GESTALT
Chapter 1
Disclaimer: Naruto and all the character are Masahi Kishimoto's.
"Hai Hinata, baru pulang kampus?"
Di lorong kediaman Hyuuga, Naruto menghadang remaja berambut panjang yang kepalanya dipenuhi kunciran. Meski telah berkarat di bangku kuliah, ia ingat bahwa ospek mahasiswa baru memang merepotkan. Setiap tahun, wajah-wajah lulusan sekolah menengah atas yang baru mencicipi kehidupan kampus, dijadikan mainan para senior. Alasan bimbingan mental klise karena dijadikan tameng perpeloncoan. Lihat Hinata, kulit putihnya memerah yang penyebabnya Naruto pastikan adalah berjemur di bawah sengat matahari. Sungguh lucu, mahasiswa baru sedang orientasi menuju ruang akademik anyar, bukan orientasi hidup di alam liar.
"Bocah-bocah eksekutif mahasiswa itu kurang ajar, bukan? Wajah cantikmu jadi keringatan begini."
Naruto mengusapkan saputangan ke dahi Hinata.
1…2…3
Bibir Naruto terangkat menyaksikan reaksi perempuan di hadapannya. Warna merah menyebar hingga belakang telinga. Iblis di dalam diri Naruto terbahak, reaksi malu dan gugup Hinata memang tiada dua. Ia positif ada ruang spesial di hati putri Hyuuga yang bisa dimasukinya kapan saja.
"Kamu sakit Hinata? Wajahmu merah sekali."
Naruto kian sengaja menginvasi, telapak tangannya mendarat di dahi lalu merambat ke pipi Hinata, menepuk-nepuknya lembut. Lagi, si remaja Hyuuga bertambah membeku, kulitnya dingin di bawah telapak Naruto. Kegugupan Hinata melipatkan kesenangan pribadi sebagai lelaki penggoda.
"A-anou… permisi Na-naruto. Harus ke kamar."
Arah pandangnya Naruto mengikuti objeknya hingga pintu kamar di lantai dua berdebam. Ia terkikik geli, ternyata bakat menaklukkan dan analisis sikap wanita miliknya cukup tinggi. Seharusnya Naruto membuka universitas untuk itu. Sehingga tak ada pria yang harus desperate dalam melupakan cintanya. Alis Naruto menukik tiba-tiba, seperti ia dalam suatu kasus.
"Baka, berhentilah menggodanya. Dia adik Neji."
Sambil menyeringai, Naruto mengangkat bahu sebagai jawaban atas himbauan Sasuke. Permainan baru saja dimulai, dan ia tidak menyerah terlalu dini.
*
Empat pasang mata mengawasi seseorang yang tanpa sengaja memasuki wilayah pandang mereka. Proyeksi retina pada masing-masing pemiliknya menimbulkan reaksi berbeda. Sementara yang lain memandang sambil lalu, si mata biru menatap intens, menekuri perempuan bertubuh mungil di seberang. Segaris senyum menghiasi wajahnya yang tengil.
"Memangnya Hyuuga tidak mampu membayar ART sampai adikmu harus turun tangan?" tanya Naruto pada Neji.
Lelaki yang tengah memutar-mutar drum stick di tangannya berdecak, "Hinata itu ratu bersih. Kalau pikiranmu kotor saja mungkin sudah disapu."
Tawa ringan mengalun dari bibir Naruto, ditatapnya lagi perempuan yang tengah menjaring daun-daun di kolam renang. Kaki-kaki kecilnya yang putih berusaha keras agar tak terpeleset. Ia menyukai betapa perempuan jelita itu sangat normal dan murni.
"Jangan menatapnya terus, nanti tiba-tiba kau campakkan." Seloroh Sai.
Sesaat alis Naruto berkerut, tetapi kemudian setuju. Hikayat percintaannya selalu diawali dari tatapan tertarik, dan diakhiri dengan putus hubungan yang tidak baik-baik. Tetapi Hinata berbeda, maksudnya, dia adik Neji. Setidaknya Naruto akan sedikit lama bermain-main.
