A/N: Konichiwa minna-san, hisashiburi dana~ Kebetulan Gyu ada waktu buat log in FFn nih (*Padahal masih masa" UKK... ToT Nooo) Tapi tiba-tiba nemu event ini dan langsung ikut-ikutan... #Padahal selalu bikin fic Gaje dan Gantung mau ikut event# Gomen ne, kalaupun gaje tetap nikmati ya jalan ceritanya. Buat para staff dan team event mohon maaf sebesar-besarnya kalau quotes"nya ngga sesuai sama fanficnya. Hontouni Gomenasai.. #Bungkuk"

Disclaimer Naruto © Masashi Kishimoto

I'm really trully take no provit and cover isn't mine too… XD

PAINFUL SMILE

Dedicated for: Heart Monochrome Event

Type: [Two-Shoot]

Warning: AU/OOC/GaJe/Weird Plot/Misstyp bertebaran/etc

...you can stop read from now if you don't like…


"Mata bisa melihat dengan jelas, namun hanya hati yang bisa melihat dengan jujur."

(Kagome - Inuyasha) (*Lupa episodenya pas apa yang inget cuman quotes-nya doank ^^)


oOo


"Bahkan jika aku tidak bisa melihatmu, Bahkan jika kita terpisah berjauhan, Jiwaku akan selalu bersamamu dan akan

terus bersamamu selamanya."

(Makarov Dreyar - Fairy Tail) (*Waktu Makarov dan seluruh anggota Fairy Tail ngasih tanda 'L' pas Laxus minggat dari Fairy Tail)


oOo


"Dia selalu tersenyum, tidak peduli apapun yang terjadi dia tersenyum sampai akhir. Pada saat sedih, pada saat ia

harus menanggung semua kesendiriannya ia tetap tersenyum, bahkan lebih!"

(Natsu Dragneel - Fairy Tail)(*Waktu episode Elfman nangis di depan Natsu coz gara" dia Lisanna mati)


oOo


"Selama kau mengingatku aku akan tetap hidup dalam hidupmu meskipun aku mati."

(L Lawliet - Death Note)(*Waktu dialog antara Light dan L sendiri pas episode Rem nge-bunuh L—kalau ngga salah)


Pemandangan sephia saat itu adalah momen yang paling gadis ini tidak mau ingat. Meski itu adalah saat-saat yang paling menggembirakan dan saat-saat dimana semuanya terasa ringan. Entah kenapa tapi ia takut, ia takut mengingat saat itu meskipun hanya sesaat. Saat cairan merah itu mengalir keluar dari mulut pria itu, saat hanya ia sendirian yang menangisinya, saat semua orang datang dan panik, tapi yang paling ia takutkan adalah saat mendengar keputusan dari Dokter.

love only for a moment but friendship lasts forever –

Seutas kata-kata mutiara yang dipenuhi kebohongan. Apapun-Bagaimanapun-Tak ada sesuatu yang bisa bertahan selamanya.


Saturday, June X013, 08.00 A.M – XI.A Class, Konoha Senior Highschool


"Sai itu…apa dia punya teman," ucap Ino melihat pria berambut hitam pendek itu tersenyum saat Naruto dan yang lainnya tengah asik bersenda gurau.

"Aku rasa ada," balas Sakura pelan yang duduk di samping Ino.

"Dia tidak bicara jika tidak diajak bicara. Dia selalu tersenyum meskipun itu tidak terlalu lucu," lanjut Ino.

"Mungkin memang sifatnya," balas Sakura.

Sakura memandangi Sai. Teman semasa kecilnya, Naruto, dan Sasuke. Mereka berempat adalah kwartet yang kompak dan selalu pergi kemana-mana bersama. Tentu saja Sai yang paling polos diantara keempatnya saat itu dan Sakura lah yang selalu membantunya dan ada untuknya jika ia kesulitan.

Tahun-tahun bahagia sebagai teman mereka lalui sampai akhirnya perhatian Sakura mulai berubah menjadi rasa kasih pada Sai. Sai yang polos dan baginya ia tetaplah Sai yang dulu meski sekarang mereka telah menginjak Senior Highschool.

Tapi wajah Sai yang polos, saat itu ternoda oleh bercak darah yang keluar dari mulutnya saat itu dan membuat Sakura untuk pertama kalinya sangat takut. Ia takut terjadi apa-apa pada Sai, ia takut kehilangan orang yang ia kasihi itu.

