Selamat pagi/siang/sore/malam/subuh semuanya (?)
Sebelumnya, akan Panda jelaskan..ini spin off dari cerita Panda , Make Your Wish. Enggak Panda masukin kesana, soalnya entar makin belibet. Ini Twoshoot. Satunya masih rahasia XD maaf alurnya dicepetin lagi males ngetik Dx
ga apa kalo gak baca yang itu, cerita ini hanya sebagai penjelas masa lalu Mikuo (?)
cerita ini difokuskan pada masa lalu Mikuo, mengapa ia bisa ditahan ..nanti ada Yukari juga tapi kapan2 aja XD
Panjang banget author note-nya, yosh! Langsung mulai!
Spin off from Make Your Wish
Story 1 : Mienakunatta [MikuoLenka]
Time Setting : 33 years before
Musim gugur datang sejak seminggu lalu. Memperindah jalanan dengan guguran daun cokelat kemerahan. Orang-orang berjalan dengan pakaian tradisional, membuat suasana makin hidup. Namun, berbeda dengan wilayah pinggiran yang sepi. Apalagi di pinggir laut menantang samudera seperti ini.
Setidaknya itu yang disimpulkan Mikuo; kebagian bertugas bersama puluhan malaikat lain di pantai timur Jepang. Namun, ia bertugas sendiri di wilayah entah apa ini. Malaikat lain pun tak kelihatan sosoknya. Mikuo hanya menghela pasrah. Malaikat yang lain mungkin berada di wilayah padat penduduk. Mikuo memaklumi. Tapi, tempat ini benar-benar sepi, padahal sudah siang hari. Sepertinya tak ada yang tinggal disini. Mikuo hanya berkeliling sedari tadi. Ia terus terbang rendah melintasi tengah perairan hingga sesuatu mengenai kepalanya.
Tuk!
Memang tidak sakit, tapi membuat Mikuo kesal. Ia terbang naik ke tepi daratan. Sayapnya tertekuk menutup ke dalam. Sayap putihnya hilang perlahan untuk kamuflase. Dan ia mendapati seorang manusia sibuk melempar kerikil ke samudera. Manusia itu terus melempar batu kecil itu dan tidak menyadari kehadirannya, Mikuo pun bersuara,
"Oi, manusia.."
Manusia itu masih sibuk melempar kerikil. Mikuo naik tensi. Ia raih pundak manusia keparat itu.
Manusia itu menoleh ke samping, mendapati sesosok asing menatapnya tajam.
"Siapa?" Tanyanya.
"Jangan lempar batu ke laut lagi.." Mikuo mengingatkan.
"Aku membuang sial." Sahutnya seraya terus melempar kerikil ke arah hamparan likuid.
Mikuo tidak mengerti apa maunya manusia itu. Ia berjalan menjauh.
Tuk!
Mikuo menoleh ke belakang dengan geram. Manusia itu hanya tersenyum.
"Kau belum memberitahu siapa dirimu." Katanya. Mikuo mengernyit. Buat apa manusia itu tahu siapa dirinya?
"Selamat tinggal." Mikuo memilih mengacuhkannya. Ia harus keliling lagi mengawasi daerah yang kelewat sepi ini.
Tuk!
Langkah Mikuo terhenti.
"Aku bertanya padamu.." -itu yang di dengar Mikuo dari arah belakang.
"Manusia aneh! Mengapa kau melempariku dengan kerikil?!" Mikuo berbalik menghampirinya. Manusia itu terkekeh.
"Kau pendatang baru, ya? Pantas saja aku tak pernah melihatmu..kenalkan..namaku Kagamine Lenka." Manusia itu memperkenalkan diri. Mikuo hanya mendecih dan menjitak pelan kepala manusia itu.
"Aduh.." Lenka mengaduh sembari mengelus kepalanya.
"Manusia memang sulit dimengerti." Mikuo memilih duduk di sebelah manusia bernama Lenka itu dan menatap laut. Lenka ikut duduk, membuat Mikuo mengernyit tidak suka.
"Hei, siapa namamu?" Ia masih bertanya. Ya ampun, kenapa manusia suka sekali memaksa sih? Namun, Mikuo menjawabnya juga.
"Aku Mikuo."
"Mikuo ya..nama yang bagus.." Lenka tersenyum ke arahnya. Membuat wajah Mikuo memanas sejenak.
"Mikuo-san, ada perlu apa ke tempat ini?" Tanya Lenka. Manusia tidak perlu tahu siapa dirinya.
