Hai Minna-san. Aftu-kun kembali lagi. Dengan cerita yang baru lagi.
Di fanfic kali ini ada beberapa informasi yang harus kalian tau, diantaranya :
Naruto mempunyai kakak bernama Namikaze Yahiko
Naruto lebih suka diam, tidak hyperaktif seperti di cannon
Disini memakai latar seolah Konoha School ; Konoha Junior School dan Konoha High School.
Naruto dan Yahiko mempunyai selisih umur tiga tahun.
Naruto mempunyai tiga sahabat ; Kiba, Gaara, Menma
Menma mempunyai mata berwarna biru berambut hitam
Jika di awal suatu/diatas suatu paragraph tidak ada keterangan sudut pandangnya, bererti itu Naruto PoV.
~o0o~
Judul : Akai Domu no Shita de
Genre : Fantasy
Rate : K+
Pengarang : M Khoirul Faizin a.k.a aftu-kun
Disclaimer : Semua char yang disini bukanlah milik saya. Tapi, milik Masahi Kishimoto. Dan cerita ini asli buatan saya tanpa ada unsur copas.
Summary : ' Ini adalah awal dari semua masalah.| Seorang remaja terlihat mengambang di udara, tepat di tengah danau. Ia tak memakai baju, hanya celana panjang yang setia membalutnya. Rambut hitam dan panjangnya berkibar-kibar. Terlihat garis di wajahnya. Ia terlihat kesakitan. "AAARRRGGGGHHH", teriakan itu terdengar lagi, dan itu berasal dari remaja di tengah danau itu.| New Fantasy Fanfic.'
~o0o~
Perkenalkan, namaku Namikaze Naruto. Biasa di panggil Naruto. Aku tumbuh di keluarga yang sederhana. Ayah dan Ibuku sekarang berada di luar negeri. Mereka bilang ada urusan bisnis. Aku berusaha memaklumi kedua orang tuaku dan kesibukannya. Mungkin kalimatku terdengar bijaksana dan rela, tapi, mau bagaimana lagi, itulah pekerjaan mereka. Dulu, waktu aku masih kelas 3 aku pernah bertanya kepada ayah, kenapa kalian selalu pergi dan tek pernah mau menemaniku. Mereka menjawab bahwa mereka sedang mencari uang untuk kebutuhanku dan kakakku.
Setiap hari aku bersama kakakku. Ia seperti kakak pada umumnya, baik, selalu melindungi adiknya, dan terakhir pengertian. Satiap hari aku bertanya pada kakakku, kapan ayah pulang. Tapi, kakak hanya bisa mengalihkan arah pembicaraan. Dan pada saat kecil itu aku mulai belajar memaklumi. Aku juga merasakan bahwa kakakku kesepian. Dan saat aku menginjak umur dua belas, barulah aku mengarti, dan tak pernah bertanya lagi tentang kedua orang tua ku.
Saat ini aku sedang berada di kamar asrama ku. Kamar ini mempunyai empat penghuni termasuk juga aku. Mereka bertiga adalah teman dekatku. Saat pertama kali aku masuk di asrama merekalah yang mau menerimaku apa adanya. Aku hanyalah seorang siswa yang tak pintar. Dan mempunya keluarga –yang menurutku- dengan ikatan renggang.
Aku sekolah di Konoha Junior School. Sekolah menengah impian para murid di negara Konoha. Hanya siswa terpilih yang bisa masuk. Dan entah kenapa aku bisa lulus tes masuk. Semua murid yang sudah resmi menjadi siswa Konoha Junior School diberi pilihan untuk menitipkan anak mereka di asrama Konoha School. Dan kebanyakan para orang tua mengambil pilihan untuk menitipkan anak mereka.
Aku duduk menghadap meja dan lampu kecil dengan cahaya untuk menerangi buku PR ku. Dua jam sudah terlewat dari jam tamabahan –jam belajar bersama-. Para siswa asrama Konoha School berkeliaran di teras dan taman. Mereka menghabiskan malam minggu mereka dengan bersenda gurau bersama teman mereka. Berbeda denganku, menatap buku PR menyebalkan yang jika tidak selesai akan mendapat hukuman.