"Hinata cantik ya, dia juga sepertinya menyukaiku." Ujar Naruto.
"Hentikan apapun yang kau maksud. Dia adikku, dan baru lulus SMA." Seru Neji. "Lagi pula aku yakin masih ada perempuan itu di kepalamu."
"Ayolah, kami sama-sama mahasiswa sekarang." Naruto memutar bola mata. "Dan, tidak ada perempuan sungguhan di kehidupanku. Tidak sekarang maupun nanti."
Neji berdecak jijik, "itu karena otakmu jongkok sampai tujuh tahun saja belum lulus kuliah."
"Berarti Hinata juga tidak akan menjadi sungguhan bagimu, kan?" Sasuke menyela.
Semua terdiam, menyadari bahwa pertanyaan Sasuke terlalu retoris untuk dijawab. Naruto sendiri nyengir menanggapi semua mata yang tertuju padanya. Ya, Hinata mungkin tidak menjadi sungguhan. Tetapi bukan berarti ia tak mau mencoba. Kesempatan ada untuk dijajal.
*
Di kamarnya, Hinata tengah menekuri buku Carl Jung yang menjadi bekalnya di bangku awal kuliah. Tidak semua manusia diberkahi kecerdasan melimpah, dan untuk IQ tinggi Neji-lah tempatnya. Sementara ia terkadang mesti tertatih-tatih, karena sistem pendidikan cenderung memandang angka semata. Kecerdasan emosional hanyalah bonus dalam kehidupan pelajar, bukan tangga yang mengantarkan ke peringkat tertinggi.
Dari teks yang sedang dibaca, Hinata menemukan bahwa manusia sebagai objek akan bisa dimengerti jika si observer mengetahui keseluruhan ia sebagai individu. Bila kita ingin mengetahui karakter seseorang secara utuh, maka perlu memahaminya lebih personal. Manusia adalah objek yang luar biasa menarik, melebihi makhluk hidup manapun. Pada tumbuhan atau hewan, kita bisa merujuk pada sampel penelitian yang mirip untuk melakukan analisis. Tetapi manusia, dengan banyak faktor dan pikirannya yang berkembang, akan selalu menjadi kompleksitas baru.
Terkadang sikap manusia bisa demikian paradoks, bertingkah A tetapi hatinya B. Misalnya saja Neji, dia genius tetapi memiliki sebuah ironi dalam kejeniusannya. Dia mudah sekali mengherankan atau menentang sesuatu yang manusia lain anggap normal. Baginya sangat aneh seseorang harus tunduk pada normalitas atau nilai kepantasan yang ditentukan orang lain. Tidak masuk akal. Hinata setuju pada satu sisi, namun mengambil kesimpulan bahwa 'normal' adalah konsep yang absurd. Selama ini normal hanya didasarkan pada konvensi umum yang sama sekali tidak tertulis dan tidak memiliki ikatan hukum jelas.
Berbicara mengenai normal, Hinata teringat Naruto yang sering bertingkah nyaris di luar batas. Tidak ada manusia normal yang hidup sesukanya, jika normal didasarkan pada pemufakatan publik. Tetapi serius, Naruto bisa dikatakan hidup semacam sampah. Kuliah nyaris mau seumur hidup, memanjakan testosterone dengan flirting tanpa arah dan melakukan pola-pola yang akumulasinya merusak diri. Hinata bukan tidak tahu bahwa Naruto juga berusaha menggaetnya. Ia hanya terlalu malu, dan minim interaksi dengan laki-laki sehingga belum mampu menyikapi Naruto. Namun ia tahu lelaki itu menginginkannya, oke, lebih tepat dikatakan menjebaknya seperti amorphophallus titanum (bunga bangkai) terhadap serangga.