"Aku hanya ingin melihat-lihat tempat ini." Jawab Mikuo tanpa menoleh ke arahnya. Lenka hanya mengangguk pelan dan kembali melemparkan kerikil.
"Mengapa kau melempar kerikil?" Mikuo masih tidak mengerti.
"Besok aku dilamar, aku sangat bahagia sampai tidak tahu harus bagaimana." Ia tersenyum tipis. Kelihatannya ia sangat senang sekali. Mikuo hanya mengangguk pelan,
"Oh."
Deburan ombak menghantam karang yang lumayan besar di pinggir. Angin laut berhembus kencang ke arah mereka yang duduk di atas karang. Entah mengapa, Mikuo menikmati suasana tenang seperti ini.
"Mikuo-san.." Panggil Lenka. Mikuo hanya menoleh pelan.
"Apa Mikuo-san punya pacar?"
Mikuo tersedak entah bagaimana. Ia terbatuk-batuk hebat.
"Untuk apa kau bertanya begitu, hah?"
"Aku cuma ingin tahu."
Mikuo memalingkan muka. Enggan menatap manusia itu. Sial. Kenapa tiba-tiba ia merasa gugup?
Manusia itu melambai sebelum pergi. Mikuo hanya menatapnya, tanpa berucap sepatah kata atau memberi gestur tangan selamat tinggal. Manusia itu pun hilang dari pandangannya. Mikuo mengeluarkan sayapnya kembali. Ia mengepakkannya dan mulai terbang. Bagaimanapun, wilayah ini harus ia jaga.
Seminggu kemudian, Mikuo tak pernah bertemu lagi dengan manusia itu. Ia juga tidak terlalu peduli.
Setahun kemudian, Mikuo masih tak menjumpainya. Dan itu terjadi hingga tahun kelima.
Mikuo sedang terbang memantau. Tidak ada pergerakan yang mencurigakan di daerah entah apa selama ini. Langit sedang berseteru tentang pergantian pemimpin langit. Mikuo tidak mau ikutan ribut. Jadi ia memilih terbang di tempat ini. Ia merasa lelah dan mendarat di bawah sebuah pohon besar. Mikuo menutup dan menghilangkan sayapnya dari penglihatan untuk sementara. Bisa gawat jika manusia mengetahui identitas malaikat. Mikuo baru saja hendak memejamkan mata ketika ia mendengar suara.
"Halo, Mikuo-san."
Mikuo membuka matanya kembali, dan mendapati sosok manusia bernama Lenka yang tidak pernah ditemuinya lima tahun terakhir ini. Ia menggendong seorang manusia ukuran mini. Tunggu―mini?
"Mikuo-san..kau masih disini rupanya." Lenka duduk di sisi Mikuo sambil memandang wajah bayinya. Mikuo menatap bergantian antara Lenka dan manusia mungil itu.
"Dia siapa?" Mikuo menunjuk ke arah bayi Lenka. Lenka tertawa. Mikuo makin tidak mengerti.
"Dia bayiku."
"Bayi itu apa?"
...
Lenka tergelak. Mikuo benar-benar bisa melawak. Sedangkan Mikuo bingung menatap manusia mini yang dibawa Lenka itu.
"Dia anakku."
"Anakmu?"
"Dia baru lahir setahun lalu. Aku mengajaknya kembali sebentar kesini."
"Anak?" Mikuo masih belum konek. Tawa Lenka kembali membahana. Mikuo menatap manusia itu kesal.
"Hoi, aku sedang berfikir tahu." Mikuo mendecih.
"Kau tidak pernah berubah, Mikuo-san." Lenka memeluk sesuatu yang disebutnya anak itu. Namun, Mikuo tidak melihat kebahagiaan terpatri di wajah manusia itu. Ia menatap sendu dan memeluk anaknya makin erat. Mikuo merasakan kejanggalan yang teramat disini.
"Anakmu ini..bagaimana aku memanggilnya?" Mikuo mengalihkan topik sejenak.
"Namanya Len. Tapi.." Lenka tidak meneruskan kalimatnya. Ia menangis.
"Oi.." Mikuo tidak tahu cara menenangkan manusia ini. Kenapa dia menangis? Sambil terisak, Lenka bercerita.
Mikuo sedikit kasihan mendengar cerita Lenka. Tapi..memangnya dia bisa apa? Dia hanya malaikat patroli yang ditugaskan memantau pantai timur Jepang. Ia tidak punya kekuatan apapun selain teleportasi dan menggunakan senjata.
Tunggu, senjata?
"Lenka, lalu..bagaimana denganmu? Dimana kau tinggal nanti? Disini tidak ada siapapun."