Ketiga temanku sedang berada di depan kamar asrama kami. Mereka berencana membuat sebuah proyek –entah apa aku tak tau dan tak peduli-. Dan aku tak bisa mengikutinya karena mempunyai kesibukan tersendiri. Mereka juga sudah mengetahui aku mempunyai PR. Apa? Kalian berpikir mereka tidak setia kawan? Tidak, tidak, tidak. Jangan berperasangka buruk pada mereka. Sebenarnya Menma –salah satu dari ketiga teman dekatku- sudah menawarkan buku tugasnya untuk kupinjam. Tapi aku menolaknya. Aku mengatakan aku tak butuh contekan, yang kubutuhkan hanya paham akan materi yang di ujikan.
Tulisanku sekarang lebih meliuk liuk. Tak bisa lurus seperti dua jam yang lalu. Aku memang memaksakan tubuhku untuk bertahan menghadapi PR matematika ini. Ku lihat jam dinding diatas pintu kamar menunjukkan jam setengah Sembilan. Hah, mungkin cukup untuk hari ini. Kututup buku matematikaku. Alat tulis sudah kumasukkan ke dalam tas. Tas itu ku simpan di dalam lemariku, lemari paling pojok dan paling mengkilat diantara lemari temanku.
Setelah itu aku menghampiri kaca besar dekat dengan jendala yang menghadap taman belakang. kulihat penampilanku sekarang, rambutku acak-acakan dan mataku terlihat sayu. Mungkin aku ingin langsung tidur.
Tapi, saat kulihat bulan purnama membulat penuh, aku membatalakan niat untuk tidur. Semangatku meningkat ketika melihat benda bulat besar yang terang itu. Di bawah siraman bulan purnama para penghuni asrama Konoha School bermain dan saling melempar senyum. Segera aku merapikan rambutku. Rambut pirang ini mengingatkan ku pada ayah. Aku melihat bayanganku dengan tenang. "Haah" aku menghela nafas. Mencoba menghilangkan rasa kangenku pada ayah.
Setelah berkaca, aku membalikkan badan dan pergi menuju depan kamar asrama ku. Kamar asramaku memang terbilang strategis. Kamarku berada di lantai dua. Menghadap timur dan tepat berada di depan kolam ikan asrma ku. Saat aku diluar, aku melihat kolam ikan itu. Kulihat pantulan bulan purnama tepat berada di tengah kolam.
Aku menoleh ke kiri bawah dan menemukan ketiga temanku sedang berkutik dengan laptop milikku.
"Hei! Apa yang kalian lakukan pada laptopku?!" aku langsung menjerit kaget kepada mereka bertiga.
"Tenanglah Naruto, aku hanya meminjamnya untuk browsing. Laptop kami bertiga batreinya sudah habis. Lihat saja di dalam kamar" ucap Menma dengan senyumnya. Aku melongok kedalam kamar, kulihat stopkontak hampir penuh untuk men-charge laptop mereka bertiga. Aku memijat keningku.
"Karena aku melihat laptopmu nganggur, kami pakai saja untuk browsing, dari pada mubazir" lanjutnya dengan senyum tanpa dosa. Aku hanya bisa pasrah laptop ku di Sandra mereka bertiga. Mungkin itu bisa membuat mereka senang. Dari pada aku kelantungan tak punya kerjaan, lebih baik aku duduk bersama mereka bertiga. "Bisa berbagi" pintaku dengan memelas. Gaara–sang pemegang laptop- menurunkan laptopku dari pengkuannya ke lantai, agar aku bisa melihat apa yang mereka buka.
"Oi, Gaara, rencana apa yang kalian buat untuk besok?" aku bertanya sambil terus menatap laptopku. Gaara menoleh kepadaku, kemudian kembali menatap benda sakral di depan kami berempat, "Rencananya besok kita akan menguntit kakak kelas kita" nada bicara Gaara semakin pelan. Aku menaikkan alis mataku, "Siapa dia?" tanyaku penasaran.
