"Unforgiven Hero Remake"

True Novel Tittle : Unforgiven Hero

True Author Story : Santhy Agatha

Author : Kisaragi

Main Cast : Kaisoo

Genre : Drama, Romance

WARNING : Rate M, Genderswitch, Remake

'DON'T LIKE DON'T READ DON'T BASH'

Ini Remake dari Novelnya Santhy Agatha, gak ada yang dirubah dari isinya. Cuma Castnya aja yang dirubah dan beberapa hal mengenai ceritanya agar sesuai dengan Castnya.

.

.

.

.

Happy Reading ^^

Unforgiven Hero Chapter 1

"Kau sangat menyedihkan" Minji menoleh ke laki-laki di sebelahnya, yang kebetulan oppanya.

"Bukan urusanmu." Balasnya singkat.

Minji mendengus lalu menyesap minuman kalengnya dan meletakkannya di dasbor mobil.

"Sampai kapan kau mau begini terus? Sampai dia menjadi nenek-nenek dan tetap tidak menyadari keberadaanmu?"

"Ssttt" Jongin bahkan tidak menoleh ke wajah adiknya yang duduk di sebelahnya. Tatapannya lurus ke depan –ke pintu keluar sebuah gerbang kampus.

Tak lama sosok yang dicarinya itu keluar, dengan senyum manis yang sudah di hafalnya sedang bercanda bersama teman-temannya.

"Dia tersenyum." gumam Jongin lega.

"Tentu saja dia tersenyum, dia berhasil lulus dengan predikat Cum Laude" tukas Minji dengan gusar "Dan itu gara-gara siapa?"

"Aku tidak mau membahasnya."

"Gara-gara kau! semua gara-gara perjuanganmu, Oppa." Minji tidak mempedulikan peringatan Oppanya dan terus melanjutkan.

"Sekarang kau bahkan tidak bisa memberi selamat kepadanya. Malah mengintip dari jauh seperti ini. Benar-benar menyedihkan!"

Jongin terus menatap sosok itu sampai menjauh. Menghilang di dalam bus yang di naikinya.

"Dia bahkan masih naik bus. Aku harus mengusahakan kendaraan untuknya, supaya dia tidak perlu menunggu bus lagi."

Perkataan itu semakin membuat Minji gusar, karena oppanya itu tidak memperhatikan kata-katanya.

"Kau menyedihkan! Sampai kapan kau menghukum dirimu sendiri seperti ini?"

Sepi. Tampaknya Jongin mengganggap pertanyaan dongsaengnya itu tidak perlu dijawab. Dua kakak beradik itu terdiam di dalam Lamborghini yang sengaja di parkir agak jauh dari kampus, agar tidak mencolok.

Jongin sibuk dengan pikirannya sendiri. Pikirannya melayang ke masa sepuluh tahun lalu, saat usianya masih 18 tahun.

Kaya, tampan, punya kuasa dan tidak tahu tentang rasa tanggung jawab.

Flashback On

10 tahun yang lalu

"Ini mobil hadiah ulang tahunku. Baru ada dua di negara ini." gumam Jongin bangga pada teman-temannya waktu itu.

Semua temannya mengagumi mobil sport warna merah yang diparkir Jongin di pinggir jalan.

"Gila! Mobil ini kecepatannya luar biasa mengagumkan, bukan!" seru salah satu temannya.

"Tentu saja." Jawab Jongin bangga.

"Lets try it Guys!" seru salah seorang temannya yang lain.

Jongin tertawa bangga dengan kesombongan mudanya waktu itu. Malam itu mereka mabuk-mabukkan, berpesta pora.

Malam itu pula Jongin belajar bahwa kesenangan sesaat kadangkala bisa merenggut nyawa orang yang tidak bersalah. Mobil yang dia kendarai dalam keadaan mabuk, menabrak sebuah taxi yang berjalan pelan di jalur berlawanan.

Pengemudi Taxi itu, lelaki tua yang tidak tahu apa-apa. Tewas seketika.

Tentu saja semua permasalahan dapat dibereskan dengan cepat. Appa Jongin adalah pengusaha yang sangat berpengaruh di Korea karena harta dan kekuasaannya yang melimpah.

Tidak ada yang mempermasalahkan kenapa Jongin mengendarai kendaraannya dalam kondisi mabuk berat, uang jaminan sudah disiapkan.

