meninggalkannya karena rencana bodoh kaasan dan tousan." Kata Gou sambil tersenyum tipis dengan wajah yang sedikit memerah.

"Orang yang kau cintai?" Tanya Haru hati-hati dan mendadak pikiran pemuda itu menjadi kacau.

"Humm.. A-ano senpai? Aku punya satu permintaan." Gou memainkan kedua jarinya sebagai tanda bahwa ia sedang gugup.

"Apa?"

"Boleh aku tinggal di sini? Kumohon senpai.. aku tidak punya tempat untuk kembali."

"Apa tidak apa-apa? Kau tahu kan aku hanya tinggal sendiri. Aku tidak ingin ada hal-hal buruk terjadi." Jawab Haru. Bagaimanapun ia adalah laki-laki normal dan dia tinggal sendiri. Ia hanya takut ia tidak bisa melindungi Gou.

"Ku mohon senpai.. Aku tidak tahu lagi harus kemana. Paling tidak sampai masalah ini selesai. Kumohoon." Gou menatap Haru seperti anak kucing yamg minta dipungut.

"Ugh!" Haru memalingkan wajahnya. "O-oke. Tapi hanya sampai masalahmu selesai dan aku juga akan merahasiakan ini dari semuanya. Mengerti?"

"Baiklah senpai.. Arigatou gozaimasu. Ternyata orang yang aku cintai benar-benar baik." Haru menoleh dengan cepat saat mendengar perkataan Gou dan ia melihat gadis itu tersenyum padanya.

"Apa maksudmu?"

Gou mendekati Haru dan menangkup wajahnya dengan kedua tangan sedangkan Haru hanya diam seolah ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh adik kelasnya itu selanjutnya.

"Aku mencintaimu senpai." Ucap Gou dengan tenang. Lebih tepatnya berusaha tenang karena Haru dapat merasakan napas Gou yang memburu dan wajah gadis itu tampak gugup.

Tidak jauh berbeda dengan Gou. Haru sendiri membelalakkan matanya karena terkejut. Ya, benar-benar terkejut. Gou berkata bahwa ia mencintainya. Gou mencintainya. Entah kenapa Haru merasakan kehangatan membungkus hatinya. Pemuda itu hanya diam memperhatikan Gou yang wajahnya mulai memerah karena malu. Menyatakan cinta itu baru kali ini Gou lakukan jadi wajar dia malu sekarang.

"Senpai! Jangan menatapku seperti itu!" Gou menubrukkan badannya ke arah Haru dan menyembunyikan wajahnya pada dada bidang di depannya. "Setidaknya katakan sesuatu. Aku malu tauu.." gadis ini merajuk.

Tanpa disadari oleh Gou, Haru tersenyum. Perlahan pemuda itu memeluk Gou. Mendekapnya. "Terima kasih." Bisik Haru tepat di telinga Gou sehingga membuat gadis itu merinding karena merasakan hembusan napas hangat dari senpai yang dicintainya. Gou mendongak dan menatap Haru secara intens. Entah siapa yang memulai tapi yang pasti secara perlahan jarak mereka semakin menipis hingga akhirnya tidak ada lagi jarak diantara mereka dengan ditandai bibir mereka yang bertautan. Mereka berciuman. Mengabaikan hujan yang masih turun dengan lebatnya di luar sana. Mereka berciuman cukup lama namun tiba-tiba Haru membuka matanya seolah tersadar dan ia melepaskan diri dari Gou. "Maaf." Haru mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan bingung dari Gou.

Kenapa Haru-senpai minta maaf? Itu pertanyaan di kepala Gou. Gadis itu melihat dengan jelas saat Haru menghindari tatapannya dan akhirnya berdiri. "Senpai..." Gou meraih pergelangan tangan Haru, mencegahnya agar tidak pergi.

"Maaf Kou, aku ingin ke toilet." Haru melepaskan tangan Gou lalu keluar ruangan menuju toilet seperti yang dikatakannya.

Di dalam toilet, Haru hanya berdiri dengan bersandar pada pintu. Ia kembali menelaah apa yang terjadi tadi dan ia menyentuh bibirnya. Rasa hangat masih menyelimutinya.

"Apa yang aku lakukan?" Gumam Haru lirih. Ia termenung. Rasanya ia tidak mampu menjawab pertanyaan itu.

"Senpai? Kau baik-baik saja?" Suara Gou dari luar menyadarkannya.

Meskipun Haru mendengar dengan jelas suara Gou yang tampak mengkhawatirkannya, namun ia hanya diam. 'Apakan ia baik-baik saja?' Tentu saja tidak! Hatinya kacau saat ini dan tidak mungkin kan ia mengatakan hal itu pada Gou?! Bisa-bisa gadis itu semakin terluka. Haru mulai menyadari sesuatu bahwa Gou meninggalkan rumah karena gadis itu menyukainya. GADIS ITU MENCINTAINYA. Haru mengacak-acak rambutnya frustasi. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

"Senpai.. maaf jika perkataanku tadi mengganggumu..." Suara Gou terdengar lirih. "Lupakan saja yaa.. Gomen ne.."

