Hallo semuanya.

Shelly sebenarnya sedang sibuk dengan fic Naruto. Di waktu senggang, karena Naruto sudah tamat, Shelly memutuskan buat coba nonton long run anime yang lain buat ngobatin rindu Naruto. Nah mulai deh Shelly nonton One Piece.

Singkat cerita, 801 episode kemudian, Shelly benar-benar jatuh cinta dengan anime ini, dan jujur bahkan lebih dari Naruto.

Jadi deh Shelly berhasrat membuat fic one piece. Apalagi Shelly liat fandom ini kalah rame dari Naruto. Jadi Shelly disini untuk menyumbang ide fic Shelly dan meramaikan fandom One Piece.

Oke, tanpa banyak bacot lagi, silahkan baca fic One Piece pertama dari Shelly

Reviews are always welome

And One Piece is not my creation. It belongs to the genius Eiichiro Oda

But the story of this fanfic is purely mine.


Prolog

Cocoyashi Street

East Blue District

2007

Seorang bocah enam tahun terduduk bosan menatap layar televisi yang sedang menayangkan film kartun. Sayangnya program kesukaannya itu tidak menarik minat si gadis kecil hari ini., karena pikirannya melayang pada sosok sang ibu yang belum juga pulang.

"Nee Kalifa-san…" Rengek si gadis kecil pada babysitter-nya yang baru saja melangkah ke ruang tamu.

Kalifa mendudukan dirinya di sofa disamping si gadis kecil.

"Ada apa Nami-chan?"

"Kapan Okaachan pulang?" Tanya gadis kecil bernama Nami itu.

"Mungkin sebentar lagi."

"Huuh…" keluh Nami lalu menggembungkan kedua pipinya kesal mendapati jawaban yang kurang memuaskan.

Wajah Kalifa memerah karena ia mati-matian menahan hasratnya untuk mencubit pipi tembam Nami yang menggemaskan.

Tak lama kemudian suara klakson mobil terdengar dari teras depan.

Nami melompat dari tempat duduknya.

"Okaachan pulang!"

Dengan penuh semangat Nami berlari menghampiri pintu rumah. Kalifa tersenyum melihat tingkah Nami sebelum menggekori gadis kecil itu.

"Okaachan!" Seru Nami pada sang ibu yang baru turun dari mobil.

Bellemere tersenyum lalu melambaikan tangannya pada gadis kecil-nya yang juga sedang melambai ke arahnya.

"Hallo Nami-chan~"

Sosok lain ikut keluar dari mobil Bellemere. Seorang pria tampan diawal tiga puluh tahun dengan surai pirang keemasan dan iris cokelat kemerahan. Pria itu mengenakan sebuah kemeja putih dengan cetakan-cetakan hati kecil berwarna merah muda dan jaket bulu berwarna ungu yang membuat penampilannya sangat mencolok.

"Rocinante-san!" Nami memekik gembira melihat sosok yang merupakan kekasih sang ibu.

Nami berlari kencang lalu menghamburkan dirinya untuk memeluk Rocinante. Sayangnya tinggi gadis itu hanya setinggi lutut Rocinante.

Rocinante tertawa melihat Nami yang memeluk lutut-nya dengan erat. Ia mengacak-acak surai oranye gadis kecil itu dengan gemas. Nami adalah putri Bellemere, yang sudah menjadi kekasihnya selama tiga tahun belakangan ini. Gadis kecil itu tentu sudah ia anggap seperti putri-nya sendiri.

"Rocinante-san ayo masuk. Tadi sore aku dan Kalifa-san menggambar rumah loh."

Nami menggandeng tangan besar Rocinante dengan tangan mungilnya dan menarik kekasih sang ibu ke dalam rumah. Rocinante melempar senyum kepada Bellemere yang menggelengkan kepala melihat keberadaannya yang seakan terlupakan begitu Nami melihat Rocinante.

"Sepertinya Nami sudah siap punya ayah baru."

Wajah Bellemere memerah mendengar godaan Kalifa.

"He..hentikan itu Kalifa."