Jongin sendiri waktu itu lebih mencemaskan keadaannya daripada memikirkan supir taxi tua yang tewas itu. Toh Supir taxi itu lebih beruntung langsung tewas, tidak merasakan sakit seperti dirinya.

Limpanya terbentur keras, bengkak. Sehingga memerlukan perawatan dan pengobatan khusus. Rasa sakitnya sungguh tidak terkira.

Bahkan Jongin sempat menyalahkan supir taxi kurang ajar. Kenapa bisa ada di jalan yang berlawanan dengan dirinya sehingga bisa tertabrak.

Semua permasalahan dibereskan dengan cepat oleh appanya. Jongin langsung di kirim ke Amerika untuk menjalani pengobatan.

Sampai 6 bulan kemudian setelah kecelakaan itu, dia pulang ke Korea. Ummanya, seorang perempuan Jepang yang sudah tinggal di Seoul sejak menikah dengan Appanya, mengingatkannya.

"Kau tidak pernah ingin tahu tentang mereka, Sayang?" tanya ummanya.

Jongin yang merasa bosan karena harus beristirahat di rumah dan tidak bisa keluar rumah menatap ummanya dengan marah.

"Untuk apa umma? Bukankah appa sudah memberikan tunjangan yang sepadan untuk mereka? Mungkin lebih banyak dari yang bisa dihasilkan supir taxi itu ketika dia hidup." Kesombongan membuat suaranya terdengar keras.

Sang umma menggelengkan kepalanya, "Supir Taxi itu memiliki istri yang berduka dan seorang anak yang masih membutuhkan biaya sekolah. Apakah kau tidak menyesal atas kehilangan yang dialami anak kecil itu Jongin?"

Jongin merasa terganggu mendengar ucapan ummanya, "Sebenarnya apa yang umma inginkan dariku?"

"Umma hanya ingin merasa sedikit lega. Umma ingin kau kesana dan meminta maaf langsung. Bahkan selama ini hanya pegawai appamu yang datang kesana dan mengurus semuanya."

Jongin mencibir, "Mereka itu keluarga miskin. Kalau aku datang kesana dan menunjukkan penyesalan, mungkin mereka akan meminta tambahan tunjangan lagi."

"Kalau begitu beri saja. Kau sudah mengambil nyawa seorang ayah, Jongin. Berapapun harta yang kau berikan, itu tak akan tergantikan."

Keesokkan harinya Jongin datang kerumah supir taxi itu, dia diantarkan oleh supir keluarganya. Tak lupa dia membawa buket bunga di tangannya.

Ternyata mobilnya tidak bisa masuk ke komplek itu, Jongin masih harus berjalan melewati gang sempit dan rumah-rumah tak terurus dengan bau yang mengganggu indra penciumannya.

Dengan jijik dipandanginya lumpur di sepatu mahalnya, 'aku akan membuang sepatu ini' putusnya jengkel.

Rumah itu sederhana. Terletak di ujung gang, tapi tampak paling bersih di antara semua rumah yang berdesak-desakan di sana. Kelihatannya seseorang berusaha meletakkan potpot mungil berisi bunga mawar untuk menutupi pagar jelek yang menyedihkan di depan rumah itu.

Ketika Jongin mengucapkan permisi di pintu. Seorang gadis remaja, mungkin usianya beberapa tahun di bawahnya muncul dari ruang tamu dan menatapnya curiga.

Gadis itu cantik. itu yang Jongin pikirkan pertama kali melihatnya. Cantik, dengan tatapan mata yang cerdas. Meskipun hanya berpakaian sederhana, tetap saja tidak bisa menahan keterpesonaan Jongin.

"Siapa?" tanya gadis itu hati-hati.

Jongin memasang senyumnya yang paling mempesona. Selama ini banyak perempuan yang mengejarnya. Dia tidak pernah meragukan pesonanya.

"Saya Kim Jongin. Maaf saya baru bisa kemari. Saya baru pulang dari Amerika setelah menjalani perawatan medis karena luka setelah kecelakaan itu."

Setelah kalimat itu. Jongin bahkan tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi, yang bisa diingatnya adalah jeritan histeris penuh kemarahan sang gadis, tetangga-tetangga yang berdatangan untuk memisahkan mereka karena sang gadis tiba-tiba menyerangnya dengan tamparan bertubi-tubi, bunga-bunga yang berserakan dihancurkan gadis itu, dan ancaman penuh kebencian dari si gadis kecil.

