'Kriiiiiiing!'

Risoles raksasa di atas kasur menggeram. Tangan putih menggerayang nakas. Jam weker yang menggelegar direnggut. Dengan satu sentakan, pajangan plastik itu membentur kerasnya lantai granit.

'Brak!'

Weker inosen itu pun dipensiunkan dengan tidak hormat.

"Astaga..."

Shigehiro Ogiwara melenguh dari mulut pintu. Pangkal hidung ditekan, geleng-geleng melihat si penghuni ranjang yang balik meringkuk dalam gumul kepompongnya.

Helaian secoklat kayu disisir asal dengan jari. Seragam formal bersemat emblem 'royal servant' ditepuki dari debu imajiner. Sembari mendorong troli bermuatan kudapan ringan, Ogiwara mendekatkan diri pada ranjang besar di sisi jendela.

Gulungan selimut disibak. Sosok bermahkota light blue tengah lelap. Ekspresinya menganga lugu dibuai euforia mimpi.

Ditelanjangi dari kehangatan selimut, tubuh mungil di atas kasur meremang. Batang hidung si pelayan mengerut tidak senang. Ogiwara cekatan menangkap lengan ringkih sebelum pemiliknya balik menarik selimut lagi.

"Tetsuya-ouji, ini sudah jam tujuh pagi. Anda mau tidur sampai kapan?"

Sang royalti mengerang sebagai respon. Badan dibalik, apatis memunggungi si pelayan.

Jam saku berumur antik dibuka. Decakan halus meluncur. Bukan saatnya untuk bermain-main. Kalau sang pangeran tidak segera bersiap, dia akan ketinggalan hari pertama orientasi di kampusnya.

"Tetsuya-ouji, ayo bangun..."

Kali ini bibir tipis itu menggerutu tanpa suara. Ogiwara menghela napas, lalu menghampiri troli saji di kaki ranjang dan meraih teko porselen. Cairan putih hangat beraroma vanila ditumpahkan secukupnya pada cangkir.

"Sebenarnya aku enggan melakukan cara ini... tapi apa boleh buat." Si brunet meneguk susu dengan cepat. Tidak ditelan tapi ditampung dalam rongga mulut.

Kepala berhias bed-hair liar diangkat. Ogiwara menjatuhkan bibirnya tepat di atas sepasang daging ranum yang sedikit terbuka. Laktosa vanila berpindah lokasi. Mengalir dari mulut hangat si pelayan menuju kerongkongan sang pangeran yang belum terjaga.

Bak ciuman ajaib dalam dongeng putri tidur, seteguk susu berhasil memanggil Tetsuya Kuroko dari dunia mimpi.

Satu set azure mengintip dari kelopak yang setengah terbuka. Kuroko mengerjap pada figur pelayan yang merangkap sebagai sahabat karibnya. "Shigehiro-kun, selamat pagi..."

"Selamat pagi, Tetsuya-ouji." Ogiwara mengulas senyum ringan. Jalur alternatif membangunkan pangeran selalu lancar sukses sejahtera.

Kuroko menjilati sisa manis yang tertinggal. Orb besarnya sayu mengekor pada si pelayan yang sibuk menyeleksi isi lemari pakaian. Memboyong selembar kemeja biru, kaus putih dan celana hitam panjang, Ogiwara mendecak pada sang majikan.

"Kenapa Tetsuya-ouji masih di situ? Lekaslah bersiap-siap. Kalau tidak anda akan terlambat." Telapak tangannya dikibaskan, isyarat berupa usiran halus yang tertuju pada pangeran.

"Terlambat?" Bed hair biru melambai letoy bersama kepala yang miring. "Terlambat untuk apa?" Residu kantuk disembur ke udara dalam bentuk kuap raksasa.

"Anda benar-benar tidak ingat?"

Pemuda yang lebih mungil hanya melempar tatapan datar.

Ogiwara menepuk jidat, "Ini hari pertama anda kuliah, ingat?" Ia bertukas dengan raut skeptis.

Sepasang manik azure kini membola, dipadu dengan lingkar kecil yang terukir pada ranum tipis.

"Tetsuya-ouji adalah seorang mahasiswa mulai hari ini..."

.

.

.


Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Rise of Kingdom Harem

shiuferz

[All/Kuroko] [Akashi/Kuroko]

-Tidak ada keuntungan yang diambil dari fanfiksi ini-


.

.

.

Pangeran keempat dari Kerajaan Seirin berlari kecil melewati barisan pelayan yang membungkuk. Langkahnya menggema seantero sayap kanan istana. Di belakang, Ogiwara terseok mengejar bed-hair-nya dengan bersenjatakan sebuah sisir.

"Tetsuya-ouji, bisa pelan sedikit? Rambut anda belum selesai saya rapihkan."

Shigehiro Ogiwara diabaikan. Tetsuya Kuroko von Seirin bergegas menghampiri ruang makan. Sebelum sempat mencapai pintu, jari-jari si pelayan menarik lengan berbalut jas putih-Kuroko dipaksa diam demi prosesi make-over rambut yang tak kunjung kelar.

"Sempurna."

Helaian biru telah dijinakkan. Ogiwara tersenyum bangga pada masterpiecenya—percayalah, merapikan sarang burung di kepala majikannya bukan perkara mudah. Sisir sewarna gading ditelusupkan pada saku. Dengan luwes, si pelayan membuka pintu untuk pangeran teal yang merengut dalam raut tembok.

"Tetsuya, kau terlambat."

Yang pertama menyambut Kuroko adalah pemuda jangkung bersurai kelabu. Raut yang tak kalah datar itu menyiratkan kecewa. Ogiwara sontak membungkuk rendah atas dasar kehormatan kepada pangeran ketiga-yang diduga sudah lama menanti di balik pintu.

"Maafkan aku, Chihiro-nii. Aku bangun terlambat pagi ini." Tubuh mungil ikut membungkuk kecil.

Chihiro Mayuzumi von Seirin menyembur nafas. Sorot matanya melunak. Tanpa kata segera menyeret Kuroko mendekati meja besar yang dikepung kursi-kursi berbantalkan beludru. Mendudukkan si bungsu di sisinya, pemuda keabuan itu kembali menenggelamkan diri dalam lembaran light novel.

Kuroko tersenyum maklum pada kelakuan si kakak ketiga. Sepasang azure bergulir pada putra sulung yang wajahnya terbenam di balik halaman koran.