Sai melirik ke arah Sakura dan tersenyum—meski Sakura tahu itu adalah senyuman palsu yang Sai buat. Senyuman Sai sudah lama mati, sejak saat itu. Sakura menggigit bibir bawahnya karena firasatnya mengatakan apa yang Sai sedang rasakan sekarang, hingga lamunannya pun buyar saat bel tanda istirahat telah berbunyi.

"Sakura aku mau ke kantin, apa kau mau ikut?" ajak Ino.

"E-Entahlah, aku mau ke perpustakaan dulu," tolak Sakura pelan.

"Baiklah kalau begitu. Jaa Ne-" Ino melambai meninggalkan Sakura.

Sakura melihat semua teman kelasnya pergi meninggalkan ruangan dan membuat kelas itu hening, termasuk juga Sai yang juga ikut pergi namun ia hanya berjalan lambat dan paling belakang. Sakura melihat Sai meninggalkan kelas pun ikut bangun dari kursinya dan mengikuti pria itu dibelakang.

:::Upstairs:::

"Uhk…Uhk Uhkk…" Sai bersandar di pagar pembatas atap sekolah itu dan terus batuk sambil menutupi mulutnya dengan kedua tangannya. Darah pun keluar dan Sai pun tetap mencoba untuk menampungnya.

"Sai," ucap Sakura pelan.

"S-Sakura?" balas Sai dengan samar karena mulutnya ditutupi oleh tangannya sehingga suaranya tertahan.

Sakura pun berjalan pelan mendekati Sai yang duduk diam bersandar di pagar. Jujur—Sai sedang tak mampu bergerak karena rasa sakit yang menjalar di tubuhnya. Sakura pun duduk di sampingnya dan memandangi wajah pucat pria itu.

"B-Bisa jangan terlalu dekat?" tanya Sai yang takut bau amis darahnya tercium tapi Sakura tak merespon.

Perlahan Sai mencoba memperkecil dan menyapu darah yang tersisa di mulutnya dengan tangannya yang menutupi mulut itu. Ia pun mengepalkan tangannya dan menyembunyikan darah itu serta memperlihatkan mulutnya yang bersih karena darah itu telah tersapu bersih seakan-akan tak terjadi apapun padanya tapi Sakura dengan cepat menangkap tangan dingin itu dan menggenggamnya.

Sakura lalu mengeluarkan sapu tangan putih di sakunya dan memaksa untuk membuka kepalan tangan Sai. Kemudian dengan pelan disapunya bercak merah yang cukup banyak itu dan membersihkan tangan Sai. Meski Sakura memerhatikannya, Sai tetap membuang wajahnya tak ingin memandangi Sakura.

"Arigatou," balas Sai singkat sambil tersenyum pada Sakura.

"…Jangan menyimpan…semuanya sendirian," pinta Sakura dan Sai langsung paham apa maksudnya.

"Tersenyum tapi hatimu menangis. Itu pasti menyakitkan," lanjut Sakura dan Sai pun membuang wajahnya.

"Bisakah kau jangan dekati aku lagi, Sakura?" pinta Sai namun kata-kata itu sudah sering Sakura dengar, ia mengerti bahwa Sai tidak ingin Sakura sampai merasa kehilangan jika sesuatu hal yang buruk terjadi padanya.

"Aku mengerti. Tapi hati Sai selalu berkata sebaliknya. Aku akan melakukannya jika hatimu mengatakan hal yang serupa," jawab Sakura dengan kata kiasan namun itu kenyataan bagi Sai.

"Aku terlalu lemah…tapi untuk sekarang dan seterusnya aku takkan meminta bantuan siapapun," ucap Sai lagi.

"Tapi aku menyukai Sai yang lemah," balas Sakura.

*DEG DEG*

Jantung Sai terpompa dan berdetak cepat. Ia memandangi mata emerald gadis itu, gadis yang begitu jelita di pandangannya. Satu hal yang ia ingin Tuhan mengabulkannya ialah agar ia selalu bisa memandangi wajah manis itu, apapun yang terjadi kelak. Karena hatinya sekarang menjerit, menjerit karena ia menyadari betapa besarnya cinta Sakura padanya namun ia tak mampu mengatakan sebaliknya, karena dalam pikirannya sekarang jika ia benar mencintai Sakura maka ia harus menjaga perasaan Sakura agar tidak tersakiti—tersakiti karena keadaannya.