"Maaf maaf." Kalifa terkikik melihat reaksi Bellemere. "Kalau begitu aku pulang dulu ya, Bellemere-san."

Bellemere mengangguk.

"Terimakasih sudah menjaga Nami."

"Sama-sama. Besok apakah aku perlu datang lagi?"

Bellemere tersenyum.

"Bellemere-san?"

"Kau tidak perlu datang besok, Kalifa." Bellemere menggeleng. "Karena besok aku dan Rocinante akan membawa Nami menemui seseorang."

####################

Le Bernardin Restaurant

East Blue District

2007

Nami menatap sekelilingnya dengan gelisah. Gadis kecil itu tidak pernah menginjakan kaki-nya di restoran semewah ini sebelumnya. Apalagi ia harus menggunakan dress merah selutut yang sangat formal. Bellemere juga menggunakan sebuah dress panjang tanpa lengan. Bahkan rambut Bellemere juga disanggul rapi tidak seperti biasanya.

"Okaaachan, mengapa kita kesini?" Tanya Nami sambil memiringkan kepalanya.

"Karena ada hal yang penting yang ingin aku dan Rocinante-san bicarakan denganmu." Jawab sang ibu sambil mengedipkan sebelah matanya.

Nami memandang Bellemere semakin bingung. Tapi gadis kecil itu tidak bertanya lagi.

Beberapa menit kemudian, iris cokelat Nami menangkap sosok Rocinante yang baru memasuki restoran.

Rocinante hari ini terlihat berbeda dari biasanya. Berbeda karena pria yang biasanya menggunakan pakaian mencolok itu kini menggunakan jas hitam yang rapi tanpa kerutan. Rambutnya pun disisir rapi dan klimis.

"Rocinante-san?"

Kening Nami berkerut melihat penampilan Rocinante.

"Hehehe jangan melihatku seperti itu Nami-chan. Aku jadi malu." Rocinante tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia sedikit gugup. Matanya kemudian berpaling kepada sang kekasih yang terlihat menawan malam ini. Bellemere menyadari tatapan Rocinante lalu melemparkan senyum manis yang seketika membuat pipi Rocinante memerah.

"Rocinante-san. Siapa orang itu?"

Pertanyaan Nami menyadarkan Rocinante. Ia melihat Nami memandang ingin tahu pada sosok anak laki-laki yang berdiri dibelakangnya.

"Ah, aku sampai lupa."

Rocinante menarik lengan anak laki-laki yang masih setia berdiri dibalik punggungnya agar berdiri didepannya.

Nami memerhatikan sosok itu baik-baik. Anak itu sedikit lebih tinggi dari lutut Rocinante. dan rambut-nya hitam jabrik lebat. Ia menggunakan kemeja putih yang ujungnya dimasukan kedalam celana jeans hitam.

"Nami-chan, perkenalkan ini Tarafalgar Law, anak-ku. Mulai sekarang dia akan menjadi kakakmu."

Law berdecih mendengar perkataan Rocinante.

"Jangan seenaknya memutuskan, baka."

Rocinante melayangkan pukulan andalannya ke kepala Law.

"Apa-apaan kau tua bangka?" Protes Law sambil memegang kepalanya.

"Jangan berbicara kurang ajar pada ayahmu, bocah."

"Kakak?"

Pertanyaan Nami menghentikan perdebatan ayah dan anak itu. Keduanya memalingkan tatapan mereka pada gadis kecil yang kini menatap mereka bingung.

Bellemere tersenyum. Ia meraih tangan mungil Nami lalu mengenggamnya.

"Benar, Nami. Law akan menjadi kakakmu karena aku dan Rocinante-san akan menikah." Jelas sang ibu.

"Menikah? " Gadis enam tahun itu masih berusaha memahami penjelasan Rocinante dan sang ibu. "Berarti Rocinante-san akan menjadi papa-ku?"

Rocinante menangguk semangat.

"Benar Nami-chan. Aku akan menjadi papa-mu~" Pria itu tersenyum membayangkan Nami kecil yang menggemaskan memanggilnya 'papa' dengan manja. "Hehehehe."