"Itachi-senpai" bisiknya.
"Hah, Itachi-senpai!" aku berteriak tak percaya. Tangan Menma dengan cepat menutup mulutku,"Jangan keras-keras, nanti ada yang curiga". Kiba menatapku tajam. Hawa tidak enak mengerumuni tubuhku. "Kau bisa menggagalkan rencana kita" lanjut Kiba menatapku tajam dengan mata cokltanya yang mengkilap bagai pisau.
Aku penasaran kenapa mereka bertiga memilih untuk menguntit Itachi-senpai. Bukankah itu sama saja cari mati. Itachi-senpai mempunyai banyak pengikut gila. Aku tak mau berurusan dengan mereka.
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Kami bertiga sudah punya renca hebat."ucap Menma sambil menyikut bahuku. Kulihat mereka bertiga sedang mencari artikel trik-trik untuk menguntit. Artikel macam apa itu. Tak ada gunanya sekali.
Saat ini aku malah bingung. Kenapa mereka ingin mengetahui tentang rahasia Itachi-senpai. Aku juga berpikir, rahasia apa yang ingin mereka ketahui. Tapi jika aku berpikir lebih teliti lagi, memang banyak misteri dari kehidupan Itachi-senpai.
Aku ingat pertama kali aku masuk ke Konoha School dulu ada seorang gadis yang tercebur ke danau –berada di belakang sekolah kami, bertepatan dengan MOS-. Ia langsung menceburkan diri dan mencoba menyelamatkan gadis itu. Beberapa menit ia tak kunjung muncul ke permukaan. Semua orang di situ mulai khawatir. Sudah ada anak yang pergi untuk memanggilkan guru olah raga di sekolah.
Sebelum siswa yang lari tadi datang dengan guru olah raga, Itachi-senpai sudah kembali ke permukaan dengan gadis yang tercebur di kedua tangannya. Ia membawa gadis itu ke tepi danau dengan gaya bridal style.
Yang aneh dari kejadian itu adalah, bagaimana bisa seorang manusia bisa menahan nafasnya selam lima menit lebih. Itu tak mungkin dilakukan manusia biasa, atau mungkin Itachi-senpai bukan manusia. Aku bergidik ngeri membayangkan Itachi-senpai adalah seorang alien.
Kiba dengan senyum jahilnya mendatangiku. Ia pindah tempat dari samping kiri Gaara menuju samping kananku. "Aku tau kau pasti takut di keroyok fans-nya kan" tawanya meledak sambil berguling guling dilantai. Mungkin aku harus pura-pura ketakutan seperti apa yang ia katakan, takut dengan fansgirl Itachi-senpai.
Kurang labih satu jam kami berada di depan asrama kami,. "Ini sudah waktunya untuk tidur, kita butuh energy lebih untuk rencana besok" Gaara mematikan laptopku dan membawanya masuk. Dari dalam terdengar suara Gaara, "Kiba, bawa tas laptop Naruto kemari. Kau juga ikut meminjam laptop Naruto, kan. Jadi cepatlah, aku mau men-charge laptop yang sudah sekarat ini". Dijawab dengan gerutuan panjang oleh sang pemilik mata coklat, "Huh, kenapa tidak kau saja. Kau sengaja menghindar dari tanggung jawabmu". Meski Kiba menggerutu tapi ia tetap membawa tas leptopku. Aku dan Menma tertawa kecil mendengar cekcok kedua temanku itu.
"Ayo Menma kita masuk. Udara semakin dingin. Kau mau membeku diluar" aku masuk ke dalam kamar dan Menma menyusul di belakangku. Didalam kamar ini terdapat empat tempat tidur yang berjajar rapi.
Di dalam sini lebih hangat dari pada diluar. Pintu sudah kututup. Kulihat jam sudah menunjuk angka sepuluh. Gaara sudah bersiap tidur dan mengistirahatkan tubuhnya. Menma masih berada di kamar mandi melakukan ritual sebelum tidur. Setelahnya kaluar aku juga melakukan ritual –gosok gigi, cuci muka dan cuci kaki- itu.
