Berkunjung ke rumah sahabatnya tidak pernah semenyebalkan ini untuk Jaejoong. Dan apa yang sedang ia lakukan? Menunggu Yoochun pulang entah dari mana dengan sepupu sahabatnya yang sangat berisik. Tidakkan dia punya pekerjaan lain? Dan kenapa dia harus berada di sini? Dimana Mr. Park dan istrinya?
Jaejoong terus menerus menggerutu dalam hati setiap detiknya sejak ia duduk di sofa keluarga Yoochun. Mencoba mengabaikan bayangan yang terus menerus bergerak di sudut matanya. Dia, Jung Yunho. Sepupu Yoochun yang bekerja di dekat perumahan mereka, pindah dari Gwangju sejak setahun yang lalu. Jaejoong tidak akan berbohong dengan mengatakan dia pria mesum dengan wajah jelek yang menyebalkan. Tidak. Sayangnya, dia pria dewasa dengan tubuh proporsional. Rahangnya yang sangat tegas membuat Jaejoong mengernyit iri. Jangan lupakan hidung dan tulang pipi yang sangat tinggi itu, Jaejoong benar-benar menahan diri untuk tidak melayangkan tinjunya. Tapi mulut kurang ajar itu selalu bisa membuat bulu kuduk Jaejoong berdiri setiap kali melemparkan candaan nakal.
"Kenapa seorang pria bisa secantik dirimu?"
Ini yang Yunho lakukan kepada Jaejoong sejak dia masuk rumah ini. Mengganggunya. Tidak bisakah dia diam dan menjadi pria menyenangkan? Dia akan lebih tampan dan menarik jika tidak sedang melakukan hal-hal konyol seperti sekarang. Jaejoong yang merasa benar-benar malas hanya diam menatap televisi yang menyala dengan wajah cemberut.
"Jangan berwajah seperti itu, kau membuatku ingin menciummu."
Kali ini rona merah sempurna menghiasi pipi Jaejoong. Hanya membayangkan bibir penuh Yunho menciumnya membuat Jaejoong sakit perut. Bagaimana tidak? Meski sangat menyebalkan, Jaejoong ingat pertama kali mereka bertemu. Kenangan yang tidak mungkin bisa dilupakan oleh Jaejoong seumur hidupnya. Saat itu sore hari ketika Jaejoong dan Yoochun pulang les, mereka melihat seseorang turun dari taksi dengan mantel hitam panjang, sebelah tangannya memperbaiki syal yang sedang menggantung di lehernya. Hari benar-benar sangat dingin ketika musim gugur datang. Yoochun yang mengenali sepupunya langsung berteriak dan berlari padanya.
"Yunho-hyung!"
"Ah, Yoochun-ah."
Pria itu menoleh dan Jaejoong melebarkan matanya terkejut. Pria itu memiliki senyum yang sangat hangat. Mata yang sedikit sayu membuat Jaejoong ingin memeluknya dan mengatakan padanya bahwa semuanya baik-baik saja. Pundak tegapnya mengingatkan Jaejoong pada tokoh-tokoh kartun super yang sering dia baca ketika masih kanak-kanak. Lebar dan bidang.
"Siapa di sana? Temanmu?"
Jaejoong tersentak ketika Yunho mendekat dan mengulurkan tangannya. Dengan gugup memandang wajah Yunho dan mengulurkan tangan. Mungkin mereka hanya bertaut beberapa tahun tapi tangan Jaejoong seakan tenggelam dalam kehangatan tangan Yunho.
"Jung Yunho."
"Kim Jaejoong."
Lagi Yunho tersenyum dan menepuk ringan puncak kepala Jaejoong beberapa kali. Kali ini senyum yang berbeda. Senyum yang menyenangkan untuk dilihat terus menerus. Senyum yang membuat matanya membentuk bulan sabit nan indah.
"Ayo! Kita akan kedinginan jika terlalu lama disini."
"Ibu! Yunho-hyung! Yunho-hyung!"
Jaejoong tersenyum mengingat kenangan itu. Dalam hati bertanya dimana Yunho yang dilihatnya pertama kali mereka bertemu? Yunho yang lembut dan menyenangkan. Yunho yang membuat Jaejoong merasa nyaman dan mampu menghabiskan waktu sebanyak mungkin. Yunho yang membuat Jaejoong terpesona pada pandangan pertama. Bukan Yunho dengan seringai nakal, atau candaan mesum.
"Hei! Jangan tidur dengan mata terbuka."
"Tidak bisakah kau diam?"
"Waaahh… Jaejoongie kita marah?"
Jaejoong menghela nafas panjang dan memutar tubuhnya. Menghadap Yunho yang sedang duduk di sofa lain di samping tempat Jaejoong duduk. Dengan wajah menyebalkannya menghirup coklat panas yang bahkan tidak repot-repot dia tawarkan.
"Paling tidak beri aku sesuatu untuk dimakan."
"Ah! Hot chocolate?"
Yunho tertawa rendah sembari menyodorkan gelas yang hampir kosong. Yang dibalas oleh Jaejoong dengan dengus kasar.
