Disklaimer : Masashi Kishimoto
SasuSaku Family
Aku terdiam mengawasi gerak-geriknya yang terlihat gelisah. Ia mondar-mandir di depanku seakan tak capek dengan apa yang tengah ia lakukan. Jujur saja aku yang cuma melihat saja sudah jenuh. Kuakui ia memang gadis aktif seperti baka Naruto-teman sepermainanku tapi tetap saja melihat dia seperti ini membuatku merasa akan ada berita buruk yang sebentar lagi terucap dari lisannya. Bukan mau bersikap sok jadi paranormal tapi memang itulah yang sedang aku rasakan saat ini.
Cukup.
Aku bangun dari posisi tiduranku sekaligus menyambar lengannya, mendudukkan di sampingku toh dia tak menolak ketika aku memaksanya.
Kumiringkan dudukku, bersila di tempat tidur menatap ke arahnya dari samping kiri.
"Hei, Sakura, kau datang ke kamarku dan mengganggu tidur siangku bukan untuk mondar-mandir tak jelaskan?" tuntutku kesal. Betapa tidak emosi ketika sedang menikmati mimpimu datang seorang gadis dengan kejam mendobrak pintu kamarmu.
Ia hanya diam mendengar pertanyaanku yang tak ada kata lemah lembut di sana. Sedikit memicingkan mata ketika aku mendapat reaksi yang tak terduga, ia cuma diam sambil memandangiku dengan mata bundarnya yang sedang berkaca-kaca. Aku menggelang kasar, ini bukan Haruno Sakura yang aku kenal yang menangis gara-gara cemohanku. Biasanya ia akan mencemohku balik dengan nada yang lebih kasar, tapi ini... Ia malah menatapku seolah aku ini majikan pelit yang tak mau memberi makan kucing peliharaannya. Dan oh, betapa bodohnya diriku memberi perumpamaan seperti kucing dan majikan.
"Sasuke, hiks..." Kini aku terbengong melihat gadis di sampingku menyerukan namaku lengkap dengan isakan tangisnya.
"Hei, jangan menangis keras-keras bodoh, aku tak mau ibu mendengarnya dan mengira aku menyakitimu," tuturku bingung akan sikapnya yang langka ini. Kuhembuskan nafas dalam-dalam, menggenggam erat pundaknya agar ia tak mengindari kontak mata denganku.
"Sekarang jelaskan apa masalahmu, Sakura."
Ia hanya diam, tapi tak lama kemudian tangan kanannya terangkat dan tanpa diduga telunjuknya mengarah ke daerah perutnya.
"Kau hanya sakit perut tapi kau malah heboh tak karuan, sampai membuatku gondok tahu," seruku kesal.
Tapi anehnya ia menggeleng lemah, isakan itu terdengar meski hanya samar-samar.
Aku kembali menghembuskan nafas frustasi, kenapa tak langsung mengatakannya saja sih tanpa harus membuatku perfikir untuk memecahkan teka-teki yang tak berguna ini.
"Kalau bukan sakit perut, jangan bilang kau sedang datang bulan karena jika itu benar aku benar-benar akan marah, Sakura," ungkapku. Entah berapa lusin kata yang telah aku keluarga hanya untuk menebak sikap sahabat sepermainanku ini yang sungguh menyebalkan.
Ia kembali menggeleng lemah.
"Arrgggh...terus apa?" Aku menatap tajam ke arahnya, "Cepat bicara atau aku harus memaksamu, Sakura," ancamku. Habislah sudah kesabaranku.
"Sasuke..."
"Hn."
"Sasuke-baka, dengarkan aku dulu," Ia memekik kesal tapi aku tak peduli.
"Janji nggak marahkan?" rajuknya. Mata bulatnya yang berkaca-kaca menatap ke arahnya. Dan aku hanya mengangguk tanpa berniat menanggapi.
"Sasuke..."
Ia menatap gelisah ke arahku. Rasanya ditatap seperti itu membuat bulu kudukku merinding tak karuan. Ayolah Sasuke, kenapa kau jadi penakut seperti ini. Bodoh.
"Beneran nggak marahkan kalau aku bilang," tanyanya.
Kutatap mata hijau bulatnya, genggaman tanganku pada pundaknya semakin erat. Aku mengambil nafas dalam-dalam karena gondok. ''Cepat katakan atau kau per...''
"Sasuke aku hamil."
"...per...gi..." gagapku.
Hamil?
Aku menatap tajam ke arahnya. Berusaha mencari kebohongan atas kalimatnya dari sorot matanya. Tapi percuma aku tak menemukan apa-apa selain kejujuran dari matanya. Kedua tanganku terjatuh dari pundaknya begitu saja, ia semakin sibuk dengan tangisnya. Aku diam, jujur, aku bingung apa yang harus aku lakukan. Kulirik perutnya yang masih rata. Ternyata Tuhan memang murka karena kami main-main di depanNya, sepasang umatnya tanpa ikatan yang sah dengan alasan keisengan melakukan hubungan yang terlarang.
Dengan cepat kutarik tubuhnya dalam pelukanku.