Jika Hinata memutuskan jatuh, maka ia akan rusak. Entah ia pun tak mampu mengkalkulasi efek macam apa jika lancang beruhubungan dengan Naruto. Tetapi, pada matanya yang biru damai, Hinata tahu sesuatu bergolak. Sebuah kesunyian tak tersentuh, juga luka yang ia tak tahu penyebabnya. Seolah, Naruto telah mengarungi badai dini di kehidupan dan membuat jiwanya berongga di mana-mana.
Mungkin, badai itu membawa serta hatinya.
Ada bisikan konyol untuk menolong Naruto. Baiklah, ia menjadi tipikal gadis-gadis pengonsumsi romance media yang berpikiran cetek. Setidaknya jika berniat menolong, ia harus cukup pasti bahwa bukan dia yang terseret menuju kehancuran. Rusak satu lebih baik daripada rusak semua. Hinata dengan sangat jelas melihat Naruto sekadar main-main.
"Oh… Kak Naruto."
Hinata yang sedang turun ke dapur mendapati Naruto. Lelaki itu bersandar di teras samping dapur, pintu yang mengarah ke halaman terbuka, menerbangkan sedikit rambut blondenya. Meski remang, Hinata dapat mengetahui Naruto tengah merokok, dan ia tidak suka. Perokok adalah manusia yang merusak dirinya dan tidak memiliki empati terhadap paru-paru orang lain.
"Hmmm… hai princess, kenapa belum tidur?"
Suara Naruto meremangkan bulu kuduk Hinata. Sosoknya yang tinggi dengan badan kokoh, memang jauh mengintimidasi. Rentang tujuh tahun pada masa muda sungguh berarti banyak. Naruto yang berperawakan matang, seperti singa gagah sementara Hinata bagai kancil yang cuma memiliki otak sebagai pelindung. Dapat dilihat Naruto tersenyum kecil, antara mengejek dan menggoda. Perlahan melangkah, melingkupi Hinata dengan bayangnya.
"Adik kecil jangan tidur terlalu larut. Nggak baik untuk kesehatan."
Hinata benci karena malah terpaku saat Naruto menyentil hidungnya. Ia tidak lemah dalam berhadapan dengan lelaki, oke? Hanya kurang pengalaman saja. Saat Naruto menyampirkan selimut ke bahunya, Hinata menerima dan memutuskan bergabung untuk terlihat kasual. Meskipun ia benci rokok.
"Kakak besar jangan terlalu banyak merokok. Tidak baik untuk kesehatan."
Naruto tertawa, ternyata gadis ini mendapat didikan cukup dari Neji. Sarcasm on point. Tanpa kuasa mata Naruto memindai Hinata. Rambut panjang, mata bulat dan bibir yang melengkung indah, kemiripan mereka sampai sedetail itu.
"Nice sarcasm, Hinata. Bagaimana kalau kamu menemaniku di sini. Sepertinya kita sedang sama-sama tak bisa tidur." Ajak Naruto asal. "Tahu tidak, orang banyak kesamaan itu katanya jodoh loh."
Ada sesuatu yang menggelitik perut Hinata, gombalan Naruto terlalu murah untuk lelaki seumurannya. Baiklah, mungkin dia tampan meski tak se-waw Sasuke, tetapi tolong, tingkahnya tak mencapai standard Hinata. Untuk pasangan, Neji adalah tapal batas yang ideal. Anehnya lagi Hinata tak bisa tidak merona. Dua hal kontradiktif terjadi di dirinya. Secara psikologis ia tidak menyukai Naruto, malahan menganggapnya sebagai tantangan. Namun raut muka memiliki jalan pikirannya sendiri.
Hinata memandang Naruto yang menekan rokok ke asbak. Rupanya lelaki itu lumayan menghormatinya.
"Tahu tidak kak, orang yang terlalu banyak tidur atau kurang tidur biasanya sedang ada pikiran loh." Lagi-lagi Hinata tampak membeo ucapan Naruto. Sejatinya sedang mengungkap fakta psikologi semata.