Dalam beberapa menit semua temanku sudah tidur kecuali Menma. Kebetulan tempat tidurku berada di pojok kamar dan berhadapan dengan tempat tidur Menma. Aku merebahkan tubuhku dan menyelimutinya dengan kai tebal. Aku menoleh ke kanan, menemukan Menma sedang mamainkan HPnya.
"Menma, Kau tidak tidur?" ucapku sepelan mungkin agar tidak membangunkan Kiba dan Gaara. Menma menolehkan kepalanya ke arahku, "Sebentar lagi", ucapnya tak kalah lirih. Tangannnya terus menyentuh HP modern itu. "Kau tidurlah dulu, nanti aku juga akan tidur" perintahnya padaku. Hah, mungkin Menma benar aku harus segera tidur. Daripada aku besok kesiangan. Pelan tapi pasti mataku memburam. Dan aku mulai menapak dunia impian.
^_^ Point of View ^_^
Aku terbangun dari tidurku karena ada yang menyengat mataku. Yah, sorotan cahaya tepat ditujukan pada mataku. Refelek aku menutup mata menggunakan telapak tangan. Tapi, cahaya itu tak kunjung reda. "Bisakah kau mematikan cahaya itu, itu membuat mataku sakit," pintaku sambil terus menyipitkan mata.
Cahaya putih terang itu sudah mati. Tapi kemudian digantikan dengan cahaya kuning di tengah kamar, lampu tidur Gaara menyala. Kulihat Gaara, Kiba dan Menma sudah duduk dengan tegak di kasur Gaara. Wajah mereka bersemangat sekali. Aku kagum dengan semangat mereka.
Eh, tunggu,tunggu. Kenapa mereka bersemangat. Apa yang membuat mereka mempunyai semangat yang menggelora itu. Tak biasanya mereka berapi api. Dan satu lagi, ini masih jam dua pagi.
"Kenapa kalian bangun pagi-pagi sekarang?" tanyaku, kemudian menguap lebar. Mulutku ku tutup dengan tangan kiriku. "Bisa kalian jelaskan ada apa?," Gaara kembali berkutik dengan laptopnya –sebelumnya ia serius dengan benda elektronik itu-.
Kiba menyalakan senter yang ia bawa, jadi dia yang menyorotku dengan cahaya silau menyakitkan mata. Karena Kiba tau dari tadi aku memperhatikan senter yang ia bawa, ia meringis lebar, "Hehehe, maaf membuatmu terbangun." Wajah tanpa rasa bersalahnya membuatku kesal. Aku cemberut. "Yah, cara membangunkanku tadi sangat efektif membuat orang sakit mata." Kulihat Menma juga sibuk dengan ponselnya.
"Naruto cepat pergi ke kamar mandi dan cuci muka. Setelah ini kita akan melakukan rencana yang sudah kita diskusikan semalam. Kalau perlu gosok gigimu. Sebab jika tidak kau akan membuat teman-temanmu pingsan, cepat pergi sana!" Gaara member perintah seperti dia ibuku saja. Suaranya terdengar datar dan ia tak menoleh sedikitpun dari laptopnya.
Dengan malas aku masuk ke kamar mandi satu-satunya di kamar asramaku. Kulakukan asemua apa yang di sarankan oleh Gaara. Tapi, ini semua juga bukan kerena Gaara jug sih. Tanpa disuruh aku juga akan membersihkan diri. Memangnya aku siapa ? anak kecil, huh.
Setelah keluar aku menghampiri handuk di gantungan pintu. Kubersihkan semua air yang masih menempel di muka.
"Kita akan kemana taman-teman?" tanyaku untuk kedua kalinya. Meski kalimat ini berbeda dari sebelumnya tapi initnya sama, kemana mereka akan membawaku. Sambil bertanya aku merapikan tempat tidurku. Saat ku toleh Gaara sudah memasukkan laptopnya.
