Nash menggeram jengkel. Penasaran, siapa gerangan monyet tidak berguna yang berani membangunkan 'The Almighty Nash Gold Jr.' yang aristokrat ini.

Padahal Nash sedang dalam durante bobok ganteng lantaran tepar mengerjakan paper yang masih mangkrak, setengah jadi.

Diangkatnya panggilan jahanam via telepon itu.

Dasar monyet.

"Hell o, siapa sih lu?"

Sebuah Balada

~Antara seorang ayah dan putranya ~

Proud to you by:

emirya sherman

Disclaimer:

I own nothing. Kuroko no Basuke owned by Fujimaki Tadatoshi.

I gain no profit by publishing this story.

This is only a work of fiction. If there any similarities among the names, the places or the plotlines are entirely coincidental.

Warnings:

Out of Character. Typos everywhere. AU.

Selamat membaca

..

"Oh God, tidak bersua selama satu tahun ternyata membuat putraku semakin bermulut sampah seperti ini ya. Ck … ck … ck nanti kumur-kumur sama desinfektan ya nak. Ini ayahmu loh, sewot amat sih."

Sungguh, aku sudah kelewat hafal dengan suara renta dari spekulan paling kontroversional sejagat nyata, ayahku.

Tarik napas panjang, hembuskan. "Ayah … ayah tahu gak, di bumi itu ada sebuah istilah yang namanya perbedaan waktu? Plis deh, disini masih dini hari."

"Masalah gitu buat ayah?"

Masalah buat aku kali.

"Ayah ngapain telepon sih, mau bangun tower baru? menang main poker di Las Vegas? dapat tanda tangannya Madonna? atau mau kawin lagi?"

"Ih, kamu sensi amat sih nak. Ayah mau tanya aja, kapan kamu pulang ke USA. Ayah mau ngadain potong tumpeng(?), soalnya jagoan ayah di pilpres kemarin menang."

Alamak, maksudnya D*nald Teramp kah?

"Tahun depan Yah, aku masih ada perlu di Jepang. Oke?"

"Ngapain sih kamu disana. Dengar ya Junior, waktu adalah uang, buang-buang waktu sama saja dengan buang-buang uang. 'Kan ayah sudah ngajarin kamu dulu."

Di sini aku hanya melongo. Sabar Nash, ayah memang titisan George Soros. Gak heran kalau ayah jadi penggemar berat itu orang.

"Pokoknya besok Thanksgiving, pulang ya. Gak pake protes. Kamu ke Jepang juga cuma ngejar cewek 'kan."

"Hah apaan sih. Siapa yang bilang?"

"Jojo."

Line telepon hening sejenak.

"Bocah gembel macam Jojo aja dipercaya, ayah dikibulin sama dia tahu."

"Well, ayah lebih percaya sama omongan adikmu yang kamu bilang gembel barusan."

"Yah, yang ngejar cewek itu si Jason, aku cuma nemenin dia."

"Sama saja, kamu sama Jason 'kan satu komplotan sejak SMP. Pokoknya sebelum minggu ke-empat November kamu harus pulang. Titik."

"Lah, kok gi ..."

"Atau ayah suruh Jojo buat jemput kamu."

Dari seberang benua, konversasi itu akhirnya diputus secara sepihak dengan akhiran suara bantingan gagang telepon.

Plis jangan Jojo, itu anak rese pake banget.

Sebuah pengakuan, aku tidak mengabari ayah jika aku mengambil program Magister. Yang pasti jika ayah tahu, beliau pasti akan melarangku habis-habisan.

"Gak perlu ambil Pascasarjana, kamu udah jadi konglomerat nak. Ngapain sih repot-repot." Maka ini adalah perkiraan susunan kalimat yang akan dilontarkan ayah.

Ilmu itu tidak hanya digunakan untuk mengejar harta semata, wahai pemirsa.

Salah siapa supervisorku yang sebelumnya mengabdi di sebuah universitas di California mendadak ingin kembali menjadi warga negara Jepang setelah puluhan tahun menjadi warga USA. Katanya sih, ingin menghabiskan masa tua di tanah kelahiran.

Bernama lengkap Kozo Shirogane. Beliau itu seorang professor yang easygoing dan menyenangkan diajak diskusi. Seseorang yang tidak akan pernah menjatuhkan mahasiswanya di depan khalayak ramai. Aku bela-belain kabur dari Amrik hanya untuk mengikutinya.