"Shuuzou-nii, ohayou gozaimazu."

Bentang surat kabar diturunkan. Menampilkan wajah tampan Shuuzou Nijimura von Seirin, seperti biasa dihiasi bibir seksi yang-sedikit maju.

"Pagi, Tetsuya. Sejak kapan kau ada di situ?" Obsidian tajam digeser pada Mayuzumi yang bertopang dagu. "Kau juga Chihiro, sejak kapan ada di situ?"

Sementara Kuroko menahan geli, Mayuzumi hanya memutar bola mata. Bukan masalah dia dan si biru yang auranya setipis bulu kucing, hanya Nijimura saja yang terlalu lambat hingga tidak menyadari keberadaan mereka.

"Chihiro-kun sudah berada di sini dari tadi, Shuuzou-san." Pemuda lain di sebelah Nijimura bertutur pelan. Satu matanya yang tidak dibayangi poni menatap lembut pada Kuroko. "Selamat pagi, Tetsuya-kun."

"Selamat pagi, Tatsuya-nii."

Tatsuya Himuro von Seirin melirik Nijimura dan Mayuzumi. Koran pagi bertajuk pengeboman hotel kini direbut. Tidak lupa jilid bersampul gadis anime dengan rambut merah dan baju lolita.

Keduanya mendengus karena bacaan mereka disita sang pangeran kedua.

Himuro memancarkan senyum lembut sembari menyodorkan barang sitaan pada seorang pelayan yang bertugas di dekat pintu, "Jangan sibuk sendiri saat kumpul keluarga, saudaraku sekalian."

Secara mistis, Nijimura dan Mayuzumi merinding.

Segerombol pelayan memasuki ruang makan. Sepaket hidangan pagi dipersiapkan. Di tengah proses bersantap, sempat terjadi percekcokan antara Kuroko dan Mayuzumi. Topiknya seperti biasa adalah porsi makan si bungsu yang dirasa sangat memprihatinkan.

"Yang benar saja, Tetsuya. Itu terlalu sedikit. Kau makan seperti anakan marmut."

Kelereng biru dirotasi cuek. Pura-pura tidak dengar cerca kakaknya.

Manik amethyst memicing sengit. "Makan lebih banyak lagi atau kusuapi." Garpu perak yang ditancapi sepotong roti siap menunaikan tugasnya.

Sengketa dua makhluk berhawa mistis itupun usai. Pemenangnya adalah Mayuzumi. Kuroko mengalah. Jatah makannya ditambah dengan tidak rela. Lebih baik perutnya bunting kekenyangan daripada hilang kejantanan karena disuapi si kakak ketiga yang agak brother complex.

Himuro mengukir senyum kalem. Entah jahil atau bagaimana, dia memindahkan lebih dari seperempat porsinya ke piring Kuroko. "Chihiro-kun benar, Tetsuya-kun. Sarapan itu penting."

Si bungsu kontan melemparinya dengan tatapan terkhianati.

Tidak mau ketinggalan, Nijimura ikut menghibahkan bagian putih dari telur ceploknya. "Biar cepat gede," kata sang pangeran mahkota sambil tersenyum miring.

"Alasan. Bilang saja Shuuzou-nii tidak doyan putih telur." Kuroko merutuk kelakuan kakaknya dengan alis mengkerut.

Irama ketukan perak di atas keramik menghiasi ruangan luas bergaya victoria itu. Percakapan santai mewarnai atmosfer pagi yang cerah. Seperti Kuroko yang selalu mengabaikan tawaran baik Mayuzumi, Himuro yang tertawa kecil saat menonton kelakuan saudara-saudaranya, serta Nijimura yang mendengus pelan karena merasa terganggu.

'Brak!'

Suasana hangat dipotong oleh pintu yang dijeblak dengan brutal. Secara kompak, empat pejantan itu melotot ke arah yang sama.

Seorang wanita dengan perawakan mungil menampakan diri. Gaun fuschia dengan aksen kerut dan rok mengembang tidak menghalangi gerakannya yang enerjik. Surai sewarna langit digulung jadi sanggul dengan hiasan kupu-kupu emas. Iris aqua mengedar penuh semangat pada kuartet pangeran yang memasang raut cengo.

"Selamat pagi, Dear. Jangan memberiku tatapan seperti itu." Sakuya Amanou von Seirin mendedangkan tawa elegan.

"Okaa-sama?" Nijimura yang pertama bereaksi.

"Panggil aku Mama, Shuu-kun."

"Kupikir Okaa-sama masih di Kaijou. Apa terjadi sesuatu?"

"Begitukah caramu menyambut Mamamu, Shuu-kun? Langsung menginterogasinya saat bertemu?"

Sakuya berkacak pinggang kekanakan. Manik birunya mendelik pada si sulung. Sudut mata sang pangeran pertama berkedut hebat. Sesaat kemudian ekspresi sang ratu melembut dengan tatapan hangat layaknya seorang ibu.

"Mama sebenarnya sudah tiba sejak kemarin malam, lho! Yah, karena ingin memberi kejutan, makanya Mama sembunyi di kamar~" Sahutnya girang. Telapak mungil menangkup bibir cherry yang lagi-lagi melesatkan tawa ringan.

Desahan mahfum dilepas bersamaan. Keempat saudara itu tidak habis pikir dengan sikap riang sang bunda yang notabene adalah penguasa kerajaan raksasa tempat mereka bertandang, Holy Empire of Seirin.

"Ohayou gozaimasu, Okaa-sama." Kuroko menawarkan sapa pada sosok anggun yang menempati kursi di ujung meja.

"Ohayou, Tecchan." Orb langit yang identik dengan milik si bungsu menatap senang pada piring di atas meja. "Ara? Tumben Tecchan makannya banyak. Mama bangga sekali. Dihabiskan ya, Sayang."

Kuroko facepalm dalam hati. Mau tidak mau harus menandaskan kuota sarapan yang dengan senang hati diberi porsi lebih.

Ketiga pangeran menahan cekikik usil melihat adiknya kewalahan saat berusaha menguyah cepat dibantu dorongan air mineral.

"Apa masalah di Kaijou sudah selesai?" Tanya Himuro, memandang lurus ke arah ibunda yang sedang menyesap teh hangat.

"Tentu saja, Takkun." Cangkir porselen bergaris emas berdenting pada piring kecil. Sakuya menatap lurus pada keempat putranya. Kilau ceria pada bening safir lenyap berganti emosi lain. "Sekarang kita bisa berhenti menyebutnya Kaijou..."

