Title: Tuan Tampan Dan Nona Pemalu
Author: Firenze Firefly
Rating: T
Characters/Pairings: Sasuke-Hinata
Genre: Romance
Warnings: AU. OOC. Di cerita ini para tokohnya sudah dewasa. Mereka berumur dua puluhan, bukan lagi remaja belasan tahun, maka tak bisa dihindari bila cerita ini OOC. Selamat membaca cerita ini sebagaimana saya menulisnya. Cerita ini hanya diperuntukkan untuk hiburan semata.
Summary: "Omong-omong, siapa nama lengkapnya?" tanya Hinata sambil lalu. Ino tersenyum manis. "Uchiha, Sasuke Uchiha. Kau baru tahu, ya?" AU
Disclaimer: Sekali lagi, Naruto bukan milik saya.
…
Chapter 1
.
Hinata Hyuuga menatap ponselnya dengan jengkel. Wajahnya yang biasanya tampak ramah dan baik hati berubah masam.
Seorang Hinata bisa kesal?
Jangan terkejut dulu! Hinata juga manusia. Walau terlihat rapuh, dia memiliki emosi yang kompleks sama seperti orang lain. Gadis itu bisa merasa senang, sedih, susah, dan berbagai emosi lain. Mampukah gadis muda itu merasakan emosi negatif seperti marah, jengkel dan murka? Tengok saja romannya sekarang!
Yang menyebabkan kejengkelannya tak lain dan tak bukan bersumber dari pesan di ponselnya. Lebih daripada itu, si pengirim pesanlah yang membuatnya kesal.
Sasuke Uchiha.
Dokter muda yang dikenalnya seminggu lalu itu mendapat nomernya dari Ino, supervisor dari Quality Control Department (QC). Saat itu Ino tidak enak badan namun karena ada rapat yang tak bisa ditinggal, gadis berambut emas itu memaksakan diri masuk. Dia meminta Hinata untuk menyetir mobilnya dan mengantarnya ke rumah sakit terdekat yang telah menjalin kerja sama dengan Uchiha Inc.
"Maaf sudah merepotkan," ujar Ino lemah. Wajahnya tampak pucat meski ber-make up.
"Aku senang bisa membantu," balas Hinata seraya tersenyum tipis. Dia menerima kunci dari temannya itu. Mereka segera berjalan menuju pelataran parkir dan masuk ke sedan yang sewarna rambut Ino.
"Aku tak ingin pingsan dalam teleconference nanti," desis Ino pelan. Jari-jarinya memijit pelipisnya.
Hinata mengangguk maklum. "Jujur saja, aku masih grogi kalau ada meeting dan musti mengadakan teleconference," sahutnya setuju.
"Stage fright, ya, aku juga lho," kali ini Ino tertawa kecil.
Hinata nyengir malu. Sudah dua bulan dia kerja di Uchiha Inc, sedang Ino sudah setahunan di sana. Tadinya gadis Hyuuga itu tak menyangka akan segera menempati posisi sebagai supervisor di Planning Production In Control (PPIC). Hinata bersyukur dia tak lagi gagap. Gadis itu tak bisa membayangkan dia akan terbata mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris dan pingsan di hadapan para petinggi perusahaannya. Para petinggi di Amerika pasti akan melotot melihat representative dari Jepang pingsan karena grogi meski rapat yang diadakan sudah berbeda tempat dan melintasi benua dan melalui teleconference.
"The Japanese are clumsy and stupid," komentar itu terbayang di benak Hinata. Cepat-cepat dia menepis imajinasinya yang sudah terlalu liar. Dia bertekad tak akan mempermalukan diri sebagai warga Jepang di hadapan penduduk di belahan dunia mana pun. Bukankah motto mereka adalah 'Saya harus bisa!'?