Sekadar informasi saja, satu-satunya manusia yang tahu kalau aku ke Jepang untuk mengejar gelar Magister hanyalah adikku. Dan dia itu ember, ember bocor. Untunglah yang diceritakannya ke ayah adalah kisah Jason.

Meskipun adikku tidak se-ember itu sih. Setidaknya ayah masih mengira kalau aku ke Jepang hanya untuk mengejar wanita. Sekali lagi, yang ke Jepang hanya untuk mengejar cewek itu si bagong Jason, bukan aku! Tuh kan.

Konon ketika Jason mulai mengawali karir basket profesionalnya di Chicago, dia kepincut dengan seorang model seksi, Alexandra Garcia namanya. Usut punya usut si model itu telah mengangkat dua anak laki-laki yang ditemukannya di pinggir lapangan badminton untuk diadopsi. Namanya juga sudah kadung jatuh cintrong, meskipun ada dua boncel yang menganggu, Jason tak patah semangat.

Namun malangnya Jason telah 13 kali ditolak oleh model yang bersangkutan. Tak lama kemudian si model murtad dari kewarganegaraan Amerika untuk bermigrasi ke Tanah Matahari Terbit bersama kedua anak angkatnya.

Ya, menemani si bagong yang mengejar cinta pertamanya –bleh- itu hanya sebagai kedok agar aku bisa melanjutkan studiku di negara ini.

Oh iya, ada info terkini tentang kisah cinta Jason yang tragis. Kabarnya dia baru ditinggal Garcia yang nikah dengan raja minyak asal Saudi Arabia. Jason yang patah hati, malah merilis lagu dan meniti karir menjadi penyanyi indie dengan genre folks, takdir memang aneh.

Soal studiku, aku sudah komitmen untuk tetap berada di bawah naungan bimbingan Professor Shirogane. Jadi aku tidak akan pulang ke Amerika sebelum studiku selesai. Tidak, sekalipun ayah mengundang Megan Frog untuk menari stript*s, aku tidak akan mau pulang. Kalau masih mau memaksaku pulang, langakahi dulu mayat Professor Shirogane, err … lupakan.

Ngomong-omong tentang ayahku, ini kali ke-enam dia menelepon dalam setahun ini. Rekor menelepon –atau terror- ini jauh lebih sering daripada saat aku ikut camp pelatihan basket dulu. Yang mana rekor menanyakan kabar ayahku mendekati titik paling minimal, alias tidak pernah telepon bahkan menyewa detektif untuk memata-matai aktivitasku saja tidak.

Rincian terror ayah sebagai berikut ; Pertama saat aku tak kunjung menampakkan muka di rapat pemegang saham, ayah langsung mengontakku.

Kedua saat aku tiba-tiba menghilang –ke Jepang- dan ayah kelimpungan mencariku.

Ketiga, saat tanggal 4 Juli bersamaan dengan hari kemerdekaan Amerika, ayah menerorku untuk ikut dalam peresmian kondominium koleganya.

Keempat sebenarnya ini bukan ayah yang menelepon melainkan Jojo, dia teriak-teriak seperti maniak kalau ayah mau gabung jadi tim sukses D*nald Teramp. Mendengar berita sedeng itu maagku kambuh seketika.

Kelima, ayah meneleponku hanya untuk memastikan siapa capres yang aku pilih.

Entah kenapa aku selalu dikejar-kejar ayah, mungkin karena anak laki-laki pertama kali ya. Bandingkan saja dengan Jojo, dia asik kuliah di jurusan teknik arsitektur pilihannya dia sendiri, tanpa intervensi dari pihak manapun.

Ayah memang terkesan lebih mementingkan koleganya yang sesama taipan kelas kakap. Tapi, tahukah kalian bahwa yang mengajakku jalan-jalan dan latihan naik sepeda roda tiga adalah ayah. Tahukah kalian kalau dulu orang yang mengenalkanku dengan basket –hingga aku membentuk aliansi streetball- adalah ayah. Yang mengajariku mengenakan pakaian necis adalah ayah. Dan yang mengajariku mengenal huruf dan angka –terutama angka- pertama kali adalah ayah.

Sedikit trivia saja, dibandingkan dengan Jojo yang saat diajari malah molor atau menggambar abstrak, aku lebih cepat dalam menangkap ilmu, hahaha. Well, terutama ilmu hitung-menghitung. Seingatku ayah pertama kali mengajariku mengenal angka dengan alat peraga berupa lembaran Dollar dan koin yang dijejer, hina memang.