Udara dalam ruangan itu seketika menggantung pekat. Napas tercekat. Keheningan melanda. Hanya suara lembut namun sarat dominasi milik Sakuya yang teregistrasi dalam telinga.

"... Mulai hari ini, negara republik Kaijou telah berganti nama menjadi Distrik Delapan Wilayah Kerajaan Seirin."

Dengan kata lain, satu lagi negara yang kehilangan kedaulatan, juga kebebasannya.

Kuroko mengepalkan buku jarinya. Bibir digigit resah. Setumpuk makanan hasil keisengan ketiga kakaknya tidak lagi menggugah selera.

Tidak ada satupun yang berbicara. Setiap individu sibuk menyerap informasi yang baru saja mereka terima.

"Shuu-kun juga harus segera terbang ke Distrik Delapan setelah sarapan, ya." Lanjut sang ratu tanpa memandang.

Nijimura mengangkat kepala, "Kaa-sama kenapa tidak sekalian, sih? Merepotkan saja." Dengusnya pelan.

"Panggil Mama, Shuu-kun," sang ibunda mendelik. "Ya, karena Mama ingin kamu yang menerima penyerahan kuasanya, Dear. Belajarlah jadi putera mahkota yang baik."

Pemuda bersurai raven menghela napas berat. Niatnya hari ini mau dihabiskan untuk istirahat karena tugas-tugas sudah selesai, tapi malah harus dikirim ke negara tetangga untuk mengambil alih kuasa.

Tak ada yang bicara setelahnya. Selain bungkam, yang bersuara hanya denting perak dan piring kaca.

Lama dirundung beratnya keheningan, deheman singkat dari ujung meja memecah suasana. Raut serius luntur. Sang ratu kembali menawarkan senyum lebar yang menjadi trademarknya.

"Hm... sepertinya kita melupakan sesuatu." Kuku berpoles cat sewarna coral mengetuk dagu. Sang bunda memiringkan kepala, kedua matanya spontan jatuh pada Mayuzumi yang tidak buang waktu untuk balik memandang. "Chii-kun, bisa kau bacakan aturan nomor tiga keluarga kita?"

Area di antara dua alis grayish mengerut solid. "Huh? Untuk apa?"

"Bacakan saja, Dear."

Mayuzumi menghela napas. Tidak kuasa melawan tatapan penuh harap dari ibunya. "Aturan ketiga keluarga kerajaan Seirin, dilarang membicarakan masalah negara, pekerjaan, ataupun hal-hal semacamnya saat keluarga sedang bersama..."

Satu-satunya wanita di ruangan itu mengangguk antusias. "See? Jangan pikirkan hal yang menegangkan saat family time. Bagaimana kalau kita bicarakan hal yang lebih menyenangkan? Seperti..."

Garis pandang sepasang iris biru menghantam Nijimura di sisi kanannya.

"... Kapan Shuu-kun akan menikah?"

"Uhuk!" Ampas kopi tidak sengaja ikut terhirup. Nijimura tersedak usai ditodong pertanyaan krusial oleh sang ibunda. "Ke-Kenapa harus membicarakan hal seperti itu?!"

Sakuya mendecak sambil mengayunkan jari telunjuk. "Shuu-kun, kau akan mewarisi tahta. Mesti bisa melanjutkan garis keturunan kita. Kalau terus mencumbu segepok dokumen, kapan kau bisa punya pacar? Kapan mau naik pelaminan? Mama mulai khawatir kau itu sesungguhnya aseksual."

"Bukan aseksual, hanya tidak memiliki ketertarikan." Bisik monoton berpotensi menghina itu meluncur dari mulut Mayuzumi.

Himuro dan Kuroko menyerukan setuju dalam satu anggukan penuh simpati. Sang kakak tertua mencibir dengan mulut monyong belepotan kopi.

'Well... itu salah Kaa-sama juga karena tidak pernah mengerjakan dokumen-dokumen itu.' gerutuan Nijimura teredam serbet. Sudah tugasnya sebagai putra mahkota untuk menangani sesuatu yang tidak sempat—atau lebih tepatnya tidak mau—dikerjakan oleh Sang Empress.

Helaan sarat nestapa dilesatkan. Sakuya tidak pernah paham apa yang mendorong putranya itu untuk jadi seorang workaholic. Atensi wanita biru itu lalu dipindah pada Mayuzumi di sisi kirinya.

"Bagaimana dengamu, Chii-kun?"

Orb abu-keperakan melirik datar. "Bagaimana apanya?"

"Cinta, duh. Chii-kun sudah semester lima kan? Masa' tidak naksir seseorang?"

"Tidak dan tidak akan pernah."

"Bagaimana mau naksir seseorang? Chihiro kan hanya doyan gadis loli dua dimensi dan Tetsuya seorang."

Nijimura bahkan tidak berusaha menyembunyikan olokannya dalam bisikan. Ini adalah balas dendam. Royalti berbibir eksotis itu terceguk kala tungkainya disepak dari bawah meja. Melirik ke arah seberang, Nijimura menangkap tatapan dingin dari adiknya yang kelabu.

"Jangan libatkan aku dalam fetish anehmu itu, Chihiro-nii."

Respon tanpa nada dari Kuroko menghantam hati kecil Mayuzumi. Penolakan frontal. Pemuda yang gemar bermain game simulasi kencan itu kontan menguarkan hawa gloomy.

"Kalian berdua memang tidak bisa diharapkan." Mendengus, Sakuya beralih pada Himuro. "Andai saja Takkun belum bertunangan, Mama yakin kau pasti sudah menjadi pangeran yang diimpikan para remaja di negeri ini."

"Kaa-sama... aku memang pangeran..."

Jawaban ringan Himuro tidak dinotis. Fokus Sakuya tergravitasi pada sosok mungil yang menempati posisi bungsu. Kuroko mengernyitkan dahi. Kerutan di paras teflonnya menebal saat melihat sang bunda berjalan menghampirinya.

"Di antara anak Mama, hanya Tecchan yang mewarisi gen rupawan Mama." Iris aquamarine dipertemukan dengan sepasang manik serupa. Sakuya mengusap surai biru terang warisannya. "Tecchan manis sekali. Pasti bisa jadi Ratu Harem seperti Mama."

"Maaf, Okaa-sama—"

"Panggil aku Mama, Tecchan."