Seorang dokter muda berambut hitam memeriksa Ino. Hinata berniat menunggu di ruang tunggu, tapi Ino memaksanya ikut masuk. Sementara sang dokter dan Ino ngobrol, Hinata melihat jadwal di ponsel pintarnya. Sekali waktu gadis itu melirik dokter itu. Dia masih muda, batin Hinata. Rambutnya memiliki gaya aneh, wajahnya tampan namun tidak bisa dikatakan ramah. Matanya sama kelamnya dengan rambutnya. Dokter itu memergokinya mengamatinya.
Ketika Ino bangkit, dokter itu juga ikut berdiri.
"Bagaimana kondisi teman saya?" tanya Hinata berbasa-basi. Bagaimana pun juga memasuki sebuah ruangan dan keluar lagi tanpa mengucapkan sepatah kata pun terdengar tidak sopan.
Sudut bibir si dokter berkerut naik.
Ino nyengir lebar. "Tak usah formal begitu, Hinata. Sasuke ini kawanku sejak lama, lho."
"Hn!"
"Trims, Sasuke," ujar Ino. Menilik dari bahasa tubuh mereka, Hinata menduga bahwa dua orang itu akrab. "Omong-omong, ini rekan kerja baruku," Ino mengedikkan kepala ke arah Hinata, yang kemudian agak disesalinya karena gerakan itu membuatnya makin berkunang-kunang.
"Sasuke," dokter itu mengulurkan tangan.
"Hinata Hyuuga," sambut Hinata. Dia mendapat perasaan bahwa pria itu menjabat tangannya agak lama dari yang seharusnya. Jika saja Neji, kakak sepupunya, ada di ruangan yang sama, sudah pasti dia akan menarik paksa tangan Sasuke.
"Hn. Nama yang bagus," komentar Sasuke.
"A-ah, terima kasih," balas Hinata.
Sasuke pria yang mengesankan. Tampan dan jangkung dengan aura yang membuat orang keder sekaligus kagum. Sekali lirik pun orang tak akan lupa.
"Kami pergi dulu," pungkas Ino. "Dan lagi, jangan memandangi temanku seperti itu. Nanti dia takut, lho."
Muka Hinata sedikit memerah. Berbeda dengan dirinya yang memang pemalu, Ino adalah gadis lincah dan enerjik.
"Aku tidak menakutkan," kata Sasuke singkat. "Senang bertemu denganmu, Nona."
"Hei, aku tidak bilang Hinata belum menikah. Dari mana kau tahu?" canda Ino.
"Tidak ada cincin kawin di jari manisnya," jawab Sasuke tegas. "Jadi aku tahu Nona Hyuuga ini masih belum menikah."
Praktis Hinata merasa perutnya bergolak. Dokter itu sopan dan kata-katanya tidak kurang ajar. Tapi caranya berbicara dan pandangannya membuat Hinata merasa tak nyaman. Ada suara kecil di belakang kepalanya menyatakan ini bukan terakhir kalinya dia bertemu Sasuke. Tak ingin menuruti pikiran negatifnya, Hinata mengingatkan Ino untuk membawa tasnya.
Sebelum melangkah ke koridor, diam-diam Hinata mencuri pandang ke belakang. Dia pura-pura menengok dan melirik dengan halus. Sepasang mata hitam Sasuke memergokinya. Seulas senyum kecil terukir di bibirnya. Cepat-cepat Hinata menegakkan kepala dan menanyakan sesuatu pada Ino.
Sasuke memang dokter tampan yang memikat, tapi dia bukan tipe pria yang disukai Hinata. Yang diinginkan gadis itu adalah laki-laki yang ceria seperti matahari. Sambil menyetir, Hinata berpikir bahwa sepertinya dia pernah melihat wajah Sasuke, namun tak ingat di mana.
Besoknya ada pesan masuk ke ponselnya, dari nomor baru yang tak dikenal. Ternyata dari Sasuke. Pria itu hanya mengucapkan selamat pagi dan selamat bekerja. Siangnya, lagi-lagi ada pesan darinya, menanyakan apa Hinata sudah makan siang. Setelah beberapa hari, Hinata tak tahan lagi. Dia menghampiri Ino disela-sela waktu istirahat.