"Jangan pernah kau menampakkan wajahmu di muka kami! Kau manusia hina yang bersembunyi di balik kekuasaan appamu. Manusia pengecut, tidak bertanggung jawab! Kau pikir nyawa manusia bisa diganti semudah itu dengan uang? Kami memang miskin, tapi kami punya harga diri! Jadi sebelum kau bisa menunjukkan kalau kau punya harga diri, jangan berani-berani menunjukkan mukamu di depan kami!"

Hari itu, Jongin diberitahu oleh seorang tetangga, sang ibu yang jatuh sakit karena tak kuat menahan kepedihan. Meninggal semalam dalam kondisi sakit parah, menyusul appanya.

Hari itu, Jongin menyadari, bahwa perbuatannya telah menghancurkan hidup sebuah keluarga.

.

.

"Mereka sama sekali tidak mau menerima uang tunjangan dari keluarga ini, itulah yang mengganjal di hati umma." sang umma menatap Jongin sedih.

"Gadis itu membenciku umma, baru kali ini aku menerima tatapan kebencian seperti itu."

Jongin masih terpekur shock dengan kejadian yang baru di alamninya. Sang umma hanya menatapnya sedih.

"Gadis itu kehilangan appanya dengan tragis, dan ummanya pula. Apalagi yang bisa dilakukannya selain menumpahkan kebencian padamu, penyebab semua ini ?"

"Dia sebatang kara. Dia tidak mau menerima bantuan dari kita, lalu aku harus berbuat apa umma?"

Ummanya menatap Jongin dengan kebijaksanaan yang diperolehnya dari pengalaman hidupnya bertahun-tahun, "Mungkin kau harus memulainya dari dirimu sendiri dulu Nak."

Flashback Off

"Mau sampai kapan kita parkir disini? Gadis itu sudah pergi sejak tadi." suara Minji memecahkan keheningan, hampir membuat Jongin berjingkat karena kaget.

"Melamun lagi ya? Akhir-akhir ini kebiasaanmu melamun makin parah."

Jongin menarik napas lalu memundurkan mobilnya keluar dari parkiran, "Thanks sudah menemaniku menunggu dia."

Minji menatap Oppanya seksama, lalu tatapannya berubah penuh sayang.

Kejadian kecelakaan itu sudah lama, tapi kakaknya menanggung beban rasa berdosa itu di pundaknya tanpa henti. Sampai seolah-olah Jongin sudah lupa bagaimana caranya tersenyum.

"Aku sayang padamu Oppa. Aku tidak tahan kalo kau terus-terusan dalam kondisi seperti ini."

Jongin terdiam, tidak menanggapi. "Dia sudah lulus kuliah, nilainya bagus. Dia pasti akan diterima di perusahaan yang juga telah susah payah kau siapkan untuknya."

Minseok menatap Jongin penuh arti, lalu mendesah ketika Jongin tidak mengatakan apa-apa.

"Bukankah ini waktunya kau berhenti, Oppa?"

"Berhenti apa?" tanya Jongin

"Berhenti memikul tanggung jawab ini seolah-olah kamu tidak akan pernah termaafkan" Cengkeraman Jongin di roda kemudi semakin erat.

"Aku memang tidak akan pernah termaafkan."

"Kejadian itu udah lama berlalu. Gadis itu bahkan mungkin sudah kehilangan kesedihannya dan menjalani hidup dengan bahagia."

Jongin mengernyit menggelengkan kepala. Membantah apapun yang berusaha diucapkan oleh dongsaengnya.

"Tidak. Aku yang merenggut semua kebahagiaannya. Sebelum semua bisa aku kembalikan kepadanya dalam kondisi utuh. Aku tidak akan berhenti."

"Kau itu menyedihkan." Minji menatap Oppanya dengan pandangan jengkel. Merasa seperti kaset yang rusak karena mengulang-ulang kalimatnya terus-menerus.

"Aku berdoa, semoga suatu saat gadis itu tahu siapa yang berada dibalik hidupnya yang berjalan dengan begitu mudah selama ini."

.

.

"Surat panggilan untukmu." Pengurus asrama menyerahkan surat yang terbungkus rapi oleh amplop berbahan kertas mahal itu.