"Maaf, tidak sopan, Kaa-sama. Tapi aku sama sekali tidak tertarik."

Dahi seputih susu mengerut samar. Bukannya durhaka, tapi Kuroko enggan kalau harus menganut paham harem seperti ibunya. Sering berganti pasangan. Menentukan suami angin-anginan. Menikah saja sampai empat kali. Itulah kenapa keempat pangeran Seirin memiliki nama tengah berbeda yang mengikuti ayah mereka.

"Tidak bertele-tele dan gamblang. Sifatmu ini mirip sekali dengan ayahmu."

Siratan ganjil menghampiri mata Sakuya. Kuroko melihat ada kerinduan di balik manik biru itu. Sayang hal itu hanya terjadi sesaat. Karena ketika dia berkedip, sorot mata ibunya telah kembali riang seperti biasa.

"Ah, ya, Mama ingat. Ini hari pertama Tecchan kuliah, kan?" Pipi sang putra ditangkup lembut. Ibu jari diusap berputar pada satu area. "Tecchan hati-hati ya. Mama mungkin kedengarannya cerewet dan berlebihan, tapi Mama tidak mau terjadi apapun pada Tecchan."

Bibir Kuroko melukis senyum tipis. Tangannya balas menggenggam jemari lentik milik wanita yang telah melahirkannya. "Jangan khawatir, Kaa-sama. Nanti sore aku juga sudah pulang kok."

"Jaga dirimu, Sayang."


.

.

.

Kuroko menatap datar pada kakak ketiganya. Mata bulatnya memindai pelataran Fakultas Budaya yang mulai ramai oleh lalu lalang mahasiswa baru. Sejurus kemudian garis pandangnya bergulir pada bangunan putih bergaya Yunani di seberang kampusnya.

"Chihiro-nii, kampusmu di sebelah sana." Si baby blue deadpan menunjuk gedung megah bertuliskan 'Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik' di depan sana.

Mayuzumi geming. Balas menatap datar pada raut tanpa ekspresi milik adiknya. "Tidak." Diulang sekali lagi lebih tegas, "Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian di hari pertama."

Kuroko memutar bola mata, "Astaga, Chihiro-nii. Aku bukan anak SD. Tidak perlu ditemani."

"Tapi ini pertama kalinya kau sekolah di tempat publik." Mayuzumi datar mendebat si bungsu yang memberinya tatapan kotor. "Selama ini kau home-schooling. Kau bahkan belum pernah masuk kelas sungguhan. Apa bedanya dengan anak SD kelas satu?" Yang lebih tua bersilang lengan dengan antagonis.

Kuroko gontai meniup juntaian poninya. Berjengit mendengar bisik-bisik khalayak yang menjadikan kedua bersaudara itu sebagai bahan perbincangan.

"Pokoknya aku ikut denganmu. Titik"

Andai tatapan bisa membunuh, Mayuzumi sudah mengantongi titel 'Almarhum' di depan namanya.

"Yang benar saja.."

"Tetsuya, dengarkan aku." Mayuzumi mendaratkan telapaknya di atas bentang bahu si adik. Muka miskin ekspresi dipertegas dengan kerutan samar pada dahi. "Perkuliahan adalah dunia yang kejam. Ada banyak oknum mencurigakan—"

"Satu-satunya orang mencurigakan di sini adalah Chihiro-nii."

"—Aku tidak mau kau salah bergaul. Tetsuya itu terlalu moe. Manis gak ketulungan. Objek khalayan para jomblo kesepian di luar sana. Bisa memancing hasrat para lolicon—"

"Jangan membicarakan dirimu sendiri, Chihiro-nii."

"—Aku hanya tidak mau sampai terjadi sesuatu padamu." Sorot kelabu berubah sendu. "Hanya membayangkan bahwa kau akan berada di tempat yang tidak kau kenal, dikelilingi orang asing... Aku sampai tidak tidur semalaman. Aku khawatir, Tetsuya."

Pemuda yang lebih mungil menghela napas panjang. Berusaha memaklumi. Bagaimana pun sang kakak benar-benar mengkhawatirkannya.

"Aku akan baik-baik saja, Chihiro-nii." Satu tangan yang melekat di bahunya diremat pelan. Senyum manis ditorehkan demi melegakan hati sang pangeran ketiga.

Ada debaran aneh hinggap di dada Mayuzumi. Perasaan hangat menerpa di kala menyaksikan paras malaikat adiknya itu mengumbar senyum. "Tetsuya," bisik si pemuda abu-abu lirih. Telapak yang tidak digeggam naik ke pipi Kuroko. Berhenti di sana dan tidak bergerak.

Orb sewarna mendung dijatuhkan lurus pada dua langit cerah. "Aku ada satu permintaan..." Mayuzumi memangkas jarak di antara hidungnya dan Kuroko.

"Apa itu, Chihiro-nii?"

"Maukah kau—" spasi semakin tipis. Nafas hangat Kuroko menerpa bibir Mayuzumi. Kuar aroma vanila yang menjadi ciri khas adiknya mendesak lubang hidung. "—membuat ekspresi seperti tadi?"

Kepala bermahkota biru muda ditelengkan ke samping dalam tanya.

Mayuzumi mengeluarkan ponsel, menu kamera sudah diaktifkan membidik raut datar Kuroko—yang sebelas-dua belas dengan aspal jalanan tempat mereka berpijak.

"Biar kufoto, lalu kupajang di dompetku, ah untuk di kamar dan ruang kerja juga. Aku belum punya foto dengan ekspresimu yang seperti tadi. Senyum Tetsuya super sekali." Si kakak maju-mundur ganjil, mencari angle yang tepat untuk pemotretan.

"Chihiro-nii, aku marah lho."


.

.

.

Kaki berbalut celana hitam berlari kecil membelah lorong. Ransel biru dongker melonjak mengikuti gerak tubuh. Sepasang iris azure bergulir tanpa arah ke segala penjuru. Kuroko menggerutu di sela napasnya yang tersengal. Setengah jam lebih berkeliling mencari aula yang dilokasikan sebagai upacara pembukaan orientasi, namun tak kunjung ditemukan.

"Dasar Chihiro-nii, bikin telat saja." Gerutunya datar.

Kuroko menyandarkan punggung pada dinding di sisi tangga. Menyapukan pandangan ke seluruh area. Menemukan beberapa grup pemuda-pemudi yang tampaknya adalah mahasiswa senior. Fokusnya lantas tersedot pada gerombolan kaum hawa yang rusuh jejeritan di ujung lorong.