"Aku menyukai Sai yang lemah, karena dengan begitu aku bisa selalu ada untuk membantumu," ucap Sakura.

"…Aku bukanlah…orang yang pantas untuk kau cintai…Sakura. Aku bahkan tidak merasa hidup. Setiap nafas yang aku hirup seakan mencekik dan mencoba mengantarku menuju kematian lebih cepat—"

"Tidak ada yang akan mati," potong Sakura dan Sai pun terdiam.

"Aku percaya Sai tidak akan mati. Aku percaya Sai akan bertahan," lanjut Sakura lagi dan membuat Sai hening, bahkan ia sendiri tak percaya ia dapat bertahan hidup tapi Sakura tetap mempercayainya.

"Sai tidak sendirian. Meskipun Naruto dan Sasuke tidak mengetahuinya tapi aku bisa. Karena itu ijinkan aku untuk melepaskan rasa sakit itu," ucap Sakura dan Sai tak mampu membalas kata-katanya lagi.

Sakura pun mengerti dan memeluk kepala Sai kemudian merengkuhnya dalam dadanya dan sontak membuat wajah Sai merah. Entah kenapa Sakura melakukan ini tiba-tiba, tapi jauh dalam hatinya ia tidak merasa sakit lagi. Rasanya begitu hangat dan nyaman. Setetes air mata pun mengalir dari sudut mata Sai yang merupakan pelampiasan hatinya. Meskipun sebenarnya ia masih memasang ekspresi datar tapi jauh dalam hatinya ia menangis karena tak ingin momen ini berakhir cepat.

"Kalau ini dapat mengurangi rasa sakitmu, kalau ini dapat menyembuhkanmu meski hanya beberapa saat. Maka aku ingin kau disini lebih lama," ucap Sakura yang mengeratkan pelukannya, karena sekarang momen itu kembali terlintas di kepala Sakura. Ya, momen yang membuat rasa takut di hatinya tumbuh.

:::flashback mode: On:::

Dokter duduk tenang melihat wajah kedua orang tua Sai, anak yang ia periksa kesehatannya—dan hasilnya adalah hasil yang terburuk. Ayah dan Ibu Sai terlihat gelisah bahkan putus asa saat mendengar Sai telah terkena hemoptisis dan telah sampai dimana ia tak bisa lagi tertolong meski pihak medis telah mengusahakan hal terbaik yang dapat mereka lakukan.

"Maaf, tuan. Tapi sekarang hanya waktu yang bisa menjawab…kapan anak itu akan pergi," lanjut sang Dokter dan Ayah Sai mencoba tegar sementara Ibu Sai memegangi mulutnya karena tangisnya telah pecah sekarang.

"Apa memang tidak ada pilihan lagi, Dokter?" tanya Ayah Sai dengan sabar.

"Maaf. Tapi ia bertahan hingga sekarang pun sudah merupakan keajaiban," jawab Dokter itu dan Ayah Sai pun akhirnya pasrah.

Sakura yang berdiri mematung diluar ruangan itu hanya diam dalam hening saat mendengar dialog antara orang tua Sai dan Dokter tersebut. Apa memang benar tak ada lagi cara? Apakah senyuman Sai yang selalu menemaninya bersama Naruto dan Sasuke akan terhapus begitu saja?

*TES*

Dan akhirnya bulir-bulir air mata turun mengalir melewati pipi Sakura, entah kenapa rasa kasih sayangnya mungkin takkan pernah terjawab oleh Sai. Sai takkan mendengarnya mengucap kata seindah cinta begitupula sebaliknya. Kenapa? Kenapa semua ini terjadi?

Agak lama dan Sai selesai dengan pemeriksaan lebih lanjut juga pengobatan akhir yang bisa pihak medis lakukan untuk menahan rasa sakit juga memperlambat pendarahannya secara bertahap. Dan saat Sai keluar menemui Sakura lagi ia masih tetap tersenyum, namun kali ini senyumannya tidak sama lagi, itu bukanlah senyuman…yang keluar dari hati, bukan sebuah senyuman yang tulus.

:::flashback mode: Off:::

"Sakura…" ucap Sai dan menyadarkan Sakura dari lamunannya.

"Bel sudah berbunyi, sebaiknya kita bergegas," ajak Sai dan Sakura pun melepas pelukannya, dibantunya Sai berdiri kemudian berjalan berdua berdampingan dengannya menuju ke kelas.