Kyungsoo mengernyitkan kening. Dibacanya kepala surat di amplop surat itu yang ditulis dengan tinta emas elegan dengan lambang perusahaan yang sangat bonafit.

Perusahaan ini bergerak di bidang jasa konstruksi dan sangat terkenal. Kyungsoo tahu lambing perusahaan ini. Dia mengenal perusahaan ini, yang sering disebut-sebut oleh dosennya, dan juga sering muncul di berbagai media massa terutama yang menyangkut literatur bisnis dan keuangan.

Perusahaan ini benar-benar didirikan dari bawah. Menurut gosip pemiliknya masih muda. Memulai usaha ini setelah pulang dari sekolahnya di Amerika.

Dia mendirikan perusahaan dengan sistem yang serupa dengan joint ventura dengan penanaman modal dari perusahaan asing yang bergerak di bidang sejenis.

Kemudian dalam waktu lima tahun sudah merajai jajaran perusahaan konstruksi yang patut diperhitungkan.

Sebuah surat panggilan? itu benar-benar membuat Kyungsoo bingung, dia tidak pernah merasa mengirimkan lamaran ke perusahaan ini. Perusahaan ini terlalu bonafit untuk fresh graduation seperti dirinya. Bagaimana mungkin ada surat panggilan kalau dia tidak pernah mengajukan surat lamaran?

Pengurus asrama tersenyum melihat keragu-raguan Kyungsoo, "Sudah buka saja. Mungkin isinya benar-benar panggilan kerja untukmu."

"Tapi umma, aku tidak pernah merasa mengirimkan lamaran ke perusahaan ini." Kyungsoo terbiasa memanggil pemilik asrama ini dengan sebutan umma.

Bibi Pengurus asrama ini sudah seperti ibu kedua baginya. Ketika dia sebatang kara dan kedua orang tuanya meninggal dulu.

Kyungsoo memutuskan untuk berhenti sekolah dan mencari pekerjaan.

Kebetulan waktu itu seorang tetangganya mengenalkannya dengan Umma Park, seorang pegawai yang bertanggung jawab terhadap sebuah asrama putri yang saat itu sedang membutuhkan pembantu dan teman untuk menunggui asrama milik sebuah yayasan swasta tersebut.

Umma Park adalah seorang janda tanpa anak yang hidup sendirian. Kehadiran Kyungsoo sangat membantunya. Bahkan kemudian ibu Rahma mengusahakan beasiswa untuk Kyungsoo agar dia bisa melanjutkan sekolahnya.

Kemudian semua terasa mudah bagi Kyungsoo, beasiswanya terus berlanjut hingga Kyungsoo bisa lulus kuliah. Tentu saja sebagian biaya hidupnya harus Kyungsoo tanggung sendiri, dia sekolah sekaligus bekerja sebagai pegawai asrama putri tersebut, mengurus adminsitrasinya, bahkan kadang menjadi pegawai kebersihan kalau sedang tidak ada tenaga kebersihan.

"Mungkin itu rekomendasi dari Universitasmu, kau kan lulusan terbaik." Umma Park tersenyum lembut, "Ayo, bukalah."

Dengan enggan dan sedikit takut-takut, Kyungsoo merobek amplop itu. Sebelumnya dia memastikan kalau amplop itu benar-benar ditujukan padanya. Setelah yakin dia mengeluarkan kertas surat yang tak kalah elegan dengan amplopnya itu dan mulai membaca isinya.

Dengan Hormat,

...maka kami memanggil anda untuk menjalani rangkaian interview...

Kyungsoo mengerutkan keningnya, membacanya berulang-ulang.

"Bagaimana?" Umma Park tampak begitu optimis dan penasaran. Kyungsoo tersenyum, "Memang surat panggilan pekerjaan."

"Kau harus datang."

"Tapi umma. .aku masih bingung."

Umma Park menggelengkan kepalanya, menelan semua bantahan Kyungsoo, "Tidak semua orang berkesempatan sepertimu Kyung, kau harus datang memenuhi panggilan kerja itu."

Kyungsoo terdiam, mengerutkan kening. Tapi pikirannya melayang, hidupnya terasa begitu mudah. Seolah-olah Tuhan mengulurkan tanganNya langsung dan membantunya.