Angin malam masuk melalui ventilasi. Membuatku menarik selimut dan membungkus tubuhku rapat-rapat. "Naruto-kun, dari pada kamu membungkus badanmu dengan selimut, lebih baik kamu memakai jaket atau sweater. Itu akan memudahkan kita dalam menjalankan rencana" Menma mentapku dengan senyuman seperti biasa.
Mata biru Menma terlihat sayu. Mungkin ini terlalu pagi untuknya bangun. Lagi pula, di kelompok kami yang paling muda adalah Menma. Jadi wajar saja mata Menma masih belum puas dengan istirahat tak sampai semalam.
"OK, aku akan mengambilnya" aku berjalan kea rah lemariku. Megambil jaket kesayanganku. Pemberian dari ayah. Jaket itu mempunya warna putih dan jilatanapi di bagian bawahnya. Melambangkan semangat api yang selalu hidup dan membara. Aku ingat perkataan ayah tentang jaket ini, "Api yang terdapat pada jeket ini melambangkan semangat yang membara. Karena jika diartikan Konoha berarti Negara api," ayahku saat itu sedang menggendongku di pundak. "Jadilah anak yang penuh semangat, dan tak perduli seberapa bodoh dirimu, jagalah temanmu." Ucapnya sambil menurunkanku dari pundaknya. Saat-saat yang indah.
Aku kembali ke tempat tidurku sambil memakai jaketku. Saat aku meraba jaketku terdapat sebuah benda berukuran kecil, seperti kertas tapi lebih kaku. Kuputskan untuk mengambilnya dari saku. Dan sebuah kejutan saat aku melihatnya, di kertas itu- atau yang lebih tepatnya foto- terlihat ayah, ibu dan kakakku –Namikaze Arashi- sedang berdiri, kecuali aku yang sedang berada di pundak ayah. Aku ingat, ini foto ketika Ara-nii memenangkan sebuah kejuaraan lari di Kiri Gakure.
"Apa yang kau bawa Naruto?" suara Menma menyadarkanku dari nostalgia lama. Aku cepat-cepat ke tempat tidur. Duduk di atasnya dan mengamati foto itu.
Saat aku masih mengingat apa saja yang kami -aku,ayah, ibu dan Ara-nii- lakukan setelah berfoto. Tiba-tiba Menma duduk di sebelahku. "Naruto?" Menma lagi-lagi menyadarkanku. Aku gerogi karena daritadi tak menghiraukan panggilannya, "Oh,A, apa Menma? Bisa kau ulangi." Aku memang dari tadi tak mendengarkan Menma karena asik melihat foto yang kupegang.
"Huh, dari tadi Naruto tidak mendengar, aku menanyakan apa yang di tanganmu, hehehe" ia sudah lebih dulu mengambil foto kenanganku. Aku hanya mendengus sebal. "Kemabalikan Menma, atau kau akan mendapat masalah" aku mendekati Menma dengan senyuman jahil. Menma was-was dengan senyuman aneh terpampang di wajahku.
Sampai di depannya langsung kugelitiki dia. "Hahaha" tawaku menggema dalam ruangan. Menma hanya bisa melindungi pinggangnya. Reflek tangannya melepaskan foto kenanganku. Dapat. Foto itu sudah berada di tanganku. Aku sudah tidak menggelitiki Menma. Ia sudah bangun dari posisi sebelumnya, kemudian duduk di sebelahku.
"Oh, itu keluargamu. Kau begitu mirip dengan ayamu Naruto. Berambut kuning cerah dan bermata biru. Dan siapa itu yang berambut merah? Ibumu?" Menma memberiku segerobak pertanyyan.
Aku tersenyum mendengarnya. "Ya, yang berambut merah itu kaa-san ku. Dan yang berambut kuning itu tou-san ku. Kau sudah tau kan siapa anak kecil didekat ayahku?" aku menunjuk foto Ara-nii, anak kecil berambut hitam menggunakan jaket merah. Mata Naruto-nii sama dengan mata Tou-san.