"Aku..tidak tahu.." Lenka masih mendekap erat anaknya. Mikuo mengeratkan kepalan tangannya. Satu-satunya makhluk yang tak pernah bisa dipahaminya adalah manusia. Ia tak mengerti mengapa ada manusia yang jahat dan baik. Ia tidak pernah mengerti..
"Tunggu sebentar, Lenka. Aku akan membantumu." Mikuo berdiri. Ia membulatkan tekad untuk menolong Lenka dan anaknya. Ia memperlihatkan dan membuka lebar sayapnya; mulai terbang ke atas.
Lenka hampir tak berkedip memandangi Mikuo yang kini terbang ke atas. Sayap Mikuo terlihat begitu indah. Lenka hanya tersenyum sambil mencium pipi anaknya.
"Ternyata malaikat itu benar-benar ada."
Mikuo mengendap menuju ruang penyimpanan senjata. Ia tahu senjata paling berguna saat ini untuk Lenka.
Sebuah gulungan rahasia. Ini pasti akan berguna untuk Lenka dan anaknya. Ia tersenyum kecil.
.
.
.
.
.
Len kini berusia enam tahun. Mikuo dan Lenka mendirikan sebuah rumah sederhana di wilayah yang sepi ini. Mikuo tak bisa sering-sering kesini karena tugas sebagai malaikat pemantau. Ia tidak boleh membuat pihak langit curiga. Lenka juga selalu berterima kasih pada Mikuo yang telah menolongnya. Anak manusia itu ―meski agak malu― memanggilnya ayah. Mikuo hanya tersenyum menanggapi. Wajar bila Len mengira dirinya adalah ayahnya. Karena hanya ia yang Len kenal sebagai laki-laki dewasa disini. Lenka pun tidak keberatan dengan hal itu. Ia tidak ingin anaknya memikirkan masalah kompleks.
"Mikuo-san, aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih padamu." Lenka duduk di seberang meja makan-berlawanan dengan posisi Mikuo.
"Aku hanya tidak tega melihat anakmu dalam masalah."
"Mikuo-san, buah-buahan yang kau bawa sangat enak. Darimana kau mendapatkannya?"
"..."
Tidak mungkin Mikuo menjawab itu adalah buah yang dipetiknya dari taman surga.
"Mikuo-san..mengapa kau tidak mengatakannya saja?"
"Apa yang harus kukatakan?" Menaikkan satu alis, Mikuo memiringkan sedikit tubuhnya. Enggan bertatapan dengan Lenka.
"Mungkin..isi hatimu.." Lenka tersenyum.
"Isi hatiku?" Mikuo mengernyit. Apalagi itu? Mikuo benar-benar tak bisa memahami manusia. Mereka menggunakan bahasa yang tak ia mengerti.
"Tapi, aku tidak tahu." Mikuo menghela nafas.
"Bisakah kau katakan isi hatimu saat kau menyadarinya?" Tanya Lenka. Mikuo melirik ke arah Lenka. Saat ia menyadarinya? Apa manusia itu baru saja mengejeknya?
"BRAKKK!"
Meja yang menjadi pembatas antara Mikuo dan Lenka patah menjadi dua. Sesosok bersayap hadir di antara mereka-malaikat.
"Mikuo..dimana gulungan itu..?" Malaikat itu memandang tajam ke arah Mikuo. Mikuo tanpa berfikir dua kali segera membawa Lenka dan anaknya yang sedang tertidur berteleportasi.
"Omoshiroi."
Mikuo dan Lenka tiba di tempat lain yang cuacanya sedang hujan. Entah dimana Mikuo mengambil tujuan asal-asalan. Len mengeliat resah dalam pelukan Lenka. Mikuo melihat sekeliling. Setidaknya, wilayah ini terdapat rumah-rumah. Cuaca hujan sehingga suasana sepi. Mungkin orang-orang enggan keluar rumah. Mereka ada di sebuah gang sempit.
"Lenka, jaga anakmu. Aku akan mengalihkan malaikat itu agar tidak mengejar kalian." Mikuo hendak pergi. Namun, Lenka menahan pergelangan tangan kiri Mikuo.
"Mikuo-san.."
"Aku akan baik-baik saja, Lenka. Jika aku sudah menjauh, segeralah cari perlindungan." Mikuo melepaskan tangannya dari Lenka. Lenka jatuh terduduk begitu mendapati Mikuo menghilang dari penglihatannya.
