'Naruto, Okaasan akan segera pergi jauh. Segalanya berlalu hanya dalam sekejap. Hari esok bisa berubah menjadi kemarin, begitupun hari ini. Tidak ada kepastian. Okaasan tidak punya banyak waktu. Okaasan belum menyelesaikan apapun. Okaasan tidak boleh pergi sekarang, kau akan sebatang kara.
Naruto, Okaasan sangat menyesal karena membawamu ke dunia dimana kau tidak punya ayah. Dan Okaasan ... tidak bisa memasak ramen lagi untukmu. Tapi walaupun begitu, Okaasan bersukur telah melahirkanmu.
Kau adalah anak yang selalu ingin tahu segalanya. Kenapa air basah? Kenapa rambut tumbuh? Kenapa burung dapat terbang? Kenapa ada malam hari? Kau tidak perlu buku gambar karena kau membayangkan sendiri ceritanya sembari mendengarkanku bercerita.
Melihatmu yang masih kecil membuntutiku yang biasanya berjalan cepat, kau selalu bilang 'tidak apa-apa'. Okaasan berpikir, anak kecil ini memiliki kekuatan yang besar dalam menjalani hidup.
Okaasan bertanya-tanya, seperti apakah cintamu nanti. Jatuh cinta tidak selalu bahagia, kadang bisa menyakitkan juga. Okaasan yakin kita semua pasti memiliki perasaan kesepian, karena itulah kita bisa bertemu seseorang. Terkadang, hidup sangat keras. Tapi kau bisa melupakan segalanya saat kau jatuh cinta.
Jatuh cintalah. Lalu suatu hari nanti, kuharap kau akan bertemu seseorang. Okaasan yakin dia bisa memberimu jawaban atas pertanyaanmu. Seseorang yang akan mendengarkan ceritamu. Seseorang yang akan berbahagia kerena kau terlahir kedunia.
Putraku tercinta, putraku Naruto. Okaasan mencintaimu. Berbahagialah selalu.'
Naruto melipat kertas putih kusam yang baru dibacanya. Sebuah surat terakhir ibunya. Ini yang kesekian kalinya ia membaca apa yang terhuni di surat itu. Ia dapat membayangkan semuanya. Seakan ia berada disana menyaksikan dan mendengar secara langsung semuanya tergaung dari bibir ibunya. Melihat setiap titik tinta digurat jemari ibunya pada kertas. Dibumbui dengan senang, sedih, dan harapan dari senyum hangat diwajah letih itu.
Namun bagi Naruto, ia merasa apa yang menghuni surat ibunya melenceng jauh dari kenyataan. Itu bukanlah untuknya. Ia bukanlah seseorang yang memiliki kekuatan yang besar dalam menjalani hidup. Malah sebaliknya, ia adalah sosok yang lemah sosok yang tidak mampu melakukan apa-apa. Sosok pengecut yang tidak mampu membuat keadilan. Bahkan untuk ibunya sendiri.
.
.
.
FLASHBACK.
8 tahun yang lalu.
Nami no Kuni
Nami no Kuni memiliki banyak sungai yang mengalir melewatinya dan terkenal akan hutan bakau yang dipenuhi segala macam bentuk kehidupan. Meskipun sebuah pulau terpencil yang mengandalkan hasil laut dan perkebunan, daerahnya bisa dikatakan cukup makmur.
Namun itu semua tinggal kenangan, telah berubah ketika Danzo Shimura mengarahkan perhatiannya pada daerah ini lima tahun lalu dengan melanggar kehendak rakyat serta memonopoli industri perdagangan.
Dalam rangka untuk mematahkan monopoli tersebut. Tazuna, salah satu warga Nami no kuni, melaksanakan pembangunan jembatan yang menghubungkan pulau Nami no kuni dengan daerah lain.
Kini, delapan bulan sudah para pekerja mememeras keringatnya. Delapan bulan yang cukup lama bagi mereka untuk menyelesaikan sebuah jembatan kayu yang baru empat puluh persen tercapai. Kebanyakan dari mereka adalah petani dan nelayan sekitar.