"Kyaa! Ryouta-kun, ayo kita selfie!" Seorang gadis merenggut lengan si pemuda pirang yang menjadi pusat keramaian.

"Ah, maaf-ssu! Aku harus—" Perkataan mahasiswa blonde tidak didengar. Satu tangannya ditarik ke arah berlawanan oleh gadis lain.

"Tidak! Ryouta-kun, selfie denganku dulu!"

"Tidak, aku dulu!"

"Aku dulu!"

"Jangan main serobot seenaknya, Oi!"

"Ngajak berantem?!"

"Jangan dorong-dorong-ssu! Aku tidak bisa selfie, harus segera ke aula-ssu!"

Idol bersurai keemasan malah terjebak dalam kumpulan dara beringas yang adu sikut. Hendak ke kanan kena tonjok, ke kiri dijorokkan balik ke kanan. Air mata imajiner meluncur komikal. Si pirang sudah berserah diri bila harus meregang nyawa di tengah fans-nya.

"Ikuti aku."

Tangan mungil berkulit seputih krim vanila meraup pergelangannya. Sang idol digiring keluar dari aksi baku hantam. Begitu sampai di area yang lebih tenang, pemuda kuning mengatur napas seraya melontar senyum riang, "Terima kasih—eh? Lho?"

"Aku ada di sini."

"Se-sejak kapa kau di situ-ssu?!" Pirang meloncat di tempat karena disapa entitas mungil biru yang muncul tiba-tiba di depan batang hidungnya.

Paras teflon Kuroko mencetak raut bosan. Si kuning yang menepuki dada dengan wajah nanar hanya ditanggapi dengan satu alis melayang. Biasanya sang pengeran akan segera minta maaf karena telah mengejutkan. Namun hari ini dia sedang terburu-buru dan nyaris tersesat. Tidak punya waktu untuk menerapkan asas kesopanan dan tata krama yang menjadi protokol wajib anggota keluarga kerajaan.

"Kau ini seperti hantu-ssu. Tapi terima kasih karena telah menolongku!" Si kuning merentangkan garis bibirnya membentuk kurva lima jari. Kuroko kontan memicing karena dihantam paras sumringah yang kelewat silau. "Biarkan aku membalas pertolonganmu tadi-ssu!"

"Tidak perlu. Kau tadi bilang mau ke aula—"

"Akan kutraktir-ssu!"

"Tidak, aula—"

"Ayo ke kafetaria-ssu!"

"Aula..."


.

.

.

Kise Ryouta bersenandung random sambil bertopang dagu dengan kedua tangan. Bibir mengunggah senyum senang. Kedua iris madunya melekat pada sosok mungil yang syahdu menyeruput vanilla shake di seberang meja.

"Aku minta maaf-ssu... aku tidak tahu kalau kau adalah mahasiswa baru yang harus mengikuti orientasi. Maaf karena malah menyeretmu kemari."

Kise menghambur tawa garing saat ditikam oleh sepasang azure yang memicing. Beruntung manisnya gula sakarin dalam gelas jumbo di sana berhasil mencairkan suasana. Sudah dicatat dalam kalbu si pemuda kuning, anak manis ini doyan traktiran vanila. Siapa tahu bisa berguna suatu saat nanti.

Kuroko mendengus. Tanpa sengaja meniup sedotan dan menciptakan gelembung basah pada permukaan susu kocoknya. "Tadi kau bilang harus ke aula, kan?"

"Ah benar juga. Aku adalah salah satu panitia orientasi-ssu." Lengan katun dari kaus hitam disingkap. Manik emas mengintip penunjuk waktu di pergelangan kiri. "Ini sudah telat sekali-ssu. Sebentar lagi malah sudah selesai... Kasamatsu-senpai ngamuk tidak, ya?" Pelipis Kise meneteskan bulir dingin.

Dua bening biru berotasi. Lagi-lagi Kuroko menciptakan gelembung vanila sebagai penyalur emosi.

"Hei, aku belum tahu namamu-ssu."

"Untuk apa?"

"Kok untuk apa? Kan kita teman-ssu."

"Sejak kapan? Aku tidak ingat."

"Teman, dong. Kan kau sudah menyelamatkanku."

"Aku menyesal melakukannya."

"Hidoi-ssu..." si pirang merasa hatinya dirobek. Belum berkenalan saja sudah ditolak. Pupus harapannya untuk menjalin hubungan yang lebih dalam dari ini.

Kise berlinang air mata.

"... Kuroko."

"Hm?"

"Namaku Tetsuya Kuroko."

Kuroko sengaja menanggalkan nama 'Seirin' dari identitasnya. Untuk keamanan, selain itu juga karena dia—dan Mayuzumi—masih belum cukup usia untuk diekspos ke media publik. Pangeran Seirin baru akan diperkenalkan secara resmi pada upacara kedewasaan mereka di usia dua puluh tahun.

"Kalau begitu, kupanggil Kurokocchi."

"Tidak mau, terdengar aneh." Hidung mungil si baby blue mengerut jijik. Kise sesenggukan halus. "Omong-omong, kau belum memperkenalkan dirimu."

"Eh?!" Tangan besar brutal menggebrak meja. Kise sontak menyodorkan wajahnya hingga nyaris menyundul hidung Kuroko. "Kau tidak tahu aku siapa-ssu?!"

Jidat Kuroko terlipat. Kepalanya beringsut ditarik menjauh dari sepasang manik emas yang melotot intens. Gelas plastik yang isinya tinggal separuh, reflek didekap mendekati dada. "Memang kau siapa?"

Kise membuka dan menutup mulut tanpa suara. Rambut kuning dikibas dalam geleng penyangkalan. "Tidak kenal siapa aku?! Apa Kurokocchi selama ini tinggal di gua? Udik banget-ssu!"

Celetukan si pirang dihadiahi tatapan belati dari sepasang iris yang lebih cerah. Manik sewarna madu menemukan pencerahan dalam wujud LCD ukuran medium yang menggantung dekat langit-langit.

"Lihat di sana-ssu!"

Kepala diputar searah ujung telunjuk yang menegang. Kuroko beradu tatap dengan tayangan iklan yang mempromosikan gadget keluaran terbaru dari sebuah brand terkenal. Di akhir segmen, seorang pemuda bersurai pirang menjelma dengan latar belakang void hitam dan serpihan kaca. Kontras black-white menonjolkan kilauan emas pada iris terangnya. Figur di layar kaca mengucap, "This is Kise Ryouta's choice" dalam bariton yang merdu.