Dia mendapatkan semuanya dengan begitu mudah. Rumah asrama yang menampungnya gratis, beasiswa demi beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya, umma Parksebagai pengganti orangtuanya, pekerjaan yang sangat fleksibel yang memungkinkannya bekerja sambil sekolah sekaligus menyediakan uang untuk kebutuhan pribadinya.

Sekarang, begitu luluspun, tawaran pekerjaan langsung datang kepadanya. Tidak tanggung-tanggung, langsung di sebuah perusahaan bonafit berkelas tingggi.

Kyungsoo tersenyum dan otomatis memandang ke atas. Ke titik khayalan yang dibayangkannya.

"Hei malaikat pelindungku." bisiknya pelan kepada langit.

"Kau pasti sudah bekerja sangat keras, bernegosiasi dengan Tuhan untuk membuat hidupku begitu mudah. Terimakasih." Ujarnya sambil tersenyum.

.

.

Kyungsoo merapikan rok setelan kerjanya yang sedikit kusut dengan gugup. Bus yang dinaikinya sangat penuh dan sesak sehingga penampilan Kyungsoo jadi tidak serapi ketika dia berangkat tadi.

Sekarang disinilah dia berdiri di lobby mewah perusahaan ini dengan keragu-raguan dan kecemasan yang tampak jelas.

'Aku telah berbuat kesalahan dengan kesini, ini bukanlah tempatku' desahnya dalam hati.

Kyungsoo mengusap keringat di dahinya ketika petugas resepsionis yang ramah tersenyum kepadanya, mengundangnya mendekat.

"Ada yang bisa saya bantu?" Resepsionis itu mungkin kasihan melihat Kyungsoo yang gugup dan kebingungan seperti salah tempat.

"Eh. . ini..." Kyungsoo mengeluarkan surat panggilan interview yang diterimanya kemarin. Dia mengeluarkannya dengan hati-hati seolah itu harta karun berharga dan menunjukkannya kepada sang resepsionis.

"Saya mendapatkan panggilan interview di sini hari ini." Resepsionis itu menerimanya dan mengerutkan kening.

Dia adalah pegawai berpengalaman. Dia tahu bahwa surat panggilan ini tidak main-main. Dikirimkan langsung oleh sekretaris sang owner bahkan ditandatangi langsung olehnya. Ini bukan surat sembarangan. Surat Penting.

"Sebentar, saya akan menelepon atasan saya." Sikap sang sekretaris yang ramah dan mengasihani itu langsung berubah serius dan dia meninggalkan Kyungsoo untuk menelepon atasannya.

Jantung Kyungsoo langsung berdegup kencang. Pikiran-pikiran buruk langsung menerpanya.

'Apakah dia salah? Apakah surat itu palsu? Atau mungkin sekedar lelucon untuk mengerjainya?'

'Astaga!' Pekiknya dalam tak pernah terpikirkan di benaknya tentang kemungkinan itu?

Kyungsoo memandang sekeliling dengan gelisah.

'Apakah dia akan diusir? Apakah dia akan dipermalukan?'

Rasanya lama sekali ketika Resepsionis itu kembali dari belakang. Dia sudah berhasil menguasai diri rupanya, senyum ramahnya sudah kembali.

"Interview akan dilakukan di lantai lima, saya akan meminta petugas kami untuk menemani anda ke atas."

Seorang petugas entah muncul dari mana dengan ramah menemani Elena melangkah masuk lift menuju lantai lima.

"Mari nona. Silahkan duduk dulu di situ, saya akan memberitahukan kedatangan anda."

Kyungsoo duduk di sofa sambil tetap mengerutkan kening, memberitahukan kedatangannya?

Kenapa seolah-olah dia adalah tamu yang sudah ditunggu dan bukannya salah seorang calon pegawai yang akan menghadapi test interview?

Dimana yang lain? Kyungsoo memandang sekeliling yang sepi. Dia menyangka akan di interview bersama calon-calon pegawai lainnya tapi ternyata dia cuma sendirian.

"Silahkan Nona. Beliau berkenan menemui anda."

Masih dengan bertanya-tanya Kyungsoo melangkah memasuki ruangan itu. Sebuah ruangan rapat kecil yang mungkin difungsikan untuk mewawancarai calon pegawai.

Seorang perempuan yang sangat elegan dan cantik menunggunya di sana. Cantik sekali seperti model, wajahnya sangat eksotis seperti Miss Korea. Dibalut setelan kantornya yang terlihat mahal dan menarik.