Meski begitu, jembatan yang seluruhnya terbuat dari kayu itu cukup kuat dan kokoh, sangat indah bila menilai estetika keindahannya. Mungkin karena banyak warga Nami no kuni yang berharap besar terhadap pembangunan jembatan, maka dari itu pondasinya pun begitu kuat, sama dengan pondasi ikatan mereka.
Mengingat berapa banyak masyarakat yang telah menyumbangkan tenaganya. Dari yang tua sampai yang muda mereka semua bergotong royong.
Selain beradu dengan waktu, mereka juga harus berseteru dengan para bandit yang datang silih berganti. Tanpa henti. Bandit-bandit itu datang atas kiriman dari Danzo. Tidak jarang kemelut terjadi diatas jembatan. Meregang nyawa hampir sering terjadi. Banyak dari mereka memilih berhenti membuat jembatan, tapi tak sedikit pula mereka yang ingin sejahtera tetap bertahan.
Karena itu adalah satu-satunya harapan mereka yang ingin terbebas dari cengkraman Danzo Shimura.
Seperti saat ini, Tazuna kembali harus berhadapan dengan para bandit. Dimata Tazuna, jumlah mereka mungkin lebih dari sembilan belas orang beserta Danzo. Sedangkan disisinya hanyalah sekumpulan buruh tani dan nelayan yang sudah berumur. Tazuna kini hanya berharap pada cucuknya, sosok kecil yang ia yakini dapat membujuk seluruh warga Nami no kuni untuk datang membantu.
"Untuk yang terakhir kalinya aku sarankan agar kalian pergi meninggalkan tempat ini, sebelum hal yang mungkin tidak kalian inginkan terjadi," perintah Danzo enteng, seringaian dibibirnya begitu mengerikan.
"Baiklah, kami akan pergi. Apakah seperti itu jawaban yang kau inginkan, Danzo? Itu tidak akan pernah terjadi!" Tandas Tazuna, "kami tidak akan pergi sebelum jembatan ini tersambung. Kami mulai dari daratan maka kami akan mengakhirinya juga hingga daratan!" Air mukanya berapi-api. Rekan-rekannya pun menyahuti dan membenarkan perkataan Tazuna.
"Khahaha ... kata-katamu sudah mirip pendongeng. Jadi kau pikir aku yang harus pergi dari sini, begitu? Lucu sekali ..." Danzo menunjuk-nunjuk dirinya sendiri sambil tertawa, "kau pikir kau bisa apa Tazuna-san? Melawan kami dengan kapak berkaratmu itu? Khahaha ... " Bandit-bandit anak buah Danzo juga ikut terkekeh.
"Tidak!" jawab Tazuna mantap. Menghentikan sejenak tawa geli dari musuh-musuhnya itu, "maksudku, bukan. Bukan aku yang akan melawan kalian semua. Tapi warga Nami no kuni semuanya."
"Semuanya?"
"Ya. Semuanya.. Apa kau sudah mulai tuli sekarang, Danzo?"
"Khahaha ... Maksudmu semuanya? adalah sepuluh buruh tani dihadapanku ini? Jangan bercanda, Tazuna-san?" Remeh Danzo sambil membersihkan kotoran telianganya dengan jari.
"Siapa yang sedang bercanda!" Jawaban Tazuna sukses membuat wajah kekhawatiran dari para bandit mulai menampak.
Mungkin karena sudah jengah akan perdebatan yang terus terjadi, tanpa bertele-tele lagi Danzo langsung keintinya. Ia ingin cepat segera mengakhirinya, "lenyapkan mereka semua! Aku sudah muak melihatnya."
Rekan-rekan Tazuna menjadi tegang, demikian pula Tazuna sendiri. Ia tidak bisa berbohong, ia tahu bagaimana sadisnya bandit-bandit anak buah Danzo Mereka tidak pernah memberi belas kasihan terhadap targetnya, meskipun hanya seorang anak kecil. Sama seperti saat mereka memukuli dirinya dan rekan-rekannya beberapa waktu lalu.
Dapat mereka rasakan, atmosfer suasana berubah menjadi menyudutkan. Awan hitam yang telah lama menggantung mulai menjatuhkan hujannya tipis, satu-satu. Seakan alam tidak memihak kepada mereka.