Anggukan paham, Kuroko menyahut sambil membungkuk rendah, "Aku mengerti, namamu Kise Ryouta. Salam kenal, Kise-senpai."

"Eh, 'senpai'? Ah, ya, aku lupa Kurokocchi baru masuk ya..." gumamnya pelan, jari telunjuk menggaruk pipi.

Kuroko tidak menanggapi. Pilih diam untuk menghabiskan sisa jajanannya. Sementara itu, Kise mengalihkan pandangan kembali pada layar tipis di sudut kafetaria. Tayangan sudah berganti dengan highlight news. Tajuk di bawah sang pembawa berita tertulis, 'Peresmian Distrik Delapan Holy Empire of Seirin'.

"...Perdana Menteri Kaijou telah menandatangani perjanjian penyerahan wilayah pada Perwakilan Kerajaan Seirin, Shuuzou Nijimura. Setelah pertikaian yang berlangsung selama tiga tahun, Kaijou setuju untuk menyatukan negaranya dengan kerajaan kita..."

Suara statis dari LCD diiringi oleh aksi jabat tangan antara dua perwakilan negara. Berlatar belakang tiang besi menjulang ke langit, mengibarkan sebuah panji besar dengan lambang Seirin. Di antara barisan petugas berseragam, salah satu yang bertugas di ujung baris menumpu tongkat di punggung abdomennya-menyimbolkan lara akan kibaran bendera biru yang akan segera berakhir. Sebuah penghormatan akan mulianya lambang negara yang sekarang runtuh.

"—Senpai?"

Kise tidak mendengar vokal monoton itu menyuarakan namanya. Iris keemasan berkilat, menghujam sarkas tayangan berita di depan mata. Tangan mengepal hingga putih di atas meja. Tanpa sadar giginya telah bergemeletuk menahan panasnya bara emosi.

"Kise-senpai?!"

Guncangan pelan di bahu berhasil membuyarkan pikiran Kise. Mengerjap, manik sekuning jagung dibenturkan pada Kuroko yang mengernyit padanya. "A-Ada apa Kurokocchi?"

"Aku sudah berusaha memanggil senpai berulang kali tapi diabaikan." Kuroko menarik tangannya. "Kise-senpai, kau baik-baik saja?"

"Kenapa Kurokocchi bertanya seperti itu?"

Bahu mungil mengendik sekali. "Kise-senpai tiba-tiba saja diam. Kau terlihat marah sekali tadi."

"Heh? Aku marah? Masa? Tadi aku hanya kepikiran film yang akan kubintangi-ssu. Aku jadi tokoh antagonis, makanya harus belajar raut garang-ssu." Sebait tawa hambar meluncur terburu-buru. "Oh, ya, tadi ada apa Kurokocchi memanggilku?"

Segaris alis teal meroket skeptis karena tidak percaya. Kuroko tidak mau mempermasalahkannya. Menghabisi vanilanya dalam satu nada seruput yang tinggi, ransel pada punggung kursi pun disambar. "Aku hanya mau mengucapkan terima kasih untuk milkshakenya sekaligus ingin berpamitan."

"Eh? Kurokocchi sudah mau pergi?"

"Karena tidak ada kegiatan, aku ingin mencari di mana letak perpustakaan."

"Begitukah? Kalau begitu hati-hati-ssu."

Kuroko membungkuk singkat. "Sampai jumpa, Kise-senpai."

"Sampai jumpa. Aku harap bisa bertemu Kurokocchi lagi,"

Kise melepas kepergian si adik kelas dengan lambaian kecil. Mata mengekor pada punggung mungil hingga hilang di balik double door kantin. Ponsel dalam saku dirogoh. Keypad dirajam rusuh dengan susunan nomor yang sudah ia hafal di luar kepala.

"Apa rencana kita selanjutnya? Kaijou telah jatuh..."


.

.

.

Biner cerulean beredar kagum pada lemari buku setinggi tiga meter yang mengurung kedua sisinya. Raut poker berkilauan ganjil. Tungkai kaki meloncat genit menghampiri subsidivisi sastra dan literatur di penghujung barisan. Kuroko menahan jerit fanboying saat menemukan salinan pertama novel 'Rashomon' pada tingkat ketujuh.

"Ukh..."

Pucuk jarinya hanya menggelitik tingkat kelima. Sudah jinjit sampai ujung jempol kaki. Buku hasil karya sastrawan favoritnya terasa bagai fatamorgana, namun ia terus berusaha menggapainya.

Kuroko melenguh dalam frustrasi. Memicing sengit pada tingkat tujuh lemari buku, seolah deretan jilid di sana telah berselingkuh dengan kekasihnya dan membawanya kabur.

Mencoba berjinjit lagi. Masih gagal. Melirik bawah, papan penyangga buku dijejak pelan untuk uji coba.

Kokoh. Bisa dipanjat.

Karbondioksida dihempas panjang. Kepala biru celingukan ke kanan dan kiri lalu melongok ke belakang rak untuk mengintai. Tidak ada saksi mata. Seluruh penghuni perpus terpusat di area membaca. Hanya ada segelintir mahasiswa yang datang untuk mencuri kuota wifi dengan laptop maupun gadget canggih mereka.

"Yosh."

Satu anggukan sebagai permulaan. Kaki kanan naik dulu, baru kaki kiri. Ulangi lagi untuk tingkat selanjutnya. Sepertinya semua berjalan lancar—

"Sedang apa kau, nanodayo?"

Terkesiap, Kuroko kontan tergelincir. Tangannya mencakar udara untuk meraih pegangan. Sudah meliuk, dipastikan akan terjungkal kalau bukan karena tangan besar yang menahan punggungnya.

Menengok ke bawah, warna sebiru air disambut sepasang biner klorofil yang mengerling skeptis dari balik kacamata.

"Terima kasih sudah menolongku." Untuk yang kesekian kalinya, Kuroko kembali ojigi hari ini.

Si kepala hijau menatap lekat, sesaat kemudian beralih pada tingkat ketujuh rak yang berusaha dipanjat si lelaki biru muda.

"Yang mana?"

Kuroko menjatuhkan kepala ke samping tidak mengerti.