Bahkan saat itu ayah juga mengajariku cara memastikan mana Dollar yang asli dan mana Dollar yang palsu. Konyol dan tidak guna sebenarnya mengajarkan keterampilan seperti 'Dilihat, Diraba, Diterawaaang' pada anak usia prasekolah. Tapi biarlah semata duitan apapun, sehina apapun, senista apapun, dan sehina apapun(?) pria tua yang hampir seluruh rambutnya kini sewarna uban itu tetaplah ayahku.

Setelah ayah menelepon tadi pagi aku tidak bisa lagi memejamkan mataku. Akhirnya aku terjaga sampai pagi –meneruskan tugas kuliah yang mangkrak. Di saat aku meminum kopi, telepon kembali berdering. Kali ini aku tidak akan galak, masa sih Nash yang ganteng ini sampai menggertak orang.

"Halo, Gold disini."

"…." Tidak ada balasan dari si penelfon.

"Haloooo?"

"…." Masih tidak ada balasan dari si penelepon.

"..." Masih tak ada sahutan dari seberang telepon, dan aku mulai jengkel.

Tunggu dulu!

"Halo, kamu Jojo ya! Pasti ini kamu 'kan. Dasar ubur-ubur kamu."

"Brugg."

"Jo?"

"Iya, iya ini aku. Bawel banget sih."

"Kamu tuh yang telepon malah ditinggal."

"Maap Bang baru pup."

Astaga ini bocah. "Nape? Ayah tadi sudah telepon abang. Kamu mau ngapain hah?"

"Idih galak amat. Abang tuh yang ngapain. Pulang ke USA dulu aja kenapa sih. Ayah tuh makin bawel tahu gak, gara-gara abang migrasi ke Jepang."

"Ya kayak kamu kan, Ayah emang bawel baru tahu?"

"Yakali, ayah aku, ayah abang juga. Gak sadar ya, kalo mukanya abang sama foto ayah waktu muda dijejerin tuh mirip tahu. Sama-sama punya tampang begundal."

"Oke stop. Abang capek dengerin kamu sama ayah ngoceh hari ini. Sekarang ada apaan?"

"Ayah nyuruh abang pulang, sebenarnya ayah kangen sama kamu bang, tapi gak mau ngaku. Masak kemarin aku lihat ayah lagi ngelihatin dan peluk-peluk foto abang yang gak pake celana waktu balita sih."

Sungguh ini adalah sebuah informasi langka yang menyejukkan kalbu, pret.

"Gitu doang?"

"Sama nanyain waktu pilpres kemarin abang milih Teramp atau Kelinton."

Sudah kuduga. "Gue merem waktu milih di bilik suara. Jadinya surat suara gue gak sah soalnya arah coblosannya gak sesuai dengan kriteria. Puas? Tenang Jason milih Teramp kok."

"Hah, Om Jason milih Teramp! Astaga, katanya kemarin dia protes di tuiter kenapa capresnya kakek-kakek sama nenek-nenek semua. Terus dia ngetuit kalo ada capres kayak Sekarlet Johhanesburg dia baru mau milih. Ih gak jelas banget sih."

Aku tidak mengerti padahal aku dan Jason itu seumuran, kenapa Jojo memanggil Jason dengan sebutan Om?

"Lu sendiri? Milihnya samaan 'kan sama capres jagoannya ayah?"

"Hm, sama."

"Tuh kan bener, emang anak papi kamu."

"Maksud aku samaan kayak caranya abang."

Sedih aku Ya Gusti.

Jojo kembali bersuara, "Bang, kapan pulangnya nih?"

"Tahun depan."

"Ck, lama. Ya udah aku lusa nyusul abang ke Jepang ya. Sampai ketemu di sana ya Big Bro."

"GAK USAH, KAMU TU HOBI BANGET KESASAR. IYA IYA ABANG PULANG SECEPATNYA!"

Sebuah Balada : Selesai

'Emir is typing' corner :
Sebuah fanfiksi tentang Nash dan bapaknya, selamat hari ayah *telat dodol.

Sekaligus Emir ikut dalam euphoria menangnya Trump dalam pilpres Amrik. Its kill man, lucu banget *ngakak hina*. Apa banget lah padahal beritanya udah basi entah dari kapan.

;) Jaa nee .…