"Hentikan tawa menjijikan itu."

Urat kekesalan muncul di dahi Rosinant.

"Dan si menyebalkan ini.." Tangan Rocinante mengapit leher Law dengan erat membuat bocah delapan tahun itu susah bernafas. "… akan menjadi kakak-mu."

"Kakak…"

Nami memaknai kata itu baik-baik. Kata asing yang tidak pernah ia kenal sebelumnya sebagai seorang anak tunggal. Teman-temannya di taman bermain bilang, seorang kakak adalah orang yang akan selalu menjagamu.

"Law.. nii." Nami berucap malu-malu. Pipi tembam-nya memerah dan senyum manisnya mengembang.

"Ah Nami-chan~"

Rocinante langsung memeluk Nami dengan gemas tidak tahan dengan ekspresi lucu gadis itu.

Law terkesima mendengar panggilan Nami padanya. Jantungnya berdetak semakin cepat mengingat sosok yang dulu pernah memanggilnya dengan panggilan yang sama. Wajah Law berubah muram seketika.

"Aku mau cari udara sebentar." Kata Law kemudian meninggalkan ketiga orang yang menatapnya heran.

"Law-nii… tidak suka padaku?" Nami bertanya dengan mata berkaca-kaca.

Rocinante menggeleng cepat.

"Tentu saja tidak, Nami-chan. Mana mungkin ada orang di dunia ini yang tidak menyukai gadis secantik dan selucu Nami-chan."

"Nami…" Bellemere mengusap sudut mata Nami yang dibasahi air mata

Nami tidak mengerti mengapa Law tidak menyukainya. Ia setidaknya butuh penjelasan. Ini pertama kalinya ia akan memiliki seorang kakak, dan Nami tidak akan membiarkan kakak barunya pergi begitu saja.

"Aku akan mengejar Law-nii!"

Nami meloncat turun dari kursinya dengan sangat cepat hingga kursinya terbanting kebelakang. Tapi gadis kecil itu tidak perduli karena ia sudah berlari cepat mengikuti arah Law pergi.

"Nami-chan." Rocinante berusaha menghentikan Nami, tapi tangan Bellemere sudah mlebih dulu melingkari lengannya.

"Biarkan saja."

####################

Nami mengeluarkan nafas lega begitu ia mlihat sosok Law yang sedang duduk di kursi taman outdoor di patio belakang restoran.

Kaki kecil-nya melangkah cepat menghampiri Law yang sedang menundukan wajahnya.

"Law-nii!"

Law menaikan kepalanya dan mendapati Nami berdiri dihadapannya. Nafas gadis itu terengah-engah seperti baru berlari.

"Berhenti memanggilku seperti itu bocah." Law berucap ketus.

Bukannya berhenti Nami malah mengulang perkataanya terus menerus.

"Law-nii! Law-nii! Law-nii! Law-nii!"

Law menggeram penuh emosi. Tanpa sadar tangannya mencengkram leher Nami untuk menghentikannya berbicara.

"Aku bilang jangan memanggilku lagi!"

Nami merintih. Genggaman Law pada lehernya semakin keras.

"Law… nii.."

Mata Law terbelalak melihat wajah pucat Nami. Ia tidak sadar bahwa ia mungkin saja hampir membunuh gadis kecil itu. Law segera melepaskan tangannya dari leher Nami.

"Kembalilah kedalam." Ucap Law pelan. Ia sedikit merasa bersalah melihat tanda kemerahan di leher Nami.

Nami menggeleng.

"Tch. Kenapa kau keras kepala sekali?"

"Mengapa Law-nii tidak menyukaiku?" Nami balas bertanya.

"Bukan urusanmu."

Nami merapatkan bibirnya. Ia tidak akan menyerah sebelum Law bersedia menjadi kakak-nya.

"Hey! Apa yang kau lakukan bocah?" Law bertanya ketika Nami tiba-tiba memeluknya dengan sangat erat.

"Aku tidak akan melepaskan Law-nii."