"Selamat siang. Silahkan duduk" gumamnya datar mempersilahkan.

Dengan canggung Kyungsoo duduk di hadapan perempuan itu.

"Saya Kim Minji, Manager Utama. Mungkin anda bertanya-tanya kenapa anda bisa mendapat panggilan di perusahaan ini. Kami memperoleh rekomendasi dari universitas anda. Anda adalah lulusan terbaik di sana."

Rupanya kata-kata umma Park ada benarnya, dia dipanggil karena rekomendasi dari kampusnya.

"Baik, pekerjaan yang akan ditawarkan kepada anda adalah Staff inti dari Direksi. Maksud saya, anda akan bekerja sebagai bawahan langsung dari Pemilik Perusahaan ini."

Otak Kyungsoo serasa dicubit, Staff direksi? Kenapa untuk jabatan sepenting staff direksi, perusahaan ini mengambil seorang lulusan baru sepertinya? Bukankah untuk jabatan seperti itu biasanya sebuah perusahaan akan mengambil dan mempromosikan pegawainya yang sudah lama mengabdi untuk naik jabatan?

Tapi pertanyaan-pertanyaan di otak Kyungsoo langsung terabaikan ketika dia berusaha berkonsentrasi penuh atas wawancara resmi yang mulai dilakukan oleh Manager yang cantik itu.

Wawancara itu berlangsung lama dan begitu resmi. Kyungsoo menjawab semua sesuai kemampuannya. Setelah pertanyaan terahkir dijawab, Nona Kim terdiam agak lama dan menatap catatan di mejanya. Perempuan itu lalu menatap Kyungsoo lama seolah-olah ingin membaca isi hati Kyungsoo

"Kalau anda diterima. Seberapa cepat anda bisa mulai bekerja di perusahaan kami?"

Kyungsoo tergeragap, tidak menduga akan ditanya selugas itu. Biasanya mereka akan menyalaminya terlebih dahaulu, kemudian mengatakan akan melakukan evaluasi dan akan menghubungi beberapa waktu nanti, bukan?

"Saya bisa kapan saja" jawab Kyungsoo cepat.

Minji menganggukkan kepalanya, "Anda diterima. Saya ingin anda siap dan mulai bekerja senin depan. Cukupkah waktu untuk mempersiapkan semuanya? Tiga hari?"

Kyungsoo menganggukkan kepalanya meski masih merasa seperti mimpi, "Baik. saya akan siap."

Minji berdiri dan mau tak mau Kyungsoo ikut berdiri juga. Perempuan itu lalu menyalaminya dengan senyuman yang sulit diartikan.

"Semoga sukses di perusahaan ini." Dia lalu melepaskan tanggannya dan melangkah keluar.

"Sampai bertemu lagi, anda bisa keluar sendiri kan." dengan langkah cepat dan tegas, setegas pembawaannya, wanita itu meninggalkan Kyungsoo sendirian.

Meninggalkan Kyungsoo yang terpaku di tengah ruangan itu, menahan keinginan kuat untuk mencubit dirinya sendiri.

Secepat ini prosesnya? Mimpikah dirinya?

.

.

"Sudah beres." Minji meletakkan berkas-berkas itu di meja Jongin. "Trims." Jongin tersenyum menatap dongsaengnya, "Bagaimana?"

"Dia kebingungan." Minji mencibir, "Semua ini terlalu mudah. Kalau aku jadi dia, pasti juga akan sebingung dia. Oppa, kau sudah membuatku melanggar aturan perusahaan dalam merekrut pegawai."

Jongin tersenyum miris, "Perusahaan ini milikku. Aku berhak menentukan penerapan aturan itu."

Minji mengangkat bahunya, "Yah. .Lagipula siapa aku berhak menentangmu Oppa. Bisa dibilang kau merintis perusahaan ini demi gadis itu. Sekarang keinginanmu udah tercapai, Jongin Oppa."

"Panggil aku Kai jika disini."

Minji mengernyitkan alisnya tidak setuju, "Dia pasti akan tahu suatu saat nanti, Jongin Oppa" dengan keras kepala Minji tetap memanggil oppanya dengan panggilan "Jongin".

"Appa kita bisa dibilang pengusaha dengan nama besar, suatu saat nanti dia pasti akan bisa menghubungkan namamu dengan papa, dan identitasmu akan terbongkar."