Pemuda jangkung mendecak kesal dan mengulang pertanyaannya sekali lagi. "Buku mana yang kau inginkan? Biar kuambilkan."

"Eh, mau membantuku?"

Ditanggapi dengan dengusan tidak sabar, Kuroko segera menunjuk literatur yang ia kehendaki. Tingkat tujuh pada rak yang menjadi cobaan untuknya hanyalah sekilas sentil untuk si greeny. Tidak perlu banyak usaha, tinggal menjulurkan tangan pun jadi. Manik azure kontan berkilau oleh kekaguman polos para perjaka yang masih suci.

Punya tubuh tinggi menjulang itu praktis sekali...

"Terima kasih." Buku Rashomon karangan Ryuunosuke Akutagawa pun ditimang ringan dalam pelukan si bocah biru yang gembira. "Sudah lama aku ingin membaca buku ini..."

"Di zaman saat semuanya bisa virtual seperti saat ini, jarang sekali aku melihat orang yang masih mau membaca buku... bahkan sampai memanjat lemari untuk mendapatkannya."

"Um... mungkin kau tidak perlu membahasnya..." semburat merah terpoles apik di atas pipi putih. Menggeleng cepat, Kuroko beralih pada sebuah buku tebal di tangan si pemuda klorofil. "Kau sendiri juga suka membaca buku—eh buku telepon?"

Opini Kuroko berubah dalam kecepatan cahaya begitu bisa menerka apa yang tercetak di sampul berwarna kuning itu.

"Ini?" Buku yang dimaksud diangkat sejajar dada. Tangan yang bebas muatan mencolek kacamata. "Ini adalah lucky item-ku nanodayo. Oha-Asa bilang Cancer harus membawa buku telepon. Aku memilih yang paling tebal untuk berjaga-jaga karena Cancer urutan ketiga di bawah Sagitarius dan Virgo."

"Lucky item? Oha-Asa? Kau membicarakan ramalan?"

Si pemuda hijau mengendikan hidung dengan angkuh. "Orang sepertimu takkan mengerti. Katakan, apa zodiakmu?"

"Kupikir orang akan menanyakan nama lebih dahulu daripada rasi bintangnya..."

Sebenarnya bukan bermaksud mengkritik, namun entah mengapa perkataan Kuroko membuat si megane salting sendiri.

"Ka-Kalau begitu, katakan namamu nanodayo."

"Bukankah lebih sopan kalau kau memperkenalkan namamu dahulu sebelum bertanya nama orang lain?"

Semburat merah di pipi pemuda yang lebih tinggi menyala semakin terang. Tidak setiap hari ia bertemu seseorang yang bisa membuat sikap tenangnya meretak seperti ini.

"Ba-Banyak maunya! Aku juga tidak sampai segitunya ingin mengenalmu. Ini hanya formalitas, nanodayo."

... Dan membuatnya membocorkan sikap tsundere yang terkubur rapat-rapat pada pertemuan pertama.

Kuroko tertawa kecil. "Maaf, sepertinya sikapku kurang sopan. Aku hanya bercanda tadi. Namaku Tetsuya Kuroko, mahasiswa baru tahun ini." Kilas usil menghampiri manik biru. Kalimat terakhir ditambahkan hanya untuk menggoda lawan bicaranya, "Dan zodiakku Aquarius kalau kau masih ingin tahu."

"Aquarius? Pantas saja aku susah akur denganmu. Cancer dan Aquarius tidak kompatibel." Sahutnya sambil mengoreksi letak kacamata. "Aku adalah Shintarou Midorima. Semester tiga, nodayo."

"Salam kenal, Midorima-senpai."

"Semoga kita tidak terlalu akrab karena kita berdua kurang cocok."

"Aku mengerti, Midorima-senpai." Meski datar, sesungguhnya Kuroko menahan geli.

Dengus kesal melesat. "Kalau begitu, aku duluan, nanodayo. Aku masih harus mencari sesuatu."

Satu meter berselang, Midorima berhenti. Tanpa berbalik, melirik pada pemuda mungil yang sibuk menjelajah lembaran buku tebal. "Kuroko, jalan mana yang kau lewati saat pulang?"

Iris seterang angkasa biru terangkat dari halaman novel di tangan. "Jalan?" Kuroko membeo, mengulang pertanyaan Midorima.

Satu alis Kuroko mengapung penasaran. Bukan perkara mudah untuk menjawab pertanyaan kakak kelasnya. Selain karena dia selalu diantar-jemput oleh kendaraan pribadi, rute dari sekolah dan istana biasanya juga akan diacak setiap hari agar tidak bisa dilacak. Setahunya, dia tidak pernah melewati jalan yang sama dalam seminggu.

Siapa tahu petang nanti dia akan dibawa ke mana saja dalam perjalanan pulang...

"Aku kurang tahu…"

"Kurang tahu? Apa kau tidak hafal jalan menuju rumahmu? Kau ini bagaimana, nanodayo?" Pangkal hidung yang ditempeli bingkai hitam mengkerut apatis. Kuroko hanya angkat bahu. "Ya sudah. Kalau begitu aku peringatkan saja."

Manik emerald mengkilat tajam.

"Jangan melewati Jalan Seiho, nanodayo."

Dahi Kuroko mengerut samar. Tatap datar mengarah lurus ke pemuda hijau yang kini berbalik arah. "Apakah itu saran Oha-Asa-san juga?"

"Mungkin iya, mungkin saja tidak."


.

.

.

"Maaf, Tetsuya. Aku akan terlambat menjemputmu. Banyak hal yang tertunda di sini. Kerjaan menumpuk. Ada seorang kouhai brengsek yang membolos dan melalaikan tugasnya."

Kuroko seolah dapat mendengar otot di sekitar mata Mayuzumi berkontraksi kencang membentuk kerutan sengit. Siapapun kouhai yang dimaksud, tidak akan bisa lepas dengan mudah dari murka kakaknya.

Smarphone bercasing biru muda dijepit antara bahu dan telinga. Satu tangan beralih fungsi jadi pembalik halaman novel.

"Aku mengerti Chihiro-nii. Tidak perlu buru-buru."

Kuroko berhasil menghindari bangku taman di saat-saat terakhir. Ini sudah yang keenam kalinya dia nyaris tersandung. Berjalan sambil membaca dan menelpon bukanlah hal bijak.

"Aku benar-benar minta maaf. Maukah kau menungguku sebentar? Aku tidak akan lama."