"Berarti kamu juga sedang ada pikiran?"
"Besok aku ada kuis. Kata salah seorang senior, dosen yang akan mengampu besok suka menguji mahasiswa di awal pertemuan." Hinata merenung sebentar. "Aku sering melihat kakak begadang jika di sini, ada yang selalu mengganggu pikiran kakak ya?"
Pertanyaan Hinata sedikit mengganggu, Naruto tidak terbiasa diinterogasi atau ditebak. Namun seperti selalu, ia memilih bertingkah tengil. "Wah Hinata memperhatikanku sampai segitunya?" ia mengedipkan sebelah mata. "Kamu. Yang ada di pikiranku itu kamu, Hinata."
Hinata melengos, laki-laki senantiasa menggunakan objek terdekat untuk menutupi permasalahannya. Ia tidak tertipu. "Tidak, itu bukan aku. Kak Naruto sering membawa perempuan kemari, gonta-ganti. Kemungkinannya cuma satu, kakak kesepian. Seseorang cenderung melakukan apapun untuk mengisi kekosongannya dengan cara berlawanan. Orang sakit paling berusaha hidup sehat, begitu juga kakak, gonta-ganti pasangan karena sebenarnya ada satu perempuan yang menggenggam hati kakak tetapi tidak di sisi."
Sepersekian menit Naruto tercengang, terbuat dari apa perempuan ini? Apakah dia bisa membaca pikiran?
"Aku tidak membaca pikiran, kak. Itu cuma Psychology Trait." Hinata tersenyum kecil.
"Ugh, kamu sangat pintar. Otakku mengecil tiba-tiba."
Keduanya tertawa, tetapi sama-sama tahu, joke merupakan senjata saat seseorang terpojok. Naruto tidak menyangka, bocah seperti Hinata bisa menebaknya demikian tepat. Menarik.
"Sepertinya kamu suka mempelajari orang. Bagaimana kalau kita pacaran, supaya kamu bisa menggalipersoalan psikologi lebih jauh. Bonusnya kita juga bisa belajar yang ena-ena." Narut memperhatikan raut Hinata, lalu berbisik pelan. "Seks misalnya."
Sesaat debaran jantung Hinata membuncah, perkataan Naruto meledakkan sesuatu di dadanya. Lelaki ini sedang menakut-nakuti karena ia lancang memasuki teritori.
Sebenarnya Naruto tidak sebercanda itu. Ia sungguhan ingin memacari Hinata. Mencari tahu sebatas apa mainan barunya bisa dijelajahi. Tetapi melihat wajah yang memucat, Naruto sadar belum saatnya. Hinata mungkin pintar, namun masih seutuhnya polos.
"Hhahahaha. Lihat mukamu, Hinata. Ya ampun pucat sekali."
Hinata mengerjap, sedikit lega karena rupanya Naruto bercanda. Saking terhiburnya sampai tertawa memegang perut. Satu yang Hinata catat, lelaki ini bisa mengubah ekspresi dari serius, mengerikan lalu konyol. Ia tidak tahu mana yang asli dari sikap bunglon itu. Terpenting, harus berhati-hati. Orang yang terlalu banyak memasang ekspresi tidak sepatutnya dipercaya.
"Umm.. kalau begitu aku kembali ke kamar dulu, kak."
Tanpa menunggu persetujuan, Hinata melangkah pergi. Rambutnya yang panjang menyapu wajah Naruto.
"Hinata…" Panggil Naruto pelan. "Aku tidak bercanda pada bagian ingin memacarimu."
Keseriusan nada bicara Naruto membuat Hinata tertegun. Namun hanya membalas dengan senyum kecil. "Selamat malam, kak."
Mata biru memandang kepergian Hinata, bibirnya melengkungkan seringai. "Selamat malam, Hyuuga Hinata."
TBC