Kami berdua-Menma dan aku- semakin lengket ketika membahas keluargaku. "Aku tau siapa dia. Kakak tercinta yang selalu mengawasimu diamana dan kapan saja. Aku paham betul dengan sifatnya, hyperaktif, ceria, overprotective terhadap adiknya." Menma melempar senyum meledek kepadaku.
"Tapi, sekarang aku tak pernah menemui mereka. Alasan mereka tetaplah sama, sibuk. Apa sih pekerjaan mereka. Sampai tega-teganya meninggalkan anaknya kesepian. Huh" aku menumpahkan segala unuek-unekku pada Menma. Hanya padanya aku nyaman untuk curhat.
Menma menghela nafas berat. Kemudian menatapku dengan mata birunya yang dalam, "Naruto, kau harus bersyukur masih punya orang tua. Di luar sana masih banyak anak gelandangan yang tidak punya orang tua untuk menopang kehidupan mereka. Jadilah anak yang taat dan selalu membahagiakan mereka berdua. "
Aku kemudian diam dan menunduk, Menma benar. Masih banyak di luar sana anak yang tidak punya orang tua. Mereka harus berjuang tanpa kasih sayang orang tua. Tiada tempat untuk bergantung.
"Gomen-nee, aku bukan bermaksud untuk menggurui. Maafkan aku jika aku menyakiti hatimu dan membuiatmu marah. Gomen-nee, gomen." Menma menunduk ke arahku . aku langsung kaget dan menegakkan badannya yang menunduk.
Aku menatap sapphire itu. Begitu dalam dan menenangkan. "Tidak Menma, tidak. Aku tidak marah kok. Aku hanya meresapi apa yang kau ucapkan barusan. Terima kasih sudah mengingatkanku" aku tersunyum setulus mungkin unutuknya.
Gaara berdiri dari ranjangnya, "Kalian bertiga sudah siap?." Ia membawa ponselnya di saku dan tas selempang kecil di pakai menyamping, "Oi, Kiba, jangan tidur lagi. Kau nau rencana ini ditunda." Kiba langsung bangun tergopoh-gopoh bagai tersengat listrik. Pantas saja ruangan ini damai dan tentram, ternyata si pembuat masalah sedang tidur.
"Ayo kita berangkat" Gaara memimpin di depan, dan kami bertia mengekor di belakangnya. Kami keluar dari kamar asrama dengan mengendap-endap. Semua lampu kamar mati, karena sedangtidak di pakai.
Asrama untuk Junior School mempunyai denah membentuk huruf 'U'. Karena letak kamar kami berada di arah barat laut, paling pojok. kami harus melewati setengah wilayah asrama. itu tak masalah menurutku. Tapi, nanti saat harus melewati pos jaga, kami harus berhati-hati sekali, jika tidak harga diri taruhannya.
Fyuh, kami sudah melewati pos jaga tanpa ketahuan. Tapi saat Kiba tak sengaja menginjak ranting di depannya, terdengar teriakan lantang, "Siapa disana?" Jantungku berpacu lebih cepat. Padahal sudah jauh-jauh begini, masa' sia-sia. "Bagaimana ini?" aku menyenggol punggung Gaara. Kebetulan sekarang kami berada di semak bagian luar asrama. kami berempat membungkuk di rimbunnya rumput.
Darahku semakin terpacu ketika mendengar suara langkah kaki. Beberapa tetes keringat jatuh dari pelipis. Aku merasa kepanasan karena darah yang melaju lebih cepat. Angin malam menerap tubuhku, membuatku semakin panic. Oh, Kami-sama biarkan kami selamat dari tangan-tangan satpam yang jahat-menurutku-.
Aku melihat ke belakang. Menma dan Kiba terlihat tenang-tenang saja. Aku tahu alas an kenapa ketiga temanku tidak takut. Gaara mempunyai strategi-strategi cemerlang, mungkin ia sedang menysunnya sekarang. Kiba tidak panic karena ia sudah biasa terkena kasus –baik itu menyangkut kami ataupun tidak-. Kalau Menma, kupikir ia tidak mengetahui situasi. Eh, sudahlah, aku pasrah jika tertangkap. Apapun hukumannya.