Saturday, June X013, 13.50 P.M – XI.A Class, Konoha Senior Highschool


"Sekarang sebelum pulang aku ingin mengumumkan tentang event kelas Seni dari Sasori-sensei. Diadakan sebuah acara bertitle-kan 'Big Bang Wallpaper' oleh Walikota Hiruzen untuk memeriahkan pameran seni di ibukota hari selasa nanti. Bagi yang ikut kelas Seni dan ingin ikut dalam event ini kalian harus membuat lukisan berukuran 2x2 meter pada kertas scroll besar seukuran tersebut. Untuk formulir pendaftaran juga info event ini kalian bisa hubungi Sasori-sensei atau Deidara-senpai di kelas XII-A," ucap ketua kelas, Neji yang kini sekarang berdiri di depan kelas.

"Hai," balas semuanya tanda mengerti dan mereka pun menghambur keluar dengan tas masing-masing dan pulang.

"…Sai." Sakura menyapa Sai yang sedari tadi diam di mejanya.

"Kau mau ikut 'kan. Semenjak kau tak aktif di klub olahraga kau masuk kelas seni 'kan?" tanya Sakura.

"…A-Aku ingin ikut. Untuk scroll besar itu aku bisa usahakan, tapi aku kekurangan cat. Seluruh kaleng cat di kelas seni sudah diambil habis bahkan sebelum aku tahu adaevent ini," terang Sai dengan nada sesal.

"Jangan khawatir, temui aku di aula. Aku akan membantumu mengumpulkan cat-nya," ucap Sakura pelan.

"…Arigatou, Sakura…" jawab Sai dan ia pun meninggalkan tempat itu.

Sakura memandangi kepergian Sai. Ia pun bergegas pulang juga karena ingin segera mengumpulkan kaleng cat untuk Sai. Tapi sesaat setelah Sakura melewati pintu ia terkejut mendapati Sasuke tengah berdiri bersandar di dinding samping kelas sambil memejamkan mata.

"S-Sasuke-kun, kau belum pulang?" tanya Sakura.

"Apa dia sudah baikan?" tanya Sasuke namun Sakura tak paham tapi setelah agak lama mencerna kata-kata Sasuke mata Sakura langsung membesar—jadi Sasuke mengetahui kalau Sai sakit.

"Dari ekspresimu, dia takkan sembuh…'kan?" tebak Sasuke yang membuka matanya dan memandangi Sakura yang terlihat sangat sedih.

"Jadi…kau sudah tahu kalau Sai sakit?" tanya Sakura mencoba meyakinkan.

"Bahkan Dobe yang otaknya hanya separuh itu pun tahu kalau Sai sakit. Semuanya sudah tahu hal ini…mereka merahasiakannya dan pura-pura tidak tahu agar Sai berpikir kami semua tak mengkhawatirkannya dan tak merasa kehilangan jika…sesuatu yang buruk terjadi padanya. Tapi dia salah…dia pikir kami tak peka padanya yang selalu menebar senyum palsu itu," jawab Sasuke yang kemudian meninggalkan Sakura sendirian.

Sakura berdiri terdiam. Jadi sebenarnya mereka mengkhawatirkan Sai. Sasuke dan Naruto, yang ia kira sebagai teman dekatnya dan Sai benar-benar tidak punya perasaan yang peka ternyata peduli dan khawatir pada Sai. Teman-teman yang dipandangannya terlihat menganggap Sai sebagai manusia antara ada dan tiada ternyata mengkhawatirkan keadaan pria itu. Entah kenapa, ia merasa bahagia…Sai bukanlah seseorang yang tak mendapat tempat di hati semua teman-temannya.


Saturday, June X013, 15.20 P.M – Auditorium, Konoha Senior Highschool


Sai menghitung cat yang Sakura bawa. Semuanya dapat dihitung jari dan hanya ada lima kaleng serta tidak ada warna dasar yang cukup. Cat yang Sakura bawa hanyalah cat warna biru langit, cat warna coklat, cat warna jingga, cat warna ungu, dan cat merah muda sisa cat kamar Sakura sendiri.

"Maafkan aku…Sai," sesal Sakura yang bertujuan ingin membantu Sai malah tidak bisa berbuat apa-apa.