"Lepas, bocah." Law masih berusaha melepaskan tangan Nami yang melingkari leher-nya dengan sangat erat. Tapi gerakannya tiba-tiba berhenti ketika ia merasakan punggung baju-nya basah. Ia bisa mendengar suara hisakan Nami.

"Mengapa Law-nii tidak mau menjadi kakak-ku?" Tanya gadis itu sambil terhisak. "Aku tidak punya kakak tidak punya adik. Aku selalu sendirian."

"Jangan berlebihan, bocah." Omel Law. Meski demikian nada suara Law berubah lebih lembut. "Kau masih memiliki ibu-mu."

"Hiks.. tapi Okaachan selalu sibuk bekerja. Dia selalu pulang malam. Aku selalu menanti Okaachan pulang dirumah bersama Kalifa-san. Tapi tidak ada orang lain lagi. Aku tidak punya adik atau kakak yang bisa kuajak bermain. Aku selalu sendirian. Huwaaaa" Tangisan Nami semakin besar.

Law terdiam. Segala niatnya untuk melepaskan diri dari pelukan Nami menghilang entah kemana. Perkataan gadis itu menusuknya. Gadis itu bilang ia selalu sendirian. Selalu kesepian. Hal yang sama seperti yang selalu ia rasakan dua tahun terakhir ini, meskipun Rocinante selalu disampingnya.

"Apa tidak apa-apa jika aku menjadi kakakmu?" Ucap Law pelan. Meski demikian Nami masih bisa mendengarnya dan hal itu seketika membuat tangisannya berhenti.

"Tentu saja!" Ucap gadis kecil itu. Ia melepaskan pelukannya pada Law agar bisa menatap wajah calon kakak-nya.

"Aku beritahu padamu ya." Law menudingkan jari telunjuknya pada Nami. "Meski aku menjadi kakakmu, aku belum tentu bisa melindungimu. Apa kau tidak apa-apa dengan itu?"

Nami menatap Law bingung.

Seakan mengerti, Law melanjutkan perkataannya. "Kalau kau tidak sadar nama belakangku dan Rocinante-san berbeda." Nami mengangguk. "Itu karena aku bukan anak kandungnya. Aku adalah putra angkatnya. Rocinante-san mengadopsiku setelah kedua orang tua dan adikku meninggal karena kecelakaan mobil."

Mata Nami melebar. "Eh? Benarkah itu?"

Law mengangguk. Sorot matanya perlahan berubah sendu mengingat kejadian yang begitu jelas tercetak di memorinya. "Adikku dan aku duduk di jok belakang. Ketika mobil kami menabrak pembatas jalan, aku memeluknya. Aku berusaha melindunginya. Tapi pada akhirnya, aku gagal…"

Mulut Nami bergetar dan tangisannya mulai terdengar kembali. Sekali lagi ia memeluk Law dengan erat.

"LAW-NII.. HUWAAA."

Law sedikit mengernyit karena Nami berteriak tepat di telingnya.

"Mengapa kau menagis lagi bocah?"

"Habisnya… habisnya…"

"Habisnya apa?"

"Habisnya Law-nii bodoh."

"Eh?" Law tidak menyangka jawaban Nami. Tunggu dulu! Berani sekali bocah ini mengatianya bodoh.

"Hey bocah-"

"Aku memang masih bocah. Tapi aku tahu kecelakaan itu buka karena keinginan Law-nii. Aku juga tahu adik Law-nii meninggal bukan karena Law-nii yang tidak bisa melindunginya. Law-nii tidak bersalah. Law-nii bodoh karena Law-nii berpikir tidak bisa menjadi seorang kakak karena itu."

Perkataan Nami menghantam Law seakan menamparnya dengan sangat keras. Sekeras apapun kepalanya, sebingung apapun Law tentang bagaimana bocah yang baru beberapa menit lalu ditemuinya bisa menghancurkan dinding es yang dibangunnya, Law akui perkataan Nami benar adanya.