""HIDUP NAMI NO KUNI!""
Atensi semua yang ada diatas jembatan teralihkan akan sebuah teriakan ramai yang berasal dari punggung Tazuna dan rekan-rekan. Diikuti angin berhembus menciptakan riak-riak kecil disekitar jembatan, membawa hujan menjauh dan menampakkan kembali matahari.
"Ojiisan! Aku datang! ... Tidak. Maksudku, KAMI SEMUA DATANG! ..." teriak seorang anak kecil menenteng sebuah kapak kecil.
Dibelakanganya, gerombolan warga dari yang berbadan besar hingga yang kurus kering pun tak ketinggalan. Mereka membawa senjata seadanya masing-masing. Mulai dari Cangkul, Sekop, Martil, Parang, hingga tongkat Basebaall juga mereka bawa. Semuanya berjalan mendekat bergabung dengan Tazuna.
Tazuna dan rekan-rekan yang tadinya tegang berdiri menghadapi para bandit kini bisa bernafas lega. Dibelakangnya, cucuknya yang berusia sembilan tahun telah berhasil membujuk warga desa untuk datang membantu.
Ini adalah rencana yang telah ia siapkan, bila seluruh warga desa bersatu tak mustahil bagi mereka untuk melepaskan diri dari kungkungan penguasaan Danzo. Tak sia-sia ia mengulur waktu dan mempercayakan semuanya pada Naruto.
'Terimakasih, Naruto-kun.'
Bandit-bandit yang dipimpin langsung oleh Danzo mulai kasak-kusuk. Mereka tidak bodoh, meskipun beberapa dari mereka membawa Tanto dan balok kayu. Tapi dengan jumlah warga Nami no kuni yang ratusan orang seperti itu siapa yang berani?
"Aku tidak bisa, Danzo-sama," ucap salah satu bandit.
"Aku tidak ingin mati sekarang!"
"Aku juga, Danzo-sama."
"Aku juga."
"Aku masih ingin hidup!"
Semua bandit tidak ada yang ingin melanjutkan niatnya. Nyalinya menciut. Mereka sama sekali tak berani mengangkat senjata. Seakan bertemu sang predator.
"Aku sudah membayar kalian dua kali lipat! Kenapa kalian seperti anak kucing sekarang? Apa kalian takut dengan Jumlah mereka. Hah?"
Tidak ada yang menjawab. Satu demi satu hingga semuanya berlarian menuju perahu meninggalkan Danzo sendiri.
"Apakah kau baru percaya sekarang Danzo-san? Inilah yang aku maksud dengan semua warga Nami no kuni. Apa aku perlu menghitung jumlahnya satu-persatu? Akan memakan banyak waktu, lho?" Kini giliran Tazuna yang merasa diatas angin.
"Ojiisan ..., kau sangat keren," Naruto memberikan jempolnya dengan gigi mengkerling.
Warga Nami no kuni-pun bersorak sorai. Terlihat lah wajah-wajah yang begitu cerah. Setelah sekian lama berjuang akhirnya mereka dapat hidup bebas. Penderitaan mereka akhirnya berakhir. Mimpi akhirnya menjadi sebuah kenyataan. Mereka akan hidup seperti dulu kala. Bagai burung yang menjelajah angkasa setelah lepas dari kandang.
"Baiklah, Tazuna-san," Danzo tersenyum penuh arti, "masih banyak cara untuk membuatmu menyesal selamanya."
.
.
.
Dengan senyum merekah dibibir, Naruto berjalan ke kamar ibunya menenteng buku jurnal hariannya. Ia ingin menunjukkan puisi yang baru saja ia buat kepada ibunya. Namun ketika ia masuk kekamar itu, tampak ibunya sudah tertidur pulas diatas futon, tubuhnya terbungkus selimut sampai perut dan rambut merah panjangnya tergerai bebas diatas bantal.
Wajah damai itu menghipnotisnya sesaat.
Karena rasa antusiasmenya menunjukan puisi pertamanya, Naruto melupakan sang waktu. Ternyata jam pada dinding sudah melewati tengah malam. Ia kecewa sekaligus heran, kecewa karena ibunya sudah tertidur dan heran kenapa ia tidak kunjung mengantuk, tak seperti biasanya.