Gaara menoleh ke arahku, kulihat segaris senyuman di wajahnya. Jarang sekali ia tersenyum. Sebagian wajahnya tidak menerima cahaya, jadi terlihat setengah bercahaya dan setengah tidak terlihat karena gelap. Dengan senyumannya yang jarang kulihat itu membuatku bergidik ngeri. Seperti psycho mencari mangsanya. Hiii. "Tutup mata kalian bertiga" perintah nya langsung kami turuti. Mungkin dengan menutup mata pak satpam tak akan melihat kami ber-empat.
Beberapa detik kemudian tak ada suara secuil-pun. "Sekarang buka mata kalian" Suara Gaara kembali terdengar, kami berempat membuka mata kami. "Ayo kita lanjutkan perjalanan kita" Gaara langsung maju kedepan tanpa merunduk. Tapi tangannnya sudah ku pegang terlebih dahulu, "Bagaiman dengan satpam itu?" tanyaku harap-harap cemas. Berharap agar ia tak mengejar kita. Dan cemas karena takut di tangkap oleh pak satpam.
"Dia sudah tak berdaya sekarang, ayo cepat keluar. " ia berbicara sambil sesekali melihat ponselnya. Aku mencoba berdiri, dan benar tidak ada satpam jelek itu lagi, syukurlah. Tapi, kemana ia pergi. Saat aku keluar dari semak kulihat satpam itu sedang tertidur di teras pos jaga. Tapi ada perbedaan meencolok di tubuhnya, kecuali, ia terlihat lebih gelap dan rambut yang lurus ke atas, biasa di sebut jabrik. Aneh.
Kami-pun melanjutkan perjalanan ke asrama Senior.
^_^ Point of View ^_^
Kami sekarang berada di depan asrama Konoha School bagian kelas senior. Di depan aku bisa melihat gelap mendominasi bangunan di depanku. Beberapa lampu masih menyala, tapi hanya di ruangan satpam saja.
Kami berempat memanjat tembok belakang. Memanjat tembok tinggi secara bergantian. Dan Kiba-orang yang paling akhir memanjat- kutarik naik ke atas tembok. Dan kami turun bersamaan tanpa bersuara. Kami berjalan mengendap-endap tanpa suara mengitari asrama. dan tak juga menemukan Itachi-senpai.
"Hei,bagaimana ini? Apa rencana kita gagal?" Kiba dengan berbisik mendekati Gaara. Garaa berpikir sejenak, "Tunggu, jika Itachi-senpai tidak asrama, dimana ia sekarang?" Gaara memegang dagunya sambil berjalan bolak balik.
Ku rapatkan jeketku kerena angin semakin kencang, memaksa untuk masuk. Aku menyatukan kedua telapak tanganku dan meniupkan nafasku. "Jadi, sekarang kita keman?" tanyaku sebelum badan ini membeku kaku.
Kami ber-empat berpikir sejenak. Memikirkan apa yang akan kami lakukan pagi-pagi begini di asrama senior. Atau kami harus kembali ke asrama kami dan berlindung di balik selimut. Aku ingin mengajukan ideku yang terakhir …
"AAARRRGGGHHH"
Aku tersentak kaget. "Suara siapa itu tadi?", tanyaku pada ketiga temanku. Aku mendengarnya seperti suara kesakitan.
Gaara melihat kepadaku, "Mungkin ada diluar area asrama," kami berempat mengangguk. Kira-kira apa yang ada di luar sana. Aku jadi penasaran. Kulihat Gaara mengeluarkan ponselnya. Kiba masih diam mendengarkan suara menakutkan itu dengan seksama.
Kami ber-empat memutuskan untuk keluar dari asrama senior. Memajat tembok pagar untuk kedua kalinya.
Saat kami keluar suara itu tiba-tiba menghilang. Jeritan menakutkan itu telah hilang bagai di telan angin. Apakah itu hantu. Alien. Atau semacamnya. Entahlah tapi aku ingin segera kembali kedalam kamarku yang nyaman.