"Kau hanya tinggal meminta, dengan senang hati akan kuberikan."
Jaejoong tahu yang Yunho maksud hanya segelas cokelat panas tapi pikirannya membuat imajinasi yang bahkan tidak dia sadari ada di sana. Jika dia meminta sesuatu yang lain, akankah Yunho memberikannya? Jaejoong tersentak dengan pikirannya sendiri dan berdeham mengatur nafas yang sejenak terasa berat. Sekilas memandang Yunho yang sedang menyeduh cokelat panas untuknya di dapur.
"Dia terlihat luar biasa jika mulutnya tertutup. Tidak bisakah aku meminta Yunho yang pernah kutemui kembali? Aku ingin Yunho kembali seperti dulu. Kembalikan padaku Tuhan!"
"Hei, jangan bicara dengan makhluk yang tidak bisa kulihat."
"Yang pasti aku tidak bicara padamu!"
"Kau tahu? Kau sangat mengagumkan jika tidak mengucapkan kata-kata pedas."
"Dan kau terlihat sangat tampan jika mulutmu diam."
"Jadi aku tampan? Hmm?"
Sial
"Kapan Yoochun kembali? Tidak bisakah kau beritahu dia bahwa aku menunggunya di sini?"
"Kau tidak bisa mengubunginya sendiri?"
"Aku meninggalkan ponselku."
Yunho mengeluarkan ponsel dari sakunya, mengetik singkat dan memasukkannya lagi ke tempat semula. Suasana mulai tak nyaman ketika Yunho sama sekali tidak mengeluarkan suara. Dan di saat seperti ini, Jaejoong sedikit berharap mendengar candaan mesum Yunho daripada harus merasa canggung.
"Yunho-hyung, Yoochun tidak membalas?"
"Ah, sepertinya belum."
"Hyung tidak mengunjungi kampung halaman disaat libur seperti ini?"
"Tidak ada yang bisa dikunjungi."
Yunho tersenyum singkat dan meletakkan gelas dari genggamannya. Memijat ringan tengkuknya dan berdiri.
"Kau tahu dimana tempat makanan, jadi jangan sampai kelaparan. Maaf aku tidak bisa menemanimu."
Jaejoong merasa bersalah telah mengungkit hal yang membuat Yunho sedih. Dia hanya mencoba menghidupkan lagi percakapan mereka. Karena Yunho dengan sisi seperti ini membuat Jaejoong merasa sedih.
"Hyung—Maaf."
Jaejoong menarik ujung kemeja Yunho ketika dia mulai beranjak dari tempat duduknya. Menundukkan kepala karena Jaejoong benar-benar merasa bersalah dengan apa yang telah diucapkannya.
"Jika Hyung bosan, kau bisa berkunjung kerumahku. Anggap aku keluargamu juga seperti Yoochun."
"Bagaimana bisa?"
Jaejoong tersentak kaget ketika mendengar ucapan Yunho. Rasa nyeri mulai menjalar dan membuatnya mengeryit. Perlahan melepaskan genggamannya dari kemeja Yunho.
"Bodoh. Bukan seperti itu."
Yunho menjatuhkan tubuhnya tepat disebelah Jaejoong dan menarik wajah Jaejoong yang menunduk ke arahnya. Menyatukan tatapan mereka.
"Aku tidak bisa menganggapmu seperti Yoochun karena kau memiliki tempat yang lebih khusus di sini."
Yunho menggenggam tangan Jaejoong dan meletakkan tangannya tepat dimana Jaejoong dapat merasakan jantung Yunho berpacu. Jaejoong mengedipkan mata. Sekali. Dua kali. Dan seketika dia dapat merasakan wajahnya yang mulai menghangat. Bertanya dalam hati apa maksud ucapan Yunho.
"Hei."
Yunho membelai ringan wajah Jaejoong dan tersenyum. Melihat bocah yang biasanya melempar kata-kata pedas menunduk malu membuat keinginan Yunho menyeruak. Yunho ingin melihat sisi Jaejoong yang lain. Yang menyapanya dengan sopan ketika pertama kali bertemu, Jaejoong yang bermulut tajam, Jaejoong yang tersenyum, Jaejoong yang merasa malu, Jaejoong yang membutuhkan Yunho.
Yunho menyeret jarinya membelai kulit halus Jaejoong, menyibak rambut lembut yang selalu menutupi matanya. Menarik tengkuk Jaejoong mendekat dan menyatukan bibir mereka. Selama ini Yunho selalu membayangkan bagaimana rasa bibir Jaejoong. Bibir penuh dan berwarna merah menggoda. Mengecap hingga tak ada yang tersisa, namun ciuman mereka sama sekali tidak tergesa-gesa. Yunho menghela nafas ringan, sama sekali tidak menyadari sejak kapan dia menahannya. Membelai ringan tengkuk Jaejoong, berusaha menghilangkan ketegangan yang Jaejoong rasakan.