Naruto tak mungkin membangunkannya hanya untuk menjadikan ibunya sebagai orang pertama yang membaca puisi ciptaannya. Mungkin ia akan tunjukan esok hari saja. Pikirnya demikian.
Mendengar suara pintu berderit pelan dibalik punggungnya. Tanpa tahu siapa yang akan segera masuk. Naruto merasa ia harus segera sembunyi. Entah mengapa benaknya menyerukan hal itu? Seperti ditiup, lilin yang berada didekat ibunya padam dengan tiba-tiba, meski tiada angin berhembus.
Tepat ketika pintu mulai terbuka, hawa ruangan menjadi tak mengenakan. Begitu mencekam.
Dari sudut kamar tertutupi rak-rak kayu, Naruto merasakan ketegangan disekujur tubuhnya. Memojokkannya. Pundaknya begitu berat seakan diberi beban. Napasnya mulai terbata-bata. Benar-benar petak umpet dengan perasaan yang berbeda, dan tentu bukanlah waktu yang tepat untuk bermain.
Jika bisa, Naruto ingin tenggelam kedasar tanah sekarang juga. Saking takutnya.
Meski begitu, Ia dapat melihat bayangan seseorang membuka pintu itu dengan hati-hati. Melangkah sepelan mungkin. Jelas sekali, bila sosok itu tak menginginkan si empunya kamar terbangun. Dengan gerakan serba lambat kerena tak ingin menimbulkan suara, bayangan itu mendekat kearah ibunya.
Dengan menelan paksa air ludahnya, Naruto memberanikan diri melihat secara langsung. Perlahan, dengan napas satu-duanya yang ia tahan, diikuti suara jantungnya yang bersahut-sahutan. Ia mengintip kecelah rak kayu disampingnya. Rasa penasaran menyisihkan sejenak perasaan takutnya.
Dari sorot rembulan yang menerobos jendela kaca, Sebelah mata Naruto dapat melihat sosok yang keseluruhan memakai pakaian hitam itu memperhatikan lengan ibunya yang terjuntai, sedikit meraba pergelangan tangan ibunya. Dari gestur tubuhnya, Naruto yakin jika sosok itu adalah laki-laki. Sesaat, mata Naruto bergulir melihat wajah ibunya yang masih tertidur pulas.
Ketika mata birunya berniat kembali melihat laki-laki itu. Naruto dibuat tersentak kaget, laki-laki itu menatapnya tajam. Mata hitam pekat dengan wajah putih pucat itu benar-benar menakutkan. Menusuk dalam setiap rongga ditubuhnya. Napas Naruto tercekat tak dapat berteriak. Darahnya seakan membeku seketika itu juga.
.
.
.
Sudah beberapa hari Kushina mengalami sakit parah. Ia mengalami penyusutan berat badan yang berlebih, kulitnya memucat, matanya mencekung. Kondisi tubuhnya terus memburuk, melemah setiap hari berganti.
Sesekali, pupil matanya tergulir keatas hingga memutih, diikuti dengan tubuhnya yang kejang-kejang. Gejala yang begitu aneh. Nagato, paman dari Naruto begitu panik. Ia tidak tahu penyakit apa yang menyerang kakaknya itu, baru pertama kali ini terjadi.
Dari pintu kamar yang setengah terbuka, Naruto kecil memperhatikan serius paman dan kakeknya sedang mengecek kondisi ibunya.
"Apa yang terjadi padanya, Otousan!" tanya Nagato panik, kakaknya terkujur diatas futon tanpa daya, "tolonglah dia, Otousan! Kumohon," erangnya frustasi.
Tazuna mengecek bekas luka aneh yang tercipta dilengan Kushina. Dua titik kecil yang diduga adalah bekas luka gigitan binatang semacam ular, dan otot-otot tangan yang terlihat transparan saling mengencang. Tapi Tazuna yakin, ini bukanlah luka akibat gigitan ular ataupun hewan buas lainnya.
"Aku belum pernah melihat yang seperti ini," ucap pelan Tazuna, "mari kita bicara diluar," Tazuna menepuk pundak Nagato sebelum akhirnya melangkah keluar kamar diikuti Nagato dibelakangnya melewati Naruto yang masih terdiam disamping pintu.