Gaara diam di tempat ia turun dari tembok asrama. Ia menduduk dengan khusyu'. Apa yang ia pikirkan sekarang. Memang sih Gaara orang yang pendiam, tapi, kenapa pada saat sekarang ini. Di temapat yang gelap, penuh dengan aura mencekam dan hanya ber-empat.
"Gaara, apa yang kau lakukan. Ayo sekarang kita pulang," segera kuhampiri Gaara, kugenggam tangannya, dingin sekali. Gaara mengangkat kepalanya, kulihat matanya yang hijau bulat menjadi mata hijau dengan bentuk segi delapan yang setiap sisinya seperti hologram. "Aku merasakan sesuatu yang berbahaya di dekat sini. Ayo kita selidiki, mungkin masih ada hubungannya dengan Itachi-senpai yang tidak kita temukan di asramanya," kemudian Gaara berlari kea rah hutan belakang sekolah.
"Ayo kita ikuti Gaara" Menma juga menyusul, Kiba di belakangnya, "Kau takut?" ucap Kiba sambil menoleh padaku. Sebenarnya aku takut, tapi, dari pada aku disini sendirian mending aku ikut mereka. Kakiku menuntun kea rah hutan belakang sekolah.
Meski aku tak bisa melihat jalan, aku bisa mendengar langkah Kiba di depanku. Aku juga tak khwatir dengan jalannya karena di bawah kakiku sudahada jalan setapak yang membawaku ke danau sekolah. Beberapa ranting terinjak oleh kakiku. Seolah-olah tulang kakiku patah sedikit demi sedikit.
Sambil tersu berlari aku melihat ke atas. Bintang bersinar seperti biasa. Bulan juga turut di tengah-tengah mereka. Apakah aku bisa mendapatkan satu bintang saja dari langit. Sambil duduk santai di pelukan bulan. Terus bernyanyi dan merasakan dekapan hangat dari sang bulan. Ah, itu hanya khayalan yang tak mungkin ku capai.
Tapi, jika aku boleh berharap, aku ingin berkumpul lagi dengan keluarga ku. Merasakan elusan dari ibu dan gendongan ayah, meski aku sudah sebesar ini.
"Hei Naruto, jangan melamun. Kita sudah sampai" Kiba mendekapku, seketika itu aku berhenti berlari. Gaara dan Menma berhenti berlari. Mereka berdua bersembunyi di balik semak dan pohon. Aku dan Kiba mengikuti mereka. Semak yang berada di depan kami adalah semak terakhir dari hutan belakang sekolah kami. Beberapa meter di depan ku terdapat perairan yang sangat luas. Biasa di gunakan para siswa Konoha School untuk melakukan olahraga air.
"Gaara ada apa?" tanyaku penasaran, aku menarik bajunya. Ia tak merespon sama sekali. Ia hanya menatap lurus ke depan. Tepat ke tengah danau. Ku kira yang mereka lihat adalah alien atau apalah. Tapi yang kutemukan lebih mengerikan dari itu.
Seorang remaja terlihat mengambang di udara, tepat di tengah danau. Ia tak memakai baju, hanya celana panjang yang setia membalutnya. Rambut hitam dan panjangnya berkibar-kibar. Terlihat garis di wajahnya. Ia terlihat kesakitan. "AAARRRGGGGHHH", teriakan itu terdengar lagi, dan itu berasal dari remaja di tengah danau itu.
Aku mencoba melihat lebih jeli lagi. Berembut panjang, kerutan di wajah. Eh, bukankah itu Itachi-senpai?
~Discontinue~
Nantikan chap selanjutnya. Mungkin chap selanjutnya akan saya bikin lebih panjang dari ini. Semoga saja bisa.
Dan terakhir saya, minta saran atas fanfic saya. Saya perbolehkan flame, tapi yang sesuai dengan isi ataupun badan cerita.
Saya berharap betul akan revew kalian.
Bye
Aftu-kun
Log-out