.
.
.
.
"Sasuke," panggilnya.
Aku tak menyahut, pikiranku masih dipenuhi ucapannya tadi. Ya, sekarang gadis pink yang tengah mengandung anakku itu tak lagi menangis, dan kini gantian ia yang menuntut dengan pandangan yang memelas ke arahku.
"Sasuke, bagaimana ini?' Dengan kasarnya ia mengoyang-goyangkan tubuhku, dan aku hanya bisa mendelik kesal ke arahnya. "Aku belum mau menikah muda dan kita juga masih sekolah, aku takut."
Sakura. Sebenarnya aku juga takut, tapi aku tak mau membuatmu kalut gara-gara mengakuinya di depanmu.
"Bagaimana kalau bayi itu digugurkan, Sakura," usulku ragu-ragu.
Bola matanya mendelik tajam ke arahku bersamaan dengan lelehan air matanya.
"Kau ingin aku juga ikut mati bersama anakmu, Sasuke, aku tak mau membunuh anakku," pekiknya kalut.
Aku langsung gelagapan mendengar lontaran perkataannya. Bagaimana sampai ibu mendengar kalimatnya yang kelewat lirih. Kugenggam cepat jemarinya, berusaha membuat ia tak berteriak-teriak karena kalut.
"Sasuke-baka, kenapa harus kau yang menghamiliku. Aku benci Sasuke," protesnya.
Tanpa peduli ia akan mengamuk langsung kubungkam mulutnya, aku tak mau sampai ibu mendengar ucapannya. Ia berontak dalam dekapanku, tapi aku mau begitu saja melepas bungkamanku.
"Aku minta maaf karena menghamilimu, Sakura, dan sungguh aku tak berniat sampai membuatmu hamil," jelasku. Kutatap lembuat mata hijaunya, meyakinkan dirinya kalau aku tak berniat menanamkan benihku pada rahimnya sampai membuatnya hamil. Sungguh, meskipun kami melakukannya tapi aku tak setega itu padamu Sakura.
"Hamil? Kau menghamili Sakura, Sasuke?"
Debaran jantungku bertambah cepat ketika suara lembut yang begitu kukenal menyapu pendengaranku. Sakura dalam dekapanku menunduk diam tanpa suara. Perlahan kutolehkan kepala ke sumber suara. Di ambang pintu ibu tengah berdiri dengan roman kaget terpeta jelas di wajah beliau. Aku berharap ini hanya mimpi dalam tidurku dan bila terbangun nanti aku hanya melihat senyum indah ibu bukan raut kekecewaan. Tapi nyatanya ini bukan mimpi tapi kenyataan yang harus kami hadapi.
"Maafkan aku, Bu." Hanya rangkaian kalimat itulah yang mapu kuucapkan lewat lisanku.
Dan berikutnya hanya tangis ibu serta Sakura yang selalu kuingat.
"Sasuke, kau melamun?" Sebuah suara membuatku terbangun dalam kilatan tentang kejadian satu tahun yang lalu. Kejadian yang telah merubah alur masa depan yang sebelumnya telah kurancang matang-matang.
"Hei, Sasuke, kau kenapa sih?"
Kutolehkan wajahku ke arah sang pelaku, "Aku tak apa-apa, Sakura," jelasku kemudian.
Ia pun kembali mondar-mandir di depanku sebelum berhenti di sisi tempat tidur dengan senyum mengembang. Dialah Sakura, keisenganlah yang membuat kami akhirnya terikat dalam suatu pertalian sakral. Kami telah menikah, dan di sana dalam pelukan Sakura seorang bayi yang tak pernah kusangka akan lahir di dunia ini. Aku tak tahu apakah harus menyesalinya atau sebaliknya. Masa depanku berbanding terbalik dengan rencanaku. Awalnya Sakura seakan tak menyukai pernikahan ini, pernikahan yang entah ada cinta atau tidak di dalamnya.
Tapi satu yang membuat semuanya berubah, dialah Uchiha Hikari buah hati kami yang sebelumnya tak pernah terbersit dalam pikiranku keberadaannya.
"Sasuke, bantuin. Hikari ngompol lagi."
Dan inilah Sakura, teman sepermainanku yang masih tetap bersikap cerewet dan menyebalkan. Sikap yang tetap sama meskipun kami telah menikah. Tapi hanya senyum itu yang berbeda. Senyum termanisnya ketika mata bulatnya menatap lekat sosok mungil dalam pelukannya.
Dan untuk pertama kali kuakui ia terlihat cantik laksana bidadari.
Terlalu konyol memang, tapi inilah yang terjadi.
Note Author :
Maafkanlah Bunga kalau fic ini bikin gondok, dengn alur tak jelas, konflik aneh dan pendek sangat#pundung. Entah kenapa ide ini begitu saja muncul pas Bunga berniat ngetik fic AF, ya akhirnya terpaksa Bunga nggak jadi publish fic AF tapi malah publish fic ini. Hehehehe...
Bunga harap fic ini bisa dinikmati pembaca sekalian :D
