Pada siang yang seharusnya cerah itu, hujan turun dengan deras.
Disitu, didepan sebuah makam, seorang wanita muda berumur sekitar 24 tahun berambut panjang sebahu, berdiri menatapnya tanpa bergerak.
Tangannya perlahan menyentuh nisan makam itu, mengelusnya lembut. Lama-kelamaan tangannya semakin turun. Ia berjongkok ditengah hujan deras itu, ditengah dinginnya hujan.
Air matanya menjadi satu dengan hujan yang membasahi wajahnya. Suara tangisnya tenggelam oleh suara hujan yang jatuh membasahi tanah.
Tune the Rainbow
"Selamat siang, Ibu..." suaranya serak oleh tangis. "Haruhi datang mengunjungi Ibu."
Ia menangis lagi. Teringat kenangan-kenangan bersama ibu tercintanya. Yang selalu tersimpan dalam hatinya.
"Ibu... Haru..hi... baik-baik saja," Haruhi melanjutkan kata-katanya. Suaranya terputus-putus. Isak tangis menjadi satu dengan kata-katanya.
"Entah sudah berapa lama... aku tidak menangis seperti ini. Iya, 'kan? Ibu." Matanya kabur karena air mata, yang bercampur dengan air hujan.
Diam. Tidak ada jawaban selain suara hujan, yang makin lama makin pelan.
Haruhi sudah bisa mengontrol suara tangisnya, walaupun air matanya tetap mengalir.
Suara hujan masih terdengar. Tetapi hujan sudah... berhenti?
Haruhi menoleh kebelakang.
"Tamaki..." ucapnya pelan.
Tamaki ikut berjongkok didepan makam ibu Haruhi. Menyapa ibu haruhi sejenak.
"Maafkan saya karena membuat Haruhi menangis," ucap Tamaki lembut sambil menundukkan kepalanya didepan makam. "Saya tahu saya sudah terlalu sering membuat haruhi menangis. Maafkan saya..."
Haruhi menatap Tamaki bingung. Detik kemudian, ia menggeleng, memeluk lengan Tamaki lembut. Tamaki balik menatap Haruhi bingung.
"Ibu... jangan dengarkan kata-kata bohong Tamaki."
"Bo.. Bohong?" Tamaki kaget. Tidak menyangka Haruhi akan berkata seperti itu. "Apa maksudnya?..."
"Aku bahagia bersama Tamaki," ia tersenyum lembut ke makam ibunya. Tamaki menatapnya. Tercenggang. "Walaupun kadang-kadang Tamaki bodoh dan membuat kerepotan," Haruhi memandang Tamaki, "tetapi ia suami yang baik."
Tamaki tersenyum lembut. Membelai rambut istrinya pelan dan menciumnya lembut.
"Ibu, terima kasih karena selalu berada disampingku sampai saat ini," Haruhi mengelus perutnya lembut. Tersenyum. Tamaki memegang bahu Haruhi, mendekatkan kepalanya kesamping Haruhi. "Kami pulang dulu."
Mereka berdua berdoa sejenak, kemudian berjalan perlahan meninggalkan makam.
"Haruhi!! Sudah kubilang 'kan jaga kandunganmu baik-baik!" Tamaki panik. "Hujan-hujanan seperti tadi!! Kau tidak memikirkan nasib Tamako?" omel Tamaki ketika mereka berjalan menuju mobil.
"Hah? Tamako?" Haruhi bertanya sinis. Lalu menarik nafas, "Sudah kubilang berkali-kali, 'kan. Anaknya laki-laki."
Tamaki cemberut. "Perempuan! Instingku berkata demikian," Tamaki menepuk-nepuk dadanya dengan ekspresi bangga.
"Insting seorang ibu lebih tajam." Haruhi berkata cuek.
"Haruhi!!"
"Tapi..." Haruhi memeluk lengan Tamaki mesra. Tamaki agak kaget. "Yang kukatakan didepan makam Ibu tadi... 'Aku benar-benar bahagia bersama Tamaki.'" Haruhi tersenyum tersipu-sipu. Tamaki terkejut, tetapi kemudian tersenyum lembut dan mencium pipi Haruhi pelan.
"Aku akan selalu berusaha menepati janjiku pada Ayahmu, istriku sayang..." ia melingkarkan lengannya dibahu Haruhi. Hatinya terasa hangat. Walaupun hujan masih turun rintik-rintik siang itu, perlahan-lahan muncul pelangi dihadapan mereka.
"Demi Kita, dan juga Tamako..." Tamaki berbisik pelan. Haruhi hanya tersenyum simpul mendengar kata terakhir suaminya sebelum masuk kedalam mobil mereka. Menempuh jalan di balik pelangi itu...
Inner Haruhi : 'Sudah kubilang... Anaknya laki-laki...' *swt...*
A/N :
Tamaki : Haruhi kok jadi mesra gini sih... Apa mungkin karena hormon masa kehamilan? *sok-sok narik kesimpulan lol*
Haruhi-nya agak OOC... hehe. Fic terinspirasi dari lagu Tune the Rainbow – Sakamoto Maaya.