Jongin diam tidak membantah kebenaran yang terasa jelas di ucapankan dongsaengnya, matanya menerawang.

"Dia akan tahu, nanti, setelah aku bereskan semuanya untuknya."

"Dan kau pikir dia akan berterimakasih padamu nantinya?" ucap Minji sebal.

Jongin menggeleng dan tersenyum, "Ini bukan tentang pemberian dan rasa terimakasih. Ini tentang hutang yang dibayar, Minnie. Tidak pernah ada orang yang wajib berterimakasih atas hutangnya yang dibayarkan, yang ada, yang berhutang itulah yang wajib mengucapkan terimakasih."

Minji mendesah, menatap kakaknya dengan sedih, "Aku cuma bisa mendoakanmu. Semoga semua baik-baik saja." dan menyerahkan semuanya pada Tuhan, sambung

Minji dalam hati. Meskipun dia mulai merasa tidak yakin, sebab seperti kata orang-orang bahwa Tuhan itu Maha Pemaaf, kenapa Dia membiarkan kakaknya menanggung dosa dan rasa bersalahnya selama bertahun-tahun?

.

.

KS

.

.

"Ini ruanganmu", perempuan yang lebih tua itu menunjukkan sebuah ruangan kecil di sudut yang terletak di lantai paling atas gedung megah itu.

"Seluruh staff direksi berjumlah delapan orang –termasuk dirimu. Kami bertugas untuk memfasilitasi kegiatan owner perusahaan ini, Tuan Kim Kai. Tugasmu adalah membantu Baekhyun, sekertaris direksi terutama karena dia akan cuti hamil satu bulan lagi. Kau harus bisa memback up semua pekerjaannya selama dia cuti nanti. Jadi sekarang dia yang akan menjadi mentormu."

Perempuan yang lebih tua itu, Kwon Yuri mengedikkan bahu ke arah seorang perempuan muda cantik yang tadi tidak sempat dilihatnya, Byun Baekhyun. Perempuan muda cantik yang kelihatan montok karena sedang hamil besar itu tersenyum padanya. Kyungsoo merasa lega karena mentornya itu kelihatannya sangat baik.

"Yuri eonni memang kelihatan ketus, tapi dia sangat baik. Dia bisa dibilang wakil direktur utama disini. Dia yang menghandle semuanya jika Mr. Kai sedang tidak ada di tempat."

Baekhyun menjelaskan sambil tersenyum ketika mereka duduk bersama. Baekhyun menerangkan tugas-tugasnya.

"Pemilik perusahaan ini namanya Mr. Kai?" Kyungsoo sudah tahu sebenarnya, karena penasaran, kemarin dia membeli dan membaca berbagai majalah bisnis yang menyangkut perusahaan ini. Sesuai dengan keterangan dosennya waktu mencontohkan perusahaan ini sebagai materi kuliahnya, pemilik perusahaan ini masih muda –muda dan cemerlang, karena bisa membangun bisnis sesukses ini dalam waktu yang begitu singkat.

"Ya, kau akan sering bertemu dengannya nanti, apalagi saat aku cuti melahirkan nanti. Bisa dibilang pekerjaannmu adalah mengatur seluruh jadwal dan keperluannya." Baekhyun tersenyum dan matanya menerawang, "Jangan kuatir, Mr. Kai tidak seketus Yuri eonni. Dia sangat baik dan tenang, tidak pernah marah, dan sangat tampan karena ummanya berdarah spanyol. Bayangkan pria-pria spanyol yang sexy itu." Baekhyun mengedip nakal.

"Biarpun beliau sedikit murung. Seperti ada sesuatu yang selalu tersimpan di benaknya, membuatnya susah tersenyum, tapi walaupun begitu..." Baekhyun mengedipkan matanya lagi, "Dia adalah bujangan paling diincar disini. Kesan misteriusnya malah membuatnya semakin banyak penggemar. Sayang dia begitu penuh rahasia, tidak pernah ada kelihatan dia dekat dengan siapapun."

Kyungsoo mengernyit. Muda, kaya, sukses dan cemerlang, tapi tidak pernah dekat dengan satu perempuanpun?

Baekhyun tertawa, bisa membaca apa yang ada di pikiran Kyungsoo, "Dia bukan gay" bisiknya pelan.