"Naruto-kun ...," panggil ibunya, "kemarilah, dan berbaringlah disamping Okaasan," pinta Kushina lemah, menepuk-nepuk pelan sebelah tempat tidurnya. Senyum hangat ia tunjukan diwajah pucatnya, berusaha menyampaikan pada anaknya bahwa dirinya tidak apa-apa tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Naruto menuruti ibunya, dibalasnya sosok ibunya itu dengan senyum rubah miliknya. Sementara, pintu ditutup dari luar oleh Nagato. Tepat dibalik pintu kayu itu, Tazuna mulai berbicara dengan nada sepelan mungkin, namun samar-samar masih dapat terdengar dari dalam.
"Otousan tidak pernah mengetahui penyakit seperti ini sebelumnya," tutur Tazuna lemah. Mungkin ini adalah kata-kata terberat yang pernah ia ucapkan selama hidupnya, seperti ditindih beban berkilo-kilo, "maaf, Otousan tidak bisa berbuat apa-apa terhadap apa yang menimpa Kushina-chan, Nagato-kun," lanjutnya dengan lirih.
Naruto berbaring disamping ibunya. Dapat ia rasakan ibunya mencium pucuk kepalanya dan membelainya dengan lembut, penuh akan kasih sayang.
"Ini adalah puisi yang aku buat, Okaasan," Naruto menunjukan buku jurnalnya dimuka.
"Maafkan Okaasan. Kau pasti menunggu lama hingga bisa memberikannya kepada Okaasan, Naruto-kun?" kata Kushina pelan.
"Tidak apa. Setidaknya aku punya banyak waktu hingga Okaasan sembuh untuk mengubah bait yang buruk. Dan mungkin aku akan membuat banyak ... sekali puisi agar Okaasan lekas sembuh."
"Benarkah?" Kushina mengelus pelan rambut pirang Naruto kembali, sedangkan Naruto hanya tersenyum kecil.
"Okaasan sangat bangga padamu, Naruto-kun," puji Kushina dengan wajah sumringah, karena ini adalah puisi pertama anaknya. Ia tidak ingin mengecewakan Naruto dengan terlihat lemah dimata biru itu.
"Hmm," angguk kecil Naruto, "apakah Okaasan mau membacanya bersama?"
"Tentu."
Dengan pelan, Naruto dan Kushina mulai membaca bersama, deretan tulisan tangan kecil-kecil dan rapi seperti dicetak. Keduanya membaca bait demi bait seksama.
Kubiarkan ombak mengusap
Kedua kakiku seperti menari-nari
Dalam buaian keriaan kalbumu
Kupandang jauh
...
Jauh di ufuk kebiruan berpadu
Yang menyatukan langit dan laut
Namun waktupun sekejap berlalu
Beranjak dari pesona
Belum usai bait kedua, suara ibunya berhenti mengikuti, tertinggal akan suaranya. Merasa dirinya membaca sendiri dan tak mendengar suara ibunya disebelahnya lagi, Narutopun memanggil-manggil ibunya.
"Okaasan?" panggil Naruto pelan, dengan mata masih menekuni jurnalnya.
"Okaasan?" panggilnya lagi. Tapi tetap tak ada tanggapan dari sosok disebelahnya.
Dan akhirnya ia menengoki wajah ibunya, "O-kaa-san? ... "
Di mata birunya, Ibunya hanya terdiam seperti patung. Mata keunguan yang meredup itu masih terbuka, tapi sudah tidak ada cahaya disana. Kosong. Hanya kehampaan. Dan dengan perasan pilu, akhirnya Naruto dipaksa percaya akan kenyataan.
Ibunya baru saja pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
.
.
.
Kini hanya mereka berdua ditemani embusan angin dan gemerisik ranting pepohonan. Dari tempat Naruto dan Nagato berdiri sekarang, kebisingan suasana pedesaan hanya terdengar sayup-sayup. Sesekali, kupu-kupu berseliweran, mengepakan dua pasang sayapnya kesana-kemari, lalu hinggap diatas nisan kayu yang terpancang dihadapannya.