"Kaasan..Tousan kemana?" Len bertanya. Lenka tidak mampu menahan air matanya lagi. Mengapa, Mikuo selalu menolongnya? Dan kenapa, ia tak pernah membalas kebaikan malaikat itu? Lenka tidak mau hanya diam. Ia ingin melakukan sesuatu. Kali ini gilirannya.
Ia memosisikan Len pada dinding bata di dekatnya. Kemudian berujar,
"Len..jaga dirimu.."
Dan pelukan hangat Lenka adalah hal terakhir yang Len ingat. Lenka kemudian berlari. Len tidak tahu, bahwa ia takkan pernah bisa menemui ayah maupun ibunya lagi.
"Ikutlah bersama kami ke pengadilan langit."
Mikuo terjebak di hutan. Sial. Padahal ia harus lari sejauh mungkin, namun, petinggi langit Ling dan Ruko menahannya. Mikuo tidak mungkin melawan petinggi langit. Jangankan dua, satu petinggi saja, dipastikan ia kalah telak. Namun, ia tak bisa lari lagi karena kekkai buatan Ling. Ia tak bisa pergi kemanapun. Mereka takkan terlihat oleh siapapun. Dan apapun yang terjadi di dalam sini tidak akan berdampak pada kelangsungan dunia fana. Jurus spesial milik Ling antar ruang dan waktu.
"Kau mencuri gulungan itu. Mengapa kami baru menyadarinya, ya? Kau pencuri ulung, Mikuo." Ruko menatapnya tajam. Para petinggi baru mengetahui kasus pencurian gulungan rahasia itu kemarin saat mengecek tempat penyimpanan senjata. Ling menyiapkan panahnya, berniat menahan pergerakan Mikuo.
"Maaf..aku akan segera mengembalikannya.." Mikuo menunduk. Ia hanya bisa menyerah saat ini.
"Mikuooo-saan!"
Mikuo menoleh ke arah belakang-asal suara. Lenka tengah berlarian kesana-kemari seraya menyerukan namanya.
"Mikuo..dimana gulungan itu sekarang?" Tanya Ling.
Mikuo melangkah menuju pembatas kekkai. Rasanya bagai dinding transparan antara ia dan Lenka. Mikuo teringat ia mencuri gulungan itu demi Lenka. Tapi..
Kenapa dia melakukannya?
Mikuo tidak memahami jalan pikirannya sendiri. Mengapa ia melakukan segalanya untuk manusia itu?
Kenapa?
Mikuo tak pernah mendapat jawabannya.
"Mikuo! Jangan beralih!" Ruko berseru. Ia melempar dua buah sai pada pundak Mikuo. Pandangan Mikuo masih terfokus pada Lenka meski ia kini jatuh tak berdaya. Apa..yang harus dia lakukan?
"Lenka.."
"Mikuo!"
Mikuo berusaha keluar sekuat tenaga. Ia harus menenangkan pikirannya meski sakit menjalar di tubuhnya. Ia tidak boleh mati dan membiarkan Lenka terpisah dari anaknya. Mereka harus segera melarikan diri.
Mikuo berhasil menembus kekkai itu. Ia berlari ke arah Lenka.
"Lenka! Cepat lari!" Mikuo berseru. Lenka bergeming. Mikuo mengguncang bahu Lenka.
"Lenka? Kenapa kau tidak lari?" Mikuo yang mendapat diamnya Lenka merasa heran.
"Mikuo-san..kali ini giliranku untuk menolongmu.." Lenka memutar posisi mereka. Dan tepat saat itu Mikuo terbelalak mendapati banyak panah menancap di punggung Lenka.
"Lenka..!"
"Mikuo, daisuki..." Lenka jatuh. Ia tergeletak tak berdaya. Mikuo menatap horor ke arah Lenka. Ia segera mencabut panah-panah itu dari punggung Lenka. Ia harus segera menyelamatkan Lenka. Lalu, dimana Lenka menyembunyikan anaknya? Entah, Mikuo harus bergerak cepat. Cairan bening jatuh dari ujung matanya. Mengapa?
"Manusia yang kena."
Mikuo terlambat. Lenka sudah tidak bernafas. Mikuo membawa tubuh Lenka dalam pelukannya. Ia menangis.
Mikuo tidak bisa melakukan apa-apa ketika ia dipisahkan dari Lenka oleh pasukan langit. Mikuo hanya menyesali kenyataan. Seharusnya ia yang melindungi Lenka.
Pandangan Mikuo masih memburam. Hingga Lenka benar-benar tidak terlihat lagi.
"Lenka...dai...suki..."
Terlambat untuk mengatakannya.
.
end