Law tahu kecelakaan itu bukan salahnya. Law juga tahu kematian adiknya bukan kesalahannya. Ia hanya menggunakan hal itu sebagai alasan. Alasan karena ia takut kehilangan lagi, maka tidak pernah ia biarkan orang lain masuk kedalam kehidupannya.

Tapi gadis ini berbeda.

Law tersenyum.

"Mungkin memliki adik lagi tidak akan begitu buruk."

Nami mengangguk.

"Tentu saja. Karena aku akan menjadi adik paling baik di muka bumi ini."

####################

Corner Street Apartment

New World

2017

"Ughh.."

Iris cokelat-nya terbuka perlahan. Kamarnya apartemennya yang kecil dipenuhi sinar mentari pagi yang hangat.

Gadis enam belas tahun yang baru saja terbangun dari tidurnya itu menyandarkan diri di kepala tempat tidurnya.

"Aneh.." Ucap sang gadis. "Mengapa aku bisa bermimpi tentang malam itu ya?"

Belum sempat ia berpikir lebih lanjut, pintu kamar-nya tiba-tiba terbuka dengan keras.

"Nami-ya!"

Si gadis terlunjak kaget.

"Kau tidak mengunci pintu kamarmu lagi?"

"Aku lupa. Lagipula kan di apartemen ini hanya ada kita berdua."

Pemuda yang membuka pintu kamarnya menggeleng. "Kalau ada pencuri bagaimana?"

"Kan ada Law-nii yang selalu menjagaku." Si gadis mengedipkan sebelah matanya sambil memandang sang kakak dengan senyum menggoda.

"Ughh anak ini.." Si pemuda menatap si gadis dengan pandangan ingin membunuh. Gadis ini selalu saja bisa membantahnya "Sudah sana mandi."

"Iya.. iya.." Si gadis beranjak dari tempat tidur. "Ngomong-ngomong Law-nii.. coba tebak tadi aku mimpi apa?"

"Bagaimana aku bisa tahu." Pemuda itu menaikan alisnya. "Memangnya apa yang kau mimpikan? Jika kau bilang kau mimpi si artis korea yang kau gilai itu lagi aku benar-benar-"

"Bukan. Bukan." Si gadis menggeleng lalu memeluk lengan sang kakak. "Aku memimpikan kita. Sepuluh tahun yang lalu. Ketika kita pertama kali bertemu."

Trafalgar Law tersenyum. Memori tentang pertemuan pertamanya dengan gadis disampingnya ini tentu tidak akan ia lupakan. Karena gadis itu telah menjadi bagian penting bagi hidupnya.

Disampingnya, Trafalgar Nami ikut tersenyum. Hari ini sudah hampir genap sepuluh tahun Law menjadi kakak-nya setelah pernikahan Bellemere dan Rocinante. Dan sudah hampir delapan tahun sejak kedua sosok orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan pesawat.

Mereka berdua tentu terpukul dengan kejadian itu. Keduanya kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidup mereka. Akan tetapi setelah masa berkabung selesai, mereka sadara mereka tidak lagi sendirian. Karena mereka masih memiliki satu sama lain.

Kedua kakak beradik itu tersenyum dan terdiam sebentar seakan larut dalam nostalgia. Sebelum akhirnya Law melepaskan pelukan Nami pada lengannya dan mendorong gadis itu ke kamar mandi.

"Cepat mandi. Kau tidak ingin terlambat dihari pertamamu sekolah kan?"

Nami mengembungkan pipi kesal. "Ughh. Law-nii tidak bisa membaca suasana."

Law mengacak surai adiknya pelan. "Kita bisa bernostalgia lain kali. Sekarang kita hampir terlambat, nona."

"Iya iya." ucap Nami seraya menyingkirkan tangan Law dari kepalanya. Gadis itu kemudian melangkah ke kamar mandi. Tetapi sebelum ia menutup pintu, ia terhenti seakan teringat sesuatu. Nami kemudian berbalik dan tersenyum kepada sang kakak.

"Aku menyayangimu Law-nii."

Law tersenyum lagi. "Aku juga menyayangimu, Nami-ya."

To Be Continued