"Umm…"
Jaejoong gugup meletakkan tangannya di pundak Yunho. Mendorong Yunho yang mulai mendesak tubuhnya. Bibir Yunho mulai bergerak di bibirnya, membujuk. Meminta lebih, dan ketika bibir Jaejoong terkuak, dirasakannya ujung lidah Yunho menyapu rongga mulutnya. Membelai setiap sudut dengan manis seakan menikmati hidangan yang sangat lezat.
"Hyung…"
Enggan Yunho menarik diri dari bibir Jaejoong yang membengkak. Tersenyum penuh sayang dan merengkuh Jaejoong dalam pelukan ringan. Membelai punggung Jaejoong menenangkan.
"Apa yang kalian lakukan?" Terdengar suara parau yang berasal dari pintu. Secepat kilat Jaejoong mendorong tubuh Yunho dan membuat jarak yang sangat lebar di antara mereka, sedangkan Yoochun masih mencerna apa yang barusan dilihatnya. Yunho, sepupunya sedang mencium Jaejoong, sahabatnya.
"A—Aku pulang dulu." Dengan gugup berlari ke arah pintu, namun dihentikan oleh Yoochun.
"Tunggu!" Yoochun sama sekali tidak mengetahui apa yang ingin diucapkannya setelah menghentikan Jaejoong, tapi dia juga tidak ingin Jaejoong pergi begitu saja tanpa penjelasan. Yoochun sama sekali tidak ingin Jaejoong berasumsi bahwa dia tidak merestui hubungan mereka berdua, dia hanya merasa terkejut karena selama ini Yunho hanya memandang Jaejoong dari kejauhan. Hyungnya itu sangat transparan, meski selalu menggoda Jaejoong hingga membuatnya marah tapi pandangan matanya selalu penuh cinta. Dan dalam hati Yoochun selalu berdoa akan ada jalan untuk kedua orang yang disayanginya itu. "Kenapa kau diam saja Hyung? Katakan sesuatu!"
Yunho menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan canggung. Dia tidak menyangka Yoochun akan datang di saat seperti ini, dan apa yang harus dikatakannya. Yunho merasa bingung. Secara tidak langsung dia sudah mengatakan isi hatinya kepada Jaejoong dan tidak ada jawaban apapun darinya. Apa yang harus Yunho lakukan? Apa dia harus meminta maaf karena sudah menciumnya? Tidak. Tentu saja tidak, batin Yunho. Dia sama sekali tidak menyesal telah mencium Jaejoong karena itu keinginan sejak lama.
"Kau sudah mengatakan perasaanmu?" Yoochun memecah keheningan dengan bertanya pada Yunho yang dijawab dengan anggukan pelan. "Dan kau Jaejoong? Apa kau juga menyukai Yunho-hyung?"
Jaejoong mendunduk malu mendengar ucapan Yoochun. Dia ingin kabur, pulang, sembunyi di balik selimutnya yang tebal sehingga dia tidak harus di sini dalam suasana canggung, tapi tangan Yoochun menghentikannya melakukan semua yang sedang dirancang oleh otakknya.
"Jaejoong?"
"Kenapa aku membiarkannya menciumku jika aku tidak menyukainya? Yoochun bodoh!"
Tawa Yunho meledak mendengar ucapan Jaejoong. Dia merasa lega, bahagia, dan tentu saja terhibur dengan keadaan ini. Yunho bisa melihat rona merah yang menjalar di pipi hingga telinga Jaejoong. Sedangkan Yoochun hanya menggeleng pelan melihat kedua pasangan yang sangat kaku ini. Bertanya-tanya kenapa mengucapkan kata cinta bisa begitu susah untuk mereka.
"Apa kau masih mau pulang? Sebenarnya apa yang kalian lakukan disaat rumah sedang sepi?"
"Dia mencarimu."
"Lalu kenapa kau lari tepat ketika aku sudah di rumah? Ayo, kita ke atas." Yoochun mulai menarik tangan Jaejoong menaiki tangga menuju kamarnya, namun terhenti ketika Yunho menangkap tangan Jaejoong yang bebas.
"Kalian bisa bicara nanti, sekarang aku sangat menginginkannya."
Mendengar ucapan Yunho membuat Jaejoong semakin malu dan dengan keras berteriak, "Tapi aku tidak menginginkanmu kakek mesum!"
"Oh, ayolah! Sedikit lebih jujurlah pada dirimu sendiri." Ucap Yunho sebelum menarik Jaejoong dan memeluknya. Menjadikan pundaknya sebagai tumpuan berat badan Jaejoong dan memanggulnya menuju kamarnya sendiri. "Ah! Mungkin sebaiknya kau menginap di rumah Junsu. Atau nyalakan musik sekeras mungkin jika tidak ingin terganggu. Selamat malam Yoochun."
Yunho mengerlingkan matanya pada Yoochun yang segera dibalas dengan pandangan jijik yang dilemparkan padanya. Disisi lain Jaejoong berteriak dan meronta berusah membebaskan diri, dengan sangat disesali sama sekali tidak membuahkan hasil.
"Mesum!"
Dan itulah suara terakhir yang didengar Yoochun sebelum Jaejoong dan Yunho menghilang di balik pintu kamar.
Selesai