Bila sebelumnya Hinata sangat respek pada Ino karena kepiawaiannya bekerja, sekarang dia sangat jengkel pada gadis pirang itu.
"Kenapa kau memberi nomorku pada Sasuke?" keluh Hinata. Dia mengerutkan hidungnya karena kesal. Hinata gadis sopan, tapi ada kalanya dia kesal.
Ino mengangkat mata terangnya. "Apa? Oh, dia menelponmu?" jawabannya mengkonfirmasi pertanyaan Hinata.
Gadis berambut indigo itu menghela napas panjang. "Tidak," jawabnya singkat.
Ino menepuk bangku kosong di sebelahnya dengan antusias. "Sasuke tidak menelponmu?" ulangnya.
Hinata duduk. Bukannya makan siang, dia malah memilih mengkonfrontasi Ino. "Dia hanya mengirimku pesan," tukasnya datar.
Ino nyengir lebar. "Dia tanya nomormu, jadi aku berikan."
"Sesederhana itu?" Mata Hinata menyipit.
"Yep, sesederhana itu," balas Ino kalem. Tahu bahwa Si Kalem Hinata berganti menjadi Si Marah Hinata, Ino lekas berkata, "Eh, jangan marah, dong."
"Aku tak percaya kau melakukannya."
"Hinata, aku tidak seburuk itu dan memberikan nomormu pada orang iseng," Ino membela diri. "Aku kenal Sasuke lama. Dia bukan orang jahat."
"Itukah alasanmu? Hanya karena dia bukan pria berhati buruk kau pikir oke saja dia dapat nomorku?" Hinata menatap temannya tak percaya.
Ino memutar kursi tubularnya dan memasang tampang serius. "Hinata," ujarnya hati-hati. "Kenapa kau menganggap hal ini terlalu serius? Oke, Sasuke meminta nomormu padaku dan aku memberinya. Tapi itu bukan berarti dia akan membawa masalah, percayalah! Jika pada akhirnya dia hanya mengganggumu, aku yang akan menghadapinya!"
Hinata hanya bisa menatap kawannya. Dia merasa bersalah sudah marah pada Ino.
"Selain itu, anggap saja dia hanya ingin berteman denganmu," Ino tersenyum simpul. "Tidak buruk, bukan, mempunyai lebih banyak teman?"
Mata Hinata kembali lembut. "Maaf, Ino." Ino memang kebalikan Hinata. Dia ceria dan suka sedikit main-main. Tapi Hinata percaya Ino tidak jahat. Bahkan ketika pertama kali masuk ke perusahaan yang bergerak di bidang wiring harness itu, Ino dan Naruto-lah yang pertama kali berteman dengannya.
"Hei, apa yang dikatakan Sasuke dalam pesannya?"
Hinata tertawa kecil. "Penasaran, nih?" sindirnya.
"Tidak, sama sekali tidak," Ino memungkiri. Dia mengangkat bahu tak acuh. "Hanya ingin tahu."
"Sama saja, Ino!"
Mungkin memang bukan hal yang buruk untuk saling berkirim pesan pada Sasuke. Hinata mulai merasa lega. Dia memang gadis pemalu.
"Omong-omong, siapa nama lengkapnya?" tanya Hinata sambil lalu.
Ino tersenyum manis. "Uchiha, Sasuke Uchiha. Kau baru tahu, ya?"
Hinata terbelalak kaget.
…
TBC
Fire's Note: Yup, saya kembali lagi dengan pair SasuHina.
.
Preview untuk chapter depan:
"Wah, kulitmu putih dan mulus, Hinata. Kau tak ingin melihatnya, Sasuke?" goda Sakura seraya mengerling Sasuke. "A-anu, Dokter!" Hinata malu. Sasuke menahan diri supaya matanya tidak kemana-mana.