"Sebenarnya ini rahasia, tapi aku pernah mengatur beberapa pertemuan beliau dengan perempuan-perempuan cantik dari kalangan atas, tapi hubungan mereka sambil lalu saja. Mr. Kai tidak pernah menjalin hubungan lama dengan satu wanita," Baekhyun mengehela nafas dengan dramatis.

"Lelaki setampan itu. . ." Baekhyun menggantungkan kalimatnya.

Lalu melanjutkannya, "Kau tidak boleh jatuh cinta kepadanya Kyung, daripada kau nanti patah hati seperti yang dialami beberapa karyawan disini. Mereka berani memendam perasaan kepada Mr. Kai dan semuanya berujung patah hati, Mr. Kai tidak sedikitpun melirik mereka."

'Aku tidak akan jatuh cinta kepada 'Mr. Kai' itu.' Kyungsoo tersenyum dikulum, berpikir dalam

Hati.

Dari ceritanya, lelaki itu terdengar terlalu sempurna –sempurna dan pemurung, sama sekali bukan tipe lelaki idaman Kyungsoo. Kekasih impiannya adalah lelaki biasa yang ceria dan bisa membuatnya tertawa setiap saat.

'Dan lelaki itu bukan Mr. Kai, aku tidak akan pernah jatuh cinta kepadanya.' Yakin Kyungsoo dalam hati.

Meskipun keyakinan manusia kadangkala bisa bertentangan dengan kehendak Tuhan.

.

.

'Dia ada disini.'

Jongin menelan ludahnya, merasa konyol karena kegugupannya.

Astaga! Dia yang selama ini menghadapi begitu banyak orang dengan percaya diri sekarang merasa gugup hanya karena seorang perempuan biasa yang bahkan tidak akan mengenalinya.

Jongin berdehem menenangkan diri, tapi perempuan ini bukan perempuan biasa. Perempuan inilah –entah sadar atau tidak, telah mengubah seluruh kehidupannya. Telah mengubah seluruh cara pandangnya terhadap kehidupan. Perempuan inilah yang sekarang telah menjadi tujuan hidup seorang Kim Jongin. Kebahagiaannya adalah tujuan hidup Jongin.

Setelah menarik napas panjang, Jongin melangkah masuk ke ruangan kantor staff direksi. Yuri sedang berdiri di dekat pintu dan langsung membungkuk kepadanya.

"Selamat pagi Mr. Kai" sapanya hormat.

Jongin mengangguk tak kentara, matanya berputar ke sekeliling ruangan.

'Dimana Kyungsoo? Seharusnya dia mulai bekerja hari ini kan?'

Yuri sepertinya menyadari apa yang dicari oleh Jongin. Dia termasuk orang kepercayaan Jongin yang tahu rencana bossnya itu ketika memasukkan Kyungsoo keperusahaan ini.

"Dia sedang ke toilet, Mr. Kai"

Jongin mengangguk, merasa sedikit malu karena wakil direksinya ini menyadari apa yang dicarinya.

"Suruh dia menghadap ke ruanganku nanti", gumamnya setelah berdehem dan melangkah masuk ke dalam ruangannya.

Di dalam ruangannya, Jongin merasa begitu susah berkonsentrasi. Berkali-kali dia melemparkan pandangan ke pintu dengan gelisah. Kenapa Kyungsoo lama sekali?

Jongin merasa bahwa detik pertemuan inilah yang nantinya akan menentukan langkah ke depannya. Dia harus memastikan bahwa Kyungsoo tidak akan mengenalinya. Tentu saja dia tetap harus menghadapi resiko bahwa Kyungsoo tetap akan mengenalinya.

Siapa yang bisa mengukur kekuatan ingatan seseorang? Apalagi ingatan tentang kejadian buruk biasanya akan lebih kuat melekat. Jika Kyungsoo mengenalinya, maka selesailah sudah semuanya.

Jongin merasakan jantungnya berdenyut, dia tidak akan siap. Dia tidak akan siap jika Kyungsoo mengenalinya dan kemudian membencinya dengan kebencian yang sama seperti yang ditunjukkan di pertemuan pertama mereka di masa lalu.

Semoga Kyungsoo tidak mengenalinya. Jongin masih merapalkan doa singkat itu berulang-ulang bagai mantra, ketika sebuah ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya.

"Masuk", gumamnya penuh antisipasi.

.

.

To Be Continue