Haru menyakiti Gou dengan sikap diamnya. Dengan cepat ia membuka pintu kamar mandi dan menarik Gou ke dalam pelukannya. Haru bisa mendengar isakan lirih Gou yang menenggelamkan wajahnya di dadanya. Laki-laki macam apa dia yang membiarkan seorang gadis menangis karena dirinya?

"Maaf Kou.. Aku hanya bingung." Ya, pemuda itu hanya bingung. Belum pernah ia menghadapi situasi seperti ini.

"Jangan meninggalkanku senpai.. Aku tidak punya siapa-siapa lagi." Haru merasa iba. Saat itu juga ia berjanji akan selalu bersama gadis itu. Ia akan menjaga Gou. Mungkin jauh di lubuk hatinya ia menyanyangi Gou atau mungkin ia juga mencintainya. Hanya saja untuk saat ini ia masih belum memahami dirinya sendiri.

Haru memeluk Gou semakin erat dan berbisik lembut, "Aku di sini. Bersamamu.."

Cukup lama mereka berada di posisi itu. Berpelukan di depan kamar mandi. Hanya ada suara hujan yang menemani mereka dan sepertinya mereka tidak terganggu. Masing-masing dari mereka berusaha menyamankan diri dengan berbagi kehangatan.

"Sudah tenang?" Tanya Haru tanpa melepas pelukannya dan hanya dibalas anggukan kecil dari Gou. "Sebaiknya kau tidur. Ayo." Haru membimbing Gou menuju kamar tamu yang terletak di depan kamarnya. Sebenarnya itu kamar nenek Haru tapi semenjak neneknya meninggal itu menjadi kamar tamu dan kadang juga dipakai untuk kamar orang tuanya saat mereka mengunjungi Haru.

Haru membaringkan Gou di ranjang dan kemudian menyelimutinya. "Tidurlah. Selama kau di sini, ini menjadi kamarmu."

"Arigatou... Haru-kun." Ujar Gou. Sebenarnya ia merasa ragu memanggilnya Haru-kun tapi ia tetap mencobanya dan sekarang ia takut dengan reaksi yang akan diberikan oleh Haru. Pemuda itu memang sempat tersentak namun entah bagaimana ia bisa menyembunyikannya. Haru mengelus puncak kepala Gou dan tersenyum.

"Oyasumi." Setelah berkata demikian, Haru keluar dari kamar Gou dan menuju kamarnya sendiri. Haru naik ke ranjang dan mengambil posisi duduk dengan bersandar pada kepala ranjang. Ia mengambil ponselnya yang berada di meja kecil samping tempat tidurnya. Dengan ahli ia memainkan ponselnya kemudian menempelkannya di telinga tanda ia tengah mencoba menelepon seseorang.

"Makoto.."

"Haru? Tumben menelepon?" Jawab Makoto di seberang sana.

"Begini.." Haru menceritakan kisah mengenai Gou dari saat gadis itu datang ke rumahnya dengan keadaan basah kuyup, alasan Gou meninggalkan rumah sampai keputusannya untuk menampung Gou di rumahnya. Tentu saja insiden ciuman dan pelukan di depan kamar mandi dilewati haha.. Haru memang sudah terbiasa berbagi rahasia dengan Makoto mengingat mereka bersahabat sejak kecil. Namun kalau masalah wanita, Haru memilih untuk menyembunyikannya dan sepertinya Makoto tidak keberatan karena itu sesuatu yang privasi. Meskipun begitu, entah bagaimana Makoto bisa tau apa yang dirasakan Haru dan mungkin ia lebih memahami perasaan orang lain daripada orang itu sendiri. Alasan itulah yang membuat Haru suka berbagi masalahnya karena Makoto bisa bersikap dewasa dan dapat diandalkan untuk memberi saran.

"Jadi begitu. Kalau aku jadi kau mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama." Komentar Makoto setelah Haru selesai bercerita.

"Menurutmu aku melakukan hal yang benar?"

"Err.. Ya. Tapi Haru, aku sedikit khawatir. Apa kau tidak apa-apa?"

"Entahlah. Aku merasa takut." Haru menatap keluar jendela. Sepertinya hujan mulai reda.

"Kau mencintainya kan?" Haru terdiam. Ia mengalihkan pandangannya ke arah pintu seolah ingin menembus sampai kamar di seberang kamarnya dimana Gou terlelap disana.

"Jaga dia Haru." Kata Makoto lembut sehingga membuat Haru tersentak. "Mungkin kau tidak menyadari perasaanmu tapi hanya melihat sikapmu padanya aku tau kalau kau mencintainya. Kau mencintai Gou, Haru. Mou, aku heran harus sampai kapan aku menjadi tempat sampahmu. Kadang kau perlu menyelidiki hatimu. Ah sudah ya adikku memanggil. Renungkan kata-kataku."

Tut tut tut... Makoto mengakhiri panggilan. Haru masih duduk di ranjangnya dan merenung. Ia berusaha mencari jawaban atas perkataan Makoto tadi. Hati kecilnya mungkin membenarkan saran dari Makoto, tapi rasa takut itu tetap ada. Haru mengacak rambutnya frustasi. Haru bingung dan akhirnya ia memilih untuk tidur. Besok ia masih harus sekolah. Ia merebahkan tubuhnya dan menarik selimut dan berusaha memejamkan mata dan ia pun tertidur.