"Tidak apa-apa…aku rasa ini juga cukup. Siapa tahu dengan ini bisa tercipta lukisan yang bagus," hibur Sai meskipun sebenarnya ia tak yakin dengan apa yang ia katakan.

"Mana mungkin itu cukup…"

Sakura dan Sai menoleh ke arah pintu. Dilihatnya seluruh teman-teman sekelasnya membawa cat untuk Sai. Ada yang membawa satu kaleng bahkan dua. Mereka semua menyediakan ragam warna untuk Sai kemudian mereka pun berjalan dan menaruh masing-masing kaleng itu di samping scroll besar tempat Sai menggambar.

Sekarang bukan hanya ada warna dasar, tapi tersedia tujuh warna pelangi disertai warna versi tua dan mudanya. Sakura menutup mulutnya terharu melihat teman-temannya membantu Sai dengan antusias.

"Kenapa kau tidak bilang kalau kau kekurangan cat?" tanya Tenten yang langsung memarahi Sai.

"Gomen ne…" balas Sai singkat tapi ia tersenyum menanggapinya.

"Kalau kau mengharapkan Sakura, paling-paling yang lukisan yang bisa kau buat hanyalah lukisan Charlie Chaplin," balas Naruto yang menyinggung film hitam putih itu.

"Apa maksudmu?" ucap Sakura yang merah dan mereka semua pun tertawa.

"Baiklah, Sai! Mulai sekarang jangan ragu-ragu lagi meminta bantuan kami," ucap Lee dengan semangat.

"Arigatou minna-san," balas Sai.

Sai pun mulai menggambar dengan serius menggunakan pensil besar yang biasanya digunakan tukang bangunan untuk menandai kayu agar saat digergaji bisa rata. Agak lama prosesnya tapi akhirnya ia selesai menggambar pemandangan gunung yang indah. Sebuah pemandangan alam yang begitu natural dan alami.

"Sugooi…bahkan belum diwarnai pun sudah sebagus ini," puji Ino.

"Kalau begitu, ijinkan kami membantumu memberi warnanya," pinta Tenten.

"…Kalian sudah membantuku sebanyak ini. Mana mungkin aku merepotkan kalian lebih dari ini," tolak Sai dengan lembut dan senyuman palsu.

"Tak usah sungkan—kau ini." Kiba merangkul leher Sai dan menggosok-gosok kepalanya.

"Baiklah, tapi aku akan memberi tanda dulu daerah-daerah sesuai warnanya," ucap Sai dans semuanya pun setuju.

Sai mengambil kuas kecil dan mencelupkannya dalam kaleng cat. Ia menggoreskan warna jingga pada sekitar matahari dan warna kuning pada matahari itu sendiri. Digoresnya lagi setitik warna biru di belakang gambar gunung tanda latarnya adalah langit dan hijau agak tua pada gununganya. Setelah selesai menandai semuanya pun menyiapkan plastik dan melapisi tubuh mereka agar lukisan Sai tidak kotor karena debu dan tangan masing-masing.

Semuanya memulai memberi lukisan itu warna dari tengah-tengah karena jika dari samping akan susah apalagi lukisannya ukuran besar seperti ini. Perlu proses yang lama untuk menyesuaikan sesuai dengan tanda cat Sai. Hingga akhirnya Shino dan Sasuke menyelesaikan bagian akhirnya yaitu mewarnai tanah dan langit yakni bagian atas dan bawah lukisan. Setelah itu Naruto dan Sakura serta Hinata membantu mengipas lukisan itu agar catnya bisa cepat kering

"Sudah selesai, sekarang mari pindahkan ini perlahan ke ruang Olahraga agar cepat kering," pinta Sai mengingat ruang Olahraga mereka atapnya adalah jendela putih transparan sehingga cahaya dan panas matahari dapat masuk ke ruangan.

"Hai," ucap semuanya dan mereka pun bekerja sama mengangkat lukisan itu menuju ruang Olahraga.

"Nah, mari bersihkan ini sebelum ketua marah-marah," ucap Naruto mengingat Neji tempramen soal kelas.

~To Be Continue~

A/N: Berhubung Gyu sedang UKK dan lain sebagainya maka terpaksa di tunda dulu fic ini. Paling cepet akan Gyu apdet besok atau lusa tergantung keadaan modem. Arigatou ne, minna-san udah mampir ke fic ini. Jangan lupa berikan reviu, kritik, dan saran ya…