"Tentu saja." Orb sejernih genangan danau bergerak cepat memindai area. Kuroko menjatuhkan pilihan pada bohon besar yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. "Aku akan menunggu di halaman fakultas Chihiro-nii."

"Baik. Tunggu aku di sana. Jangan ke mana-mana, Tetsuya."

"Iya, Chihiro-nii. Tenang saja." Desah jenuh ikut mengiringi.

Komunikasi terputus. Kuroko bergegas menuju lokasi yang telah ia janjikan. Ransel ringan yang hanya berisi sebuah binder dan beberapa alat tulis dilempar asal-asalan ke kaki pohon. Pemuda berparas manis itu baru akan menyusul ketika ekor matanya menangkap sosok lain yang ikut berteduh.

Helaian semerah darah bergoyang lembut digelitik angin. Tubuh yang mungkin hanya selisih beberapa senti dari tingginya. Wajahnya rileks, seolah tidak peduli dengan dunia.

"Kenapa dia tidur di sini? Apa tidak dingin? Hm?"

Pupil biru muda melebar kala melihat seekor kupu-kupu bersayap biru menetapkan alis tipis si pemuda merah sebagai lokasi istirahat. Si empunya wajah mengkerut, terusik akan sentuhan lembut si serangga terbang. Meskipun begitu, kupu-kupu itu enggan angkat kaki.

Kuroko merasa iba pada si merah yang konstan mengernyit dalam tidurnya. Perlahan tangannya dikibaskan pelan di atas sayap besar berkroma biru. Kupu-kupu itu hengkang namun ujung jari Kuroko tidak sengaja membelai dahi yang digantungi poni merah pendek.

'Slap!'

Pemandangan langit berputar sesaat. Bunyi tubrukan menyadarkan Kuroko akan perihnya oksipital yang membentur ke tanah berlapis rumput. Sinar matahari memberi kilat lebih pada sebuah beda runcing di depan mata. Si pemuda merah kini menekuk kaki di atas tubuhnya.

Tetsuya Kuroko tahu bahwa dirinya harus bernapas, tapi eksistensi si lelaki merah mencekat udaranya di esofagus.

"Apa yang kau mau."

Vokal dingin tanpa nada. Kuroko bergidik, tapi menolak takut.

Menatap lurus dengan ekspresi datar, Kuroko berusaha menerka. Lelaki bersurai merah dengan alis senada yang menukik tajam kini menghujam sarkas ke arahnya. Belum lagi rentang tangan yang dibalut kemeja tipis menikam tajam di atas pangkal hidungnya.

Masih menahan napas, Kuroko menjawab. "Ma-Maaf. Bisa kau singkirkan benda tajam itu? Berbahaya sekali."

"Siapa kau dan apa yang kau lakukan."

Kuroko yakin si lelaki merah ini bertanya meski tidak menuai nada yang seharusnya.

Pengaturan napas terkendali kembali. Kuroko mengangkat kedua tangan, di arahkan ke sebuah benda tajam—gunting yang kini mengancam mentalnya.

Lawan bicara menolak kalah. Kuroko mengurung niat untuk lanjut menyingkirkan benda tajam. Negoisasi diambil sebagai keputusan terakhir.

"Maaf mengganggu tidurmu, aku melihat ada seekor kupu-kupu yang hinggap—"

"Diam."

Kuroko membungkam—sebab sang gunting kini mencium pangkal hidungnya.

"Tapi tadi anda bertanya." Lanjut Kuroko, masih menatap datar.

Netra heterokrom masih belum teralih. Rentang jarak ditarik seinci, tingkat intimidasi meningkat seiring pekatnya perlawanan.

Tidak sudi direndahkan. Kuroko mengangkat satu tangan, menepis telapak tangan lawan—berniat menghempaskan benda tajam yang menjanjikan luka—

'Srak!'

—namun malah ganti mengancam nyawa.

Jakun kecil bergerak, Kuroko menenggak ludah.

Ujung gunting dipaksa mencium tanah berumput tepat di samping kepalanya. Ekor mata biru muda menolak untuk terus memandang telapak tangan yang mengeras.

"Kau beruntung aku tidak menyongkel matamu."

Suara bariton berat penuh sarat intimidasi. Kuroko mengeval diri. Lain kali pelajari lawan sebelum melawan.

"Apa yang kau mau."

Pertanyaan diulang. Kuroko menarik napas singkat, lalu balik menatap. "Aku Tetsuya Kuroko, mahasiswa baru di kampus Vorpal S ini. Maaf karena sudah menganggu tidur anda. Aku ingin anda menjauhkan gunting itu segera karena sangat berbahaya."

Kepala bermahkota merah mendongak angkuh, namun sorotnya masih lurus ke lawan di posisi bawah.

"Bisakah kau bergerak dari tubuhku? Posisi ini membuatku tak nyaman."

Tungkai kaki bergerak, satu langkah diangkat dari sisi lelaki biru muda. Pemuda merah mendaki satu jejak mundur, namun masih intens memandang lawan.

Kuroko beranjak bangun. Ia menegapkan tubuh seraya mengulas senyum tipis—berupaya melontar sikap baik agar tidak diancam benda tajam lagi. "Terima kasih sudah melepasku. Kalau tidak keberatan, boleh aku tahu siapa namamu?"

Netra dua warna mengeling. Bersamaan dengan belaian angin tenang, ia berbalik. "Bukan urusanmu untuk tahu siapa aku. Lain kali kalau kau mengganggu, kupastikan ujung guntingku akan merobek kulit mulusmu. Camkan itu."

Tetsuya Kuroko menggeleng pelan pada sosok pemuda yang beranjak menjauh.

"Ada, ya, orang sadis seperti dia..." gumamnya setengah berbisik.

'Drap.'

Kuroko sontak mundur. Ia yakin sekali dirinya tidak bersuara keras, lantas mengapa si surai merah itu menghentikan langkah?!

Pilihan berikutnya adalah ikut berbalik. Daripada terlibat benda tajam, Kuroko pilih tempat lain untuk menanti kehadiran kakaknya.

Nyawa yang terancam di ujung gunting kini ternilai aman kembali, sebab Tetsuya Kuroko sudah menghilang sebelum pemuda merah itu berbalik arah.


.

.

.

TBC

.

.

.

.

.


a/n : Salam kenal, shiuferz shipper AkaKuro

Semoga suka ya xD

Terima kasih sudah membaca~