Ibunya beristirahat disana. Sebuah makam seadanya. Yang tersisa hanya kenangan suaranya yang merdu, rambut merah panjangnya yang indah, langkahnya yang anggun, senyumnya yang manis, sinar keungan matanya yang cerah. Semuanya berputar bagaikan film dalam kepala Naruto. Terlukis permanen di kanfas hati Nagato.
Sosok itu amat berarti baginya. Memiliki hati tak pernah membenci, senyuman yang tak pernah menyakiti, dan kasih sayang yang tak pernah berakhir. Ibunya merupakan kreasi sempurna dari tuhan yang dikirim untuknya.
Ditemani kabut tipis dan puluhan patok kayu yang tersebar disekelilingnya, Naruto hanya dapat terdiam pilu, saat ini hatinyalah yang berbicara. Perasaanya seperti teraduk-aduk. Menatap gundukan tanah tempat tinggal terakhir ibunya.
'Okaasan pernah bercerita padaku, bahwa aku tidak menangis saat aku lahir. Aku hanya membuka mata. Menatap wajahnya yang tersenyum dan tersenyum kembali.'
'Tapi kini ... cahaya hidupku telah hilang. Dan tak akan pernah kembali. Apakah aku masih dapat tersenyum?'
Kupu-kupu cantik berwarna putih bersih yang sejak tadi senantiasa hinggap dinisan ibunya kini telah terbang. Menjelajah luasnya sang angkasa. Naruto sudah menjelaskan kejadian malam itu pada pamannya. Malam yang tadinya ia pikir hanyalah sebuah mimpi, sebuah bunga tidur terburuk dan tak pernah ia anggap sebagai kenyataan.
Namun kini terbantahkan sudah, setelah ia merangkai satu persatu susunan pazzle yang ia dapat. Dimulai dari pembangunan jembatan hingga malam itu. Dengan urut ia menjelaskan apa yang ia lihat, tanpa terlewat, satu demi satu.
Hingga tibalah saat ibunya menjadi korban. Korban kelicikan seseorang yang membalaskan dendam kepada kakeknya. Setidaknya yang ia dapat simpulkan seperti itu.
Dengan bibir yang bergetar, Naruto membuka suara, "aku tidak tahu bagaimana dia melakukannya ..."
Dengan cara apa ibunya diibunuh? Dititik itu Naruto sungguh tidak tahu. Yang ia tahu hanya satu. Sosok laki-laki malam itu, wajah pucat itu, mata hitam pekat itu. Meski penerangan saat itu begitu minim, tapi Naruto dapat mengenalinya, wajah seseorang yang begitu ia benci dan selamanya tak akan mungkin terhapus diingatannya.
Danzo Shimura, pelaku pembunuh ibunya.
"Naruto!" potong Nagato cepat. Menatap lekat keponakannya yang sudah ia anggap anaknya sendiri, dengan mata berkilat nampak tak tenang. Membuang puntung rokok yang sesaat ia hisap, "berjanjilah ... Berjanjilah kepadaku kau tidak akan pergi melakukan hal-hal bodoh," timpal Nagato dengan suara berat.
Naruto sempat terkesiap sesaat, akan kata-kata pamannya. Ia tahu maksudnya. Tapi kenapa? Kenapa ia tidak boleh mengadili orang yang telah membunuh ibunya? Kenapa ia tak boleh melakukan hal yang sama seperti apa yang telah dilakukan Danzo Shimura? Tak bolehkah ada pembalasan untuk kematian ibunya?
Ia hanya tertunduk, memendam emosinya. Ia tidak bisa apa-apa. Perintah pamannya adalah mutlak. Dan ... diatas semua itu, ia hanyalah seorang anak kecil yang baru genap sembilan tahun.
FLASHBACK END.
.
.
.
TO BE CONTINUE.
Sebenarnya chapter 1 panjang banget tapi akhirnya saya potong hingga flashback selesai. Saya akan memberitahukan bahwa latar di fic ini adalah jepang modern. Dan sudah pasti banyak perbedaan di fic ini, seperti Tazuna menjadi kakek Naruto dan juga Nagato menjadi paman Naruto.
Terimakasih.
