Prologue


Jamais vu. Saat aku membuka mataku, deraian jamais vu menyelimuti mataku, kepalaku, dadaku, tanganku, kakiku. Satu. Dua. Tiga kali kedip. Hirup. Buang. Hirup. Buang. Aku lupa kemarin tanggal berapa.

Angin luar menerpa kulitku yang tidak terbungkus lengan baju. Gatal sekali untuk menutup jendela kamarku, tetapi, kalau aku beranjak kesana, nanti aku akan makin terkena angin. Lalu makin kedinginan.

Entah, hanya dalam lima milisekon, aku memutuskan untuk membenci dingin.

Tapi kebencian ini harus kutahan. Selimutku terlalu tipis, ia takkan bisa terus melindungiku dari hawa luar. Aku memaksa tubuhku yang lemas bangun, kakiku yang kaku untuk membawaku ke arah jendela, dan tanganku yang dingin untuk menutup jendela tersebut.

Sesaat sebelum tanganku benar-benar melakukan tugasnya, mataku mendiktekannya untuk berhenti. Langit abu-abu, awan hitam, bangunan-bangunan tinggi yang modern. Angin sore ini harusnya menawarkanku ketenangan dan ketentraman.

Namun yang bisa kuterima hanya déjà entendu.